"Kia di mana?" Hal pertama yang Evan tanya setelah menginajkkan kaki di teras rumah adalah si istri kedua. Lelaki itu butuh memastikan jika Kia tidak melakukan aksi kabur lagi kali ini.
Lidia berusaha tersenyum. "Ada. Di kamar. Kamu mau mandi dulu atau langsung makan?"
Evan tak menoleh pada istri pertamanya itu. Ia menggeleng. "Aku bisa sendiri nanti. Kamu tidur duluan aja."
Tanpa melepas sepatu, Evan menapaki lantai dua, menuju kamar Kia.
Kiandra sedang memainkan ponsel saat Evan tiba di ruangan itu. Perempuan itu mengerutkan dahi ke arahnya, seolah keberatan didatangi.
"Ngapain kamu?" Evan duduk di tepi kasur. Merebut ponsel dari tangan Kia, lalu memeriksanya sebentar.
Sang istri sedang membuka salah satu media sosial. "Kamu mau coba hubungi Damar?"
Raut wajah Kia berubah muram. Perempuan itu memiringkan tubuh, menghadap Evan. "Aku udah bilang. Kapan pun
Air mata Lidia jatuh saat jarum pendek jam menunjuk ke angka sembilan malam. Hati perempuan itu patah, dirinya merasa tak berharga, sebab tebakan Damar benar. Evan tidak datang.Terpengaruh bujukan sang sepupu, usai perjumpaan di kafe siang tadi, Lidia tak langsung pulang. Sisi dirinya yang cemburu menuruti rencana kecil damar yang katanya bisa membuktikan bahwa sungguh posisi LIdia tidaklah penting di hidup Evan, selama Kiandra masih ada.Damar mengatur siasat. Ia akan membawa Lidia dan menempatkan perempuan itu di sebuah tempat jauh. Menghubungi Evan dan menawarkan sebuah pertukaran. Evan memberikan Kiandra, dan Damar akan melepaskan Lidia.Damar menentukan jam sembilan malam sebagai batas tawarannya berlaku. Pria itu bahkan mengancan Evan jika dirinya bisa menyakiti Lidia, jika Evan tidak datang bersama Kia. Namun, sudah lewat lima menit dair jam sembilan, suami Lidia tidak datang."Jadi, gimana? Kamu percaya sama ku sekarang?"
"Aku siapkan makan kamu dulu, ya, Van." Mengekori langkah sang suami sampai ke ruang tamu, Lidia beranjak ke dapur usai melirik sekilas pada Kiandra.Evan yang menangkap gelagat janggal itu lantas menengok pada istri keduanya. Si pria mengernyitkan dahi. Disentuhnya dengan ujung telunjuk pipi Kia beberapa kali."Apa enggak bisa kamu pasang wajah yang ramah sedikit? Aku ini baru pulang. Udah capek dari luar, pulang ke rumah juga lihat yang kecut-kecut."Kiandra mengabaikan tingkah Evan. Ia pun tidak melirik, fokus mengunyah camilan di pangkuan."Kesurupan kamu, Ki?" Melihat istrinya sudah akan melangkah pergi, Evan meraih lengan Kia. Membuat si perempuan menghadapkan wajah padanya. "Kenapa kamu?"Diam saja saat dijahili atau diejek, itu sama sekali bukan gaya Kia. Jadi, Evan simpulkan terjadi sesuatu."Penipu." Kia menaruh toples berisi keripik singkong ke meja. Perempuan itu menarik tangannya dari Evan. Me
Lidia sedang sibuk mengolah singkong untuk dijadikan kolak, Kiandra meninggalkan dapur untuk memeriksa siapa yang menekan bel rumah. Irna sedang mencuci piring.Melewati ruang tamu, Kiandra memeriksa waktu. Pukul empat. Apa Evan yang pulang? Saat menarik daun pintu, yang muncul memang Evan. Lelaki itu memicing, membuat Kia mengerutkan dahi."Mana mobil kamu?" Kia menengok ke halaman. Pantas tidak terdengar suara mesin mobil. Kendaraan Evan tak terlihat.Evan melewati pintu. Duduk di sofa, hal pertama yang ia tanya adalah Lidia. Biasanya, si istri pertamalah yang menyambutnya pulang."Di dapur. Lagi bikin kolak. Bentar aku panggil bi--"Kalimat Kiandra tak selesai. Langkah perempuan itu tertahan, sebab Evan meraih lengannya. Evan menariknya, menuntun agar duduk di sisi sofa yang kosong, tepat di sebelah.Evan menyerahkan selembar amplop. Wajah lel
Lidia tersenyum pada Evan yang barusan menghela napas. Perempuan itu mengusapi pundak si lelaki. Suaminya itu tampak lelah dan gusar."Jangan khawatir. Semua pasti akan baik-baik aja. Kamu pasti bisa lalui ini." Lidia mendekap lelaki itu. Seerat mungkin, hingga Evan paham jika dirinya selalu ada dan akan selalu siap mendampingi apa pun yang terjadi.Seminggu ini Evan dilanda masalah di pekerjaan. Salah satu gerai rumah makan lelaki itu terbakar. Setelah diselidki, penyebabnya adalah kebocoran tabung gas. Belum lagi, penjualan di outlet lain yang menurun drastis.Wajar Evan banyak pikiran. Lumrah bila pria itu dihinggapi was-was. Bisnis rumah makan adalah satu-satunya mata pencarian keluarga kecil mereka. Evan membiayai banyak hal dari sana.Lidia tahu Evan bisa mengatasi ini. Ia yakin, suaminya akan bisa mencari jalan keluar untuk menghadapi semua hal kacau ini. Walau Evan tak menceritakan semua rincian dan keluhan, tetap saja Lidi
"Kamu bohong, 'kan? Cuma pura-pura, biar bisa bikin aku mijit kaki kamu.""Udah. Enggak usah. Enggak perlu, Evan. Enggak perlu."Evan yang tersenyum, Kiandra yang memutar mata malas. Evan yang duduk di karpet samping sofa dan Kia yang menghuni sofa. Pemandangan itu membuat Lidia mengepalkan tangan. Urung ke dapur, perempuan itu kembali masuk ke kamarnya.Membanting pintu, Lidia duduk di tepian ranjang. Ia menatapi selimut coklatnya. Benda itu sudah tak disentuh Evan selama dua minggu. Luar biasa, sebab suaminya itu sudah absen mengunjunginya selama dua minggu penuh.Alasannya? Apa lagi kalau bukan si ibu hamil? Padahal, mereka serumah. Kalau pun Evan datang dan tidur di sini, lelaki itu tetap bisa menjaga Kia.Di saat-saat begini, Lidia jadi teringat perkataan Damar. Soal dirinya yang akan semakin tak dianggap, jika sampai Kiandra memberi anak pada Evan. Perlahan, pe
Lidia sengaja keluar dari kamar sekitar pukul sepuluh pagi hari ini. Biasanya wanita itu sudah repot di dapur sejak pukul enam pagi. Beres-beres, menyiapkan makanan.Barusan, Irna yang mengantar sarapan ke kamarnya berkata sang suami sudah berangkat. Karenanya perempuan itu putuskan untuk keluar.Lidia sudah memikirkan ini. Ia akan bicara pada Kiandra. Bukan soal dirinya yang mengamuk kemarin. Melainkan soal apa yang dulu pernah Kiandra katakan."Ada yang mau aku tanyakan ke kamu." Tak berbasa-basi, saat Kiandra sudah di ruang tamu, Lidia langsung buka suara ke pokok pembicaraan. "Kamu jadi, setelah melahirkan nanti, bakal minta cerai dari Evan?"Bisa Lidia tangkap raut terkejut di wajah si ibu hamil. Kiandra bahkan tergamam dan tampak pucat. Apa pertanyaannya separah itu?Tidak-tidak. Lidia tidak boleh gentar. Ia harus menguatkan hati. Demi kebahagiannya sendiri. Ini tidak salah. Seperti kata Damar. Memperjuangkan keb
"Kamu dari mana aja?" Evan langsung menyambut Lidia dengan tanya bernada menuntut.Istri pertamanya itu pergi sejak pagi, kata Irna. Baru pulang pukul sebelas malam begini, setelah tak bisa dihubungi selama berjam-jam."Lid? Kamu nggak dengar aku ngomong?"Evan tak mendengar tanyanya disahut. Lidia malah terlihat akan melangkah pergi. Buru-buru Evan mengadang jalan perempuan itu."Kita perlu bicara," pungkas Evan. Lelaki itu menarik Lidia agar duduk di sofa.Evan sudah menunggu ini selama beberapa hari. Waktu untuk ia dan Lidia bisa bicara berdua. Beberapa hari belakangan, Lidia sering tak menyambutnya sepulang bekerja. Sering sudah tidur duluan. Pun, memang istri pertamanya itu kerap menghindar akhir-akhir ini.Sekarang saja, Lidia enggan membalas tatapan Evan. Menengok ke arah lain, seolah malas dan tak peduli."Kamu bilang
Menunggu sejak pagi, Lidia akhirnya melihat Kiandra keluar dari kamar di sore hari. Belakangan, adik madunya itu memang lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Keperluan makan atau yang lain, Irna yang mengantar ke sana."Aku mau bicara sama kamu, Kia," sela Lidia saat mendapati Kiandra hendak menuju dapur. Terlihat sekali perempuan itu menghindarinya.Kiandra sudah duduk, Lidia berpindah. Tadinya di sofa kecil, ia mengambil tempat di samping istri kesayangan Evan."Udah berapa bulan?" tanya Lidia. Tangannya mengelus pelan perut bulat Kiandra."Delapan," sahut Kia."Berarti aku udah boleh tanya ke kamu, 'kan?""Soal? Evan?" tebak Kia.Lidia mengulum senyum miring. Ia menggeleng. "Kurasa aku nggak berhak minta kamu pisah dari dia. Yang aku mau tanyain itu, soal anak ini."Menjauhkan tangan dari perut, Lidia menatap sinis. "Kesepakatan kita, anak itu akan jadi anak aku sepen
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap