"La, kemarin ibumu beli ayam gepreknya dimana?" tanya Indah pada Lala yang kemarin mengantarkan ayam geprek. Hari ini Indah sengaja menunggu Lala pulang dari sekolah, karena ia ingin sekali makan ayam geprek."Oh, diujung desa, Te? Ayam geprek "seleraku" namanya. Murah kok, hanya sepuluh ribu." Lala mempromosikan ayam geprek, "memangnya kenapa?""Enak sekali ayam gepreknya." Indah menjawab dengan mata berbinar karena membayangkan enaknya ayam. Entah ayam gepreknya enak atau karena gratisan. Bisa juga karena bawaan bayi yang menyebabkan makanan itu terasa sangat enak."Kalau Tante mau, sini Lala beliin. Kebetulan Ibu nyuruh Lala beli ayam geprek." Lala menawarkan diri."Wah kebetulan sekali. Nih uangnya, beli dua porsi ya?" kata Indah sambil menyerahkan uang pada Lala.Indah segera masuk ke kontrakannya. Selera makannya sedang tinggi, jadi ia selalu merasa lapar. Untung ada makanan yang dibelikan mertuanya kemarin, jadi stok cemilan lumayan banyak. Tadi setelah memasak Indah sudah maka
Perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut Wawan, terasa panas di telinga Ahmad. Hatinya sangat cemburu. Sepertinya ia tidak rela jika sampai Novi menikah lagi. Tapi apa daya, semua diluar kuasanya. Ia sudah tidak memiliki hak apa-apa terhadap Novi. Ia hanya berkewajiban memberikan nafkah untuk anak-anaknya.Ahmad menghela nafas panjang, demi menurunkan emosi karena cemburu. Wawan yang dari tadi memperhatikan perubahan ekspresi wajah Ahmad, hanya bisa tersenyum. Ingin rasanya ia tertawa, menertawakan kebodohan Ahmad. Karena menurutnya, Ahmad sudah membuang berlian demi batu kerikil. Tapi ia tidak tega untuk tertawa, bagaimanapun juga ia masih memiliki rasa kasihan. Seolah-olah ia ikut merasakan penderitaan Ahmad.Mereka pun menyelesaikan makan dalam diam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Selesai makan, mereka segera melanjutkan bekerja. Ahmad menjadi tidak konsentrasi bekerja, pikirannya masih menerawang jauh. Mengingat semua kenangannya bersama dengan Novi. "Andai waktu bis
Tak terasa waktu sudah mulai gelap. Ahmad pun segera berpamitan untuk pulang dan ia berjanji akan sering-sering kesini menemui Dina dan Haikal. Tak lupa Ahmad memberikan sedikit uang untuk jajan anak-anaknya."Maaf ya Nov, hanya segini kemampuanku. Nanti kalau ada rezeki, akan aku berikan lagi," kata Ahmad pada Novi."Nggak apa-apa, Mas. Seberapapun itu, pasti anak-anak senang. Yang terpenting bagi mereka adalah kehadiran ayahnya," jawab Novi dengan diplomatis. Ahmad pun pulang dengan perasaan bahagia, walaupun ia tahu kalau nanti akan terjadi perang di rumahnya. "Bu, Dina dikasih uang sama Ayah. Dina masukin ke celengan ya?" kata Dina pada ibunya ketika Ahmad sudah pulang.Novi mengangguk dan tersenyum.Di tempat lain, Indah sudah sangat gelisah menunggu Ahmad yang belum juga pulang. Beberapa kali ia menelpon, tapi tidak direspon oleh Ahmad. "Kemana sih, Mas Ahmad, kok sampai sekarang belum juga pulang. Apa ia mampir ke rumah perempuan kampungan itu?" kata Indah sambil tetap mond
Novi membawa nampan berisi dua gelas minuman untuk Pak Budi dan tamunya. Kemudian menyajikannya di meja tamu."Silahkan diminum, Pak," tawar Novi pada Pak Fahri."Terima kasih Mbak Novi," sahut Pak Fahri. Novi segera melangkah masuk ke dalam lagi. Baru beberapa langkah, bapaknya memanggil."Novi, sini dulu," panggil Pak Budi.Novi menghentikan langkahnya dan melangkah kembali mendekati bapaknya."Ada apa, Pak?" tanya Novi dengan sopan."Duduk sini," kata Pak Budi.Novi menuruti kata-kata bapaknya, ia pun memilih duduk yang di dekat bapaknya."Novi, ada yang ingin disampaikan Pak Fahri padamu. Tadi Pak Fahri sudah berbicara dengan Bapak." Pak Budi menjelaskan.Novi mengangguk, hatinya berdebar-debar. "Kira-kira apa ya yang ingin Pak Fahri sampaikan. Aku kok jadi gemetaran seperti ini?" kata Novi dalam hati."Begini Mbak Novi, saya diutus oleh Ustadz Yusuf untuk menyampaikan sesuatu," kata Pak Fahri memulai percakapannya.Novi sudah paham apa yang akan disampaikan Pak Fahri. Karena ia
"Bu, Haikal sudah mengantuk," kata Dina yang juga sudah mulai menguap."O, iya, Nak. Kamu juga sudah mengantuk kan? Sekarang pipis dulu, baru tidur," kata Novi pada Dina."Iya, Bu," sahut Dina sambil beranjak menuju ke kamar mandi."Ajak Haikal tidur, tuh sudah menguap terus," kata Bu Murni pada anak perempuannya."Iya, Bu. Ayo Nak, pipis, ganti baju, terus tidur." Novi berkata sambil menggandeng Haikal ke kamar mandi.Dina sudah keluar dari kamar mandi dan langsung masuk ke kamarnya. Dina memang sudah berani tidur sendiri, karena Novi membiasakan Dina untuk mandiri. Novi segera mengajak Haikal untuk tidur.Sambil mengeloni Haikal, pikiran Novi menerawang jauh, mengingat kejadian malam ini. Ia benar-benar tidak menyangka jika Ustadz Yusuf menginginkan Novi menjadi istri kedua Ustadz Yusuf. Ustadz Yusuf memang ganteng, gagah, ramah dan baik hati. Banyak wanita yang terpikat dengan sosok Ustadz Yusuf, bahkan ada yang rela untuk menjadi istri kedua. Tapi itu tidak berlaku untuk Novi.Nov
"Eh, Mbak. Gimana yg ngontrak rumahku itu, orangnya baik nggak?" tanya Novi."Alhamdulillah, baik orangnya. Yang nggak berubah wataknya itu ya Weni. Masih saja angkuh, apalagi sekarang ia sudah menikah dengan Pak Edi. Ia jadi menguasai suaminya." Lastri menjelaskan."Memangnya Weni tinggal dimana?""Di rumah orangtuanya. Selvi istri Pak Edi yang satunya juga tinggal di rumah orang tuanya sendiri. Jadi sepertinya Pak Edi bergiliran mendatangi istri-istrinya. Tapi katanya Pak Edi sudah membeli rumah, nanti untuk tinggal bersama Weni.""Wow, no komen deh," sahut Novi."Asih sekarang juga sudah baik dengan Ekta. Kalau dulu ia selalu membanggakan Weni, sekarang ia tahu watak yang sebenarnya.""Terus suaminya Mbak Asih bagaimana?" tanya Novi."Sekarang suaminya menjadi suami takut istri, haha. Ia sangat penurut, mungkin karena sudah melakukan kesalahan yang fatal. Seandainya anak yang dikandung Weni kemarin anak suami Asih, Asih pasti akan menggugat cerai.""Padahal mereka semua melakukan d
Novi masih merasa berdebar-debar, memikirkan apa yang akan dibicarakan oleh Aisyah. Sesekali ia memandang perempuan cantik yang sedang duduk di depannya itu. Perempuan yang berhati seluas samudra karena mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Saat tatapan mata mereka bertemu, keduanya saling melemparkan senyuman. Senyuman tulus dari Aisyah membuat hati Novi menjadi iba, sesama wanita Novi bisa merasakan itu. Rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sama halnya dengan Aisyah, ia bingung mau memulai untuk berbicara. Lidahnya terasa sangat kelu melihat sosok perempuan berpenampilan sederhana, tapi tampak bersahaja. Pantas saja kalau suaminya ingin menikahi perempuan yang ada di depannya ini. Seketika rasa cemburu menguasai dirinya. Tapi kemudian ia beristighfar untuk meredam emosi yang mulai muncul. Ia pun menghela nafas panjang, kemudian memulai untuk berbicara."Pasti Dek Novi kaget dengan kehadiran saya disini. Kita memang saling mengenal walaupun tidak dekat. Tapi nama Dek Novi
"Saya bisa memahami pemikiran Dek Novi. Tapi apakah keputusan Dek Novi tidak berubah? Bukankah nanti semuanya bisa kita pelajari. Kita jalani dan kita niatkan hati untuk menerima semua ini. Saya yakin kalau saling mendukung kita pasti bisa melakukannya." Aisyah masih berusaha membujuk Novi untuk berubah pikiran."Betapa baiknya Mbak Aisyah. Apa aku tega membuatnya terluka? Mungkin ia akan selalu baik denganku, tapi perasaanya tidak ada yang tahu," kata Novi dalam hati."Banyak lho Dek, contoh keluarga yg harmonis walaupun suami berpoligami. Bahkan istri-istrinya saling menghormati dan akur. Kita bisa seperti itu, asal kita sama-sama ikhlas," kata Aisyah. Ia masih saja membujuk Novi untuk berubah pikiran."Itulah yang belum bisa aku lakukan, ikhlas," kata Novi dalam hati.Tapi Novi sudah memutuskan kalau ia tidak mau menjadi istri kedua. Biarlah hidupnya sederhana, daripada mewah tapi menyakiti hati perempuan lain."Mbak, jujur, apa Mbak benar-benar ikhlas ketika suami Mbak mau menikah
Hari ini Novi dan Farel mencari perlengkapan untuk mengisi rumah baru mereka. Hanya yang penting-penting dulu. Mereka berangkat dari rumah sekitar jam sembilan. Kebetulan Haikal tidak ikut, hanya mereka berdua, jadi bisa leluasa memilih furniture tanpa harus mengkhawatirkan Haikal yang bakal kecapekan. Sampailah mereka di toko furniture. Novi melihat-lihat tempat tidur untuk kamar mereka."Kasur ini bagus nggak untuk kamar Dina?" tanya Farel."Bagus, Mas. Tapi kita cari yang lain dulu," kata Novi. Sebenarnya Novi tadi sangat senang melihat kasur ini, tapi begitu melihat harganya, membuat Novi terperanjat."Kenapa?""Kita cari yang sebelah situ dulu, cari yang agak murah," bisik Novi."Tapi ini bagus." Farel tetap mempertahankan ini."Mas, kalau beli yang itu, terlalu mahal. Cari yang sederhana saja." Novi tetap pada pendiriannya.Akhirnya Farel mengalah. Mereka pun melihat-lihat lagi, mencari yang sesuai dengan keinginan dan budget."Nah kalau untuk kamar kita, yang ini saja. Ini kua
"Mas, semua ini membuatku sangat terharu. Terlalu berlebihan," kata Novi."Enggak Sayang. Ini semampuku, hanya mampu membuatkan rumah yang kecil untuk keluarga kecil kita. Tapi insyaallah rumah yang kita bangun ini akan menjadi rumah yang penuh dengan kebahagiaan.""Amin.""Aku juga nggak mau kita jauh dari Bapak Ibu. Lagi pula usahamu kan disini, jadi tidak repot.""Apa Mas nggak malu punya istri penjual ayam geprek?""Nggak usah dibahas yang seperti itu. Pokoknya aku sudah siap dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku nggak mau membatasi kegiatanmu. Yang penting kamu senang, dan ingat prioritasmu adalah menjadi istri dan ibu. Bukan mencari nafkah. Mencari Nafkah itu tugasku.""Siap, Bos!" kata Novi sambil cengengesan."Alhamdulillah ya Mas, tadi malam Bu Irma ikut datang," lanjut Novi."Bukan Bu Irma, tapi Mama.""Iya, Mama.""Sebenarnya Mama itu baik. Kita harus pintar-pintar mengambil hatinya. Suatu saat nanti Mama pasti akan luluh," kata Farel dengan menatap Novi."Kamu tahu
"Apa kalian sudah benar-benar mantap? Nanti kalian mau tinggal dimana setelah menikah?" tanya Pak Dewa."Nanti kami akan tinggal di bedengnya Novi, memulai semuanya dari nol."Novi memang memiliki bedengan untuk disewakan, kebetulan ada yang baru saja pindah, jadi ada bedeng yang kosong.Irma mencibir mendengar ucapan anaknya."Memang kamu bisa tinggal ditempat seperti itu," cemooh Irma."Insyaallah bisa, Ma. Namanya juga baru menikah dan belajar untuk memulai hidup baru, harus serba prihatin."Pak Dewa tersenyum dan manggut-manggut."Bagus! Itu namanya laki-laki sejati. Papa bangga sama kamu. Apa yang kamu butuhkan untuk menikah nanti? Bilang saja sama Papa! Mau pesta di gedung apa, biar Papa yang mengurusnya," kata Pak Dewa dengan antusias."Huh! Banyak gaya, masa mau pesta di gedung. Padahal setelah pesta tinggal di bedeng!" Irma berkata dengan sinis.Farel tersenyum dan sangat maklum dengan watak mamanya itu."Enggak usah, Pa! Acaranya hanya akad nikah saja di rumah Pak Budi. Meng
"Mas, aku takut," kata Novi ketika berada di dalam mobil."Takut kenapa, aku kan nggak ngapa-ngapain kamu," goda Farel sambil tersenyum."Aku serius, Mas.""Aku juga serius," sahut Farel.Novi masih saja tampak gelisah, ia takut membayangkan hal-hal yang mungkin nanti terjadi.Hari ini Farel sengaja mengajak Novi untuk menemui kedua orang tua Farel. Awalnya Novi menolak, karena belum siap untuk diejek dan dihina mamanya Farel. Tapi Farel berhasil meyakinkan Novi kalua semua akan baik-baik saja. Farel sendiri sudah bertekad tetap akan menikah dengan Novi meskipun mamanya tidak setuju.Di sepanjang perjalanan, Novi hanya terdiam. Farel yang fokus menyetir melihat ke arah Novi yang sedang melamun."Nggak usah khawatir, ada aku di sampingmu," kata Farel. Tangan kiri Farel berusaha memegang tangan Novi. Farel tersenyum walaupun hatinya deg-degan, tangan Novi terasa sangat dingin."Dingin sekali tanganmu, grogi ya?" ledek Farel.Novi hanya tersenyum samar. Akhirnya sampai juga di rumah ora
"Jadi Novi akan menikah juga ya? Atau mereka sudah menikah? Syukurlah kalau begitu. Berarti Mas Ahmad tidak akan mengharapkan Novi lagi, karena Novi sudah bersuami. Dan hidupku akan damai," kata Indah dalam hati."Tapi aku heran, kenapa Novi begitu baik denganku, sampai ia rela menggendong Salsa? Apakah karena kebaikan Novi ini yang membuatnya begitu sering dipuji oleh seluruh keluarga Mas Ahmad. Sepertinya aku harus mencontoh Novi." Dari tadi Ahmad mengamati Novi, ada kerinduan di hatinya. Rindu akan omelan dan juga masakan Novi yang selalu cocok di lidahnya. "Andai waktu bisa terulang lagi, aku akan selalu menjadi suami yang baik untuk Novi. Tapi, ah sudahlah. Sekarang sepertinya Novi sedang bahagia bersama Farel," kata Ahmad dalam hati dengan pandangan mata masih menatap Novi dan Farel.Seketika Ahmad terkejut karena pandangan matanya bertatapan dengan Indah. Indah tampak tersenyum penuh kemenangan melihat Ahmad yang terlihat sendu menatap Novi. Ahmad segera mengalihkan pandangan
Pagi ini semua sudah bersiap-siap untuk datang ke acara akad nikah Alif. Novi pun sudah menyiapkan hati untuk bertemu dengan Ahmad dan Indah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi disana. Keluar di kamar, semua sudah siap, termasuk Farel yang sudah datang dari tadi. Entah apa yang sedang dibicarakan Farel dengan Pak Budi, mereka tampak serius. Akhirnya Farel selesai juga berbicara dengan Pak Budi."Semua sudah siap kan? Ayo kita berangkat," ajak Farel."Iya, sudah siap kok. Tadi kelamaan nunggu Ibu dandan," celetuk Dina.Farel dan orang tua Novi tersenyum, sedangkan Novi salah tingkah. Akhirnya mereka berangkat menuju ke rumah Alif. Semua tampak ceria, terutama Farel dan Novi, yang sama-sama bahagia dan hatinya berbunga-bunga.Sampai di rumah Alif, acara belum dimulai. Karena penghulu juga baru saja datang. Ia masih meneliti berkas-berkas pernikahan. Acara akad nikah Alif digelar secara sederhana, tidak ada pesta. Hanya keluarga, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Pak Harn
"Mas, kita nggak mungkin bisa bersama. Perbedaan kita terlalu banyak. Aku takut nanti akan menjadi masalah besar. Aku…."Drtt…drtt…Belum selesai Novi berbicara, terdengar ponsel Farel berbunyi. Farel melihat sekilas ke arah ponselnya, tapi hanya mengacuhkan saja. Ia fokus lagi menatap Novi.Drtt…drttDrtt…drtt"Angkatlah panggilan itu, siapa tahu penting," kata Novi."Bukan hal penting kok."Drtt…drttAkhirnya Farel menonaktifkan nada deringnya."Kamu takut dengan Mama? Jangan khawatir, aku akan berusaha melunakkan hati Mama.""Kalau tidak berhasil?""Kita tetap menikah, toh aku juga sudah tidak tinggal di rumah Mama. Kita nanti akan memulai rumah tangga dari awal. Mengontrak rumah, menabung untuk membeli rumah.""Mudah sekali Mas bicara seperti itu. Begitu menjalaninya nanti banyak mengeluh.""Asalkan bersamamu, aku yakin mampu menjalani semuanya.""Gombal!""Aku bukan merayu, tapi memang aku sudah siap lahir batin hidup sederhana.""Mas, semua tak seindah dan semudah yang Mas bayan
Farel segera menggandeng tangan Novi dan mengajaknya mendekati anak-anak lagi. Dada Novi bergemuruh, hatinya berbunga-bunga. Tapi masih saja ada sedikit kekhawatiran."Nggak usah grogi kayak gitu, nanti kamu akan terbiasa dengan gandengan tanganku," ledek Farel, Novi hanya tersipu."Kok Ibu gandengan dengan Om, nggak boleh! Itu omnya adek, bukan omnya Ibu," kata Haikal mendekati Farel dan berusaha melepaskan gandengan tangan mereka.Farel semakin terkekeh melihat Haikal yang merasa cemburu dengan ibunya sendiri."Adek sayang sama Om ya?" tanya Farel."Iya! Om tidur di rumah adek ya, biar bisa ngelonin adek."Deg! Novi kaget mendengar jawaban Haikal."Om juga sayang sama adek, Ibu dan Mbak Dina." Farel menanggapi pertanyaan Haikal."Kalau sayang kok nggak mau tinggal di rumah adek?" Haikal masih penasaran dengan jawaban Farel."Nanti kalau Om sudah punya rumah sendiri, Om akan mengajak adek, Ibu dan Mbak Dina tinggal bersama.""Rumahnya bagus nggak Om?" tanya Haikal dengan antusias."
Novi hanya menatap mereka yang sibuk mencari permainan lain. Hatinya masih terasa sakit dengan sikap Irma. Novi memang sudah biasa dihina dan direndahkan orang, tapi yang dilakukan Irma tadi benar-benar menyakiti hatinya karena dilakukan di depan anak-anaknya. Walaupun sebenarnya Dina dan Haikal belum paham dengan apa yang terjadi, tetap saja Novi merasa dipermalukan.Novi menunduk sambil menghapus air mata yang mulai menetes. Kejadian ini tidak luput dari perhatian Farel. Walaupun ia sedang mendampingi Haikal dan Dina bermain, tapi pandangan matanya tidak lepas dari sosok yang dicintainya itu."Maafkan aku, Novi. Aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi," kata Farel dalam hati.Sementara itu, di mobil Pak Dewa sedang terjadi perdebatan. Tentu saja perdebatan antara Pak Dewa dan Irma."Mama nggak boleh bersikap seperti itu? Kayak orang nggak berpendidikan." Pak Dewa mengomel."Enak saja Papa bilang seperti itu! Yang Mama lakukan tadi benar. Mama kecewa dengan Farel! Farel pasti di