"Halo Tante Wulan," sapa Ulva."Eh, Ulva. Sudah lama datang?" tanya Bu Wulan."Belum, Tan?""Mana suami dan anak-anakmu?" tanya Bu Wulan lagi.Ulva segera memulai sandiwara, kemudian bercerita sambil menangis tersedu-sedu. Novi merasa muak mendengarnya."Terus kamu mau kemana?" tanya Bu Wulan."Rencananya minta izin menginap disini selama satu Minggu. Tapi istri Mas Ahmad tidak mengizinkan," kata Ulva memprovokasi Bu Wulan. Novi hanya terdiam. "Kenapa nggak menginap di rumah Vera?" tanya Bu Wulan."Nggak mau merepotkan Mbak Vera.""Lha kamu disini apa nggak merepotkan Novi, apalagi Novi memiliki bayi," celetuk Pak Harno."Saya janji, nggak akan merepotkan yang disini. Izinkan saya menginap disini," pinta Ulva.Bu Wulan pun mengajak Novi ke dapur."Bu, maaf kalau saya tidak mengizinkan Ulva tinggal disini. Rumah tangga kami baru mulai bangkit lagi, setelah kemarin ada masalah lagi." Novi berkata sambil terisak-isak."Masalah apa?""Ternyata yang selama ini meneror saya itu Weni, dan M
"Bukan urusanmu!" jawab Ulva dengan ketus. Novi langsung naik pitam, Ahmad memegang tangan Novi untuk meredam emosi Novi."Memang sih, bukan urusanku. Tapi sekarang jadi urusanku, karena kamu tinggal disini. Walaupun hanya semalam saja. Apa nggak kasihan sama anak-anak? Kalau aku nggak bisa pisah dengan anak-anak."Ulva hanya diam saja, ia malah sibuk memainkan ponselnya. "Ayo, Mas kita makan," ajak Novi pada Ahmad. Ahmad pun beranjak ke kamar Dina untuk memanggil Dina dan Bu Wulan. "Ayo, makan, Ulva," ajak Bu Wulan yang baru keluar dari kamar Dina.Mereka semua sudah di ruang makan, Novi ke kamar mandi. Ulva duduk di sebelah Ahmad karena kursi di sebelah Ahmad masih kosong. Keluar dari kamar mandi, Novi menuju ruang makan. Ia melihat Ulva sedang mengambilkan nasi untuk Ahmad."Aku ambilkan nasi, ya, Mas?" kata Ulva."Nggak usah, aku bisa ambil sendiri." Ahmad berusaha menolak tawaran dari Ulva ia tidak mau kalau sampai Novi marah melihat kejadian ini.Tapi Ulva tetap memaksa meng
"Ada apa, Nov?" tanya Bu Wulan yang muncul dari kamar Dina. Ia tadi kaget mendengar Novi berteriak."Mas Ahmad tidur berdua dengan Ulva, posisi Ulva memeluk Mas Ahmad." Novi menjelaskan."Bisa Mas jelasin, Dek." Ahmad mendekati Novi."Kami tidak melakukan apa-apa," kilah Ulva."Memang tidak melakukan apa-apa. Tapi melihat kamu tidur memeluk suami orang, menandakan kamu perempuan seperti apa. Dasar perempuan murahan, sudah diizinkan menginap malah mencari kesempatan." Novi berkata dengan marah."Hei, jaga mulutmu. Kamu tidak tahu apa-apa tentangku." Ulva berkata dengan berang."Tentu saja tahu, perempuan yang lebih memilih laki-laki lain dan meninggalkan suami dan anak-anaknya yang menangis di rumah. Aku nggak tahu apa yang pernah terjadi antara kamu dan Mas Ahmad, tapi aku yakin kalau itu pasti sesuatu yang memalukan. Mas, aku sudah bilang tadi, tidurnya jangan malam-malam. Karena aku khawatir akan terjadi sesuatu, nyatanya benar kan?" tanya Novi dengan kesal."Aku mau pergi dengan la
"Nggak usah didengerin, Dek. Namanya rumah tangga itu saling kerjasama. Nggak masalah suami ikut membantu pekerjaan rumah. Apalagi tahu kalau istri sedang repot," kata Ahmad."Betul itu, semuanya dikerjakan bersama. Apalagi dalam hal mengasuh anak, tidak boleh hanya istri saja yang mengurusi. Membuat anak kan berdua, repotnya juga harus berdua." Bu Wulan ikut menimpali, ia baru saja masuk ke ruang keluarga.Ulva tampak diam."Jam berapa kamu pergi, Ul?" tanya Bu Wulan."Boleh saya menginap disini lagi, Tante? Saya nggak punya tempat untuk menginap," kata Ulva."Nggak boleh!" sahut Novi dengan ketus."Kamu takut ya kalau Mas Ahmad tergoda?" cibir Ulva."Iya, karena kamu itu ulat bulu. Yang membuat semua menjadi gatal.""O ya? Tadi malam Mas Ahmad yang menggodaku," kata Ulva memprovokasi."Jangan bicara sembarangan," hardik Ahmad."Ulva, Ahmad tadi malam ketiduran disini, berarti kamu memang sengaja tidur disini sambil memeluknya. Kamu kan seharusnya tidur dikamar." Bu Wulan menimpali.
"Ulva, kami memintamu pergi dengan baik-baik. Sebelum kami menggunakan kekerasan," kata Pak Harno."Aku nggak mau pergi." Ulva tetap bersikeras tidak mau pergi. Semua yang disini sudah kehabisan akal. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, Vera segera keluar. Sepertinya menyambut kedatangan mereka. Kemudian mereka masuk ke ruang keluarga. "Ulva!" panggil laki-laki yang baru saja masuk."Mas Anwar?" jawab Ulva dengan kaget. Apalagi ketika kedatangan Anwar diikuti oleh kedua orang tua Ulva dan satu laki-laki. Mungkin kakak atau adiknya Ulva."Ayah, Ibu?" Ulva terperanjat melihat kedua orang tuanya."Ulva, apa lagi sih yang kamu lakukan? Kok nggak capek-capeknya bikin malu orang tua? Kamu sepertinya ingin melihat kami cepat mati ya?" kata ayahnya Ulva dengan pelan."Ulva, sebenarnya apa yang kamu cari? Kepuasan? Kalau kamu memang mau berpisah denganku, akan aku kabulkan. Tapi jangan bikin malu Ayah dan Ibu. Ajukanlah permohonan cerai ke pengadilan, nanti aku tandatangani." Anwa
"Semoga aku tetap kuat dan tegar dalam menjalani hidupku," kata Novi dalam hati.Mungkin karena Novi sudah terlalu lelah, akhirnya Novi tertidur. Ahmad masih berada di ruang keluarga, ia merenungi semua yang terjadi akhir-akhir ini. Ia merutuki semua kelakuan bejatnya. "Semoga Novi masih mau memaafkanku," kata Ahmad dalam hati.Drtt…drtt…Ponselnya berdering, terlihat nama Fadly terpampang di layar ponsel. Ia malas menerima panggilan itu, akhirnya ia hanya mendiamkan saja. Ia harus mulai menjauhi teman-temannya yang membawa pengaruh negatif. Setelah dering ponsel berhenti, Ahmad pun membuka-buka ponselnya. Karena dari tadi malam ia belum sempat membukanya. Ada beberapa panggilan dan pesan. Ia pun membuka pesan dari Fadly.[Halo, Bro. Lama nggak ada kabarnya. Kapan ngumpul-ngumpul lagi? Eh, Lia kayaknya sekarang makin lengket sama Pak Edi. Kamu sudah nggak lagi ya sama Lia?] Pesan dari Fadly.[Aku nggak ada apa-apa sama Lia.] Fadly menjawab pesan Fadly.[Nanti malam ngumpul yuk, di t
Sudah beberapa bulan ini rumah tangga Ahmad dan Novi tampak adem ayem. Ahmad sudah berubah, tidak pernah lagi berkumpul dengan teman-teman yang sefrekuensi dengannya. Ahmad banyak belajar dari Novi, tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik. Mereka berdua terus belajar dan saling mengingatkan tentang berbagai hal. Ahmad juga rajin membantu pekerjaan rumah, mengasuh Haikal ketika Novi sedang repot. Hubungan keduanya pun semakin mesra, komunikasi juga lancar.Haikal juga sudah semakin besar, sekarang ia sudah berusia enam bulan. Sudah mulai banyak gerak. Novi semakin kewalahan mengasuh Haikal sendirian. Karena itu ia mengerjakan pekerjaan rumah semampunya, yang terpenting baginya adalah Haikal. Ahmad pun mau memahami kondisi seperti ini.Pagi ini Haikal sudah mandi, dan Novi sedang menyusuinya di ruang keluarga yang ada kasurnya. Supaya mudah mengawasinya. Ahmad membantu membuka warung. Dina juga sudah mandi, siap mau berangkat sekolah. Setelah semua beres dan selesai sarapan, Ahm
"Mas, sudah tahu kabar terbaru belum?" tanya Novi pada malam hari ketika mereka mau tidur."Kabar apa?""Weni hamil."Ahmad tampak sangat kaget mendengar kata-kata Novi."Hanya gosip kali? Terus siapa yang menghamilinya?""Nah itu dia. Susah menjawabnya.""Memangnya kenapa?" Ahmad sangat penasaran."Para lelaki yang diduga menghamili Weni, tidak ada mau bertanggung jawab. Kecuali kalau sudah jelas itu adalah anak salah satu dari mereka." Novi menatap tajam pada Ahmad. Ahmad menjadi gelagapan."Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau pikir aku salah satu dari laki-laki itu?" Ahmad sepertinya kesal dengan Novi. Ia merasa dituduh oleh Novi."Jangan marah seperti itu, Mas. Aku nggak menuduh, cuma khawatir saja. Takutnya nanti Weni berkoar-koar membawa-bawa nama Mas." "Khawatirmu terlalu berlebihan. Kalau seperti itu berarti kamu nggak percaya sama aku.""Maafkan aku, Mas. Bukan maksudku tidak mempercayaimu. Aku hanya takut saja," kata Novi dengan pelan. Ahmad pun memeluk Novi. "Kepercayaa
"Eh ada Bapak dan Ibu. Sudah lama, Bu?" tanya Indah. "Alhamdulillah sudah cukup lama untuk mendengar kamu ngomel kayak kereta api, nggak ada berhentinya sama sekali. Apa kamu itu nggak capek? Apa yang ada di hati dan pikiranmu itu hanya mengeluh terus?" Bu Wulan akhirnya nyerocos juga."Bukannya mengeluh, Bu. Tapi semua ini kan kenyataan. Coba Ibu lihat tempat tinggal kami, berbanding terbalik dengan rumah yang ditempati Bapak dan Ibu." Indah membela diri."Ya tentu saja berbeda dong. Bapak dan Ibu membangun rumah itu dulu dengan banyak usaha, rajin bekerja. Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, bukan hanya mengeluh kayak kamu," sindir Bu Wulan."Namanya baru menikah, semuanya harus dimulai dari nol bersama dan berjuang bersama. Tentu kalian akan lebih menghargai jika berjuang bersama daripada mengharap bantuan dari orang tua. Nikmati saja dulu, kalau kalian ulet nanti akan merasakan hasilnya." Pak Harno menimpali."Kata Mas Ahmad, Novi dulu dikasih modal sama Bapak. Enak sekali d
Indah tersadar dari lamunannya, hatinya sangat senang, karena ia berharap Ahmad yang datang dan langsung meminta maaf padanya."Nanti kalau ia minta maaf, aku akan pura-pura masih marah. Jual mahal sedikit," kata Indah dalam hati. Ia pun beranjak dari duduk dan memasang wajah yang cemberut.Ceklek! Indah membuka pintu dan harus menelan kekecewaan karena yang ada di depan pintu bukan Ahmad."Tante, ini untuk Tante dari Ibu," kata anak perempuan sambil memberikan sebuah bungkusan. "Terima kasih Lala," ucap Indah."Sama-sama, Tante." Anak perempuan bernama Lala itu pun segera pergi. Indah segera menutup pintu dan membuka bungkusan berupa kotak Styrofoam. Ketika dibuka, sepaket ayam geprek, ada nasi dan sayur asem. "Ini namanya rezeki, disaat emosi dan lapar, ada yang mengantarkan makanan," gumam Indah. Seketika Ia pun melahapnya, untuk sejenak ia melupakan emosinya. Yang dipikirkan sekarang adalah makan untuknya dan bayi yang ada di dalam kandungannya.Tok…Tok"Siapa lagi sih?" gerutu
Pagi ini Pak Harno dan Bu Wulan datang ke rumah Alif. Mereka mencemaskan kondisi anak sulung mereka yang sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Sejak dari rumah sakit itu, orang tua Alif belum sempat mengunjungi Alif. Alif yang begitu baik dan tidak pernah membuat masalah dalam hidupnya, malah menerima cobaan yang diluar dugaan.Sampailah mereka di rumah Alif yang tampak sepi. Mereka jarang ke rumah ini, terutama Bu Wulan, karena ia kurang cocok dengan Vera, menantunya ini. Walaupun tidak pernah sampai ribut dan berantem. Vera yang lahir dan dibesarkan di keluarga yang mampu, membuatnya sering bersikap angkuh dan menyepelekan orang lain."Bapak, Ibu," sapa Ahmad dengan sangat terkejut, ketika ia membukakan pintu. Kemudian mempersilahkan orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah Alif. Mereka duduk di ruang keluarga, tempat mereka biasa ngobrol kalau sedang disini. Ahmad tadi malam menginap di rumah Alif. Kakak beradik itu berbicara hampir sepanjang malam, istilah kerennya salin
Sementara itu, Ahmad melajukan kendaraan tanpa arah yang jelas. Tahu-tahu ia sudah mengarah ke rumah Novi. Dengan kecepatan yang pelan, ia melewati rumah Novi dan mengamatinya. Ia baru tahu kalau Novi membuka usaha ayam geprek. Ada beberapa motor yang berhenti di depan warung ayam geprek. Ahmad melewati rumah Novi dengan perasaan sedih dan hatinya sangat sakit. Novi yang selama ini selalu diabaikannya, ternyata malah mampu membuktikan diri kalau ia mampu menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Mata Ahmad menjadi berkaca-kaca. Betapa jahatnya dirinya pada istri dan anak-anaknya."Seandainya aku tidak tergoda dengan Indah. Pasti hidupku sekarang bahagia bersama anak-anak," kata Ahmad dalam hati.Ia pun melajukan kendaraannya menjauh dari rumah orang tuanya Novi."Sekarang aku mau kemana ya? Ke rumah Bapak pasti nanti dimarahi. Ngumpul dengan teman-teman, aku nggak punya uang. Apa aku ke rumah Mas Alif ya? Sekedar menjenguk Mbak Vera. Tapi kalau Mbak Vera menagih hutangnya bagaiman
Indah pun berjalan menuju ke kamar Ahmad dan berbaring di tempat tidur. Ia sedang memikirkan cara arah mertuanya membenci Novi. Istri Ahmad itu akan tetap mengompori suaminya supaya meminta haknya sebagai anak dari Pak Harno dan Bu Wulan yang cukup kaya di daerah ini."Mas kok diam saja sih! Aku tuh sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan. Masa menantu sendiri tidak diperhatikan, malah mantan menantu begitu diistimewakan," kata Indah ketika Ahmad masuk ke dalam kamar. "Hak apa sih, Dek? Aku sudah tidak punya hak apa-apa. Aku sudah dibelikan tanah untuk membangun rumah lama itu.""Berarti Mas masih punya hak atas rumah itu. Kenapa rumahnya nggak dijual saja, terus uangnya dibagi dua dengan perempuan penjilat itu.""Novi pasti tidak akan setuju. Lagipula kalau dijual, aku akan mendapatkan seperempat bagian saja. Hasil penjualan itu dibagi empat. Anak-anak juga berhak atas rumah itu.""Kenapa sih setiap keputusan selalu berpihak pada Novi? Keenakan Novi kalau mendapat tiga perempat b
"Ahmad, ajari istrimu untuk bersopan santun dengan siapapun. Orang nggak punya etika sama sekali. Bagaimana nanti kalau kalian punya anak, pasti kelakuan anak kalian akan mengikuti orang tuanya," kata Bu Wulan dengan emosi. Sesaat setelah Novi dan anak-anaknya pulang, mereka masih berkumpul di ruang keluarga. "Tapi semua yang aku katakan itu kan benar, Bu. Keenakan Novi, kalau masih mendapatkan nafkah dari Mas Ahmad. Sedangkan kami masih belajar hidup berumah tangga dari nol," sahut Indah tak mau kalah."Nafkah itu bukan untuk Novi tapi untuk anak-anaknya. Kamu kan baru beberapa hari berumah tangga, ya wajar saja kalau masih serba kekurangan. Mulailah hidup dari Nol, biar kamu merasakan artinya berjuang." Bu Wulan menimpali."Tapi tetap saja Novi yang akan menggunakannya. Semakin keenakan dia. Istri tidak dinafkahi, mantan istri malah mendapatkan nafkah. Mas Ahmad kan anak Bapak dan Ibu, kenapa kok Bapak dan Ibu selalu membela mantan menantu. Novi itu hanya memanfaatkan kebaikan kelu
"Kamu harus sering memberi perhatian pada anak-anakmu. Sering-seringlah menjenguk anakmu atau mengajak mereka jalan. Dekatkan dirimu pada mereka. Dina bersikap seperti itu, karena pernah merasa sakit hati karena diabaikan oleh ayahnya sendiri. Kalau sikapmu tidak berubah, jangan salahkan mereka kalau pada akhirnya mereka akan membencimu." Pak Harno berbicara panjang lebar. Indah semakin tidak suka dengan ucapan mertuanya itu. Ia merasa mertuanya sangat pilih kasih. Seharusnya ia yang lebih diperhatikan, bagaimanapun juga Indah kan keponakannya Pak Harno. Walaupun keponakan jauh. Apalagi sekarang ia berstatus sebagai menantu, istri dari anak bungsu mereka."Jangan harap Mas Ahmad bisa dekat dengan anak-anaknya. Nanti pasti kesempatan Novi untuk mendekati Mas Ahmad lagi. Apalagi sampai ikut memberi nafkah untuk anak-anaknya. Keenakan Novi, sudah bercerai dengan Mas Ahmad masih diberi nafkah juga. Tidak akan aku biarkan ada perempuan mendekati suamiku, termasuk Novi," kata Indah dalam h
"Kenapa setiap bertemu Novi, ia semakin cantik. Padahal waktu dulu bersamaku ia tampak biasa saja," kata Ahmad dalam hati. Haikal berlari lagi dan menuju ke arah Ahmad dengan tertawa-tawa."Ayah," panggil Haikal, Ahmad menjadi terharu mendengar Haikal memanggilnya Ayah. Kemudian Ahmad menggendong Haikal. Sedangkan Dina sibuk berceloteh dengan Pak Harno, menceritakan kegiatannya sehari-hari. Pak Harno dengan telaten mendengarkan semua ucapan Dina, sesekali ikut menimpali.Bu Wulan ngobrol-ngobrol dengan Novi."Kamu semakin cantik saja, Nov," kata Bu Wulan."Terima kasih untuk pujiannya, Bu," jawab Novi dengan sopan."Sepertinya kamu sekarang semakin sibuk saja, usahamu melebar kemana-mana," kata Bu Wulan."Alhamdulillah, Bu. Semua saya lakukan demi anak-anak. Biaya sekolah kan semakin lama semakin besar. Jadi saya harus siapkan dari sekarang." Novi menjawab dengan tenang.Ucapan Novi tadi begitu menampar Ahmad. Bahkan ia belum memberi nafkah untuk anak-anaknya. Pak Harno langsung meno
Ahmad mengajak Indah mengunjungi orang tua Ahmad. Sekalian mau mengambil pakaian Ahmad. Pak Harno dan Bu Wulan masih sarapan ketika Ahmad dan Indah datang."Ayo ikut sarapan," ajak Pak Harno. Ahmad dan Indah pun ikut bergabung, mereka sarapan dengan lahapnya.Bu Wulan yang dari tadi mengamati kelakuan Indah, menjadi kasihan melihat Indah sangat rakus mengambil makanan. Seperti tidak pernah makan enak saja. Tak ada pembicaraan disela-sela makan. Semuanya fokus dengan makanan masing-masing. Selesai makan, Indah hanya mengikuti Ahmad saja. Tidak mau membantu membereskan meja makan, persis layaknya tamu. Bu Wulan segera membereskan meja makan, dibantu oleh Tini, ARTnya. "Perempuan itu nggak punya etika sama sekali. Habis makan, bukannya membantu membereskan meja makan malah ikut Ahmad masuk ke dalam kamar. Dasar nggak punya sopan santun," gerutu Bu Wulan. Tini hanya diam saja sambil mendengarkan celotehan Bu Wulan. Ia juga tidak menyukai Indah, berlagak seperti nyonya besar."Kenapa si