Jason terbangun dengan sakit kepala yang tak tertahankan. Sepulang dari tempatnya Lisa, dia dirundung perasaan bersalah. Sadar sudah membuat Lisa kecewa.Pasti Lisa semakin membencinya. Jason terbakar emosi dan termakan hasutan Tina. Semalaman dia menangis menyesali perbuatannya merenggut kesucian Lisa secara paksa.Terbayang jelas wajah kesakitan Lisa. Dia merasa seperti orang egois dan paling kejam. Bagaimana harus menatap Lisa dan meminta maaf.“Lisa pasti sangat membenciku dan tak akan pernah memaafkanku.”Air mata penyesalan Jason menetes. Sakit kepala yang begitu keras, pengaruh alkohol dan tak bisa tidur, masih bisa ditahan. Namun, perasaan marah pada dirinya sendiri lebih mendominasi.Jason memaksa dirinya untuk bangkit dan bergegas menuju kamar mandi di ruangan kerjanya. Setelah Lisa pergi dari villa, ruangan kerjanya menjadi kamar sekaligus tempat tinggal. Dia tak suka villa-nya menjadi sunyi dan semua kenangan tentang Lisa akan muncul, menambah perasaan bersalah.Setidaknya
“Apakah itu penting?” tanya Olivia seraya meletakan sendok dan garpu. Olivia menatap serius dan penuh tanya. Jason mengangguk, tetapi wajahnya mencoba untuk santai. Dia tak ingin menunjukkan pada kedua orang tuanya, jika kini dirinya sudah peduli pada Lisa. “Baiklah jika kamu memang penasaran. Aku akan menceritakannya,” kata Olivia.Jason tersenyum tipis. Akan tetapi jauh di dalam hatinya, dia menyiapkan diri agar tak terkejut. Olivia menoleh pada suaminya, meminta persetujuan dari Christian.“Tidak apa-apa. Ceritakan saja semuanya, jangan ditutupi! Mungkin Jason merasa terhina karena kamu memilih wanita cacat itu,” kata Christian tanpa rasa bersalah.Tubuh Jason terasa memanas, kedua orang tuanya sama sekali tak pernah menghargai Lisa. Namun, dia tetap mencoba tenang dan menatap wajah ibunya. “Kamu ingat acara amal bersama anak-anak panti asuhan yang diadakan di salah satu pantai, lima tahun lalu?” tanya Oliver langsung. “Tentu saja. Di acara itu aku hampir mati karena tenggelam,”
Lisa menyeka air matanya, menunjukan keberanian dan rasa sakit yang selama ini ditahannya. Nania mengalihkan pandangannya dari Lisa. Dia seolah enggan melihat rasa sakit pada putrinya atau memang tak mau peduli.“Kamu masih berpikir kalau aku penyebab kecelakaan itu? Itukan yang selalu kamu tuduhkan padaku, Bu?” tanya Lisa menahan rasa sesak dalam dadanya.Nania hanya berdehem tak jelas. “Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan! Aku datang ke sini untuk memberi peringatan padamu, jangan membuat masalah dan membuat malu nama baik keluarga.”“Kalau begitu dengarkan penjelasanku! Setelah itu kamu akan tahu siapa yang salah,” jawab Lisa memekik.“Kamu! Berani sekali meninggikan suaramu padaku,”“Kenapa? Ibu pikir akan terus berdiam diri diperlakukan tidak adil?”Lisa berkata dengan tatapan marah. Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua rasa sakit hatinya. Entah Nania akan mendengarnya atau tidak.“Ibu menginginkan aku untuk mati, benar?” tanya Lisa mencibir. “Tenan
Hati Nania sudah mati untuk Lisa. Dia sama sekali tak merasa bersalah sudah membuat anak perempuannya menangis. Setelah Lisa keluar dari mobilnya dia langsung meninggalkannya dan menoleh.“Dia pikir aku tak akan tega mengeluarkannya dari daftar keluarga? Kita lihat saja apa yang akan terjadi denganmu? Apa kamu bisa hidup tanpa nama keluarga Anderson?” ujar Nania kesal.Pendingin udara dalam mobilnya tak mampu mendinginkan suasana panas hatinya dan dadanya terasa sesak. Nania menurunkan kaca mobil sampingnya, membiarkan udara musim semi masuk. Dengan begitu dia bisa menghirup oksigen untuk melegakan dadanya.Sejujurnya ada satu perasaan yang mengganggunya. Nania melihat isi tas Lisa yang tumpah karena ulahnya. Botol obat berukuran sedang dan isinya sangat penuh sekali.Nania ingat sekali setelah kecelakaan 10 tahun lalu saat dokter tak mampu membuat Lisa agar tak tuli. Dokter mengatakan operasi itu hanya untuk membantu agar organ lain tak ikut rusak akibat kecelakaannya, tetapi tidak b
“Tentu, Clark! Aku akan menghubungimu nanti,” ucap Nania diakhiri senyuman tipis, menutupi rasa panik dan cemasnya.Clark tersenyum puas dengan jawaban Nania. Sementara hati Tina terbakar. Dia tak suka ada yang peduli dengan Lisa.“Ngomong-ngomong, sedang apa kamu di sini?” tanya Clark semakin membuat Nania semakinpanik.Tangan Nania langsung membalikkan map di atas meja. Clark tak boleh melihatnya. Dia berpikir cepat mencari alasan yang tepat agar Clark tak curiga.“A-aku ….” Nania gagap seraya mengedarkan pandangannya, hingga dia menoleh pada Tina dan seolah menemukan alasannya.“Aku mengantar Tina. Dia seorang model dan ada janji produser dengan seorang di sini,” jawab Nania seraya menunjuk putri sambungnya.Tina terbelalak. Namun, Nania memberi isyarat agar dia tetap diam dan tak melakukan apa pun. Clark terlihat bingung dengan jawaban Nania.Dia bahkan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Seorang model bertemu produser di kawasan ini?” tanyanya terdengar ragu.Tentu saja, sia
Nania benar-benar pulang. Dia tak peduli dengan Tina yang kesal karena Lisa tak jadi dikeluarkan dari daftar keluarga. Bahkan Nania terus fokus pada ponselnya.“Kenapa nomornya tidak aktif?” keluh Nania setelah beberapa kali tak bisa menghubungi Lisa. “Apa dia memblokir nomorku?” “Apa-apaan ini? Dia berani memblokir nomor ibunya?” Nania terus mengoceh kesal.Tina tak bisa lagi menahan dirinya. Dia pun bertanya. “Apa yang terjadi, Bu? Kenapa kamu terlihat panik dan ketakutan? Kamu juga membatalkan semua rencana. Setidaknya berikan penjelasan agar aku tidak bingung!” Nania pun langsung menoleh dengan tatapan marah. Dia sedang kesal karena tak bisa menghubungi Lisa, tetapi Tina memasang wajah protes. “Apa kamu tidak bisa diam dulu, hah?”Tentu saja Tina tersentak. Ini sudah kesekian kalinya Nania membentaknya. Dia semakin kesal.“Kenapa kamu meluapkan kemarahanmu padaku, Mom? Aku hanya bertanya baik-baik agar aku tak kebingungan. Kamu merubah rencana secara tiba-tiba,” kata Tina tak ma
Jason bukannya tak mau berjuang. Namun, dia sadar sudah terlalu banyak membuat luka untuk Lisa. Membiarkan Lisa bahagia dengan orang lain adalah cara untuk mengurangi rasa bersalahnya.Dia membatasi semuanya, dan lebih suka menyendiri. Tetap tinggal di kantornya dan dijadikan rumah kedua, hingga Alex mendatanginya. Merasa cemas akan kondisi sepupunya.Namun, ada yang berbeda dengan Alex saat ini. Hingga Jason merasa heran dengan kehadirannya. Biasanya, Alex akan selalu mengoceh dan protes karena dia mengabaikan Tina. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat berbeda? Biasanya kamu selalu mengoceh tentang Tina dan terus mengatur pertemuanku dengan wanita itu,” ucap Jason heran. “Apa kamu sedang ada masalah?” tanyanya lagi.“Tidak ada. Aku baik-baik saja,” jawab Alex memaksakan senyuman.Tentunya Jason tahu kalau Alex sedang menyembunyikan sesuatu. Sepertinya Alex memang sedang dalam masalah. Dia pun mendekat dan menepuk pundak sepupunya. “Ceritakan saja! Bukankah selama ini kita selalu berbagi c
Tina dapat merasakan tatapan keraguan Alex padanya. Dia sadar jika Alex sedang mengujinya. Kemudian Tina menghela napas panjang dan menunjukkan wajah sedih.Dia harus memiliki cara untuk mengalihkan keraguan Alex. Tina lantas berkata dengan tegas. “Maksudmu, kamu ragu jika orang yang menyelamatkan kamu dulu itu adalah aku?” “Kamu tahu, Alex. Aku mengorbankan nyawaku untuk menyelamatkanmu, lalu sekarang? Tiba-tiba kamu meragukanku? Apa ini?” Alex terkejut. Tina memasang wajah kecewa dan marah. Dia lantas bangkit dan pergi begitu saja.“Kenapa Alex tak mengejar dan membujukku?” Tina berkata dalam hati dengan wajah cemas.Namun, dia menahan dirinya untuk memutar atau melihat Alex. Biasanya Alex sudah seperti adiknya yang akan membujuk jika marah. Tina sengaja pura-pura marah berharap dibujuk.Hingga Tina sudah keluar dari kafe, Alex tetap tak mengejarnya. Dia menoleh ke dalam, Alex masih dan sedang berbincang dengan ponselnya. “Apa sebenarnya yang sedang dicari tahu oleh Alex? Kenapa
Lisa memasuki kamar Ryan, tetapi isinya sangat rapi. Tak ada yang mencurigakan di sana, hingga dia menghela napas berat.“Apa yang kamu pikirkan, Lisa? Kamu mencurigai Ryan, orang yang menolongmu dengan tulus,” katanya pada diri sendiri seolah menegur tindakannya adalah salah.Kemudian Lisa memutuskan untuk berbalik. Akan tetapi saat dia hendak melangkah, tatapannya tertuju pada tempat sampah di sudut ruangan. Banyak sekali gulungan kertas kusut.Rasa penasaran dan curiganya membuat Lisa menghampirinya. Dia mengambil beberapa kertas yang tampaknya diremas sebelum dibuang. Sangat kusut sekali saat Lisa mencoba membukanya.“Hanya data-data yang tak kumengerti,” gumamnya berat.Tatapan Lisa kembali tertuju pada tempat sampah tadi. Di paling bawah seperti sobekan kertas foto. Lisa menoleh sejenak ke arah pintu, cemas jika Ryan tiba-tiba saja pulang.Namun, tak ada tanda Ryan akan segera pulang. Dia pun mengambil sobekan kertas itu dan menyusunnya, seolah itu adalah kepingan puzzle. Kedua
Setelah Gabriel berpamitan, Lisa terlihat kebingungan. Tak mungkin Gabriel berbohong, tetapi kenapa Ryan berbohong. Rasanya kepalanya berdenyut keras memikirkan hal itu.“Nanti aku coba tanyakan pada Ryan.”Lisa hampir lupa jika tujuannya untuk ke toilet. Namun, hal tadi sangat mengganggunya. Dia pun membasuh wajahnya agar lebih tenang dan wajahnya sedikit lebih segar.Tidak mungkin juga Lisa menanyakan langsung tentang hal tersebut. Itu bisa membuat Ryan salah paham dan mengira dirinya masih memikirkan Jason. Kepala Lisa berdenyut lagi.Dia pun segera mengeringkan wajahnya dengan tisu. “Lupakan! Ibuku dan Sean pasti sudah menungguku,” ucapnya.Setelah mematikan penampilannya terlihat baik, Lisa langsung bergegas kembali. Benar saja, Nania dan Sean menunggunya. Lisa tersenyum tipis dengan raut wajah bersalah.“Hampir saja aku akan menyusulmu,” kata Nania saat Lisa duduk di sebelahnya. “Eskrimku juga hampir mencair karena menunggumu, Bu,” Sean berkata dengan raut wajah merajuk. “Maaf
Hari ini Lisa benar-benar menikmati harinya bersama Sean dan Nania. Mereka menikmati beberapa wahana permainan menyenangkan. Hidup Lisa kini terasa berwarna, seolah menemukan kebahagiaan yang sudah lama hilang.Nania bahkan tak sungkan merangkul dan menggenggam tangannya. Ketiganya seolah tak merasa lelah, apa lagi melihat tawa riang Sean yang selalu menggemaskan. Hingga akhirnya Nania menunjukkan rasa lelahnya.“Sepertinya aku sudah tua. Kita istirahat sebentar, ya,” pinta Nania dengan napas tersengal, tetapi senyumannya terus mengukir.Sean ingin protes, tetapi melihat wajah neneknya yang benar-benar kelelahan, dia pun akhirnya memutuskan untuk menurut. Kemudian Lisa menawarkan mereka untuk beristirahat di salah satu restoran. Mereka perlu minuman segar untuk mengurangi rasa lelah dan mengisi tenaga.“Kamu mau pesan apa, Sayang?” tanya Lisa seraya menunjukkan daftar menu pada Sean.“Eskrim ini sepertinya enak,” jawabnya menunjuk gambar eskrim yang menggugah seleranya.Lisa pun menga
Tim penyelam anak buahnya Ryan berhasil menemukan mobil Raymond berada jauh di dasar danau. Dengan bantuan alat berat berhasil diangkat. Betapa terkejutnya mereka saat menemukan kondisi tubuh Raymond yang sudah hampir tak bisa dikenali masih terikat di bangku mobil.Langsung saja mereka memberikan laporan pada Ryan. Tentu saja Ryan panik dan terkejut, bahkan kepalanya terasa berdenyut keras. Sesekali dia menatap ke arah pintu, memastikan Lisa tak menguping pembicaraan di telepon.“Apakah kalian bersama polisi?” tanyanya.“Tidak, Tuan. Kami menunggu perintahmu,” jawab anak buahnya.“Bagus. Jangan sampai polisi terlibat karena hanya akan memperkeruh suasana,” jawab Ryan diakhiri embusan napas lega. Dia memaksa akal dan pikirannya bekerja dengan keras untuk menemukan solusi.“Tuan. Sepertinya Raymond sengaja dibunuh. Sabuk keselamatannya tak bisa dibuka dan kemungkinan besar kuncinya terdapat lem. Tak ada yang hilang dari mobilnya, kecuali ponselnya,” kata anak buahnya lagi.Ryan menghel
Sean pun bersedia memaafkan Ryan. Kemudian mereka langsung pulang ke apartemen milik Ryan. Sebuah penthouse yang disiapkan untuk tinggal dengan Lisa dan Sean.Bahkan Ryan sudah mendekorasi kamar Sean dengan karakter kartun kesukaannya. Tentu saja Sean sangat menyukainya dan perlahan rasa marahnya menghilang.“Kamu suka dengan kamarmu?” tanya Ryan.“Tentu saja, Ayah. Ini sangat luar biasa,” jawab Sean antusias.Dia berjingkrak girang. Lisa yang melihat wajah ceria Sean, langsung tersenyum senang. Kebahagiaan Sean adalah segalanya untuknya.“Terima kasih, Ryan,” ucap Lisa tulus.“Sama-sama, Lisa,” balas Ryan langsung. “Biarkan Se
“Jangan cemas, Bibi! Aku pasti bisa mengatasi ini semua,” ucap Ryan meyakinkan. “Percayakan semuanya padaku!”Maria hanya menatapnya cemas. Namun, dia hanya mengangguk dan menepuk pundak Ryan seraya berkata. “Semoga saja kami masih tahu batasannya dan bisa menghargai semua ini, Nak. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”“Amin. Terima kasih, Bibi.” Ryan berkata tulus.Kemudian dia bangkit. “Aku akan menemui Lisa dan Sean, meminta maaf. Mereka pasti ketakutan karena ulahku tadi,” ucapnya dengan wajah sesal.Sementara telinga Lisa sudah lebih baik, tetapi tatapan cemas Nania dan Sean belum mereda. Melihat perhatian Nania, Lisa benar-benar tersentuh. Ibunya kembali seperti dulu, penuh cinta dengan tatapannya.
Ryan terkejut. Dia akhirnya sadar sudah membuat keributan karena rasa takutnya yang berlebihan. Wajahnya panik dan bingung.“Ryan, apa yang kamu lakukan?” Maria muncul dengan tatapan tak percaya.“Maaf, aku lepas kontrol,” ucap Ryan menyesali tindakannya.Kemudian Maria menoleh pada Lisa yang masih memegangi telinganya. Lisa mengeluarkan alat bantu dengarnya, berhadap bunyi dengungnya menghilang. Sedikit lebih baik.“Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanya Nania panik muncul di belakang tubuhnya.Lisa hanya mengangguk. Maria meminta Nania dan Sean untuk membawa Lisa ke dalam. Dia lantas menatap Ryan yang masih terdiam dengan raut wajah bersalah.“Ada apa denganmu, Ryan? Kenapa kamu menjadi arogan dan emosional?” tanya Maria dengan tatapan marah. Ryan menunduk. Bibirnya bergetar dan air mata penyesalannya mengalir deras. “Aku ... aku tak tahu, Bibi Maria. Tiba-tiba saja aku merasa sangat takut, hingga tak bisa mengendalikan diriku,” jawabnya jujur.Maria menoleh ke belakang. Lisa sudah tak
“Terima kasih atas informasinya.”Jason berkata seraya menyerahkan ponsel tersebut. Tentu saja Tina terkejut, Jason tak menunjukkan rasa tertarik. Padahal sebelumnya, pria beraang tegas itu bereaksi sangat terkejut.“Kamu bisa pergi dan tak perlu lagi ke sini,” ucap Jason lagi seraya melirik pintu gerbang yang terbuka.“Apa? Kamu mengusirku?” tanya Tina dengan wajah syok. “Aku memberikanmu informasi yang sangat penting dan kamu hanya mengatakan terima kasih. Yang benar saja?”“Lalu kamu mau aku harus bertindak seperti apa?” Tina berdecak seraya mengusap rambutnya. Jason benar-benar berbeda dan ini tak sesuai dengan harapannya. “Kita bisa bekerja sama menangkap pelakunya, Jason,” katanya mencoba kembali tenang.“Tidak perlu, Tina! Aku bisa menangani masalahku sendiri. Kamu urus saja masalahmu,” jawab Jason langsung, tanpa ragu. “Aku tak ingin terlibat dengan hidupmu lagi.”Tanpa menunggu reaksi dari Tina, Jason langsung menarik handle pintu dan segera masuk. Dia meninggalkan Tina tanp
“Paman baik!” Suara anak lelaki memanggil Jason dan langsung membuatnya menolah. Dia adalah salah satu anak panti asuhan yang sering bermain dengan Jason. “Paman kembali lagi? Ayo kita main lagi,” ajaknya.“Oh, maaf, Sayang. Aku harus segera pergi. Aku kembali untuk memberikan ini.” Jason berkata seraya memberikan dua box donat yang masih dipegangnya.Jason sangat dekat sekali dengan mereka. Anak itu pun tersenyum girang menerima pemeriannya. “Bagikan dengan teman-temanmu yang adil, ya!” pesannya.“Terima kasih, Paman baik,” jawabnya girang.Jason mengangguk tersenyum pada anak tersebut sebelum dia kembali masuk ke dalam. Sejujurnya dia penasaran dengan anaknya Lisa, tetapi ini bukan waktu yang tepat, menurutnya. Dia cemas jika Ryan akan bangun dan akan menimbulkan kesalahpahaman dengan Lisa.Setidaknya Jason sudah cukup tenang dan lega melihat Lisa jauh lebih baik. Ya, Jason bisa melihat Lisa kini banyak tersenyum, tak lagi banyak diam dan murung seperti dulu.Lebih baik dia bergega