Damar tersenyum lebar dari balik helm. Nyeri di sekujur tubuhnya tiba-tiba tak terlalu terasa. Satu tangan pria itu menyasar ke belakang. Meraih lengan Kiandra di jok belakang motor, untuk dililitkan di pinggang.
Tak masalah dipukul. Tidak masalah ditampar Lidia dan membuat sang sepupu marah. Yang penting, Damar menang. Damar berhasil membawa Kia bersamanya.
Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Damar menuntun si gadis untuk segera masuk. Ini masih pukul tiga pagi, terlalu dingin untuk berlama-lama di luar.
"Ini rumah siapa, Dam?" tanya Kiandra saat dirinya diajak duduk di sofa.
"Rumahku. Baru kubeli seminggu lalu."
Mata Kiandra membola, Damar terkekeh ringan. Meski setelahnya pria itu meringis karena gerakan bibir membuat luka di sana seperti dicubit.
Damar mendekat, merangkul Kiandra dari samping. Mencium pelipis perempuan itu sekilas. "Aku serius waktu bilang tergila-gila sama kamu. Ak
Wajah Lidia diliputi ketakutan. Berulang kali perempuan itu mencoba menghubungi dua orang itu, tak satu pun mendapat jawaban. Nomor Kiandra atau Damar tidak aktif."Kita harus lapor polisi, Van. Laporkan Damar. Sebut ini penculikan." Pada suaminya yang duduk tegak di sofa lain, perempuan itu mendesak.Sebenarnya, sejak pagi di mana mereka tak menemukan Damar dan Kiandra di rumah, Lidia sudah berniat membuat laporan orang hilang pada pihak berwajib. Melaporkan Damar sebagai pelaku penculikan pun, perempuan itu setuju. Namun, Evan menolak."Evan!" Idenya tak kunjung disetujui, Lidia mulai berang. Sejak kemarin, Evan juga selalu diam."Nanti, Lid. Nanti aja buat laporannya. Jangan kasih tahu siapa pun. Ibuk atau pun orang tua Kia." Pria itu tampak menelan ludah dengan ekspresi kosong. Bibir yang tadi berucap tampak sedikit bergetar, sebelum kakinya menegak.Evan tak sengaja menabrak meja saat
Pertama kali Evan bertemu Kiandra adalah saat pria itu sedang mengontrol salah satu rumah makannya. Di dekat rumah makan itu ada sebuah tempat laundry. Persis di depannya.Evan sudah hendak pulang, saat ia mendengar sebuah tawa. Tidak kencang, hanya saja jalanan dan keadaan yang mendadak sepi membuat tawa indah itu bisa ia dengar.Lelaki itu mencari sumbernya dan menemukan seorang gadis. Tengah menutupi kepala dan seluruh tubuh dengan selimut besar. Bergerak ke kanan dan kiri di depan seorang bocah."Aku hantu. Kamu harusnya takut. Hihihi."Anak itu tertawa. Beberapa orang di tempat laundry itu juga melakukan hal serupa. Dan Evan terpesona. Pada tawa sederhana milik Kiandra. Pertama dan mungkin terakhir kalinya Evan melihat gadis itu tersenyum begitu lepas.Permintaan Dina untuk mendapat cucu dari perempuan lain awalnya Evan tolak mentah-mentah. Ia tak tega menduakan Lidia. Mereka bisa mengadopsi anak saja. Namun, kare
Kiandra terbangun di dini hari. Perempuan itu duduk, lalu berlari turun dari ranjang. Ia cukup terkejut saat melihat Damar duduk di depan pintu kamarnya."Kenapa, Ki?""Mau muntah, Dam. Aku mau muntah." Perempuan itu berlari menuju kamar mandi. Memuntahkan isi perut cukup lama di sana.Keluar dari sana, Kiandra menepis pelan tangan Damar yang berusaha memapahnya. "Aku mau ke dapur," kilahnya memutar arah langkah.Damar mengikuti. Membantu Kiandra minum, bahkan memijat tengkuk. "Salah makan, ya?"Yang ditanya mengangguk saja. Matanya berembun. "Aku memang ada asam lambung. Mungkin karena rujak yang aku makan kemarin."Si lelaki mengangguk kecewa. "Tahu ada asam lambung, kenapa minta rujak?" Ia mengusap puncak kepala Kia."Lagi pengin," sahut si gadis. "Kamu kenapa belum tidur? Tadi, ngapain duduk di depan kamar?"Damar tersenyum lembut. Ia
Sore ini, di rumah kontrakan Freya, Kiandra sedang menceritakan masalah apa yang sedang dihadapi. Terbata-bata karena menangis, Kiandra juga harus terus-terusan menghirup aroma dari minyak angin di tangan. Beberapa hari belakangan ia merasa sering mual dan lemas.Kiandra sudah menceritakan separuh. Dari mulai pernikahan terpaksannya dengan Evan, bagaimana sikap Evan selama mereka hidup seatap, perjanjian lima bulam yang nyaris habis dan juga Lidia."Jadi, si Damar ini siapa?""Sepupunya Lidia." Di atas ranjang, Kiandra memutuskan untuk berbaring. Kepalanya terasa pusing.Pelan-pelan, runut, Kiandra menceritakan kembali apa yang sudah dilalui dengan Damar. Dari mulai perjumpaan tak terduga mereka, sampai ke kedekatan yang tak seharusnya ada."Kamu selingkuh? Astaga, Kia!" Freya tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya untuk kesekian kali. Terlalu banyak hal besar yang sang sahabat tuturkan padanya di satu waktu.
"Evan Wijaya." Freya mengetik nama itu di kolom pencarian salah satu media sosial. Itu nama lengkap suami Kia, ia penasaran soal rupa si lelaki."Ngapain, sih, Frey?" Kiandra memilih menyibukkan diri dengan tontonan di televisi. Ini malam kelimanya di kamar kontrakan Freya."Gila. Yang tampangnya kayak gini kamu selingkuhin, Ki?"Pada Freya yang tertawa mengejek, Kiandra memukulkan bantal. Masih saja risih dan bersalah tiap kali masalah itu diungkit."Wajahnya memang bagus. Kelakuannya yang enggak bagus." Kiandra merasa tertampar. Memangnya ia punya hak menghakimi orang lain, sedang perilaku sendiri jauh dari kata baik."Dia kasar?"Perempuan berkaus hitam menggeleng. "Kayak patung. Kalau enggak diajak ngomong, enggak akan bersuara. Tukang maksa. Tukang ngatur. Hobinya ngatain aku enggak punya tata krama dan sopan santun. Selalu nyuruh diam."F
Kiandra menolak lagi diajak turun untuk sarapan. Karenanya, Lidia memutuskan untuk mengantar makanan ke kamar si perempuan. Sejak pulang bersama Evan dua hari lalu, Kiandra memang hanya di kamar saja."Makan dulu, Ki. Kamu bisa sakit kalau terus-terusan enggak makan." Lidia duduk di tepian tempat tidur. Mencoba membujuk dengan menyuapi si istri kedua Evan itu.Kiandra menggeleng. Perempuan itu duduk, memperhatikan wajah Lidia sesaat, kemudian mengambil kesimpulan. Pasti, Lidia belum tahu berita baru soal dirinya, karenanya masih bersikap baik begini.Menarik napas, Kia berujar, "Aku hamil, Lid."Sendok di tangan Lidia jatuh ke piring. Perempuan itu terlihat melebarkan mata, wajahnya menggambarkan keterkejutan yang teramat.Ini berita yang memang Lidia tunggu. Ia dan Evan memang mendambakan berita ini sejak lama. Maka, perempuan itu pun langsung memeluk Kiandra."Akhirnya. Akhirnya kamu hamil juga."
"Kamu masih yakin kalau ini anakmu?"Pada pertanyaan yang entah sudah berapa ratus kali itu, Evan hanya bisa mengembuskan napas kasar lewat mulut. Sendok berisi bubur ia taruh, sekaligus dengan mangkuknya.Pada Kiandra yang menjadikan kepala ranjang sebagai sandaran, pria itu menatap tajam. "Kata dokter, usia kandungan kamu 4 minggu. Enggak cocok sama kapan kamu mulai kabur sama Damar."Evan ingin sekali mengguncang kepala Kia yang sekarang malah menampilkan wajah cemberut. Sebenarnya, apa mau perempuan itu?"Anggap aku udah hamil duluan, sebelum kabur sama Damar. Kamu yakin aku enggak berhubungan sama dia?"Kan. Evan tak tahan. Laki-laki itu memalingkan wajah, memijat pangkal hidungnya. "Kamu pernah tidur sama Damar?" tanyanya langsung.Dan seperti yang sudah-sudah, Kiandra tak akan menjawab dengan kalimat jelas. Perempuan itu hanya akan menangis dan menunduk dalam-dalam.
Hari ini akan selalu Kiandra ingat seumur hidup. Hari ulang tahun paling suram yang ia miliki.Tadi, ada perayaan kecil-kecilan. Tanpa sepengetahuannya dan semua orang di rumah ini, Dina datang. Tidak seorang diri, melainkan bersama Andra, Siska, orang tua Kia, juga keluarga Rina dan Nando.Ada acara tiup lilin, potong kue dan pemberian kado. Setelahnya, mereka makan siang bersama. Lalu Evan memberi pengumuman soal kehamilan.Semua orang tampak senang. Terutama Dina. Orang tua Kia juga terlihat bahagia. Kiandra berduka sebab fakta yang ia dengar dari Rina dan Nando.Evan memang menagih utang itu. Tiga puluh juta, Evan minta dibayarkan segera. Itu karena sang suami melihat Toni bersama dengan perempuan lain."Si Toni itu coba-coba selingkuh, Kak. Untung ditagih Bang Evan pas di depan selingkuhannya. Dia malu dan ngaku."Begitu pengakuan Rina tadi siang. Pengakuan yang berhasil membuat Kiandra semakin kehila
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap