Baru saja Kiandra berhasil mengumpulkan keberanian untuk turun dan makan malam bersama yang lain. Namun, sebuah pesan dari sang ayah membuatnya mengurungkan niat tersebut.
Andra membahas soal rumah mereka. Ayahnya itu memberi tahu jika surat rumah tersebut sudah lama berganti nama. Sudah sepenuhnya menjadi milik Andra, sejak sebulan pernikahan Kia dan Evan.
Terduduk di belakang pintu kamar yang sedikit terbuka, Kiandra tak punya tenaga untuk menangis. Ia hanya diam, meratap dalam hati dan bingung.
"Kia."
Pintu terbuka lebih lebar. Evan berdiri di sana. Kiandra hampir tak sanggup menahan diri untuk tak mengumpat kala mendapati raut di wajah pria itu. Biasa saja. Tak ada kemarahan atau kebencian.
"Makin hari makin aneh, ya. Ngapain duduk di situ? Turun. Makan."
Lengan Kiandra dipegangi. Ia ditarik hingga berdiri. Namun, perempuan itu menolak dibawa berjalan.
Usai menikmati suasana tenang di taman, Kiandra menolak pulang bersama Evan. Perempuan itu bilang ingin mencari sesuatu dulu, baru kemudian pulang. Evan diminta duluan saja."Mau cari masalah? Pulang aja, Ki." Evan memutar arah kepala sepeda motornya."Kamu naik motor ke sini?" tanya Kia sedikit heran. Biasanya, Evan selalu lebih suka menaiki si roda empat."Lidia panik. Aku baru pulang, langsung disuruh cari anak hilang." Evan melempar lirikan malas.Mengangguk saja, Kia menepuk lengan Evan sekilas. "Pulang, gih."Dahi si lelaki menekuk. "Kamu mau aku disalahkan Lidia lagi? Naik.""Aku mau beli sesuatu dulu, Van. Kamu pu-"Evan terlihat melotot. Pria itu berdecak satu kali, lalu memundurkan motor hingga tepat ke depan Kia. "Naik. Aku antar kamu. Mau beli apa, sih, sebenarnya?"Karena Kiandra tetap bergeming, Evan meraih tangan perempuan itu. Menuntunnya untuk naik ke jok motor.&n
Berkeliling tak tentu arah setelah pulang bekerja, Evan berhenti di sebuah tepian jalan. Pria itu turun dari mobil, bersandar di pintu yang tertutup, memandangi pohon besar di hadapan. Dua jam. Agaknya belum cukup untuk Evan bisa mengambil keputusan. Apa akan diteruskan? Atau berhenti saja? Lelaki itu menyadari. Dirinya kecewa atas perbuatan Kia. Ia marah dan tak terima. Namun, semua itu perlahan hilang seiring dengan kembalinya Kiandra ke rumah. Namun, tak serta merta masalah selesai. Ragu mengisi seluruh hati. Kadang, di pagi saat Evan menatapi wajah Kiandra yang tertidur, laki-laki itu melihat bayangan Damar. Diikuti asumsi-asumsi soal sudah sejauh apa hubungan Kia dengan sepupu Lidia itu. Lalu, Evan akan menjauh. Meninggalkan Kiandra dengan hati yang terasa pedih. Namun, esoknya, saat mendengar si istri kedua menangis penuh sesal, hatinya luluh lagi. Ragu. Rasanya benar-benar sepe
"Kia."Panggilan Evan tidak disahut. Dari dalam rumah, usai turun dari mobil, pria itu dihampiri Lidia."Kia, Van. Kia."Evan menunggu Lidia meneruskan ucapan. Meski begitu, beberapa kali matanya melirik ke arah pintu. Firasat mendadak tidak baik."Kia mana? Aku bawa taoge untuk dibersihin sama dia." Lelaki itu menaruh dua bungkusan plastik yang dibawa pulang.Lidia menggeleng. Wajahnya diliputi cemas. "Kia pergi, Van. Dia belum pulang sejak siang."Kiandra pamit untuk jalan-jalan pada Lidia tadi. Si istri pertama sudah menawakan diri untuk menemani. Namun, ditolak. Tidak curiga, Lidia membiarkan madunya itu pergi. Toh, semua sudah baik-baik saja belakangan."Aku udah coba hubungi, tapi hapenya enggak aktif. Aku takut, Evan."Urat di leher Evan tampak mencuat. Pria itu langsung terlihat tak nyaman. "Kamu udah cek ke taman?"Yang ditanya mengangguk. "Aku udah ke sana n
"Kia di mana?" Hal pertama yang Evan tanya setelah menginajkkan kaki di teras rumah adalah si istri kedua. Lelaki itu butuh memastikan jika Kia tidak melakukan aksi kabur lagi kali ini.Lidia berusaha tersenyum. "Ada. Di kamar. Kamu mau mandi dulu atau langsung makan?"Evan tak menoleh pada istri pertamanya itu. Ia menggeleng. "Aku bisa sendiri nanti. Kamu tidur duluan aja."Tanpa melepas sepatu, Evan menapaki lantai dua, menuju kamar Kia.Kiandra sedang memainkan ponsel saat Evan tiba di ruangan itu. Perempuan itu mengerutkan dahi ke arahnya, seolah keberatan didatangi."Ngapain kamu?" Evan duduk di tepi kasur. Merebut ponsel dari tangan Kia, lalu memeriksanya sebentar.Sang istri sedang membuka salah satu media sosial. "Kamu mau coba hubungi Damar?"Raut wajah Kia berubah muram. Perempuan itu memiringkan tubuh, menghadap Evan. "Aku udah bilang. Kapan pun
Air mata Lidia jatuh saat jarum pendek jam menunjuk ke angka sembilan malam. Hati perempuan itu patah, dirinya merasa tak berharga, sebab tebakan Damar benar. Evan tidak datang.Terpengaruh bujukan sang sepupu, usai perjumpaan di kafe siang tadi, Lidia tak langsung pulang. Sisi dirinya yang cemburu menuruti rencana kecil damar yang katanya bisa membuktikan bahwa sungguh posisi LIdia tidaklah penting di hidup Evan, selama Kiandra masih ada.Damar mengatur siasat. Ia akan membawa Lidia dan menempatkan perempuan itu di sebuah tempat jauh. Menghubungi Evan dan menawarkan sebuah pertukaran. Evan memberikan Kiandra, dan Damar akan melepaskan Lidia.Damar menentukan jam sembilan malam sebagai batas tawarannya berlaku. Pria itu bahkan mengancan Evan jika dirinya bisa menyakiti Lidia, jika Evan tidak datang bersama Kia. Namun, sudah lewat lima menit dair jam sembilan, suami Lidia tidak datang."Jadi, gimana? Kamu percaya sama ku sekarang?"
"Aku siapkan makan kamu dulu, ya, Van." Mengekori langkah sang suami sampai ke ruang tamu, Lidia beranjak ke dapur usai melirik sekilas pada Kiandra.Evan yang menangkap gelagat janggal itu lantas menengok pada istri keduanya. Si pria mengernyitkan dahi. Disentuhnya dengan ujung telunjuk pipi Kia beberapa kali."Apa enggak bisa kamu pasang wajah yang ramah sedikit? Aku ini baru pulang. Udah capek dari luar, pulang ke rumah juga lihat yang kecut-kecut."Kiandra mengabaikan tingkah Evan. Ia pun tidak melirik, fokus mengunyah camilan di pangkuan."Kesurupan kamu, Ki?" Melihat istrinya sudah akan melangkah pergi, Evan meraih lengan Kia. Membuat si perempuan menghadapkan wajah padanya. "Kenapa kamu?"Diam saja saat dijahili atau diejek, itu sama sekali bukan gaya Kia. Jadi, Evan simpulkan terjadi sesuatu."Penipu." Kia menaruh toples berisi keripik singkong ke meja. Perempuan itu menarik tangannya dari Evan. Me
Lidia sedang sibuk mengolah singkong untuk dijadikan kolak, Kiandra meninggalkan dapur untuk memeriksa siapa yang menekan bel rumah. Irna sedang mencuci piring.Melewati ruang tamu, Kiandra memeriksa waktu. Pukul empat. Apa Evan yang pulang? Saat menarik daun pintu, yang muncul memang Evan. Lelaki itu memicing, membuat Kia mengerutkan dahi."Mana mobil kamu?" Kia menengok ke halaman. Pantas tidak terdengar suara mesin mobil. Kendaraan Evan tak terlihat.Evan melewati pintu. Duduk di sofa, hal pertama yang ia tanya adalah Lidia. Biasanya, si istri pertamalah yang menyambutnya pulang."Di dapur. Lagi bikin kolak. Bentar aku panggil bi--"Kalimat Kiandra tak selesai. Langkah perempuan itu tertahan, sebab Evan meraih lengannya. Evan menariknya, menuntun agar duduk di sisi sofa yang kosong, tepat di sebelah.Evan menyerahkan selembar amplop. Wajah lel
Lidia tersenyum pada Evan yang barusan menghela napas. Perempuan itu mengusapi pundak si lelaki. Suaminya itu tampak lelah dan gusar."Jangan khawatir. Semua pasti akan baik-baik aja. Kamu pasti bisa lalui ini." Lidia mendekap lelaki itu. Seerat mungkin, hingga Evan paham jika dirinya selalu ada dan akan selalu siap mendampingi apa pun yang terjadi.Seminggu ini Evan dilanda masalah di pekerjaan. Salah satu gerai rumah makan lelaki itu terbakar. Setelah diselidki, penyebabnya adalah kebocoran tabung gas. Belum lagi, penjualan di outlet lain yang menurun drastis.Wajar Evan banyak pikiran. Lumrah bila pria itu dihinggapi was-was. Bisnis rumah makan adalah satu-satunya mata pencarian keluarga kecil mereka. Evan membiayai banyak hal dari sana.Lidia tahu Evan bisa mengatasi ini. Ia yakin, suaminya akan bisa mencari jalan keluar untuk menghadapi semua hal kacau ini. Walau Evan tak menceritakan semua rincian dan keluhan, tetap saja Lidi
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap