Sampai di rumah sakit, aku segera menuju ke kamar perawatan Ibu. Angga dan Anggi masih diluar untuk mencari sesuatu. Di ruang perawatan Ibu, sudah berkumpul anak-anak Ibu dengan pasangan masing-masing. Terlihat Leni memegang tangan mas Fandi. Hatiku terasa nyeri sekali melihatnya, seharusnya aku yang ada di samping Mas Fandi. Sepertinya keluarga besar Mas Fandi sudah bisa menerima kehadiran Leni di hadapan mereka. Aku berjuang sendirian sekarang, keluarga Mas Fandi tidak ada yang berada dipihakku.
Mas Fandi menatapku dengan tajam, tapi ia kaget ketika Angga dan Anggi muncul di hadapan kami. Mas Fandi berusaha melepas tangan Leni yang memegang tangannya. Tapi Leni tetap memegang tangan Mas Fandi. Anak-anak tampak tidak suka dengan apa yang mereka lihat.
Mbak Sisi berjalan mendekatiku.
"Gara-gara kamu, Ibu masuk rumah sakit. Kamu sakit hati kan Fandi menikah lagi, makanya kamu sengaja membongkar semuanya di depan Ibu. Puas
Mas Fandi mengajak janji bertemu untuk membicarakan perjanjian dan kesepakatan. Aku sudah meminta tolong teman yang seorang pengacara untuk membuat perjanjian itu. Aku tidak mau kecolongan lagi. Biarlah Mas Fandi yang diambil pelakor, asal jangan anak-anak dan hartaku. Harta yang kami cari dengan susah payah, tak akan aku biarkan jatuh ke tangan pelakor. Kalau memang benar cinta dengan Mas Fandi, ya ambil orangnya saja, harta dan kekayaannya jangan.Aku tidak peduli kalau keluarga Mas Fandi terutama Mbak Sisi, mengatakan kalau aku serakah. Aku menikah dengan Mas Fandi juga tidak memiliki apa-apa, masa Leni menikah dengan Mas Fandi mau menikmati harta kami, enak saja. Aku akan berjuang mempertahankan aset-aset kami.Dari jauh kulihat Mas Fandi sudah datang. Mas Fandi tampak tidak terurus. Tidak kelihatan rapi dan wangi seperti biasanya. Mungkin terlalu sibuk mengurus gundiknya, sampai tidak bisa mengurus diri sendiri.
Aku mengajak Angga dan Anggi jalan-jalan ke mall, sekedar refreshing dan makan-makan. Sangat menyenangkan jalan-jalan bersama anak-anak. Mereka juga terlihat senang. Hari ini aku sengaja mencari keperluan bayi untuk kado temanku yang baru saja melahirkan. Melihat pernak-pernik bayi, jadi ingin punya bayi lagi. Lucu-lucu semua."Bu, lihat ini. Lucu sekali, kalau ada yang besar, Anggi mau beli kayak gini," kata Anggi sambil menunjukkan sepatu bayi yang berwarna pink."Jadi bahan tertawaan, Dek, kalau pakai kayak gitu. Haha…." ledek Angga."Ya untuk dipakai di rumah," sanggah Anggi."Ngapain di rumah pakai sepatu? Apa nggak lembab kakinya.""Ah, Kak Angga ini meledek saja kerjanya."Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar mereka berdebat."Bude, ngapain disini? Nyari perlengkapan bayi juga ya?" Kudengar suara Anggi menyapa sese
Aku mendapat kabar kalau bapakku dirawat dirumah sakit. Aku berusaha menelpon Mas Fandi tetapi tidak diangkat. Akhirnya aku dan anak-anak berinisiatif mendatangi rumah Leni."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Ada anak laki-laki seusia Anggi membuka pintu. Mungkin anaknya Leni."Siapa Dani?" Ada suara Leni bertanya pada anak yang bernama Dani.Berarti Dani ini yang dulu selalu muncul di hp Mas Fandi. Mas Fandi yang memberi nama Dani pada kontak Leni. Bodohnya aku, berarti sudah lama dibohongi oleh Mas Fandi."Ada Mas Fandi?" tanyaku pada Leni."Ada Mbak, ayo masuk dulu!" kata Leni"Nggak usah, kami disini saja." Aku dan anak-anak didik di teras rumah Leni."Ngapain datang ke sini? Mau mengacau ya?" Tiba-tiba adik Leni nongol dari dalam."Maaf aku nggak ada urusan sama kamu!
Malam ini hanya aku yang menunggu bapak. Ibu dan anak-anak ada di rumah. Sejak datang kesini aku belum pulang ke rumah Bapak, aku yang menunggu Bapak dua puluh empat jam. Karena aku tidak bisa mendampingi beliau di hari-hari biasa, makanya sekarang aku siap mendampingi beliau.Pagi ini kulihat Bapak sudah semakin sehat saja, tidak pucat seperti kemarin. Semoga hari ini Bapak bisa pulang dan beristirahat di rumah."Assalamualaikum, Bapak! Gimana kabar Bapak?" tanya perawat yang masuk ke kamar Bapak."Waalaikumsalam, baik Mbak," jawab Bapak."Saya periksa dulu ya, Pak?" kata perawat sambil bersiap memeriksa Bapak. Bapak mengangguk."Alhamdulillah, kondisinya semakin membaik. Nanti tunggu dokter visit ya, Pak? Beliau yang memutuskan Bapak boleh pulang atau tidak! Saya permisi dulu," kata perawat lagi."Terimakasih, Mbak" jawabku."Ayo,
Sudah hampir satu Minggu aku di rumah Bapak. Hari ini Mas Fandi mau menjemputku. Ia tidak mengizinkanku pulang menyetir sendiri.Pulang dari kantor, langsung naik travel ke rumah Bapak. Menjelang Maghrib baru sampai. Besok pagi kami akan pulang.Bapak dan mas Fandi berbincang-bincang santai. Aku masuk kamar menyiapkan keperluan untuk pulang besok. Tak lama kemudian Mas Fandi masuk ke kamar."Anak-anak nggak apa-apa kan waktu Papa tinggal tadi? Berani kan mereka hanya berdua saja?" tanyaku pada Mas Fandi."Jangan khawatir, Ma, mereka sudah besar, hebat dan kuat seperti mamanya," kata Mas Fandi pelan."Terimakasih ya, Pa? Sudah mau menutupi masalah kita di depan Bapak dan Ibu," kataku lagi.Mas Fandi langsung memelukku dengan erat."Ma, maafin Papa ya? Papa sangat mencintai Mama. Dengan Leni hanya senang sesaat saja. Yang Papa lakukan
Aku mendekati Lana yang seperti kesetanan berteriak memanggil namaku."Ada perlu apa kemari?" kataku. Kulihat Lana dengan wajah emosi. Enak saja, datang ke rumah orang seperti mau mengajak berkelahi."Mana Mas Fandi," kata Lana dengan nada keras."Hei kalau bertamu itu yang sopan!" sahut Ibu yang ada di belakangku."Nggak usah ikut campur deh, Bu! Aku perlu sama Mas Fandi. Mana dia?" jawab Lana dengan nada ketus."Tidur, emang kenapa?" kataku dengan nada kesal."Kamu apakan Mas Fandi, sudah beberapa hari nggak pulang, ninggalin istrinya yang hamil tua." Lana berkata dengan ketus. Ia menatap t
Drtt ...drtt...ponsel Mas Fandi berbunyi terus, yang menelpon bergantian yaitu Mbak Sisi dan Lana."Ponsel bunyi terus kok nggak diangkat Nis!" kata Ibu yang muncul dari kamar."Ponsel Mas Fandi, Bu. Yang menelpon Mbak Sisi dan Lana," kataku.Drtt...drtt..."Sini Ibu yang menjawab telponnya," kata Ibu.Aku menyerahkan ponsel Mas Fandi pada Ibu."Halo""........""Sampaikan sendiri!""........""Bukan urusanmu!" jawab Ibu sambil memutuskan panggilan.Aku diam tidak berani bertanya.Menjelang Ashar, Mas Fandi dan anak-anak baru saja pulang. Bahagianya aku melihat mereka senang dan bahagia. Seandainya masalah itu tidak datang. Ah sudahlah, semua sudah terjadi."Senangnya yang baru dibelikan ponsel dan lapt
"Enak ya kalau Eyang disini. Eyang rajin bikin camilan," kata Anggi ketika kami berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati pisang coklat yang Ibu buat."Iya, nggak perlu jajan lagi," kata Angga yang dari tadi tidak berhenti mengunyah."Hayo kalian sudah habis berapa makanannya. Satu buah seribu lho. Nanti bayar uangnya sama Eyang," kataku menggoda mereka."Kamu ini ada-ada saja Nis," kata Ibu tertawa.Indahnya kumpul bersama keluarga. Sayangnya tidak ada mas Fandi.Sore ini Mas Fandi pulang ke rumah, setelah pulang dari kantor."Assalamualaikum." Mas Fandi mengucapkan salam."Waalaikumsalam," kataku menyambut Mas Fandi.Mas Fandi mendekati Ibu dan anak-anak. Anak-anak yang tadinya masih tertawa-tawa langsung terdiam, Ibu pun juga diam."Mau kopi, Pa?" tanyaku memecah keheningan.
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku
Sepertinya aku sudah dimabuk cinta, cinta pada Mas Rayhan. Kami sering berangkat kerja bareng. Tapi tentu saja kami masih tahu batasan tidak menabrak norma yang ada. Tidak ada kontak fisik yang berlebihan.Hari ini pulang dari kantor, aku dan Mas Rayhan berencana pergi ke sebuah supermarket. Ada beberapa keperluan rumah tangga yang akan aku beli.Aku sudah membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di mejaku. Ruanganku sudah sepi, aku pun keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Sekitar lima menit aku menunggu, Mas Rayhan belum juga keluar dari ruangannya.Akhirnya aku mengirim pesan.[Mas, jadi kan nemenin aku ke supermarket?][Mas jadi nggak?]Belum juga ada jawaban. Aku jadi serba salah, kalau aku tinggal, nanti Mas Rayhan marah. Aku pun mencoba untuk menelpon Mas Rayhan."Mas, masih lama nggak pulangnya? Atau aku pulang d
"Pantas saja nggak mau makan di kantin, ternyata mau makan berdua disini," kata Sandra mengagetkan kami.Aku dan Mas Rayhan hanya tertawa."Aku keluar ah, nggak enak nanti mengganggu.""Disini saja, San. Kalau hanya berdua saja nggak enak.""Betul itu." Mas Rayhan menimpali."Terus aku ngeliatin kamu makan, gitu, Nis?" tanya Sandra."Ayo kalau mau makan bersama," ajakku."Sudah kenyang.""Kamu sudah selesai makannya?" tanya Mas Rayhan."Sudah. Mas habisin saja.""Bener?""Iya, Mas.""Mas?" tanya Sandra heran. Aku kaget keceplosan memanggil Mas pada Mas Ray."Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah benar dugaanku?" tanya Sandra dengan penasaran."Iya, jangan cerita dengan orang lain." Ma
Sampai dirumah, ternyata Anggi sudah pulang."Mama, nggak bawa mobil ya?" tanya Anggi yang baru keluar dari kamarnya."Enggak, naik ojek.""Ooo.""Tolong dibereskan yang ada di meja makan. Tadi Mama beli makanan."Anggi berjalan menuju ruang makan, aku segera mandi untuk menyegarkan hati dan pikiran.Selesai mandi aku segera makan. Dari pagi perut belum terisi. Gara-gara emosi yang menguras hati dan pikiran. Kenapa aku jadi seperti ini ya?Badanku benar-benar lelah sangat lelah. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, aku sengaja tidak memegang ponselku. Pasti akan ada panggilan dan pesan dari Mas Rayhan. Aku biarkan saja. Aku ingin istirahat.Tapi pikiran tidak bisa diajak kompromi. Memikirkan tadi siang. Aku baru melihat Nadya hari ini. Memang Minggu lalu katanya ada pelantikan beberapa pejabat. Ada yang