Sayup-sayup aku mendengar suara Anggi.
"Mama... Mama."
Aku membuka mata, memandang sekeliling. Ternyata aku ada di kamarku sendiri. Kulihat ada Mas Fandi dan anak-anak. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, kepalaku terasa sangat berat.
"Tadi Mama pingsan, Anggi manggil Mas Angga. Mas Angga yang mengangkat Mama kesini," kata Anggi menjelaskan apa yang terjadi. Aku lihat Mas Fandi menatapku seperti merasa bersalah.
"Minum dulu tehnya, Ma?" Kata Mas Fandi. Aku diam saja, tidak meresponnya.
"Mama, minum ya teh hangat ini. Angga lho yang membuatnya tadi," kata Angga sembari mengambil teh. Aku mengangguk dan berusaha untuk bangun. Mas Fandi berusaha membantu, tapi aku menolak.
Aku meminum teh hangat buatan Angga, tak terasa bulir-bulir air mata menetes.
"Kenapa Mama menangis?" tanya Anggi.
"Nggak apa-apa, cuma kepala Mama pusing sekali," jawabku dengan rasa nyeri di hati.
"Mama makan ya?" kata Mas Fandi, aku menggelengkan kepala.
"Ya, sudah, Ma. Mama istirahat ya?" kata Angga.
Aku mengangguk, Angga dan Anggi keluar dari kamarku. Aku berbaring dan memiringkan tubuhku memunggungi Mas Fandi. Kudengar Mas Fandi menghela nafas.
"Ma, apa yang terjadi? Kok Mama bisa pingsan?" tanya Mas Fandi.
Aku masih diam.
"Ma, ada apa Ma?" tanya Mas Fandi lagi.
Aku berusaha bangkit dari tempat tidur.
"Papa sadar nggak sih. Banyak hal yang membuat Mama tersakiti. Hancur hati Mama, banyak yang Mama pikirkan. Bagaimana dengan anak-anak nantinya, bagaimana mental mereka, mental Mama, keluarga besar kita. Semua ini membuat Mama stres," kataku sambil menangis.
"Apakah tujuh belas tahun kita bersama tidak ada artinya bagi Papa? Kita memulai hidup dari nol, belum punya apa-apa. Suka duka kita lewati bersama. Sampai punya dua anak. Semua itu tidak ada artinya ya, Pa? Apa Mama sudah tidak menarik lagi bagi Papa? Mama bisa merawat diri dengan skin care yang mahal biar kelihatan muda dan cantik. Tapi Mama masih memikirkan masa depan anak-anak, biaya mereka nantinya. Eh, ternyata malah Papa sibuk bermain hati dengan perempuan lain."
Untuk saat ini hanya menangis yang aku bisa. Pikiranku buntu untuk mengambil suatu tindakan. Mas Fandi terdiam.
"Mama nggak habis pikir dengan Papa. Begitu besarnya pesona mantan, hingga menghilangkan logika seorang Affandy Nugraha. Itu bukan cinta, tapi hanya nafsu dunia yang ada di kepala."
Mas Fandi tampak kaget, wajahnya terlihat pucat dan ia pun gugup.
"Kenapa? Kaget ya kalau ketahuan sudah main dengan perempuan murahan itu. Tadi dia datang kesini. Enak sekali datang-datang minta maaf terus minta izin menikah! Sudah sejauh itukah perbuatan kalian, Pa? Sampai dia hamil! Benar Pa dia hamil?" bentakku pada Mas Fandi.
Mas Fandi diam seribu bahasa.
"Benar Pa dia hamil?" tanyaku lagi dengan suara yang agak melemah.
Mas Fandi masih diam.
"Bener Pa? Kalau tidak menjawab Mama akan teriak biar anak-anak tahu papanya berbuat zina."
Mas Fandi mengangguk. Aku langsung lemas terkulai. Air mata berlomba-lomba untuk turun. Kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Papa yakin kalau itu anak Papa?" tanyaku lagi.
"Kenapa Mama ngomong seperti itu?"
"Mungkin saja ia tidak melakukan dengan Papa saja. Bisa saja dengan orang lain, ya kan? Kalau dengan Papa yang tidak terikat pernikahan saja ia mau melakukannya, apalagi dengan laki-laki lain, dengan iming-iming uang."
"Leni nggak seperti itu, Ma?" bela Mas Fandi.
"Oh, membela perempuan itu ya? Terus Papa mau bilang kalau Leni itu wanita baik-baik? Begitu? Wanita baik-baik tidak akan melakukan hubungan dengan suami orang, apalagi sampai berzina."
Mas Fandi hanya terdiam. Akhirnya dia keluar dari kamar. Entah kemana, aku tidak mau ambil pusing. Kalau mau pergi, pergi saja sekalian nggak usah pulang. Aku merasa geram sekali.
Aku mencoba berbaring dan memejamkan mata. Aku tidak bisa membayangkan berbagi hati dan ranjang dengan perempuan lain. Aku bukan perempuan yang berhati seluas samudra, yang menerima suaminya menikah lagi. Aku tidak mau memberi izin suami menikah lagi, walaupun itu jaminannya masuk surga, mending mencari surga dengan jalan yang lain.
Aku melihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tapi rasa kantuk itu belum juga datang, sedangkan pikiran tetap asyik berkelana. Banyak sekali yang aku pikirkan. Apa kata kedua orang tuaku, jika mereka tahu masalah ini? Bagaimana dengan tanggapan anak-anak, juga teman-teman dan tetangga? Aku pusing sekali Memikirkan semua itu.
Tiba-tiba aku merasa menggigil kedinginan, tapi badanku terasa panas. Kulihat Mas Fandi tidur di sebelahku. Berarti tadi aku sempat terlelap.
Azan Subuh berkumandang, aku segera bangkit dari tempat tidur dan melaksanakan salat. Mengadukan segala permasalahan hidupku kepada sang pemilik hidup.
Selesai menunaikan salat subuh, aku menyiapkan sarapan untuk Mas Fandi dan anak-anak. Kepalaku terasa sangat berat. Anggi membantuku menyiapkan makanan di meja. Ketika akan mengambil piring, tiba-tiba pandanganku gelap.
Prang...
"Mama... Mama."
***
Aku terbangun dan merasakan kepalaku yang sangat berat. Pusing sekali rasanya. Perasaanku tadi aku masih ada di dapur, kok sekarang sudah di tempat tidur? Apa yang terjadi padaku? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian tadi.
"Ma, sudah bangun Ma?" kata Mas Fandi sambil membantuku duduk di tempat tidur.
"Papa nggak kerja?" tanyaku karena aku melihat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Enggak. Papa nungguin Mama. Makan dulu ya? Sesudah itu minum obat. Tadi Mama pingsan, Angga memanggil dokter Nesti untuk memeriksa Mama."
Mas Fandi memaksa aku untuk makan. Dengan telaten dia menyuapi aku. Aku sedih, seandainya kita tidak sedang bermasalah, pasti aku sangat bahagia dengan perhatiannya.
"Anak-anak sekolah kan, Pa?" tanyaku pada Mas Fandi.
"Iya Ma. Sekarang Mama minum obat ya?" Mas Fandi sudah menyiapkan semuanya. Aku meminum obat yang diberikan oleh Mas Fandi.
"Mama istirahat saja ya. Papa akan nungguin Mama." Mas Fandi berkata lagi.
"Kalau Papa mau pergi, pergi saja. Mama bisa di rumah sendirian," jawabku sambil membaringkan tubuhku lagi.
"Enggak, Papa akan tetap disini. Mama sekarang istirahat saja," sahut Mas Fandi sambil menyelimuti tubuhku.
Aku hanya terdiam. Mataku terpejam, tapi pikiranku masih mengingat kejadian kemarin. Kenapa Mas Fandi tega melakukan semua ini? Apakah aku dan anak-anak tidak begitu berarti bagimu Mas? Apakah aku sudah membosankan bagimu Mas? Begitu berat ujian yang aku terima, rasanya tidak sanggup menghadapinya. Kalau tidak memikirkan anak-anak, mungkin aku bisa berbuat nekat.
Astaghfirullahaladzim, apa yang aku pikirkan ini? Maafkan hambaMu ini ya Allah. Aku harus kuat, demi anak-anak dan diriku sendiri. Akan aku buktikan bahwa aku mampu menghadapinya. Mataku terasa berat, rasa kantuk pun datang.
Sejak kejadian kemarin, aku merasa jijik dengan Mas Fandi, sepertinya rasa cinta di hatiku mulai hilang. Aku bertahan karena anak-anak. Jika kami berpisah, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana kehidupan kami nantinya?Mas Fandi tidak membahas lagi masalah pernikahan. Ia mulai perhatian lagi dengan kami. Mungkin merasa bersalah, tapi entahlah. Mungkin saja ia menutupi sesuatu yang lebih besar lagi.Hari ini aku pergi ke kantor seperti biasanya. Walaupun pikiranku entah kemana, tapi aku tetap berangkat kerja. Sampai di kantor, aku langsung menuju ke ruanganku.Klunting...klunting… ponselku berbunyi. Dari berangkat tadi aku belum sempat mengecek pesan di ponsel. Segera aku ambil ponsel dan mengeceknya.Ada beberapa pesan chat WA yang tidak aku kenal nomornya. Aku buka pesan itu. Betapa terkejutnya aku, melihat foto-foto tersebut. Foto-foto Mas Fandi dan Leni sedang menikah. Aku langs
Di ruang tamu rumah mertua, kami diam dengan pikiran masing-masing menunggu kedatangan Mas Fandi. Ada Mbak Sisi dan Mas Iksan suaminya, juga ada Mas Hendra dan Mbak Yuni. Aku memang sengaja kesini, dan meminta semua keluarga Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dengan bukti-bukti pernikahan Mas Fandi, aku menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari perselingkuhan pertama yang sudah aku maafkan. Ibu mertua tampak shock mendengarkan apa yang aku bicarakan tadi.Tak lama kemudian terdengar suara mobil, ternyata Mas Fandi yang datang. Tadi Mas Hendra menelpon Mas Fandi untuk datang ke rumah Ibu. Dia tampak terkejut melihat kami berkumpul."Ada apa ini?" tanya Mas Fandi yang baru masuk ke ruang keluarga."Duduk dulu Fandi," kata Mas Hendra yang mempersilahkan Mas Fandi untu
Suasana tampak tegang, karena aku dan Mas Fandi sama-sama ngotot. Mempertahankan egonya masing-masing. Mas Fandi tetap membenarkan kelakuannya. Kemudian aku beralih pada Mbak Sisi yang dari tadi selalu menyudutkan ku."Mbak Sisi tahu kan kalau Mas Fandi menikah lagi," kataku sambil menatap Mbak Sisi."Jangan asal bicara kamu Nis! Aku tidak tahu apa-apa," kata Mbak Sisi seolah menantang."Kenapa dari tadi Mbak membela Mas Fandi terus, padahal ia salah," kataku lagi."Karena Fandi adikku." Mbak Sisi masih mengelak juga. Awas ya Mbak, siap-siap saja akan aku bongkar kelakuanmu."O ya? Mbak Sisi tahu kan pernikahan siri Mas Fandi? Bukannya Mbak Sisi hadir di pernikahan itu?" tanyaku dengan penuh selidik.Semua kaget dan menatap Mbak Sisi."Benar apa yang dikatakan Anis, Ma?" tanya Mas Ikhsan mencari penjelasan."Boh
Samar-samar kudengar suara lantunan ayat suci di masjid yang menandakan mendekati waktu subuh. Tadi malam sampai rumah jam sepuluh malam, ternyata anak-anak belum tidur. Mereka mengkhawatirkan aku. Aku sangat terharu, begitu perhatiannya mereka denganku. Aku masuk ke kamar, menangis dan tidak tahu jam berapa tertidur.Kepalaku terasa berat, mungkin kebanyakan menangis. Sudah beberapa hari Mas Fandi tidak pulang. Aku bangkit dari tempat tidur, mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban. Di setiap sujud terakhir aku selalu bermunajat kepada Allah, mohon diberi jalan terbaik untuk keluargaku.Aku keluar kamar untuk menyiapkan sarapan. Roti bakar isi coklat dan keju dengan segelas teh, cukup untuk mengganjal perut sampai siang nanti. Hari ini hari libur, aku ingin mengajak anak-anak keluar mencari hiburan. Kalau memungkinkan situasi dan kondisinya, aku ingin menceritakan pada mereka tentang aku dan Mas Fandi."Ma, kok Pa
Sampai di rumah sakit, aku segera menuju ke kamar perawatan Ibu. Angga dan Anggi masih diluar untuk mencari sesuatu. Di ruang perawatan Ibu, sudah berkumpul anak-anak Ibu dengan pasangan masing-masing. Terlihat Leni memegang tangan mas Fandi. Hatiku terasa nyeri sekali melihatnya, seharusnya aku yang ada di samping Mas Fandi. Sepertinya keluarga besar Mas Fandi sudah bisa menerima kehadiran Leni di hadapan mereka. Aku berjuang sendirian sekarang, keluarga Mas Fandi tidak ada yang berada dipihakku.Mas Fandi menatapku dengan tajam, tapi ia kaget ketika Angga dan Anggi muncul di hadapan kami. Mas Fandi berusaha melepas tangan Leni yang memegang tangannya. Tapi Leni tetap memegang tangan Mas Fandi. Anak-anak tampak tidak suka dengan apa yang mereka lihat.Mbak Sisi berjalan mendekatiku."Gara-gara kamu, Ibu masuk rumah sakit. Kamu sakit hati kan Fandi menikah lagi, makanya kamu sengaja membongkar semuanya di depan Ibu. Puas
Mas Fandi mengajak janji bertemu untuk membicarakan perjanjian dan kesepakatan. Aku sudah meminta tolong teman yang seorang pengacara untuk membuat perjanjian itu. Aku tidak mau kecolongan lagi. Biarlah Mas Fandi yang diambil pelakor, asal jangan anak-anak dan hartaku. Harta yang kami cari dengan susah payah, tak akan aku biarkan jatuh ke tangan pelakor. Kalau memang benar cinta dengan Mas Fandi, ya ambil orangnya saja, harta dan kekayaannya jangan.Aku tidak peduli kalau keluarga Mas Fandi terutama Mbak Sisi, mengatakan kalau aku serakah. Aku menikah dengan Mas Fandi juga tidak memiliki apa-apa, masa Leni menikah dengan Mas Fandi mau menikmati harta kami, enak saja. Aku akan berjuang mempertahankan aset-aset kami.Dari jauh kulihat Mas Fandi sudah datang. Mas Fandi tampak tidak terurus. Tidak kelihatan rapi dan wangi seperti biasanya. Mungkin terlalu sibuk mengurus gundiknya, sampai tidak bisa mengurus diri sendiri.
Aku mengajak Angga dan Anggi jalan-jalan ke mall, sekedar refreshing dan makan-makan. Sangat menyenangkan jalan-jalan bersama anak-anak. Mereka juga terlihat senang. Hari ini aku sengaja mencari keperluan bayi untuk kado temanku yang baru saja melahirkan. Melihat pernak-pernik bayi, jadi ingin punya bayi lagi. Lucu-lucu semua."Bu, lihat ini. Lucu sekali, kalau ada yang besar, Anggi mau beli kayak gini," kata Anggi sambil menunjukkan sepatu bayi yang berwarna pink."Jadi bahan tertawaan, Dek, kalau pakai kayak gitu. Haha…." ledek Angga."Ya untuk dipakai di rumah," sanggah Anggi."Ngapain di rumah pakai sepatu? Apa nggak lembab kakinya.""Ah, Kak Angga ini meledek saja kerjanya."Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar mereka berdebat."Bude, ngapain disini? Nyari perlengkapan bayi juga ya?" Kudengar suara Anggi menyapa sese
Aku mendapat kabar kalau bapakku dirawat dirumah sakit. Aku berusaha menelpon Mas Fandi tetapi tidak diangkat. Akhirnya aku dan anak-anak berinisiatif mendatangi rumah Leni."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Ada anak laki-laki seusia Anggi membuka pintu. Mungkin anaknya Leni."Siapa Dani?" Ada suara Leni bertanya pada anak yang bernama Dani.Berarti Dani ini yang dulu selalu muncul di hp Mas Fandi. Mas Fandi yang memberi nama Dani pada kontak Leni. Bodohnya aku, berarti sudah lama dibohongi oleh Mas Fandi."Ada Mas Fandi?" tanyaku pada Leni."Ada Mbak, ayo masuk dulu!" kata Leni"Nggak usah, kami disini saja." Aku dan anak-anak didik di teras rumah Leni."Ngapain datang ke sini? Mau mengacau ya?" Tiba-tiba adik Leni nongol dari dalam."Maaf aku nggak ada urusan sama kamu!
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku
Sepertinya aku sudah dimabuk cinta, cinta pada Mas Rayhan. Kami sering berangkat kerja bareng. Tapi tentu saja kami masih tahu batasan tidak menabrak norma yang ada. Tidak ada kontak fisik yang berlebihan.Hari ini pulang dari kantor, aku dan Mas Rayhan berencana pergi ke sebuah supermarket. Ada beberapa keperluan rumah tangga yang akan aku beli.Aku sudah membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di mejaku. Ruanganku sudah sepi, aku pun keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Sekitar lima menit aku menunggu, Mas Rayhan belum juga keluar dari ruangannya.Akhirnya aku mengirim pesan.[Mas, jadi kan nemenin aku ke supermarket?][Mas jadi nggak?]Belum juga ada jawaban. Aku jadi serba salah, kalau aku tinggal, nanti Mas Rayhan marah. Aku pun mencoba untuk menelpon Mas Rayhan."Mas, masih lama nggak pulangnya? Atau aku pulang d
"Pantas saja nggak mau makan di kantin, ternyata mau makan berdua disini," kata Sandra mengagetkan kami.Aku dan Mas Rayhan hanya tertawa."Aku keluar ah, nggak enak nanti mengganggu.""Disini saja, San. Kalau hanya berdua saja nggak enak.""Betul itu." Mas Rayhan menimpali."Terus aku ngeliatin kamu makan, gitu, Nis?" tanya Sandra."Ayo kalau mau makan bersama," ajakku."Sudah kenyang.""Kamu sudah selesai makannya?" tanya Mas Rayhan."Sudah. Mas habisin saja.""Bener?""Iya, Mas.""Mas?" tanya Sandra heran. Aku kaget keceplosan memanggil Mas pada Mas Ray."Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah benar dugaanku?" tanya Sandra dengan penasaran."Iya, jangan cerita dengan orang lain." Ma
Sampai dirumah, ternyata Anggi sudah pulang."Mama, nggak bawa mobil ya?" tanya Anggi yang baru keluar dari kamarnya."Enggak, naik ojek.""Ooo.""Tolong dibereskan yang ada di meja makan. Tadi Mama beli makanan."Anggi berjalan menuju ruang makan, aku segera mandi untuk menyegarkan hati dan pikiran.Selesai mandi aku segera makan. Dari pagi perut belum terisi. Gara-gara emosi yang menguras hati dan pikiran. Kenapa aku jadi seperti ini ya?Badanku benar-benar lelah sangat lelah. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, aku sengaja tidak memegang ponselku. Pasti akan ada panggilan dan pesan dari Mas Rayhan. Aku biarkan saja. Aku ingin istirahat.Tapi pikiran tidak bisa diajak kompromi. Memikirkan tadi siang. Aku baru melihat Nadya hari ini. Memang Minggu lalu katanya ada pelantikan beberapa pejabat. Ada yang