Hari ini Mas Fandi memberitahu kalau ia pulang terlambat, karena mau melayat ke rumah temannya. Seperti itulah Mas Fandi, setiap terlambat selalu memberitahu, jadi aku tidak cemas menunggu kabarnya.
Aku seorang ibu dari dua anak, yang sudah beranjak remaja. Aku juga bekerja di sebuah kantor kecamatan, dan Mas Fandi merupakan pegawai di sebuah kantor pemerintah. Sesibuk apapun aku di kantor, aku selalu mengutamakan keluarga.
***
"Anis, temenin aku melayat ya?" kata Sandra teman sekantorku, pagi ini.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku.
"Teman SMA ku?"
"Sekarang melayatnya?" tanyaku lagi.
"Enggak, lebaran nanti! Ya sekarang!" kata Sandra.
Aku tertawa. Setelah izin dengan teman, kami langsung berangkat. Sepanjang perjalanan Sandra bercerita tentang temannya. Anton, temannya Sandra meninggal karena penyakit gagal ginjal. Sudah setahun ini rutin cuci darah. Memiliki dua anak laki-laki. Sekitar usia 15 dan 10 tahun. Istrinya memiliki toko sembako. Anton sebagai PNS di kantor pemerintahan.
Sesampai di rumah duka sudah banyak pelayat yang datang. Karangan bunga juga banyak berjejer. Tanpa sengaja, aku melihat mobil Mas Fandi. Aku berusaha mengedarkan pandangan mencari keberadaan mas Fandi. Tak terlihat dimana mas Fandi.
Sandra mengajak aku menemui istri Anton. Aku kaget, ternyata istri Anton itu bernama Leni yang pernah ketemu aku di rumah sakit. Leni juga tampak terkejut melihatku. Setelah mengucapkan bela sungkawa, kami keluar mencari tempat duduk.
Sandra bertemu dengan beberapa temannya. Aku ikut bergabung dengan mereka.
"Istrinya Anton pasti senang ya?" kata Ine teman Sandra.
"Kok bisa?" tanya Sandra.
"Anton sakit-sakitan malah istrinya selingkuh dengan mantan," sambung Citra teman Sandra yang lain. Aku hanya menjadi pendengar saja.
"Selingkuhannya datang nggak ya?" tanya Ine.
"Datang, aku tadi lihat kok. Mana ya?" kata Citra sambil mengedarkan pandangan.
"Itu, pakai kemeja putih, duduk dekat pintu masuk," kata Citra lagi. Kami semua menatap ke pintu.
Deg! Itu kan Mas Fandi. Sandra juga kaget, langsung menatap aku.
"Kenapa? Kenal ya?" kata Ine bertanya padaku.
"Kayaknya tetanggaku itu," jawabku berbohong sambil menata emosi. Aku menatap Sandra mengkode untuk ikut bersandiwara.
"Namanya Fandi, dia mantannya Leni. Leni ninggalin Fandi, karena Anton lebih kaya. Padahal sekarang Fandi sudah memiliki istri dan anak," kata Ine menjelaskan pada kami.
Aku sudah tidak kuat mendengar cerita Ine. Hatiku terasa nyeri, mataku mulai berembun. Sandra menatapku iba.
"Eh kami pulang dulu ya? Nggak enak kalau kelamaan ninggalin kantor," potong Sandra.
Kami berjalan menuju mobil Sandra.
Aku lihat mbak Sisi dan Ibu datang melayat, mereka kaget melihatku.
"Lho kamu kok kesini, kenal ya?" tanya ibu.
"Nemenin Sandra Bu," jawabku.
"Oh."
"Tuh Mas Fandi juga ada di sana," kataku sambil menunjuk ke arah Mas Fandi duduk. Secara bersamaan ternyata Mas Fandi melihatku dengan ekspresi yang terkejut. Mbak Sisi dan Ibu diam, sepertinya ada yang mereka sembunyikan.
"Ayo San," aku menarik tangan Sandra.
Di dalam mobil Sandra, aku menangis melepaskan sesak dan emosi yang dari tadi aku tahan.
"Menangislah biar kamu lega," kata Sandra.
"Maaf ya Nis, kalau aku tidak ngajak kamu tadi, kamu tidak akan tahu ini," kata Sandra lagi.
"Enggak apa-apa kok, dengan begini akhirnya ketahuan juga," jawabku.
"Jangan bertindak gegabah, ya? Selidiki dulu semuanya. Aku akan selalu ada untukmu kapanpun kamu butuh bantuanku." kata Sandra.
Aku mengangguk, sambil berusaha menghapus air mata. Jangan sampai orang di kantor tahu kalau aku habis menangis.
***
"Pa, kemarin melayat dimana? Di tempat lain atau di tempat Leni?" tanyaku pada Mas Fandi ketika pulang dari kantor.
"E..e kemarin gak jadi melayat. Banyak yang harus di selesaikan di kantor. Makanya pagi ini baru melayat," jawab Mas Fandi agak gugup.
"Kok nggak bilang sama Mama? Biasanya Papa tu apa-apa cerita sama Mama," tanyaku lagi.
"Maaf Papa lupa. Jangan marah ya sayang," kata Mas Fandi sambil mencium keningku.
Inilah yang membuat aku bucin. Ia pandai sekali membuat hati berbunga-bunga.
Aku mengangguk.
Drtt....drtt
Gawai Mas Fandi bergetar, sekilas kulihat nama Dani yang tertera di layar. Dani siapa ya? Perasaan Mas Fandi tidak punya teman yang bernama Dani.
"Halo?" Mas Fandi menerima panggilan di telepon
"..............."
"Iya, iya."
"..............."
Mas Fandi mengakhiri panggilan di telepon.
Setelah Magrib, Mas Fandi sudah kelihatan rapi.
"Mau kemana, Pa?" tanyaku.
"Mau takziah, Ma."
"Ke tempat Leni ya? Mama ikut ya?" Kataku sambil bergegas ganti baju.
"Tapi Ma, Papa berangkat sama Mirza dan Candra."
"Ya nggak apa-apa, Mama kan kenal sama mereka. Mereka pasti tidak akan keberatan."
"Nggak jadilah ma. Nggak enak sama mereka, mereka kan nggak bawa istri."
"Lho emang kenapa? Kan tujuannya mau takziah."
"Enggak usahlah sudah banyak orang juga yang takziah kesana." Mas Fandi menjawab dengan nada agak kesal. Apa yang kamu sembunyikan Mas?
Aku kembali ke kamar. Berganti pakaian lagi, samar-samar aku dengar Mas Fandi menelpon seseorang.
"Maaf ya, aku nggak jadi datang. Soalnya Anis mau ikut."
"................"
"Jangan marah, Sayang, nanti hilang cantiknya."
"..............."
"Iya...."
Sayang?! Mungkinkah Leni yang dipanggil sayang oleh Mas Fandi? Aku pura-pura sibuk dengan gawaiku, ketika Mas Fandi masuk ke kamar.
Malam ini aku terbangun, aku lihat jam, menunjukkan pukul satu dini hari. Aku menoleh ke samping, Mas Fandi tidak ada. Aku keluar kamar untuk mencari Mas Fandi. Samar-samar ku dengar suara di dapur. Dengan langkah pelan aku menuju dapur. Mas Fandi sedang melakukan video call dengan perempuan.
Aku kembali masuk ke kamar dan menangis. Tak lama kemudian Mas Fandi masuk ke kamar. Aku pura-pura tidur. Mas Fandi masih menatap gawainya. Akhirnya Mas Fandi terlelap. Segera aku mengambil hp Mas Fandi pelan-pelan. Aku tahu pasword hpnya. Ternyata belum diganti. Aku cari panggilan terakhir dengan seseorang bernama Dani Setelah kusalin no hpnya, kuletakkan kembali.
***
"San, bantuin aku ya," Kataku pagi ini di kantor.
"Bantuin apa?" kata Sandra, tapi mata masih menatap gawainya.
"Mencari informasi tentang Leni."
"Apa?" Sandra langsung memandangku dengan heran.
Aku menceritakan tentang kejadian tadi malam.
"Oke, serahkan padaku," Kata Sandra
"Makasih ya, San."
Sandra bertindak cepat buktinya baru sehari sudah mendapatkan bukti-bukti berupa foto Mas Fandi dan Leni. Leni memang cantik, pantas kalau Mas Fandi terpikat lagi. Aku mengenal Leni ketika Ibu mertua sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit. Ternyata kamarnya bersebelahan dengan kamar suami Leni yang juga dirawat di rumah sakit.
"Leni, kenalkan ini Anis istrinya Fandi" kata Mbak Sisi ketika aku menunggu Ibu mertua di rumah sakit.
"Leni."
"Anis."
"Saya keluar dulu ya Mbak. Nanti Mas Anton nyariin" kata Leni pamit. Aku dan Mbak Sisi mengangguk.
Mbak Sisi menceritakan kalau Leni sedang menunggui suaminya yang sakit. Anton sudah sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit ginjal yang dideritanya.
Setelah itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Perilaku mas Fandi juga masih biasa. Atau aku yang tidak pernah peka, karena terlalu bucin.
Kupandangi foto mereka, terasa nyeri dihati. Mengapa engkau berbagi hati Mas? Apakah kekurangan ku selama ini? Walaupun aku seorang wanita kantoran tapi urusan rumah tangga masih yang utama. Aku selalu menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak.
Aku tidak akan bertindak gegabah, harus menyelidiki dulu supaya tidak jadi bumerang untukku sendiri. Harus menyusun strategi.
Malam ini, Mas Fandi mau takziah lagi. Aku menggunakan strategi yang sama. Awalnya Mas Fandi tidak mau mengajakku."Apa salah Pa, kalau Mama ikut Papa takziah. Yang meninggal kan suami temannya Papa, berarti ya temanku juga. Kalau alasannya nggak enak sama Mirza dan Candra, sini Mama telpon mereka. Pasti mereka tidak keberatan.""Apa Papa merasa malu kalau pergi sama Mama?" tanyaku pada Mas Fandi.Akhirnya Mas Fandi takziah dengan mengajakku. Sepanjang perjalanan Mas Fandi hanya diam membisu. Sampai disana ternyata sudah ada Mirza dan Candra. Mirza dan Candra merupakan teman akrab Mas Fandi, walaupun mereka tidak satu kantor.Aku duduk agak jauh dari Leni, dapat kulihat kalau Leni selalu mencuri pandang dengan Mas Fandi. Dan beberapa kali juga kepergok olehku. Leni langsung tersenyum padaku."Leni cantik ya, Pa? Masih muda, kaya, wah bakal jadi rebutan deh. Mulai dari bujangan, duda bahkan mungkin laki-laki beristri pasti kepincut dengan Leni. Jand
Mas Fandi sekarang lebih perhatian dengan keluarga, terutama denganku. Hubungan kami perlahan mulai harmonis lagi. Kami berusaha untuk memperbaiki kualitas hubungan kami. Mas Fandi memang pintar mengambil hati, pantas saja banyak perempuan yang kesengsem. Aku saja masih selalu meleleh kalau ia sudah memberikan perhatian yang lebih.Aku berharap ia akan seperti ini terus. Memperhatikan keluarga, terutama anak-anak. Semoga saja anak-anak tidak ada yang tahu permasalahan ini. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana hati mereka akan terluka jika tahu kelakuan papanya.Drtt...drtt.Drtt...drttGawai Mas Fandi berbunyi, ada panggilan masuk bernama Dani. Mas Fandi baru saja masuk ke kamar mandi.Drtt...drtt."Halo," kataku ketika menerima panggilan itu.Langsung dimatikan. Nggak ada sopan-sopannya yang bernama Dani ini. Apa salahnya menjawab dulu. Bikin kesal saja. Aku penasaran, aku buka foto profilnya. Hanya foto dua tangan yang
Sejak kejadian di hotel itu, sulit sekali bagiku untuk memaafkan Mas Fandi. Tapi untuk berpisah aku juga belum sanggup. Karena ada anak-anak yang harus aku pikirkan. Aku berusaha untuk menata hatiku kembali. Mencoba untuk kuat dan tegar walaupun hati sudah hancur berkeping-keping. Bagaimanapun juga Mas Fandi adalah Papa yang baik bagi anak-anak dan masih menjadi suamiku yang sah dimata hukum agama dan negara."Ma, Papa mau bicara sama Mama?" kata Mas Fandi di kamar menjelang tidur malam."Bicara apa, Pa? Sepertinya penting sekali.""Eee... gini Ma, sebelumnya Papa meminta maaf mungkin yang Papa sampaikan ini akan membuat Mama kecewa.""Nggak usah bertele-tele, Pa. Apa yang mau Papa katakan?""Papa minta izin menikah dengan Leni," kata Mas Fandi sambil tersenyum.Dhuarr!Aku merasa tersambar petir, badanku terasa lemas dan air mata langsung jatuh. Mudah sekali Mas Fandi berbicara seperti itu."Apa? Jadi Papa masih be
Sayup-sayup aku mendengar suara Anggi."Mama... Mama."Aku membuka mata, memandang sekeliling. Ternyata aku ada di kamarku sendiri. Kulihat ada Mas Fandi dan anak-anak. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, kepalaku terasa sangat berat."Tadi Mama pingsan, Anggi manggil Mas Angga. Mas Angga yang mengangkat Mama kesini," kata Anggi menjelaskan apa yang terjadi. Aku lihat Mas Fandi menatapku seperti merasa bersalah."Minum dulu tehnya, Ma?" Kata Mas Fandi. Aku diam saja, tidak meresponnya."Mama, minum ya teh hangat ini. Angga lho yang membuatnya tadi," kata Angga sembari mengambil teh. Aku mengangguk dan berusaha untuk bangun. Mas Fandi berusaha membantu, tapi aku menolak.Aku meminum teh hangat buatan Angga, tak terasa bulir-bulir air mata menetes."Kenapa Mama menangis?" tanya Anggi."Nggak apa-apa, cuma kepala Mama pusing sekali," jawabku dengan rasa nyeri di hati."Mama makan ya?" kata Mas Fandi, a
Sejak kejadian kemarin, aku merasa jijik dengan Mas Fandi, sepertinya rasa cinta di hatiku mulai hilang. Aku bertahan karena anak-anak. Jika kami berpisah, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana kehidupan kami nantinya?Mas Fandi tidak membahas lagi masalah pernikahan. Ia mulai perhatian lagi dengan kami. Mungkin merasa bersalah, tapi entahlah. Mungkin saja ia menutupi sesuatu yang lebih besar lagi.Hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Walaupun pikiranku entah kemana, tapi aku tetap berangkat kerja. Sampai di kantor, aku langsung menuju ke ruanganku.Klunting...klunting… ponselku berbunyi. Dari berangkat tadi aku belum sempat mengecek pesan di ponsel. Segera aku ambil ponsel dan mengeceknya.Ada beberapa pesan chat WA yang tidak aku kenal nomornya. Aku buka pesan itu. Betapa terkejutnya aku, melihat foto-foto tersebut. Foto-foto Mas Fandi dan Leni sedang menikah. Aku langs
Di ruang tamu rumah mertua, kami diam dengan pikiran masing-masing menunggu kedatangan Mas Fandi. Ada Mbak Sisi dan Mas Iksan suaminya, juga ada Mas Hendra dan Mbak Yuni. Aku memang sengaja kesini, dan meminta semua keluarga Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dengan bukti-bukti pernikahan Mas Fandi, aku menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari perselingkuhan pertama yang sudah aku maafkan. Ibu mertua tampak shock mendengarkan apa yang aku bicarakan tadi.Tak lama kemudian terdengar suara mobil, ternyata Mas Fandi yang datang. Tadi Mas Hendra menelpon Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dia tampak terkejut melihat kami berkumpul."Ada apa ini?" tanya Mas Fandi yang baru masuk ke ruang keluarga."Duduk dulu Fandi," kata Mas Hendra yang mempersilahkan Mas Fandi untu
Suasana tampak tegang, karena aku dan Mas Fandi sama-sama ngotot. Mempertahankan egonya masing-masing. Mas Fandi tetap membenarkan kelakuannya. Kemudian aku beralih pada Mbak Sisi yang dari tadi selalu menyudutkan ku."Mbak Sisi tahu kan kalau Mas Fandi menikah lagi," kataku sambil menatap Mbak Sisi."Jangan asal bicara kamu Nis! Aku tidak tahu apa-apa," kata Mbak Sisi seolah menantang."Kenapa dari tadi Mbak membela Mas Fandi terus, padahal ia salah," kataku lagi."Karena Fandi adikku." Mbak Sisi masih mengelak juga. Awas ya Mbak, siap-siap saja akan aku bongkar kelakuanmu."O ya? Mbak Sisi tahu kan pernikahan siri Mas Fandi? Bukannya Mbak Sisi hadir di pernikahan itu?" tanyaku dengan penuh selidik.Semua kaget dan menatap Mbak Sisi."Benar apa yang dikatakan Anis, Ma?" tanya Mas Ikhsan mencari penjelasan."Boh
Samar-samar kudengar suara lantunan ayat suci di masjid yang menandakan mendekati waktu subuh. Tadi malam sampai rumah jam sepuluh malam, ternyata anak-anak belum tidur. Mereka mengkhawatirkan aku. Aku sangat terharu, begitu perhatiannya mereka denganku. Aku masuk ke kamar, menangis dan tidak tahu jam berapa tertidur.Kepalaku terasa berat, mungkin kebanyakan menangis. Sudah beberapa hari Mas Fandi tidak pulang. Aku bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban. Di setiap sujud terakhir aku selalu bermunajat kepada Allah, mohon diberi jalan terbaik untuk keluargaku.Aku keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Roti bakar isi coklat dan keju dengan segelas teh, cukup untuk mengganjal perut sampai siang nanti. Hari ini hari libur, aku ingin mengajak anak-anak keluar mencari hiburan. Kalau memungkinkan situasi dan kondisinya, aku ingin menceritakan pada mereka tentang aku dan Mas Fandi."Ma, kok Pa
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku
Sepertinya aku sudah dimabuk cinta, cinta pada Mas Rayhan. Kami sering berangkat kerja bareng. Tapi tentu saja kami masih tahu batasan tidak menabrak norma yang ada. Tidak ada kontak fisik yang berlebihan.Hari ini pulang dari kantor, aku dan Mas Rayhan berencana pergi ke sebuah supermarket. Ada beberapa keperluan rumah tangga yang akan aku beli.Aku sudah membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di mejaku. Ruanganku sudah sepi, aku pun keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Sekitar lima menit aku menunggu, Mas Rayhan belum juga keluar dari ruangannya.Akhirnya aku mengirim pesan.[Mas, jadi kan nemenin aku ke supermarket?][Mas jadi nggak?]Belum juga ada jawaban. Aku jadi serba salah, kalau aku tinggal, nanti Mas Rayhan marah. Aku pun mencoba untuk menelpon Mas Rayhan."Mas, masih lama nggak pulangnya? Atau aku pulang d
"Pantas saja nggak mau makan di kantin, ternyata mau makan berdua disini," kata Sandra mengagetkan kami.Aku dan Mas Rayhan hanya tertawa."Aku keluar ah, nggak enak nanti mengganggu.""Disini saja, San. Kalau hanya berdua saja nggak enak.""Betul itu." Mas Rayhan menimpali."Terus aku ngeliatin kamu makan, gitu, Nis?" tanya Sandra."Ayo kalau mau makan bersama," ajakku."Sudah kenyang.""Kamu sudah selesai makannya?" tanya Mas Rayhan."Sudah. Mas habisin saja.""Bener?""Iya, Mas.""Mas?" tanya Sandra heran. Aku kaget keceplosan memanggil Mas pada Mas Ray."Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah benar dugaanku?" tanya Sandra dengan penasaran."Iya, jangan cerita dengan orang lain." Ma
Sampai dirumah, ternyata Anggi sudah pulang."Mama, nggak bawa mobil ya?" tanya Anggi yang baru keluar dari kamarnya."Enggak, naik ojek.""Ooo.""Tolong dibereskan yang ada di meja makan. Tadi Mama beli makanan."Anggi berjalan menuju ruang makan, aku segera mandi untuk menyegarkan hati dan pikiran.Selesai mandi aku segera makan. Dari pagi perut belum terisi. Gara-gara emosi yang menguras hati dan pikiran. Kenapa aku jadi seperti ini ya?Badanku benar-benar lelah sangat lelah. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, aku sengaja tidak memegang ponselku. Pasti akan ada panggilan dan pesan dari Mas Rayhan. Aku biarkan saja. Aku ingin istirahat.Tapi pikiran tidak bisa diajak kompromi. Memikirkan tadi siang. Aku baru melihat Nadya hari ini. Memang Minggu lalu katanya ada pelantikan beberapa pejabat. Ada yang