"Evan Wijaya." Freya mengetik nama itu di kolom pencarian salah satu media sosial. Itu nama lengkap suami Kia, ia penasaran soal rupa si lelaki.
"Ngapain, sih, Frey?" Kiandra memilih menyibukkan diri dengan tontonan di televisi. Ini malam kelimanya di kamar kontrakan Freya.
"Gila. Yang tampangnya kayak gini kamu selingkuhin, Ki?"
Pada Freya yang tertawa mengejek, Kiandra memukulkan bantal. Masih saja risih dan bersalah tiap kali masalah itu diungkit.
"Wajahnya memang bagus. Kelakuannya yang enggak bagus." Kiandra merasa tertampar. Memangnya ia punya hak menghakimi orang lain, sedang perilaku sendiri jauh dari kata baik.
"Dia kasar?"
Perempuan berkaus hitam menggeleng. "Kayak patung. Kalau enggak diajak ngomong, enggak akan bersuara. Tukang maksa. Tukang ngatur. Hobinya ngatain aku enggak punya tata krama dan sopan santun. Selalu nyuruh diam."
F
Kiandra menolak lagi diajak turun untuk sarapan. Karenanya, Lidia memutuskan untuk mengantar makanan ke kamar si perempuan. Sejak pulang bersama Evan dua hari lalu, Kiandra memang hanya di kamar saja."Makan dulu, Ki. Kamu bisa sakit kalau terus-terusan enggak makan." Lidia duduk di tepian tempat tidur. Mencoba membujuk dengan menyuapi si istri kedua Evan itu.Kiandra menggeleng. Perempuan itu duduk, memperhatikan wajah Lidia sesaat, kemudian mengambil kesimpulan. Pasti, Lidia belum tahu berita baru soal dirinya, karenanya masih bersikap baik begini.Menarik napas, Kia berujar, "Aku hamil, Lid."Sendok di tangan Lidia jatuh ke piring. Perempuan itu terlihat melebarkan mata, wajahnya menggambarkan keterkejutan yang teramat.Ini berita yang memang Lidia tunggu. Ia dan Evan memang mendambakan berita ini sejak lama. Maka, perempuan itu pun langsung memeluk Kiandra."Akhirnya. Akhirnya kamu hamil juga."
"Kamu masih yakin kalau ini anakmu?"Pada pertanyaan yang entah sudah berapa ratus kali itu, Evan hanya bisa mengembuskan napas kasar lewat mulut. Sendok berisi bubur ia taruh, sekaligus dengan mangkuknya.Pada Kiandra yang menjadikan kepala ranjang sebagai sandaran, pria itu menatap tajam. "Kata dokter, usia kandungan kamu 4 minggu. Enggak cocok sama kapan kamu mulai kabur sama Damar."Evan ingin sekali mengguncang kepala Kia yang sekarang malah menampilkan wajah cemberut. Sebenarnya, apa mau perempuan itu?"Anggap aku udah hamil duluan, sebelum kabur sama Damar. Kamu yakin aku enggak berhubungan sama dia?"Kan. Evan tak tahan. Laki-laki itu memalingkan wajah, memijat pangkal hidungnya. "Kamu pernah tidur sama Damar?" tanyanya langsung.Dan seperti yang sudah-sudah, Kiandra tak akan menjawab dengan kalimat jelas. Perempuan itu hanya akan menangis dan menunduk dalam-dalam.
Hari ini akan selalu Kiandra ingat seumur hidup. Hari ulang tahun paling suram yang ia miliki.Tadi, ada perayaan kecil-kecilan. Tanpa sepengetahuannya dan semua orang di rumah ini, Dina datang. Tidak seorang diri, melainkan bersama Andra, Siska, orang tua Kia, juga keluarga Rina dan Nando.Ada acara tiup lilin, potong kue dan pemberian kado. Setelahnya, mereka makan siang bersama. Lalu Evan memberi pengumuman soal kehamilan.Semua orang tampak senang. Terutama Dina. Orang tua Kia juga terlihat bahagia. Kiandra berduka sebab fakta yang ia dengar dari Rina dan Nando.Evan memang menagih utang itu. Tiga puluh juta, Evan minta dibayarkan segera. Itu karena sang suami melihat Toni bersama dengan perempuan lain."Si Toni itu coba-coba selingkuh, Kak. Untung ditagih Bang Evan pas di depan selingkuhannya. Dia malu dan ngaku."Begitu pengakuan Rina tadi siang. Pengakuan yang berhasil membuat Kiandra semakin kehila
Baru saja Kiandra berhasil mengumpulkan keberanian untuk turun dan makan malam bersama yang lain. Namun, sebuah pesan dari sang ayah membuatnya mengurungkan niat tersebut.Andra membahas soal rumah mereka. Ayahnya itu memberi tahu jika surat rumah tersebut sudah lama berganti nama. Sudah sepenuhnya menjadi milik Andra, sejak sebulan pernikahan Kia dan Evan.Terduduk di belakang pintu kamar yang sedikit terbuka, Kiandra tak punya tenaga untuk menangis. Ia hanya diam, meratap dalam hati dan bingung."Kia."Pintu terbuka lebih lebar. Evan berdiri di sana. Kiandra hampir tak sanggup menahan diri untuk tak mengumpat kala mendapati raut di wajah pria itu. Biasa saja. Tak ada kemarahan atau kebencian."Makin hari makin aneh, ya. Ngapain duduk di situ? Turun. Makan."Lengan Kiandra dipegangi. Ia ditarik hingga berdiri. Namun, perempuan itu menolak dibawa berjalan.
Usai menikmati suasana tenang di taman, Kiandra menolak pulang bersama Evan. Perempuan itu bilang ingin mencari sesuatu dulu, baru kemudian pulang. Evan diminta duluan saja."Mau cari masalah? Pulang aja, Ki." Evan memutar arah kepala sepeda motornya."Kamu naik motor ke sini?" tanya Kia sedikit heran. Biasanya, Evan selalu lebih suka menaiki si roda empat."Lidia panik. Aku baru pulang, langsung disuruh cari anak hilang." Evan melempar lirikan malas.Mengangguk saja, Kia menepuk lengan Evan sekilas. "Pulang, gih."Dahi si lelaki menekuk. "Kamu mau aku disalahkan Lidia lagi? Naik.""Aku mau beli sesuatu dulu, Van. Kamu pu-"Evan terlihat melotot. Pria itu berdecak satu kali, lalu memundurkan motor hingga tepat ke depan Kia. "Naik. Aku antar kamu. Mau beli apa, sih, sebenarnya?"Karena Kiandra tetap bergeming, Evan meraih tangan perempuan itu. Menuntunnya untuk naik ke jok motor.&n
Berkeliling tak tentu arah setelah pulang bekerja, Evan berhenti di sebuah tepian jalan. Pria itu turun dari mobil, bersandar di pintu yang tertutup, memandangi pohon besar di hadapan. Dua jam. Agaknya belum cukup untuk Evan bisa mengambil keputusan. Apa akan diteruskan? Atau berhenti saja? Lelaki itu menyadari. Dirinya kecewa atas perbuatan Kia. Ia marah dan tak terima. Namun, semua itu perlahan hilang seiring dengan kembalinya Kiandra ke rumah. Namun, tak serta merta masalah selesai. Ragu mengisi seluruh hati. Kadang, di pagi saat Evan menatapi wajah Kiandra yang tertidur, laki-laki itu melihat bayangan Damar. Diikuti asumsi-asumsi soal sudah sejauh apa hubungan Kia dengan sepupu Lidia itu. Lalu, Evan akan menjauh. Meninggalkan Kiandra dengan hati yang terasa pedih. Namun, esoknya, saat mendengar si istri kedua menangis penuh sesal, hatinya luluh lagi. Ragu. Rasanya benar-benar sepe
"Kia."Panggilan Evan tidak disahut. Dari dalam rumah, usai turun dari mobil, pria itu dihampiri Lidia."Kia, Van. Kia."Evan menunggu Lidia meneruskan ucapan. Meski begitu, beberapa kali matanya melirik ke arah pintu. Firasat mendadak tidak baik."Kia mana? Aku bawa taoge untuk dibersihin sama dia." Lelaki itu menaruh dua bungkusan plastik yang dibawa pulang.Lidia menggeleng. Wajahnya diliputi cemas. "Kia pergi, Van. Dia belum pulang sejak siang."Kiandra pamit untuk jalan-jalan pada Lidia tadi. Si istri pertama sudah menawakan diri untuk menemani. Namun, ditolak. Tidak curiga, Lidia membiarkan madunya itu pergi. Toh, semua sudah baik-baik saja belakangan."Aku udah coba hubungi, tapi hapenya enggak aktif. Aku takut, Evan."Urat di leher Evan tampak mencuat. Pria itu langsung terlihat tak nyaman. "Kamu udah cek ke taman?"Yang ditanya mengangguk. "Aku udah ke sana n
"Kia di mana?" Hal pertama yang Evan tanya setelah menginajkkan kaki di teras rumah adalah si istri kedua. Lelaki itu butuh memastikan jika Kia tidak melakukan aksi kabur lagi kali ini.Lidia berusaha tersenyum. "Ada. Di kamar. Kamu mau mandi dulu atau langsung makan?"Evan tak menoleh pada istri pertamanya itu. Ia menggeleng. "Aku bisa sendiri nanti. Kamu tidur duluan aja."Tanpa melepas sepatu, Evan menapaki lantai dua, menuju kamar Kia.Kiandra sedang memainkan ponsel saat Evan tiba di ruangan itu. Perempuan itu mengerutkan dahi ke arahnya, seolah keberatan didatangi."Ngapain kamu?" Evan duduk di tepi kasur. Merebut ponsel dari tangan Kia, lalu memeriksanya sebentar.Sang istri sedang membuka salah satu media sosial. "Kamu mau coba hubungi Damar?"Raut wajah Kia berubah muram. Perempuan itu memiringkan tubuh, menghadap Evan. "Aku udah bilang. Kapan pun