Ryan menepikan mobilnya agar tak mengganggu pengguna jalan lain. Dia lantas menatap Lisa yang kini menunduk. “Apakah rasa cinta membutakan pandangan matamu, Lisa? Bajingan itu sudah menghancurkan hidupmu, tetapi kamu masih memiliki rasa kasihan? Bagaimana denganku?”“Aku memperjuangkanmu, karena aku sayang padamu. Tapi, apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu bukan sudah menghancurkan perjuanganku,” ungkap Ryan dengan air mata yang menetes. “Aku kecewa padamu, Lisa.”Lisa menoleh. Jelas sekali tatapan kekecewaan Ryan. Memang semua yang diucapkan Ryan benar. Dia sendiri pun tak bisa memahami isi pikirannya. Hanya karena kasihan dan menyadari Jason menyesal, dia melupakan semuanya. Lisa melupakan orang yang sudah berjuang untuknya.“Maaf, Ryan. Aku sudah di luar batas. Sungguh, aku tak bermaksud membuatmu kecewa. Sungguh, aku menyesal ... tolong maafkan aku,” ucap Lisa tulus. Air mata kesungguhannya menetes.“Kamu yakin menyesal?” tanya Ryan memastikan dan langsung dijawab anggukan Lisa.
Jason panik setengah mati, tetapi mencoba untuk tenang. Dia pasti menemukan petunjuk tentang keberadaan Lisa. Hingga dia teringat dengan panti asuhan tempat Lisa dulu tinggal.Selama dalam perjalanan, Jason menghubungi Alex untuk membantunya mencari apartemen tempat Lisa tinggal dan semua informasi tentang Ryan. Jason yakin sekali, lelaki yang membawa Lisa pergi. Hatinya berdebar kencang tak karuan saat memarkirkan kendaraannya di halaman panti asuhan.Dia ingat sekali, beberapa kali mengunjungi panti asuhan dan beberapa pertemuan dengan Lisa. Sejujurnya saat dulu Jason mengagumi Lisa yang selalu terlihat ceria dan menghibur anak-anak kecil di panti asuhan itu. Namun, rasa kagum itu menghilang saat tahu gadis itu menggantikan Tina di hari pernikahannya. Jason justru melampiaskan sakit hatinya pada Lisa dan alasan cacat menjadi satu-satunya alasan untuk membenci gadis tak bersalah itu. Semua kesalahannya bermunculan, merangkai menjadi penyesalan yang semakin besar. Dia berharap Lisa b
Saat Nania pingsan setelah mengetahui penyakit Lisa. Jantungnya mengalami syok dan mengharuskan untuk dirawat. Mike sebagai suaminya langsung dihubungi tentang kondisi Nania. Dia pun datang bersama Tina.Nania menolak. Tina dan Mike membujuk dengan cemas dan mengingatkan akan kesehatannya. Hingga Nania memaksa untuk keluar dari rumah sakit tanpa mempedulikan kesehatannya.Tentu saja Tina dan Mike cemas. Sejujurnya Tina benar-benar menyayangi Nania. Dia menganggap Nania seperti ibu kandungnya.Namun perasaan itu membuat Tina serakah dan ingin menggantikan posisi Lisa. Hingga semua yang berkaitan dengan Lisa, dia ingin memilikinya. Tentu saja dia marah jika saat ini Nania menginkan putri sesungguhnya lagi.“Aku sangat mengkhawatirkan kesehatanmu, Bu. Dan aku tak mencoba membuatmu membenci Lisa, tapi memang kenyataannya dia sudah menghancurkan hidupmu,” ucap Tina tanpa merasa bersalah.“Tina, jaga bicaramu!” Jason memekik keras.Tentu saja dia tak sependapat dengan Tina. Tiba-tiba saja t
Setiap hari, sepulang bekerja Jason menempatkan diri bermain dengan anak-anak panti asuhan. Dia selalu membawakan banyak makanan untuk mereka. Jason menyibukkan diri agar menjadi lebih berguna seraya berharap akan menemukan Lisa di sana.Alex yang selama ini membantunya mencari keberadaan Lisa, hanya bisa diam dan tak berani protes. Dia sadar jika Jason sangat menyukai Lisa dan dalam hatinya Alex merasa bersalah. Tentu saja, selama ini dia yang membuat hubungan Jason dan Lisa semakin renggang.Lelaki itu bahkan memblokir nomor Tina, setelah tahu semua kebohongan wanita itu. Alex pun semakin bersalah karena salah mengira. Namun, dia tak sepenuhnya salah. Tina lah yang patut disalahkan.“Mau apa kamu menemuiku?” tanya ALex hampir terkejut saat Tina muncul di depan parkiran mobilnya.“Alex, ada apa denganmu, kenapa kamu menghindariku dan memblokir nomorku? Jika ada yang salah denganku, katakan saja! Jangan membuatku bingung,” jawab Tina dengan wajah murung, menunjukkan semua kesedihannya
“Saat itu aku diminta oleh Ibu untuk mengambil alat bantu dengar milik Lisa dan kalungnya yang ketinggalan di tempat kerja,” ujar Tina menjelaskan dengan gaya khasnya yang meyakinkan.Tina berbicara dengan nada yang sarat manipulasi. Dia menatap Alex tanpa berkedip, seolah memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya menancap di benak pria itu.Wanita itu sudah biasa berbohong, sehingga sulit untuk membedakan apakah dia berkata jujur atau bohong. Alex hanya bisa mengerutkan dahinya. Namun, dia memilih bersabar dengan perasaan menahan amarah dan menunggu Lisa menyelesaikan penjelasan bohongnya.“Sejak dulu, Lisa selalu mabuk, dan aku selalu diminta menjaganya. Aku sudah tak tahan dengan ulahnya,” lanjut Tina, dengan ekspresi yang tampak penuh luka. Akan tetapi, Alex tak mudah terpengaruh. Kata-kata Tina mengalir lancar, seperti seorang artis yang berlatih adegan ini berkali-kali di dalam pikirannya. Alex mengerutkan dahi, memandang Tina dengan skeptis. "Itu saja alasanmu? Kenapa c
Bukan hanya Jason yang setiap hari ke panti asuhan, Nania pun rutin berkunjung dan ikut berbaur bersama anak-anak kecil di sana. Clark benar-benar berhasil menyadarkannya. Walaupun penyesalannya terlambat, Nania tak pernah hilang rasa harap.Setiap hari Nania selalu berdoa demi kesehatan Lisa setelah membawa makanan dan menemani makan anak-anak panti asuhan. “Oh, Tuhanku. Aku adalah ibu yang buruk, tetapi tolong jangan hukum aku! Berikan kesempatan padaku untuk bertaubat dan pertemukan aku dengan putriku agar aku bisa meminta maaf padanya. Sehatkanlah Lisa dan ambillah sisa hidupku untuknya agar putriku bisa berumur panjang.”Maria tersenyum senang melihat perubahan Nania. Dia selalu melihat Nania menangis dan berdoa dengan tulus di sana. Tiba-tiba Maria salah tingkah saat wanita itu berbalik.“Ah, maaf. Aku tak bermaksud mengganggu waktumu berdoa,” ucap Maria sungkan.“Jangan seperti itu! Aku sama sekali tak merasa terganggu, Maria.” Nania membalas dengan ramah.Maria pun menganggu
Jason pulang dengan perasaan sedih. Dia sepertinya harus menyerah pada Lisa. Namun, untuk berbuat baik pada anak anak panti asuhan akan tetap ia lakukan.Dia berharap ucapan Maria benar, Ryan bisa membahagiaan Lisa dan tak menyakiti hatinya. Setidaknya melihat Lisa bahagia sudah sangat cukup untuknya, walaupun bukan Jason yang membahagiakannya. Jason berharap Ryan bisa mengobati luka di hati Lisa yang disebabkan olehnya.Renungan Jason terhenti saat mobilnya mendekati villa tempatnya tinggal. Dia melihat mobil milik Tina terparkir di sana. Napasnya langsung berubah malas.“Mau apa lagi wanita itu menemuiku?” dengusnya kesal.Jason mencoba mengabaikannya. Dia langsung membawa mobilnya masuk ke parkiran villa. Bahkan Jason tak peduli melihat Tina mengejar dan memanggil namanya.Sayangnya, wanita itu sangat gigih sekali. Dia berhasil mendekati Jason setelah turun dari mobil. Tina langsung memasang wajah sedih dan bersalah.“Jason, apakah sesulit itu memaafkanku?” tanya Tina diikuti tetes
Tina mencoba mengendalikan napasnya yang memburu. Wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya membeku di sudut kursi mobilnya. Kehadiran Raymond seperti bayangan gelap yang menghantui. Dulu Raymond adalah kekasihnya Tina saat dia masih berpacaran dengan Jason. Raymond berjanji akan membuatnya menjadi seorang model dan Tina tergiur. Ternyata lelaki itu hanyalah pembohong besar dan membuat hidupnya kesulitan. Susah payah Tina menjauh darinya, kini Raymond hadir."Hancurkan hidupmu?" Raymond tertawa pelan, tapi penuh kebengisan. “Oh, sayang, aku rasa kau yang menghancurkan hidupku lebih dulu.”Wanita cantik itu menelan ludah, tenggorokannya kering seperti padang pasir. Dia tahu Raymond berbahaya, seperti ular berbisa yang mengintai mangsanya. Namun, dia harus bertahan, harus melawan, meskipun hanya dengan sisa-sisa keberaniannya."Pergi, Raymond. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi!" serunya, suaranya nyaris pecah. Raymond mengabaikan peringatan itu, malah semakin mendekat. Dia mencondongkan
Sean pun bersedia memaafkan Ryan. Kemudian mereka langsung pulang ke apartemen milik Ryan. Sebuah penthouse yang disiapkan untuk tinggal dengan Lisa dan Sean.Bahkan Ryan sudah mendekorasi kamar Sean dengan karakter kartun kesukaannya. Tentu saja Sean sangat menyukainya dan perlahan rasa marahnya menghilang.“Kamu suka dengan kamarmu?” tanya Ryan.“Tentu saja, Ayah. Ini sangat luar biasa,” jawab Sean antusias.Dia berjingkrak girang. Lisa yang melihat wajah ceria Sean, langsung tersenyum senang. Kebahagiaan Sean adalah segalanya untuknya.“Terima kasih, Ryan,” ucap Lisa tulus.“Sama-sama, Lisa,” balas Ryan langsung. “Biarkan Se
“Jangan cemas, Bibi! Aku pasti bisa mengatasi ini semua,” ucap Ryan meyakinkan. “Percayakan semuanya padaku!”Maria hanya menatapnya cemas. Namun, dia hanya mengangguk dan menepuk pundak Ryan seraya berkata. “Semoga saja kami masih tahu batasannya dan bisa menghargai semua ini, Nak. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”“Amin. Terima kasih, Bibi.” Ryan berkata tulus.Kemudian dia bangkit. “Aku akan menemui Lisa dan Sean, meminta maaf. Mereka pasti ketakutan karena ulahku tadi,” ucapnya dengan wajah sesal.Sementara telinga Lisa sudah lebih baik, tetapi tatapan cemas Nania dan Sean belum mereda. Melihat perhatian Nania, Lisa benar-benar tersentuh. Ibunya kembali seperti dulu, penuh cinta dengan tatapannya.
Ryan terkejut. Dia akhirnya sadar sudah membuat keributan karena rasa takutnya yang berlebihan. Wajahnya panik dan bingung.“Ryan, apa yang kamu lakukan?” Maria muncul dengan tatapan tak percaya.“Maaf, aku lepas kontrol,” ucap Ryan menyesali tindakannya.Kemudian Maria menoleh pada Lisa yang masih memegangi telinganya. Lisa mengeluarkan alat bantu dengarnya, berhadap bunyi dengungnya menghilang. Sedikit lebih baik.“Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanya Nania panik muncul di belakang tubuhnya.Lisa hanya mengangguk. Maria meminta Nania dan Sean untuk membawa Lisa ke dalam. Dia lantas menatap Ryan yang masih terdiam dengan raut wajah bersalah.“Ada apa denganmu, Ryan? Kenapa kamu menjadi arogan dan emosional?” tanya Maria dengan tatapan marah. Ryan menunduk. Bibirnya bergetar dan air mata penyesalannya mengalir deras. “Aku ... aku tak tahu, Bibi Maria. Tiba-tiba saja aku merasa sangat takut, hingga tak bisa mengendalikan diriku,” jawabnya jujur.Maria menoleh ke belakang. Lisa sudah tak
“Terima kasih atas informasinya.”Jason berkata seraya menyerahkan ponsel tersebut. Tentu saja Tina terkejut, Jason tak menunjukkan rasa tertarik. Padahal sebelumnya, pria beraang tegas itu bereaksi sangat terkejut.“Kamu bisa pergi dan tak perlu lagi ke sini,” ucap Jason lagi seraya melirik pintu gerbang yang terbuka.“Apa? Kamu mengusirku?” tanya Tina dengan wajah syok. “Aku memberikanmu informasi yang sangat penting dan kamu hanya mengatakan terima kasih. Yang benar saja?”“Lalu kamu mau aku harus bertindak seperti apa?” Tina berdecak seraya mengusap rambutnya. Jason benar-benar berbeda dan ini tak sesuai dengan harapannya. “Kita bisa bekerja sama menangkap pelakunya, Jason,” katanya mencoba kembali tenang.“Tidak perlu, Tina! Aku bisa menangani masalahku sendiri. Kamu urus saja masalahmu,” jawab Jason langsung, tanpa ragu. “Aku tak ingin terlibat dengan hidupmu lagi.”Tanpa menunggu reaksi dari Tina, Jason langsung menarik handle pintu dan segera masuk. Dia meninggalkan Tina tanp
“Paman baik!” Suara anak lelaki memanggil Jason dan langsung membuatnya menolah. Dia adalah salah satu anak panti asuhan yang sering bermain dengan Jason. “Paman kembali lagi? Ayo kita main lagi,” ajaknya.“Oh, maaf, Sayang. Aku harus segera pergi. Aku kembali untuk memberikan ini.” Jason berkata seraya memberikan dua box donat yang masih dipegangnya.Jason sangat dekat sekali dengan mereka. Anak itu pun tersenyum girang menerima pemeriannya. “Bagikan dengan teman-temanmu yang adil, ya!” pesannya.“Terima kasih, Paman baik,” jawabnya girang.Jason mengangguk tersenyum pada anak tersebut sebelum dia kembali masuk ke dalam. Sejujurnya dia penasaran dengan anaknya Lisa, tetapi ini bukan waktu yang tepat, menurutnya. Dia cemas jika Ryan akan bangun dan akan menimbulkan kesalahpahaman dengan Lisa.Setidaknya Jason sudah cukup tenang dan lega melihat Lisa jauh lebih baik. Ya, Jason bisa melihat Lisa kini banyak tersenyum, tak lagi banyak diam dan murung seperti dulu.Lebih baik dia bergega
“Aku tahu, kalau penyesalanku ini terlambat. Sudah terlalu banyak luka yang kuberikan padamu, Lisa. Mungkin saja aku tak pantas untuk mendapatkan maaf darimu,” ucap Nania dengan air mata yang mengalir deras.Dia sungguh menunjukkan rasa penyesalan yang paling dalamnya. “Tapi, aku harap kamu mau memaafkanku, Lisa,” katanya lagi.“Setiap hari aku selalu berdoa agar Tuhan memberikanku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku dan menebus dosaku padamu. Aku menunggumu di sini dan aku berharap Tuhan mengabulkan doaku.” Suara Nania penuh harap dan ketulusan.Lisa terdiam. Dia melihat kesungguhan ibunya, hingga air matanya pun ikut menetes. Namun, ia merasa bingung harus bagaimana.“Ibu, dia siapa?” Sean bertanya seraya menarik lengannya dan langsung mengalihkan fokusnya.Sebelum Lisa menjawab, Nania sudah bertanya. “Lisa apakah dia?” Namun, Nania langsung terdiam. Dia menahan rasa penasarannya. Sadar, Lisa belum memberikan jawabannya. Nania menunduk, tak berani menebak jawaban Lisa. Air ma
“Ada apa, Ryan? Sepertinya kamu mencemaskan sesuatu?” Pertanyaan Lisa langsung menyadarkan Ryan dari rasa cemasnya. Tampaknya dia terlalu berlebihan memikirkan rasa takutnya. Dia lantas tersenyum mencoba mencoba terlihat tenang.“Tidak ada. Mungkin aku merasa lelah saja. Sudah lama ku tak melakukan perjalan jauh,” jawab Ryan berbohong.“Oh, aku kira kamu sedang menghadapi masalah serius,” kata Lisa terdengar lega. “Kalau begitu, istirahatlah dulu. Perjalanan kita masih jauh, cukup untukmu beristirahat.”Ryan tertegun sejenak. Dia menatap Sean yang masih tertidur pulas dalam pangkuan Lisa. “Jangan cemaskan aku dan Sean. Kamu juga perlu beristirahat,” kata Lisa lagi memastikan.“Tapi, bagaimana denganmu?” tanya Ryan menjadi cemas dan sungkan.“Aku baik-baik saja, Ryan!” jawab Lisa langsung.Sejujurnya, Ryan ingin protes. Namun, dia memilih menyandarkan tubuhnya dan pura-pura tertidur. Dengan begini, dia bisa menenangkan diri dan memikirkan apa yang harus dilakukannya selanjutnya.Yang
Handphone milik Raymond berdering. Hampir saja Tina berteriak dan menjatuhkan karena terkejut. Matanya menyipit melihat nama pemanggil di sana.Hanya sebuah inisial saja. Tampaknya Raymond tetap menjaga rahasia tersebut. Itu adalah nomor yang memberinya perintah. Jantung Tina berdebar semakin cepat, dia bahkan lupa jika tujuannya hendak membuang tubuh Raymond.“Aku harus mencari tahu siapa yang menelpon Raymond dan yang memberinya perintah.”Tina lantas menjawab panggilan telepon itu. Namun, Tina tak bersuara. Dia menunggu si penelepon bersuara agar bisa menebak siapa pelakunya.Sayangnya hingga 30 detik berlalu, tak ada suara dari seberang sana. Tina menyimpulkan jika si penelepon tahu kalau ponsel itu tak lagi di tangan Raymond. Dia pasti sangat berhati-hati, pikir Tina yakin.Panggilan telepon berakhir. Tina tertegun dan terdiam dengan pikiran banyak tanya. Kemudian handphone itu berbunyi lagi, pesan masuk.Segera saja Tina membuka dan membacanya. “Siapa kamu? Bagaimana handphone i
“Apa maksudmu?” tanya Tina pura-pura tak mengerti.Raymond tersenyum sinis. Dia lantas melirik gelas berisi jus di tangannya. Tina pun menghela napas panjang dengan wajah seolah mengerti isi pikiran lelaki di hadapannya.“Kamu pikir, aku menaruh racun pada minumanmu?” “Siapa yang tahu?”Tina lantas meraih gelas di tangan Raymond. Dia lantas meminumnya tanpa jeda dan tak menyisakan sedikit pun. Kemudian Tina menunjukkan gelas kosongnya, seolah membuktikan dirinya tak seperti yang dituduhkan.“Puas?” tanyanya sengaja memasang wajah kesal.Raymond tercengang. Tentu saja itu adalah rencana Tina. Wanita itu tahu, Raymond tak bisa langsung ditipu.“Apa yang ada dalam pikiranmu, Ray? Kamu masih meragukanku? Padahal selama ini aku menurut padamu, walaupun kamu memperbudakku,” ucap Tina lagi dengan wajah kesal.“Maaf, Tina. Aku tak bermaksud,” sahut Raymond dengan wajah penuh sesal.Reaksi Raymond saat ini pun sudah Tina duga. Dalam hati, dia bersorak riang. Tina sudah hafal benar bagaimana ta