Sudah beberapa bulan ini rumah tangga Ahmad dan Novi tampak adem ayem. Ahmad sudah berubah, tidak pernah lagi berkumpul dengan teman-teman yang sefrekuensi dengannya. Ahmad banyak belajar dari Novi, tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik. Mereka berdua terus belajar dan saling mengingatkan tentang berbagai hal. Ahmad juga rajin membantu pekerjaan rumah, mengasuh Haikal ketika Novi sedang repot. Hubungan keduanya pun semakin mesra, komunikasi juga lancar.Haikal juga sudah semakin besar, sekarang ia sudah berusia enam bulan. Sudah mulai banyak gerak. Novi semakin kewalahan mengasuh Haikal sendirian. Karena itu ia mengerjakan pekerjaan rumah semampunya, yang terpenting baginya adalah Haikal. Ahmad pun mau memahami kondisi seperti ini.Pagi ini Haikal sudah mandi, dan Novi sedang menyusuinya di ruang keluarga yang ada kasurnya. Supaya mudah mengawasinya. Ahmad membantu membuka warung. Dina juga sudah mandi, siap mau berangkat sekolah. Setelah semua beres dan selesai sarapan, Ahm
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Kalau suami biasanya tidak romantis, terus tahu-tahu jadi romantis perlu dicurigai, Bu. Siapa tahu ia menutupi kelakuannya. Jadi istri merasa diperhatikan dan disayang, padahal hanya kedok suami saja." Bu Wanto menimpali."Bu Wanto kok ngomong gitu, sih. Kasihan Mbak Novi, nanti malah kepikiran. Apalagi ia sedang hamil," sahut seorang pembeli."Saya kan bukan mengatakan tentang Ahmad. Kalau Ahmad biasa romantis ya nggak perlu dicurigai." Bu Wanto tampak kesal. Beberapa orang yang di warung itu tampak terdiam, suasana menjadi kaku."Berapa semuanya belanjaan saya," kata Bu Wanto memecahkan suasana."Empat puluh tujuh ribu," sahut Novi."Ya, sudah, dicatat dulu ya. Saya lupa bawa uang," kata Bu Wanto sambil ngeloyor pergi. Novi hanya bisa mengelus dada."Bu Wanto itu aneh, mau ke warung kok nggak bawa uang. Ngomong saja mau ngutang," celetuk Wak Tini."Ya kayak gitu kalau orang sok kaya alias kaya tanggung. Dibilang miskin, bukan. Dibilang kaya kok jauh ya?" Pembeli yang lain menyahuti
Sudah beberapa bulan ini rumah tangga Ahmad dan Novi tampak adem ayem. Ahmad sudah berubah, tidak pernah lagi berkumpul dengan teman-teman yang sefrekuensi dengannya. Ahmad banyak belajar dari Novi, tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik. Mereka berdua terus belajar dan saling mengingatkan tentang berbagai hal. Ahmad juga rajin membantu pekerjaan rumah, mengasuh Haikal ketika Novi sedang repot. Hubungan keduanya pun semakin mesra, komunikasi juga lancar.Haikal juga sudah semakin besar, sekarang ia sudah berusia enam bulan. Sudah mulai banyak gerak. Novi semakin kewalahan mengasuh Haikal sendirian. Karena itu ia mengerjakan pekerjaan rumah semampunya, yang terpenting baginya adalah Haikal. Ahmad pun mau memahami kondisi seperti ini.Pagi ini Haikal sudah mandi, dan Novi sedang menyusuinya di ruang keluarga yang ada kasurnya. Supaya mudah mengawasinya. Ahmad membantu membuka warung. Dina juga sudah mandi, siap mau berangkat sekolah. Setelah semua beres dan selesai sarapan, Ahm
"Semoga aku tetap kuat dan tegar dalam menjalani hidupku," kata Novi dalam hati.Mungkin karena Novi sudah terlalu lelah, akhirnya Novi tertidur. Ahmad masih berada di ruang keluarga, ia merenungi semua yang terjadi akhir-akhir ini. Ia merutuki semua kelakuan bejatnya. "Semoga Novi masih mau memaafkanku," kata Ahmad dalam hati.Drtt…drtt…Ponselnya berdering, terlihat nama Fadly terpampang di layar ponsel. Ia malas menerima panggilan itu, akhirnya ia hanya mendiamkan saja. Ia harus mulai menjauhi teman-temannya yang membawa pengaruh negatif. Setelah dering ponsel berhenti, Ahmad pun membuka-buka ponselnya. Karena dari tadi malam ia belum sempat membukanya. Ada beberapa panggilan dan pesan. Ia pun membuka pesan dari Fadly.[Halo, Bro. Lama nggak ada kabarnya. Kapan ngumpul-ngumpul lagi? Eh, Lia kayaknya sekarang makin lengket sama Pak Edi. Kamu sudah nggak lagi ya sama Lia?] Pesan dari Fadly.[Aku nggak ada apa-apa sama Lia.] Fadly menjawab pesan Fadly.[Nanti malam ngumpul yuk, di t
"Ulva, kami memintamu pergi dengan baik-baik. Sebelum kami menggunakan kekerasan," kata Pak Harno."Aku nggak mau pergi." Ulva tetap bersikeras tidak mau pergi. Semua yang disini sudah kehabisan akal. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, Vera segera keluar. Sepertinya menyambut kedatangan mereka. Kemudian mereka masuk ke ruang keluarga. "Ulva!" panggil laki-laki yang baru saja masuk."Mas Anwar?" jawab Ulva dengan kaget. Apalagi ketika kedatangan Anwar diikuti oleh kedua orang tua Ulva dan satu laki-laki. Mungkin kakak atau adiknya Ulva."Ayah, Ibu?" Ulva terperanjat melihat kedua orang tuanya."Ulva, apa lagi sih yang kamu lakukan? Kok nggak capek-capeknya bikin malu orang tua? Kamu sepertinya ingin melihat kami cepat mati ya?" kata ayahnya Ulva dengan pelan."Ulva, sebenarnya apa yang kamu cari? Kepuasan? Kalau kamu memang mau berpisah denganku, akan aku kabulkan. Tapi jangan bikin malu Ayah dan Ibu. Ajukanlah permohonan cerai ke pengadilan, nanti aku tandatangani." Anwa
"Nggak usah didengerin, Dek. Namanya rumah tangga itu saling kerjasama. Nggak masalah suami ikut membantu pekerjaan rumah. Apalagi tahu kalau istri sedang repot," kata Ahmad."Betul itu, semuanya dikerjakan bersama. Apalagi dalam hal mengasuh anak, tidak boleh hanya istri saja yang mengurusi. Membuat anak kan berdua, repotnya juga harus berdua." Bu Wulan ikut menimpali, ia baru saja masuk ke ruang keluarga.Ulva tampak diam."Jam berapa kamu pergi, Ul?" tanya Bu Wulan."Boleh saya menginap disini lagi, Tante? Saya nggak punya tempat untuk menginap," kata Ulva."Nggak boleh!" sahut Novi dengan ketus."Kamu takut ya kalau Mas Ahmad tergoda?" cibir Ulva."Iya, karena kamu itu ulat bulu. Yang membuat semua menjadi gatal.""O ya? Tadi malam Mas Ahmad yang menggodaku," kata Ulva memprovokasi."Jangan bicara sembarangan," hardik Ahmad."Ulva, Ahmad tadi malam ketiduran disini, berarti kamu memang sengaja tidur disini sambil memeluknya. Kamu kan seharusnya tidur dikamar." Bu Wulan menimpali.
"Ada apa, Nov?" tanya Bu Wulan yang muncul dari kamar Dina. Ia tadi kaget mendengar Novi berteriak."Mas Ahmad tidur berdua dengan Ulva, posisi Ulva memeluk Mas Ahmad." Novi menjelaskan."Bisa Mas jelasin, Dek." Ahmad mendekati Novi."Kami tidak melakukan apa-apa," kilah Ulva."Memang tidak melakukan apa-apa. Tapi melihat kamu tidur memeluk suami orang, menandakan kamu perempuan seperti apa. Dasar perempuan murahan, sudah diizinkan menginap malah mencari kesempatan." Novi berkata dengan marah."Hei, jaga mulutmu. Kamu tidak tahu apa-apa tentangku." Ulva berkata dengan berang."Tentu saja tahu, perempuan yang lebih memilih laki-laki lain dan meninggalkan suami dan anak-anaknya yang menangis di rumah. Aku nggak tahu apa yang pernah terjadi antara kamu dan Mas Ahmad, tapi aku yakin kalau itu pasti sesuatu yang memalukan. Mas, aku sudah bilang tadi, tidurnya jangan malam-malam. Karena aku khawatir akan terjadi sesuatu, nyatanya benar kan?" tanya Novi dengan kesal."Aku mau pergi dengan la
"Bukan urusanmu!" jawab Ulva dengan ketus. Novi langsung naik pitam, Ahmad memegang tangan Novi untuk meredam emosi Novi."Memang sih, bukan urusanku. Tapi sekarang jadi urusanku, karena kamu tinggal disini. Walaupun hanya semalam saja. Apa nggak kasihan sama anak-anak? Kalau aku nggak bisa pisah dengan anak-anak."Ulva hanya diam saja, ia malah sibuk memainkan ponselnya. "Ayo, Mas kita makan," ajak Novi pada Ahmad. Ahmad pun beranjak ke kamar Dina untuk memanggil Dina dan Bu Wulan. "Ayo, makan, Ulva," ajak Bu Wulan yang baru keluar dari kamar Dina.Mereka semua sudah di ruang makan, Novi ke kamar mandi. Ulva duduk di sebelah Ahmad karena kursi di sebelah Ahmad masih kosong. Keluar dari kamar mandi, Novi menuju ruang makan. Ia melihat Ulva sedang mengambilkan nasi untuk Ahmad."Aku ambilkan nasi, ya, Mas?" kata Ulva."Nggak usah, aku bisa ambil sendiri." Ahmad berusaha menolak tawaran dari Ulva ia tidak mau kalau sampai Novi marah melihat kejadian ini.Tapi Ulva tetap memaksa meng
"Halo Tante Wulan," sapa Ulva."Eh, Ulva. Sudah lama datang?" tanya Bu Wulan."Belum, Tan?""Mana suami dan anak-anakmu?" tanya Bu Wulan lagi.Ulva segera memulai sandiwara, kemudian bercerita sambil menangis tersedu-sedu. Novi merasa muak mendengarnya."Terus kamu mau kemana?" tanya Bu Wulan."Rencananya minta izin menginap disini selama satu Minggu. Tapi istri Mas Ahmad tidak mengizinkan," kata Ulva memprovokasi Bu Wulan. Novi hanya terdiam. "Kenapa nggak menginap di rumah Vera?" tanya Bu Wulan."Nggak mau merepotkan Mbak Vera.""Lha kamu disini apa nggak merepotkan Novi, apalagi Novi memiliki bayi," celetuk Pak Harno."Saya janji, nggak akan merepotkan yang disini. Izinkan saya menginap disini," pinta Ulva.Bu Wulan pun mengajak Novi ke dapur."Bu, maaf kalau saya tidak mengizinkan Ulva tinggal disini. Rumah tangga kami baru mulai bangkit lagi, setelah kemarin ada masalah lagi." Novi berkata sambil terisak-isak."Masalah apa?""Ternyata yang selama ini meneror saya itu Weni, dan M
"Mbak, ada Mas Ahmad?" tanya seorang perempuan pada Novi di warung. Novi menatap perempuan itu dengan tidak berkedip. Perempuan muda, cantik dan pakaiannya itu seksi sekali, memperlihatkan lekuk tubuh pemakainya bak gitar spanyol."Mbak Siapa?" tanya Novi."Oh, Saya Ulva." Perempuan itu memperkenalkan diri."Ada perlu apa mencari Mas Ahmad?" tanya Novi lagi."Mbak siapanya Mas Ahmad?" Ulva balik bertanya pada Novi."Saya istrinya." Gantian Ulva yang menatap Novi dari ujung rambut ke ujung kaki. "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanya Novi."Mas Ahmadnya ada nggak?" Perempuan bernama Ulva itu mengalihkan pertanyaan Novi."Ada. Mau perlu apa?" Selidik Novi."Yang jelas saya ada perlu dengan Mas Ahmad."Novi tampak kesal dengan ucapan Ulva.Tak lama kemudian Ahmad keluar sambil menggendong Haikal."Ulva?" Ahmad kaget melihat Ulva ada di rumahnya."Mas Ahmad," panggil Ulva sambil mendekati Ahmad. Novi yang melihat kejadian itu menjadi kesal. Ia tetap membiarkan Ahmad menggendong Haikal."Masuk
“Mbak Novi,” panggil seseorang dari luar.Novi pun mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang memanggilnya, ternyata Ekta."Beli minyak goreng dua liter, Mbak!" kata Ekta. Novi pun menyiapkan apa yang dipesan Ekta. "Mbak Nov, Maaf, apa Weni juga menggoda Mas Ahmad?" tanya Ekta."Memangnya kenapa?" Novi mengernyitkan dahinya."Ada yang bercerita, kemarin di mall melihat Weni mendekati Mas Ahmad, padahal disitu ada Mbak Novi."Novi hanya terdiam."Nasib kita sama, Mbak. Weni juga merayu Mas Ardi, aku melihat beberapa pesan dari Weni. Aku sudah mengancam Mas Ardi, kalau ia meladeni Weni, aku akan pulang ke rumah orang tuaku bersama Rafa. Walaupun dulu Mas Ardi itu pacaran dengan Weni, seharusnya Weni tahu diri, nggak menggoda suami orang." Ekta berkata dengan sedikit emosi, mengingat kelakuan Weni."Sabar, Ekta. Kita berdoa saja, semoga suami kita tidak tergoda perempuan manapun." Novi mencoba menguatkan Weni.Tak lama kemudian datang Bu Hardi, ada juga Lastri dan Surti. "Eh, ada in