“Mbak Novi,” panggil seseorang dari luar.Novi pun mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang memanggilnya, ternyata Ekta."Beli minyak goreng dua liter, Mbak!" kata Ekta. Novi pun menyiapkan apa yang dipesan Ekta. "Mbak Nov, Maaf, apa Weni juga menggoda Mas Ahmad?" tanya Ekta."Memangnya kenapa?" Novi mengernyitkan dahinya."Ada yang bercerita, kemarin di mall melihat Weni mendekati Mas Ahmad, padahal disitu ada Mbak Novi."Novi hanya terdiam."Nasib kita sama, Mbak. Weni juga merayu Mas Ardi, aku melihat beberapa pesan dari Weni. Aku sudah mengancam Mas Ardi, kalau ia meladeni Weni, aku akan pulang ke rumah orang tuaku bersama Rafa. Walaupun dulu Mas Ardi itu pacaran dengan Weni, seharusnya Weni tahu diri, nggak menggoda suami orang." Ekta berkata dengan sedikit emosi, mengingat kelakuan Weni."Sabar, Ekta. Kita berdoa saja, semoga suami kita tidak tergoda perempuan manapun." Novi mencoba menguatkan Weni.Tak lama kemudian datang Bu Hardi, ada juga Lastri dan Surti. "Eh, ada in
"Mbak, ada Mas Ahmad?" tanya seorang perempuan pada Novi di warung. Novi menatap perempuan itu dengan tidak berkedip. Perempuan muda, cantik dan pakaiannya itu seksi sekali, memperlihatkan lekuk tubuh pemakainya bak gitar spanyol."Mbak Siapa?" tanya Novi."Oh, Saya Ulva." Perempuan itu memperkenalkan diri."Ada perlu apa mencari Mas Ahmad?" tanya Novi lagi."Mbak siapanya Mas Ahmad?" Ulva balik bertanya pada Novi."Saya istrinya." Gantian Ulva yang menatap Novi dari ujung rambut ke ujung kaki. "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanya Novi."Mas Ahmadnya ada nggak?" Perempuan bernama Ulva itu mengalihkan pertanyaan Novi."Ada. Mau perlu apa?" Selidik Novi."Yang jelas saya ada perlu dengan Mas Ahmad."Novi tampak kesal dengan ucapan Ulva.Tak lama kemudian Ahmad keluar sambil menggendong Haikal."Ulva?" Ahmad kaget melihat Ulva ada di rumahnya."Mas Ahmad," panggil Ulva sambil mendekati Ahmad. Novi yang melihat kejadian itu menjadi kesal. Ia tetap membiarkan Ahmad menggendong Haikal."Masuk
"Halo Tante Wulan," sapa Ulva."Eh, Ulva. Sudah lama datang?" tanya Bu Wulan."Belum, Tan?""Mana suami dan anak-anakmu?" tanya Bu Wulan lagi.Ulva segera memulai sandiwara, kemudian bercerita sambil menangis tersedu-sedu. Novi merasa muak mendengarnya."Terus kamu mau kemana?" tanya Bu Wulan."Rencananya minta izin menginap disini selama satu Minggu. Tapi istri Mas Ahmad tidak mengizinkan," kata Ulva memprovokasi Bu Wulan. Novi hanya terdiam. "Kenapa nggak menginap di rumah Vera?" tanya Bu Wulan."Nggak mau merepotkan Mbak Vera.""Lha kamu disini apa nggak merepotkan Novi, apalagi Novi memiliki bayi," celetuk Pak Harno."Saya janji, nggak akan merepotkan yang disini. Izinkan saya menginap disini," pinta Ulva.Bu Wulan pun mengajak Novi ke dapur."Bu, maaf kalau saya tidak mengizinkan Ulva tinggal disini. Rumah tangga kami baru mulai bangkit lagi, setelah kemarin ada masalah lagi." Novi berkata sambil terisak-isak."Masalah apa?""Ternyata yang selama ini meneror saya itu Weni, dan M
"Bukan urusanmu!" jawab Ulva dengan ketus. Novi langsung naik pitam, Ahmad memegang tangan Novi untuk meredam emosi Novi."Memang sih, bukan urusanku. Tapi sekarang jadi urusanku, karena kamu tinggal disini. Walaupun hanya semalam saja. Apa nggak kasihan sama anak-anak? Kalau aku nggak bisa pisah dengan anak-anak."Ulva hanya diam saja, ia malah sibuk memainkan ponselnya. "Ayo, Mas kita makan," ajak Novi pada Ahmad. Ahmad pun beranjak ke kamar Dina untuk memanggil Dina dan Bu Wulan. "Ayo, makan, Ulva," ajak Bu Wulan yang baru keluar dari kamar Dina.Mereka semua sudah di ruang makan, Novi ke kamar mandi. Ulva duduk di sebelah Ahmad karena kursi di sebelah Ahmad masih kosong. Keluar dari kamar mandi, Novi menuju ruang makan. Ia melihat Ulva sedang mengambilkan nasi untuk Ahmad."Aku ambilkan nasi, ya, Mas?" kata Ulva."Nggak usah, aku bisa ambil sendiri." Ahmad berusaha menolak tawaran dari Ulva ia tidak mau kalau sampai Novi marah melihat kejadian ini.Tapi Ulva tetap memaksa meng
"Ada apa, Nov?" tanya Bu Wulan yang muncul dari kamar Dina. Ia tadi kaget mendengar Novi berteriak."Mas Ahmad tidur berdua dengan Ulva, posisi Ulva memeluk Mas Ahmad." Novi menjelaskan."Bisa Mas jelasin, Dek." Ahmad mendekati Novi."Kami tidak melakukan apa-apa," kilah Ulva."Memang tidak melakukan apa-apa. Tapi melihat kamu tidur memeluk suami orang, menandakan kamu perempuan seperti apa. Dasar perempuan murahan, sudah diizinkan menginap malah mencari kesempatan." Novi berkata dengan marah."Hei, jaga mulutmu. Kamu tidak tahu apa-apa tentangku." Ulva berkata dengan berang."Tentu saja tahu, perempuan yang lebih memilih laki-laki lain dan meninggalkan suami dan anak-anaknya yang menangis di rumah. Aku nggak tahu apa yang pernah terjadi antara kamu dan Mas Ahmad, tapi aku yakin kalau itu pasti sesuatu yang memalukan. Mas, aku sudah bilang tadi, tidurnya jangan malam-malam. Karena aku khawatir akan terjadi sesuatu, nyatanya benar kan?" tanya Novi dengan kesal."Aku mau pergi dengan la
"Nggak usah didengerin, Dek. Namanya rumah tangga itu saling kerjasama. Nggak masalah suami ikut membantu pekerjaan rumah. Apalagi tahu kalau istri sedang repot," kata Ahmad."Betul itu, semuanya dikerjakan bersama. Apalagi dalam hal mengasuh anak, tidak boleh hanya istri saja yang mengurusi. Membuat anak kan berdua, repotnya juga harus berdua." Bu Wulan ikut menimpali, ia baru saja masuk ke ruang keluarga.Ulva tampak diam."Jam berapa kamu pergi, Ul?" tanya Bu Wulan."Boleh saya menginap disini lagi, Tante? Saya nggak punya tempat untuk menginap," kata Ulva."Nggak boleh!" sahut Novi dengan ketus."Kamu takut ya kalau Mas Ahmad tergoda?" cibir Ulva."Iya, karena kamu itu ulat bulu. Yang membuat semua menjadi gatal.""O ya? Tadi malam Mas Ahmad yang menggodaku," kata Ulva memprovokasi."Jangan bicara sembarangan," hardik Ahmad."Ulva, Ahmad tadi malam ketiduran disini, berarti kamu memang sengaja tidur disini sambil memeluknya. Kamu kan seharusnya tidur dikamar." Bu Wulan menimpali.
"Ulva, kami memintamu pergi dengan baik-baik. Sebelum kami menggunakan kekerasan," kata Pak Harno."Aku nggak mau pergi." Ulva tetap bersikeras tidak mau pergi. Semua yang disini sudah kehabisan akal. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, Vera segera keluar. Sepertinya menyambut kedatangan mereka. Kemudian mereka masuk ke ruang keluarga. "Ulva!" panggil laki-laki yang baru saja masuk."Mas Anwar?" jawab Ulva dengan kaget. Apalagi ketika kedatangan Anwar diikuti oleh kedua orang tua Ulva dan satu laki-laki. Mungkin kakak atau adiknya Ulva."Ayah, Ibu?" Ulva terperanjat melihat kedua orang tuanya."Ulva, apa lagi sih yang kamu lakukan? Kok nggak capek-capeknya bikin malu orang tua? Kamu sepertinya ingin melihat kami cepat mati ya?" kata ayahnya Ulva dengan pelan."Ulva, sebenarnya apa yang kamu cari? Kepuasan? Kalau kamu memang mau berpisah denganku, akan aku kabulkan. Tapi jangan bikin malu Ayah dan Ibu. Ajukanlah permohonan cerai ke pengadilan, nanti aku tandatangani." Anwa
"Semoga aku tetap kuat dan tegar dalam menjalani hidupku," kata Novi dalam hati.Mungkin karena Novi sudah terlalu lelah, akhirnya Novi tertidur. Ahmad masih berada di ruang keluarga, ia merenungi semua yang terjadi akhir-akhir ini. Ia merutuki semua kelakuan bejatnya. "Semoga Novi masih mau memaafkanku," kata Ahmad dalam hati.Drtt…drtt…Ponselnya berdering, terlihat nama Fadly terpampang di layar ponsel. Ia malas menerima panggilan itu, akhirnya ia hanya mendiamkan saja. Ia harus mulai menjauhi teman-temannya yang membawa pengaruh negatif. Setelah dering ponsel berhenti, Ahmad pun membuka-buka ponselnya. Karena dari tadi malam ia belum sempat membukanya. Ada beberapa panggilan dan pesan. Ia pun membuka pesan dari Fadly.[Halo, Bro. Lama nggak ada kabarnya. Kapan ngumpul-ngumpul lagi? Eh, Lia kayaknya sekarang makin lengket sama Pak Edi. Kamu sudah nggak lagi ya sama Lia?] Pesan dari Fadly.[Aku nggak ada apa-apa sama Lia.] Fadly menjawab pesan Fadly.[Nanti malam ngumpul yuk, di t
"Papa! Kok nggak bilang kalau mau kesini," kata Farel ketika melihat pintu ruangannya dibuka oleh sosok yang sudah beberapa hari tidak bertemu dengannya."Mau kasih kejutan," sahut Pak Dewa sambil berjalan mendekati Farel yang juga menghampiri papanya. Mereka pun berpelukan hangat."Maaf, Pa, Farel belum sempat menjenguk Papa," kata Farel sambil melonggarkan pelukannya. Pak Dewa mengangguk dan tersenyum. Farel pun mempersilahkan papanya untuk duduk di sofa yang ada."Bagaimana usahamu?" tanya Pak Dewa sambil melihat sekeliling ruangan Farel."Alhamdulillah, Pa. Ada proyek yang dikerjakan.""Syukurlah, Papa bahagia mendengarnya.""Bagaimana kabar Mama? Sehat kan?" Gantian Farel yang menanyakan kabar mamanya. Bagaimanapun juga, Farel sangat menyayangi mamanya. Hanya saja ia tidak menyukai rencana yang menjodohkannya dengan Nada."Alhamdulillah, Mama sehat. Tapi ya gitu deh, suka uring-uringan. Kalau bertemu dengan Alvaro selalu berdebat. Papa jadi pusing sendiri mendengar mereka selalu
"Tunggu saja, Minggu depan aku akan bertunangan dengan Farel. Jadi kubur impianmu untuk mendapatkan Farel," lanjut Nada."Semua itu nggak ada urusannya denganku. Kamu mau bertunangan dengan Farel atau menikah dengan Farel, tidak berpengaruh apa-apa denganku. Sekarang, silahkan kamu keluar dari sini, aku tidak mau berurusan denganmu." Novi berkata dengan tegas, ia sengaja mengusir Nada karena sudah muak dengan semua ucapan Nada."Nggak perlu kamu usir, aku juga akan pergi dari sini. Lama-lama disini membuatku terkontaminasi virus miskin kamu.""Haha, nggak ada yang menyuruhmu datang kesini." Novi tertawa walaupun hatinya menangis. Ia merasa sangat terhina dengan semua ucapan Nada."Ternyata jadi orang miskin itu tidak enak, selalu menjadi bahan ejekan orang lain," kata Novi dalam hati.Nada yang mendengar tawa mengejek dari Novi menjadi sangat kesal. Ia pun mendekati Novi dengan tangan diangkat keatas seperti mau menampar. Novi yang dari tadi bersikap waspada, segera mengelak. Nada ya
"Maaf Mbak, warungnya belum buka," kata Yanti pada seorang perempuan yang masuk ke warung geprek. Yanti sedang membersihkan warung ketika perempuan itu datang."Aku kesini bukan untuk membeli ayam geprek murahan. Aku mau ketemu dengan perempuan murahan itu," bentak perempuan yang terlihat dalam kondisi marah. Perempuan itu menatap tajam pada Yanti, Yanti berusaha bersikap tenang."Siapa yang Mbak maksud?" "Sudahlah, nggak usah basa-basi. Panggilkan pemilik warung ini," teriak perempuan itu.Novi yang sedang membuat sambal geprek kaget mendengar suara ribut di warungnya."Siapa sih yang datang sambil marah-marah? Pagi-pagi sudah bikin masalah di tempat orang," kata Novi dalam hati. Ia pun segera mencuci tangannya, dan kemudian berjalan menuju ke depan.Novi kaget ketika melihat siapa yang datang, apalagi perempuan itu langsung berteriak padanya."Hei kamu, aku dari tadi mencarimu. Tapi pembantumu ini menghalangiku," teriak seorang perempuan, yang ternyata adalah Nada.Novi menjadi san
"Tadi Mbak Novi kan mau membelikan es krim untuk anak-anak. Tapi sepertinya tidak jadi, makanya saya kesini membawa es krim untuk anak-anak.""Oh, memang saya sengaja. Biar cepat keluar dari minimarket itu. Maaf ya Mas, kalau gara-gara saya, Mas Farel sampai ribut dengan tunangan Mas Farel. Sekali lagi saya mohon maaf. Nanti jika diperlukan saya bisa mengklarifikasi pada tunangan Mas Farel." Novi berkata dengan perlahan. Entah kenapa sepertinya ia tidak rela kalau Farel bertunangan dengan perempuan tadi."Mbak Novi nggak perlu klarifikasi ke Nada. Ia memang suka kayak gitu, bertindak arogan dan sedikit bar-bar.""Yang sabar ya, Mas. Nanti kalau kalian sudah menikah, saya yakin Mas Farel dan istri akan saling melepaskan ego masing-masing. Karena setelah menikah itu bukan lagi aku atau kamu, tapi sudah menjadi kita." Novi menjelaskan pada Farel."Mbak Novi, Nada itu bukan tunangan saya. Memang Mama saya dan mamanya Nada mau menjodohkan kami. Tapi saya tidak mau, karena Nada bukan tipe p
"Oh, jadi perempuan ini ya yang membuatmu sekarang menghindariku? Padahal sebentar lagi kita akan bertunangan," kata Nada yang tiba-tiba muncul dihadapan Farel dan Novi. Nada tadi masuk ke minimarket untuk mencari sesuatu, malah bertemu dengan Farel. Nada pun mengamati Novi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Novi menjadi sangat risih, ia pun merasa kikuk sendiri."Sepertinya kita pernah bertemu ya? Tapi dimana?" kata Nada sambil mencoba untuk mengingat-ingat Novi. Novi hanya terdiam mendengar kata-kata Nada."Nada, semua ini nggak ada urusannya denganmu," kata Farel sambil mencoba mengajak Novi pergi."Oh, aku ingat. Kamu itu yang dulu pergi bersama dua orang anak waktu bertemu di mall. Ternyata begini Kelakuanmu. Kamu itu sudah bersuami, kok malah menggoda laki-laki. Dia itu calon tunanganku, paham kamu! Kalau masih menggodanya, nanti aku laporkan sama suamimu." Nada menjadi sangat emosi, ia semakin menatap tajam pada Novi."Sudahlah, Nada. Nggak usah mencari masalah. Ayo Nov kita
"Aku bisa berubah, kok. Apapun yang kamu mau, pasti aku lakukan," kata Nada dengan suara yang mulai melunak dan tentu saja terdengar manja. Ia berharap Farel akan luluh melihat sikapnya."O ya? Aku tidak yakin. Sekarang kamu ngomong kayak gini, terus nantinya kamu pasti akan berubah lagi. Nada, aku nggak mau kamu berubah demi aku. Tapi kamu kalau mau berubah itu memang dari dalam lubuk hatimu sendiri. Karena kemauanmu sendiri, bukan karena aku.""Ini orang ribet banget. Banyak sekali aturan," gumam Nada dalam hati. Ia sudah jenuh mendengar kata-kata dari Farel yang sok bijaksana.Farel menatap Nada, tapi Nada melirik ke arah lain."O ya, Farel, kata Tante Irma kamu keluar dari rumah orang tuamu? Kenapa?" tanya Nada mengalihkan topik pembicaraan. "Aku ingin mandiri. Sanggupkah kamu kalau menikah denganku nanti, kita mulai semuanya dari nol. Kita mengontrak dulu, sambil menabung untuk membangun rumah." Farel berkata seperti itu untuk melihat reaksi Nada."Kamu kan bisa minta rumah sama
Sampai di kamar, Farel segera memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Sambil meneteskan air mata, ia mengemas pakaiannya sampai dua koper. Kemudian ia membawa kopernya, ketika melewati ruang keluarga, masih ada Papa dan mamanya."Ma, aku pamit. Sekali lagi maafkan semua kesalahanku. Maaf aku tidak bisa memenuhi keinginan Mama. Semoga Mama dan Papa selalu sehat dan bahagia.Assalamualaikum." "Kamu mau pergi kemana?" tanya Pak Dewa."Biarkan dia pergi, Pa. Dasar anak durhaka." Irma berkata dengan ketus."Mama!" teriak Pak Dewa."Kenapa? Papa mau membelanya? Biarkan saja dia pergi, paling juga besok pulang lagi," cibir Irma."Farel, pergilah. Carilah kebahagiaanmu sendiri. Papa yakin kamu pasti bisa mendapatkannya. Doa Papa selalu menyertaimu, Nak." Pak Dewa sengaja membiarkan Farel pergi, supaya Irma bisa introspeksi diri dan menyadari semua kesalahannya.Farel mengangguk kemudian menarik dua kopernya dan berjalan menuju ke mobilnya."Mas, mau kemana?" tanya Alvaro yang baru pulang."Al
"Apa yang ingin kamu bicarakan dengan Papa?" tanya Pak Dewa pada Farel. Farel sedang duduk di ruangan Pak Dewa. Sesuai dengan janjinya, Farel menemui papanya."Pa, aku nggak mau bertunangan dengan Nada." Walaupun Farel berkata dengan pelan, tapi tetap dengan nada yang tegas."Kenapa tiba-tiba kamu berkata seperti itu? Bukankah selama ini kamu setuju dekat dengan Nada?""Bukan setuju, Pa. Tapi hanya menuruti kemauan Mama. Papa tahu sendiri bagaimana Mama itu.""Apa alasan kamu menolak?""Pa, Nada itu sebenarnya baik. Tapi aku nggak suka dengan sifatnya yang selalu ingin dimengerti tapi tidak mau mengerti. Selalu memaksakan kehendak. Tadi Nada ke kantor, aku sedang ada kerjaan. Seperti biasa ia tidak bisa menerima penolakan, akhirnya ia marah. Mencoba menelpon Mama, ternyata tidak diangkat sama Mama. Sepertinya ia ke rumah mencari Mama, mau membahas tentang pertunangan. Ia mau pertunangan dipercepat." Farel menarik nafas panjang."Selama ini aku berusaha untuk mengalah, ternyata itu sal
"Bapak, Ibu," kata Ahmad dengan kaget. "Aduh, gagal deh rencanaku," kata Ahmad dalam hati."Kenapa kamu kaget seperti itu?" tanya Bu Wulan yang merasa curiga dengan gelagat Ahmad. Bu Wulan pun langsung masuk ke dalam rumah da ia sangat terkejut melihat tas koper dan tas travel ada di ruang tamu."Tas siapa itu?" tanya Bu Wulan.Ahmad hanya terdiam, kemudian muncul Indah dari dalam kamar dan pura-pura menangis."Bu, Mas Ahmad mau mengajak Salsa pergi dan meninggalkanku sendiri. Sepertinya Mas Ahmad sudah bosan hidup bersamaku. Ia mau mendekati Novi lagi," kata Indah mengadu pada Bu Wulan."Ada apa ini? Ini tas siapa?" tanya Pak Harno.Indah pun dengan terisak-isak mengulangi kembali kata-katanya tadi."Oh, bagus kalau Ahmad mau mendekati Novi lagi. Ibu sangat setuju. Tapi sayangnya Novi sudah tidak mau dengan Ahmad lagi." Jawaban telak Bu Wulan membuat Indah semakin kesal dan geram."Ada apa ini?" tanya Alif yang baru saja datang. Ia datang karena ditelpon oleh Ahmad."Apa rencana kam