Tiiin…. Suara klakson motor mengagetkan Novi, ia tidak bisa mengendalikan diri."Mau mati ya?" teriak pengendara motor yang melaju dengan kencang.Novi yang mulai oleng mengendarai motor semakin kaget mendengar teriakan orang itu, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya benar-benar kosong, ia hanya menatap pengendara motor itu yang sudah menghilang dari pandangan matanya.Brak!! Yang ia rasakan, tubuhnya terkena benda keras dan ia pun terjatuh mencium kerasnya aspal jalanan.Orang-orang pun berlarian dan berteriak-teriak."Kecelakaan.""Oh, yang kecelakaan pelakor.""Karma seorang pelakor.""Biarin aja, nggak usah ditolong."Beberapa orang berkata-kata sambil menonton Novi yang mengalami kecelakaan. Air mata menetes di pipi Novi, menangis karena luka hati dan fisiknya."Hei, orang kecelakaan kok malah dilihat saja," teriak seorang laki-laki yang datang mendekati tempat kejadiam. Orang tersebut tampak cemas melihat darah yang keluar dari t
"Evi, tolong kamu sama Haikal dulu, ya? Mbah Kung mau mengurus Mbah Uti dulu," kata Pak Budi pada Evi."Iya, Mbah," kata Evi, kemudian ia masuk ke kamar Novi untuk menemani Haikal.Terdengar suara langkah kaki yang sangat tergesa-gesa, memasuki ruangan."Ada apa, Pak?" tanya Septi yang baru masuk ke dalam rumah, dibelakangnya ada Yanti."Adikmu kecelakaan," kata Pak Budi. Septi terkejut mendengar ucapan bapaknya, begitu juga Yanti."Kecelakaan? Kapan? Dimana? Bagaimana kondisinya? Sekarang Novi dimana?" cecar Septi dengan panik."Bapak juga nggak tahu kondisinya, sekarang Novi ada di rumah sakit. Yanti, kamu nggak usah buka warung. Tutup warungnya, beresin belanjaan Novi dan tolong tunggu di sini menemani Haikal." Pak Budi memberi arahan pada Yanti, Yanti pun mengangguk.Di rumah sakit, Lastri masih setia menunggu. Ia dan Pak Fahri beserta dua remaja berpakaian SMA menunggu di luar UGD. Novi sendiri masih ditangani oleh dokter.Lastri tampak mondar-mandir, sesekali duduk. Pak Fahri s
Ceklek! Pintu UGD dibuka, tampak dokter dan satu orang perawat keluar dari UGD.Bu Murni segera mendekati dokter dan perawat itu."Dok, bagaimana kondisi anak saya?" tanya Bu Murni."Oh, anak Ibu yang mengalami kecelakaan ya?" tanya dokter perempuan yang cantik dengan hijab berwarna mustard. Dokter tersebut bertanya dengan suara yang lembut dan enak didengar."Iya, Dok," jawab Bu Murni sambil mengangguk. Sesekali tampak ia menghapus air mata yang mengalir dengan sendirinya. Matanya sampai bengkak karena kebanyakan menangis."Masa kritisnya sudah lewat, tapi masih belum sadar." Dokter berkata sambil tersenyum untuk menenangkan ibu pasien, "kami akan berusaha yang terbaik untuk anak Ibu.""Boleh saya melihatnya, Dok?" tanya Bu Murni dengan penuh harap. Melihat perempuan setengah baya itu dengan wajah sangat cemas, dokter pun mengizinkannya."Boleh, gantian ya? Dua orang saja." Dokter memberikan jawaban, wajah Bu Murni memperlihatkan senyum lebar."Baik, Dok. Terima kasih," kata Bu Murni
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
Ceklek! Pintu UGD dibuka, tampak dokter dan satu orang perawat keluar dari UGD.Bu Murni segera mendekati dokter dan perawat itu."Dok, bagaimana kondisi anak saya?" tanya Bu Murni."Oh, anak Ibu yang mengalami kecelakaan ya?" tanya dokter perempuan yang cantik dengan hijab berwarna mustard. Dokter tersebut bertanya dengan suara yang lembut dan enak didengar."Iya, Dok," jawab Bu Murni sambil mengangguk. Sesekali tampak ia menghapus air mata yang mengalir dengan sendirinya. Matanya sampai bengkak karena kebanyakan menangis."Masa kritisnya sudah lewat, tapi masih belum sadar." Dokter berkata sambil tersenyum untuk menenangkan ibu pasien, "kami akan berusaha yang terbaik untuk anak Ibu.""Boleh saya melihatnya, Dok?" tanya Bu Murni dengan penuh harap. Melihat perempuan setengah baya itu dengan wajah sangat cemas, dokter pun mengizinkannya."Boleh, gantian ya? Dua orang saja." Dokter memberikan jawaban, wajah Bu Murni memperlihatkan senyum lebar."Baik, Dok. Terima kasih," kata Bu Murni
"Evi, tolong kamu sama Haikal dulu, ya? Mbah Kung mau mengurus Mbah Uti dulu," kata Pak Budi pada Evi."Iya, Mbah," kata Evi, kemudian ia masuk ke kamar Novi untuk menemani Haikal.Terdengar suara langkah kaki yang sangat tergesa-gesa, memasuki ruangan."Ada apa, Pak?" tanya Septi yang baru masuk ke dalam rumah, dibelakangnya ada Yanti."Adikmu kecelakaan," kata Pak Budi. Septi terkejut mendengar ucapan bapaknya, begitu juga Yanti."Kecelakaan? Kapan? Dimana? Bagaimana kondisinya? Sekarang Novi dimana?" cecar Septi dengan panik."Bapak juga nggak tahu kondisinya, sekarang Novi ada di rumah sakit. Yanti, kamu nggak usah buka warung. Tutup warungnya, beresin belanjaan Novi dan tolong tunggu di sini menemani Haikal." Pak Budi memberi arahan pada Yanti, Yanti pun mengangguk.Di rumah sakit, Lastri masih setia menunggu. Ia dan Pak Fahri beserta dua remaja berpakaian SMA menunggu di luar UGD. Novi sendiri masih ditangani oleh dokter.Lastri tampak mondar-mandir, sesekali duduk. Pak Fahri s
Tiiin…. Suara klakson motor mengagetkan Novi, ia tidak bisa mengendalikan diri."Mau mati ya?" teriak pengendara motor yang melaju dengan kencang.Novi yang mulai oleng mengendarai motor semakin kaget mendengar teriakan orang itu, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya benar-benar kosong, ia hanya menatap pengendara motor itu yang sudah menghilang dari pandangan matanya.Brak!! Yang ia rasakan, tubuhnya terkena benda keras dan ia pun terjatuh mencium kerasnya aspal jalanan.Orang-orang pun berlarian dan berteriak-teriak."Kecelakaan.""Oh, yang kecelakaan pelakor.""Karma seorang pelakor.""Biarin aja, nggak usah ditolong."Beberapa orang berkata-kata sambil menonton Novi yang mengalami kecelakaan. Air mata menetes di pipi Novi, menangis karena luka hati dan fisiknya."Hei, orang kecelakaan kok malah dilihat saja," teriak seorang laki-laki yang datang mendekati tempat kejadiam. Orang tersebut tampak cemas melihat darah yang keluar dari t
"Dasar laki-laki, tidak cukup dengan satu wanita. Maunya memiliki lebih dari satu, tanpa memikirkan perasaan istrinya," kata Novi dalam hati sambil melirik Pak Fahri yang menyandarkan kepala di sofa. Entah apa yang didengarkan oleh Pak Fahri, ia begitu menikmatinya. "Saya masih berharap Dek Novi memikirkannya lagi. Tidak usah terburu-buru mengambil keputusan."Novi hanya terdiam, ia bingung mau berkata apa lagi. Sepertinya Ustadz Yusuf tidak bisa menerima penolakan. "Benar-benar keras kepala," kata Novi dalam hati.Karena sudah mulai larut, Ustadz Yusuf akhirnya berpamitan pada Novi. Mau berpamitan dengan Pak Budi, ternyata sudah tidur."Assalamualaikum, Dek Novi," kata Ustadz Yusuf berpamitan pulang, sambil melangkah keluar dari ruang tamu."Waalaikumsalam," jawab Novi. Kemudian ia segera menutup pintu dan menguncinya. Kalau ia tetap di luar akan ada tetangga yang melihat dan ia bakal jadi bahan ghibahan lagi. Karena menerima tamu laki-laki yang merupakan suami orang."Sudah pulang
"Ini ayam geprek kesenanganku, Mas. Mas beli dimana?" tanya Indah dengan sumringah sambil menerima bungkusan dari Ahmad.Padahal dari tadi ia sudah emosi dan gelisah karena Ahmad tidak pulang-pulang. Mau menelponnya, tapi ponsel Ahmad ketinggalan di rumah. Ahmad sampai di rumah langsung memberikan dua porsi ayam geprek dari Novi tadi. Tidak mungkin ia berkata jujur, pasti Indah akan marah-marah. Tapi lambat laun ia akan memberitahu Indah kalau ia mengunjungi anak-anaknya."Ada deh. Makanlah semuanya," sahut Ahmad."Benar Mas? Untuk aku semua?" tanya Indah untuk memastikannya."Iya. Makanlah yang kenyang. Biar anak kita nggak kelaparan."Indah segera makan dengan lahap. Ia begitu menikmati ayam geprek ini. Ayam geprek kesukaannya, sudah beberapa hari ini ia tidak makan ayam geprek, karena Lala sedang sakit, jadi tidak mungkin menyuruh Lala membelikan ayam geprek. Perempuan yang sedang hamil itu tidak tahu kalau ayam geprek langganannya adalah milik Novi. Bisa dibayangkan kalau sampai
"Apakah Mbak Zahra kesini hanya untuk merendahkan saya?" kata Novi dengan tenang. Ia tidak takut berhadapan dengan Zahra. Ini adalah rumahnya, ia sebagai tuan rumah berhak untuk mengusir tamu yang tidak sopan."Oh, kamu menantang aku ya?" kata Zahra dengan sorot mata yang tajam. Tatapan mata yang penuh dengan kebencian."Tidak ada yang menantang Mbak Zahra. Hanya saja dari tadi ucap Mbak Zahra merendahkan saya. Apa sebenarnya tujuan Mbak Zahra kesini?" tanya Novi."Memintamu untuk menolak lamaran Mas Yusuf." Zahra mengungkapkan tujuannya menemui Novi. Novi tersenyum, sebenarnya ia sudah menduga maksud kedatangan Zahra. Ia pun memandang perempuan yang duduk berhadapan dengannya. Perempuan itu sebenarnya cantik, tapi terlihat sangat angkuh, mungkin karena ia orang kaya."Pasti Mbak Zahra belum tahu berita yang sebenarnya," kata Novi dalam hati."Jadi Mbak Aisyah mengutus Mbak Zahra kesini ya?" selidik Novi."Enggak. Mbak Aisyah nggak tahu kalau aku kesini. Mbak Aisyah juga nggak mungki
"Novi, kami tidak menghalangi kamu menikah lagi. Kamu berhak untuk hidup bahagia. Tapi pilihlah laki-laki yang tidak terikat pernikahan. Kamu tahu kan maksud Ibu?" Bu Wulan menjelaskan."Iya, Bu. Saya tidak mau menjadi istri kedua. Sangat menyakitkan bagi istri pertama.""Betul itu. Ibu lega sekali mendengar jawaban langsung darimu. Berarti cerita orang-orang itu tidak benar. Katanya kamu mau menikah dengan Ustadz Yusuf karena semua permintaanmu akan dipenuhi olehnya. Hidupmu akan terjamin dan nggak capek-capek lagi mencari uang. Memang ya, orang kali bercerita itu selalu ditambahi bumbu biar makin sedap." Bu Wulan berkata sambil tertawa lepas.Novi bahagia mendengar mantan mertuanya bisa tertawa seperti itu. Ia tahu kalau mertuanya itu sedang banyak pikiran. Anak-anaknya hidupnya sedang bermasalah. "Saya bekerja dengan ikhlas demi anak-anak, Bu. Mungkin orang melihat saya ngoyo mencari uang, padahal saya benar-benar menikmati pekerjaan saya.""Biarlah orang menilaimu seperti apa, ya
"Saya bisa memahami pemikiran Dek Novi. Tapi apakah keputusan Dek Novi tidak berubah? Bukankah nanti semuanya bisa kita pelajari. Kita jalani dan kita niatkan hati untuk menerima semua ini. Saya yakin kalau saling mendukung kita pasti bisa melakukannya." Aisyah masih berusaha membujuk Novi untuk berubah pikiran."Betapa baiknya Mbak Aisyah. Apa aku tega membuatnya terluka? Mungkin ia akan selalu baik denganku, tapi perasaanya tidak ada yang tahu," kata Novi dalam hati."Banyak lho Dek, contoh keluarga yg harmonis walaupun suami berpoligami. Bahkan istri-istrinya saling menghormati dan akur. Kita bisa seperti itu, asal kita sama-sama ikhlas," kata Aisyah. Ia masih saja membujuk Novi untuk berubah pikiran."Itulah yang belum bisa aku lakukan, ikhlas," kata Novi dalam hati.Tapi Novi sudah memutuskan kalau ia tidak mau menjadi istri kedua. Biarlah hidupnya sederhana, daripada mewah tapi menyakiti hati perempuan lain."Mbak, jujur, apa Mbak benar-benar ikhlas ketika suami Mbak mau menikah
Novi masih merasa berdebar-debar, memikirkan apa yang akan dibicarakan oleh Aisyah. Sesekali ia memandang perempuan cantik yang sedang duduk di depannya itu. Perempuan yang berhati seluas samudra karena mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Saat tatapan mata mereka bertemu, keduanya saling melemparkan senyuman. Senyuman tulus dari Aisyah membuat hati Novi menjadi iba, sesama wanita Novi bisa merasakan itu. Rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sama halnya dengan Aisyah, ia bingung mau memulai untuk berbicara. Lidahnya terasa sangat kelu melihat sosok perempuan berpenampilan sederhana, tapi tampak bersahaja. Pantas saja kalau suaminya ingin menikahi perempuan yang ada di depannya ini. Seketika rasa cemburu menguasai dirinya. Tapi kemudian ia beristighfar untuk meredam emosi yang mulai muncul. Ia pun menghela nafas panjang, kemudian memulai untuk berbicara."Pasti Dek Novi kaget dengan kehadiran saya disini. Kita memang saling mengenal walaupun tidak dekat. Tapi nama Dek Novi