Indah pun berjalan menuju ke kamar Ahmad dan berbaring di tempat tidur. Ia sedang memikirkan cara arah mertuanya membenci Novi. Istri Ahmad itu akan tetap mengompori suaminya supaya meminta haknya sebagai anak dari Pak Harno dan Bu Wulan yang cukup kaya di daerah ini."Mas kok diam saja sih! Aku tuh sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan. Masa menantu sendiri tidak diperhatikan, malah mantan menantu begitu diistimewakan," kata Indah ketika Ahmad masuk ke dalam kamar. "Hak apa sih, Dek? Aku sudah tidak punya hak apa-apa. Aku sudah dibelikan tanah untuk membangun rumah lama itu.""Berarti Mas masih punya hak atas rumah itu. Kenapa rumahnya nggak dijual saja, terus uangnya dibagi dua dengan perempuan penjilat itu.""Novi pasti tidak akan setuju. Lagipula kalau dijual, aku akan mendapatkan seperempat bagian saja. Hasil penjualan itu dibagi empat. Anak-anak juga berhak atas rumah itu.""Kenapa sih setiap keputusan selalu berpihak pada Novi? Keenakan Novi kalau mendapat tiga perempat b
Sementara itu, Ahmad melajukan kendaraan tanpa arah yang jelas. Tahu-tahu ia sudah mengarah ke rumah Novi. Dengan kecepatan yang pelan, ia melewati rumah Novi dan mengamatinya. Ia baru tahu kalau Novi membuka usaha ayam geprek. Ada beberapa motor yang berhenti di depan warung ayam geprek. Ahmad melewati rumah Novi dengan perasaan sedih dan hatinya sangat sakit. Novi yang selama ini selalu diabaikannya, ternyata malah mampu membuktikan diri kalau ia mampu menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Mata Ahmad menjadi berkaca-kaca. Betapa jahatnya dirinya pada istri dan anak-anaknya."Seandainya aku tidak tergoda dengan Indah. Pasti hidupku sekarang bahagia bersama anak-anak," kata Ahmad dalam hati.Ia pun melajukan kendaraannya menjauh dari rumah orang tuanya Novi."Sekarang aku mau kemana ya? Ke rumah Bapak pasti nanti dimarahi. Ngumpul dengan teman-teman, aku nggak punya uang. Apa aku ke rumah Mas Alif ya? Sekedar menjenguk Mbak Vera. Tapi kalau Mbak Vera menagih hutangnya bagaiman
Pagi ini Pak Harno dan Bu Wulan datang ke rumah Alif. Mereka mencemaskan kondisi anak sulung mereka yang sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Sejak dari rumah sakit itu, orang tua Alif belum sempat mengunjungi Alif. Alif yang begitu baik dan tidak pernah membuat masalah dalam hidupnya, malah menerima cobaan yang diluar dugaan.Sampailah mereka di rumah Alif yang tampak sepi. Mereka jarang ke rumah ini, terutama Bu Wulan, karena ia kurang cocok dengan Vera, menantunya ini. Walaupun tidak pernah sampai ribut dan berantem. Vera yang lahir dan dibesarkan di keluarga yang mampu, membuatnya sering bersikap angkuh dan menyepelekan orang lain."Bapak, Ibu," sapa Ahmad dengan sangat terkejut, ketika ia membukakan pintu. Kemudian mempersilahkan orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah Alif. Mereka duduk di ruang keluarga, tempat mereka biasa ngobrol kalau sedang disini. Ahmad tadi malam menginap di rumah Alif. Kakak beradik itu berbicara hampir sepanjang malam, istilah kerennya salin
Indah tersadar dari lamunannya, hatinya sangat senang, karena ia berharap Ahmad yang datang dan langsung meminta maaf padanya."Nanti kalau ia minta maaf, aku akan pura-pura masih marah. Jual mahal sedikit," kata Indah dalam hati. Ia pun beranjak dari duduk dan memasang wajah yang cemberut.Ceklek! Indah membuka pintu dan harus menelan kekecewaan karena yang ada di depan pintu bukan Ahmad."Tante, ini untuk Tante dari Ibu," kata anak perempuan sambil memberikan sebuah bungkusan. "Terima kasih Lala," ucap Indah."Sama-sama, Tante." Anak perempuan bernama Lala itu pun segera pergi. Indah segera menutup pintu dan membuka bungkusan berupa kotak Styrofoam. Ketika dibuka, sepaket ayam geprek, ada nasi dan sayur asem. "Ini namanya rezeki, disaat emosi dan lapar, ada yang mengantarkan makanan," gumam Indah. Seketika Ia pun melahapnya, untuk sejenak ia melupakan emosinya. Yang dipikirkan sekarang adalah makan untuknya dan bayi yang ada di dalam kandungannya.Tok…Tok"Siapa lagi sih?" gerutu
"Eh ada Bapak dan Ibu. Sudah lama, Bu?" tanya Indah. "Alhamdulillah sudah cukup lama untuk mendengar kamu ngomel kayak kereta api, nggak ada berhentinya sama sekali. Apa kamu itu nggak capek? Apa yang ada di hati dan pikiranmu itu hanya mengeluh terus?" Bu Wulan akhirnya nyerocos juga."Bukannya mengeluh, Bu. Tapi semua ini kan kenyataan. Coba Ibu lihat tempat tinggal kami, berbanding terbalik dengan rumah yang ditempati Bapak dan Ibu." Indah membela diri."Ya tentu saja berbeda dong. Bapak dan Ibu membangun rumah itu dulu dengan banyak usaha, rajin bekerja. Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, bukan hanya mengeluh kayak kamu," sindir Bu Wulan."Namanya baru menikah, semuanya harus dimulai dari nol bersama dan berjuang bersama. Tentu kalian akan lebih menghargai jika berjuang bersama daripada mengharap bantuan dari orang tua. Nikmati saja dulu, kalau kalian ulet nanti akan merasakan hasilnya." Pak Harno menimpali."Kata Mas Ahmad, Novi dulu dikasih modal sama Bapak. Enak sekali d
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
"Eh ada Bapak dan Ibu. Sudah lama, Bu?" tanya Indah. "Alhamdulillah sudah cukup lama untuk mendengar kamu ngomel kayak kereta api, nggak ada berhentinya sama sekali. Apa kamu itu nggak capek? Apa yang ada di hati dan pikiranmu itu hanya mengeluh terus?" Bu Wulan akhirnya nyerocos juga."Bukannya mengeluh, Bu. Tapi semua ini kan kenyataan. Coba Ibu lihat tempat tinggal kami, berbanding terbalik dengan rumah yang ditempati Bapak dan Ibu." Indah membela diri."Ya tentu saja berbeda dong. Bapak dan Ibu membangun rumah itu dulu dengan banyak usaha, rajin bekerja. Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, bukan hanya mengeluh kayak kamu," sindir Bu Wulan."Namanya baru menikah, semuanya harus dimulai dari nol bersama dan berjuang bersama. Tentu kalian akan lebih menghargai jika berjuang bersama daripada mengharap bantuan dari orang tua. Nikmati saja dulu, kalau kalian ulet nanti akan merasakan hasilnya." Pak Harno menimpali."Kata Mas Ahmad, Novi dulu dikasih modal sama Bapak. Enak sekali d
Indah tersadar dari lamunannya, hatinya sangat senang, karena ia berharap Ahmad yang datang dan langsung meminta maaf padanya."Nanti kalau ia minta maaf, aku akan pura-pura masih marah. Jual mahal sedikit," kata Indah dalam hati. Ia pun beranjak dari duduk dan memasang wajah yang cemberut.Ceklek! Indah membuka pintu dan harus menelan kekecewaan karena yang ada di depan pintu bukan Ahmad."Tante, ini untuk Tante dari Ibu," kata anak perempuan sambil memberikan sebuah bungkusan. "Terima kasih Lala," ucap Indah."Sama-sama, Tante." Anak perempuan bernama Lala itu pun segera pergi. Indah segera menutup pintu dan membuka bungkusan berupa kotak Styrofoam. Ketika dibuka, sepaket ayam geprek, ada nasi dan sayur asem. "Ini namanya rezeki, disaat emosi dan lapar, ada yang mengantarkan makanan," gumam Indah. Seketika Ia pun melahapnya, untuk sejenak ia melupakan emosinya. Yang dipikirkan sekarang adalah makan untuknya dan bayi yang ada di dalam kandungannya.Tok…Tok"Siapa lagi sih?" gerutu
Pagi ini Pak Harno dan Bu Wulan datang ke rumah Alif. Mereka mencemaskan kondisi anak sulung mereka yang sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Sejak dari rumah sakit itu, orang tua Alif belum sempat mengunjungi Alif. Alif yang begitu baik dan tidak pernah membuat masalah dalam hidupnya, malah menerima cobaan yang diluar dugaan.Sampailah mereka di rumah Alif yang tampak sepi. Mereka jarang ke rumah ini, terutama Bu Wulan, karena ia kurang cocok dengan Vera, menantunya ini. Walaupun tidak pernah sampai ribut dan berantem. Vera yang lahir dan dibesarkan di keluarga yang mampu, membuatnya sering bersikap angkuh dan menyepelekan orang lain."Bapak, Ibu," sapa Ahmad dengan sangat terkejut, ketika ia membukakan pintu. Kemudian mempersilahkan orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah Alif. Mereka duduk di ruang keluarga, tempat mereka biasa ngobrol kalau sedang disini. Ahmad tadi malam menginap di rumah Alif. Kakak beradik itu berbicara hampir sepanjang malam, istilah kerennya salin
Sementara itu, Ahmad melajukan kendaraan tanpa arah yang jelas. Tahu-tahu ia sudah mengarah ke rumah Novi. Dengan kecepatan yang pelan, ia melewati rumah Novi dan mengamatinya. Ia baru tahu kalau Novi membuka usaha ayam geprek. Ada beberapa motor yang berhenti di depan warung ayam geprek. Ahmad melewati rumah Novi dengan perasaan sedih dan hatinya sangat sakit. Novi yang selama ini selalu diabaikannya, ternyata malah mampu membuktikan diri kalau ia mampu menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Mata Ahmad menjadi berkaca-kaca. Betapa jahatnya dirinya pada istri dan anak-anaknya."Seandainya aku tidak tergoda dengan Indah. Pasti hidupku sekarang bahagia bersama anak-anak," kata Ahmad dalam hati.Ia pun melajukan kendaraannya menjauh dari rumah orang tuanya Novi."Sekarang aku mau kemana ya? Ke rumah Bapak pasti nanti dimarahi. Ngumpul dengan teman-teman, aku nggak punya uang. Apa aku ke rumah Mas Alif ya? Sekedar menjenguk Mbak Vera. Tapi kalau Mbak Vera menagih hutangnya bagaiman
Indah pun berjalan menuju ke kamar Ahmad dan berbaring di tempat tidur. Ia sedang memikirkan cara arah mertuanya membenci Novi. Istri Ahmad itu akan tetap mengompori suaminya supaya meminta haknya sebagai anak dari Pak Harno dan Bu Wulan yang cukup kaya di daerah ini."Mas kok diam saja sih! Aku tuh sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan. Masa menantu sendiri tidak diperhatikan, malah mantan menantu begitu diistimewakan," kata Indah ketika Ahmad masuk ke dalam kamar. "Hak apa sih, Dek? Aku sudah tidak punya hak apa-apa. Aku sudah dibelikan tanah untuk membangun rumah lama itu.""Berarti Mas masih punya hak atas rumah itu. Kenapa rumahnya nggak dijual saja, terus uangnya dibagi dua dengan perempuan penjilat itu.""Novi pasti tidak akan setuju. Lagipula kalau dijual, aku akan mendapatkan seperempat bagian saja. Hasil penjualan itu dibagi empat. Anak-anak juga berhak atas rumah itu.""Kenapa sih setiap keputusan selalu berpihak pada Novi? Keenakan Novi kalau mendapat tiga perempat b
"Ahmad, ajari istrimu untuk bersopan santun dengan siapapun. Orang nggak punya etika sama sekali. Bagaimana nanti kalau kalian punya anak, pasti kelakuan anak kalian akan mengikuti orang tuanya," kata Bu Wulan dengan emosi. Sesaat setelah Novi dan anak-anaknya pulang, mereka masih berkumpul di ruang keluarga. "Tapi semua yang aku katakan itu kan benar, Bu. Keenakan Novi, kalau masih mendapatkan nafkah dari Mas Ahmad. Sedangkan kami masih belajar hidup berumah tangga dari nol," sahut Indah tak mau kalah."Nafkah itu bukan untuk Novi tapi untuk anak-anaknya. Kamu kan baru beberapa hari berumah tangga, ya wajar saja kalau masih serba kekurangan. Mulailah hidup dari Nol, biar kamu merasakan artinya berjuang." Bu Wulan menimpali."Tapi tetap saja Novi yang akan menggunakannya. Semakin keenakan dia. Istri tidak dinafkahi, mantan istri malah mendapatkan nafkah. Mas Ahmad kan anak Bapak dan Ibu, kenapa kok Bapak dan Ibu selalu membela mantan menantu. Novi itu hanya memanfaatkan kebaikan kelu
"Kamu harus sering memberi perhatian pada anak-anakmu. Sering-seringlah menjenguk anakmu atau mengajak mereka jalan. Dekatkan dirimu pada mereka. Dina bersikap seperti itu, karena pernah merasa sakit hati karena diabaikan oleh ayahnya sendiri. Kalau sikapmu tidak berubah, jangan salahkan mereka kalau pada akhirnya mereka akan membencimu." Pak Harno berbicara panjang lebar. Indah semakin tidak suka dengan ucapan mertuanya itu. Ia merasa mertuanya sangat pilih kasih. Seharusnya ia yang lebih diperhatikan, bagaimanapun juga Indah kan keponakannya Pak Harno. Walaupun keponakan jauh. Apalagi sekarang ia berstatus sebagai menantu, istri dari anak bungsu mereka."Jangan harap Mas Ahmad bisa dekat dengan anak-anaknya. Nanti pasti kesempatan Novi untuk mendekati Mas Ahmad lagi. Apalagi sampai ikut memberi nafkah untuk anak-anaknya. Keenakan Novi, sudah bercerai dengan Mas Ahmad masih diberi nafkah juga. Tidak akan aku biarkan ada perempuan mendekati suamiku, termasuk Novi," kata Indah dalam h
"Kenapa setiap bertemu Novi, ia semakin cantik. Padahal waktu dulu bersamaku ia tampak biasa saja," kata Ahmad dalam hati. Haikal berlari lagi dan menuju ke arah Ahmad dengan tertawa-tawa."Ayah," panggil Haikal, Ahmad menjadi terharu mendengar Haikal memanggilnya Ayah. Kemudian Ahmad menggendong Haikal. Sedangkan Dina sibuk berceloteh dengan Pak Harno, menceritakan kegiatannya sehari-hari. Pak Harno dengan telaten mendengarkan semua ucapan Dina, sesekali ikut menimpali.Bu Wulan ngobrol-ngobrol dengan Novi."Kamu semakin cantik saja, Nov," kata Bu Wulan."Terima kasih untuk pujiannya, Bu," jawab Novi dengan sopan."Sepertinya kamu sekarang semakin sibuk saja, usahamu melebar kemana-mana," kata Bu Wulan."Alhamdulillah, Bu. Semua saya lakukan demi anak-anak. Biaya sekolah kan semakin lama semakin besar. Jadi saya harus siapkan dari sekarang." Novi menjawab dengan tenang.Ucapan Novi tadi begitu menampar Ahmad. Bahkan ia belum memberi nafkah untuk anak-anaknya. Pak Harno langsung meno
Ahmad mengajak Indah mengunjungi orang tua Ahmad. Sekalian mau mengambil pakaian Ahmad. Pak Harno dan Bu Wulan masih sarapan ketika Ahmad dan Indah datang."Ayo ikut sarapan," ajak Pak Harno. Ahmad dan Indah pun ikut bergabung, mereka sarapan dengan lahapnya.Bu Wulan yang dari tadi mengamati kelakuan Indah, menjadi kasihan melihat Indah sangat rakus mengambil makanan. Seperti tidak pernah makan enak saja. Tak ada pembicaraan disela-sela makan. Semuanya fokus dengan makanan masing-masing. Selesai makan, Indah hanya mengikuti Ahmad saja. Tidak mau membantu membereskan meja makan, persis layaknya tamu. Bu Wulan segera membereskan meja makan, dibantu oleh Tini, ARTnya. "Perempuan itu nggak punya etika sama sekali. Habis makan, bukannya membantu membereskan meja makan malah ikut Ahmad masuk ke dalam kamar. Dasar nggak punya sopan santun," gerutu Bu Wulan. Tini hanya diam saja sambil mendengarkan celotehan Bu Wulan. Ia juga tidak menyukai Indah, berlagak seperti nyonya besar."Kenapa si