"Nanti habis magrib ya keluarnya, kalau sekarang keluar tanggung," kata Ahmad mencoba memberi pengertian pada istrinya yang sedang hamil besar."Aku pengennya sekarang." Indah benar-benar keras kepala."Sebentar lagi azan magrib, kata orang tua, ibu hamil jangan keluyuran kalau azan magrib, pamali. Menunggu setelah azan magrib." Ahmad berusaha membujuk istrinya yang kekanak-kanakan.Indah masih merajuk, ia cemberut dengan mengerutkan bibirnya. Ahmad yang menatap Indah menjadi sangat kesal. "Ya sudah, kalau masih ngeyel dan merajuk mending nggak usah keluar sekalian. Makan yang ada saja. Kamu nggak mau makan ya nggak apa-apa, yang merasakan sakit itu kan kamu bukan aku." Ahmad pun merebahkan tubuhnya di kasur, mereka berdua saling memunggungi."Ya Allah, alangkah besarnya cobaanku ini. Mendapatkan istri yang tidak bisa mengerti tapi maunya dimengerti. Apakah ini karmaku karena sering menyakiti hati Novi?” Ahmad bermonolog dalam hati. Indah terdiam mendengar kata-kata Ahmad. “Benar j
"Sudah kenyang?" tanya Ahmad. Ia melihat piring Indah dan piringnya sudah bersih di makanan.Indah mengangguk dan tersenyum dengan lebar. "Kenyang sekali, Mas.""Aku bayar dulu ya?" kata Ahmad sambil beranjak dari tempat duduknya.Ahmad pun berjalan menuju ke kasir untuk membayar makanan."Mas Ahmad? Dengan siapa kesini?" tanya seorang laki-laki.Ahmad pun menoleh ternyata Farel yang juga antri di kasir. "Eh, Mas Farel. Makan disini juga ya?" jawab Ahmad dengan ramah. Walaupun sebenarnya ia tidak suka melihat Farel."Iya, Mas. O ya Mas Ahmad, saya kok penasaran. Apa hubungan Pak Harno dengan Mbak Novi? Apakah masih saudara? Kelihatannya Pak Harno sangat mencemaskan Mbak Novi," tanya Farel.Belum sempat menjawab, muncul seorang perempuan mendekati mereka. "Mas, kok lama sekali?" tanya Indah.Farel memandang ke arah Indah yang perutnya terlihat membesar. Farel sudah menebak kalau ini adalah istrinya Ahmad."Eh, iya. Antri tadi," jawab Ahmad dengan gelagapan."Oh, istrinya Mas Ahmad y
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
"Bukannya Edi itu temannya Mas Ahmad, ya kan Mbak Novi?" tanya Bu Hardi."Iya, Bu." Novi menjawab dengan pelan.Sudah menjadi rahasia umum, kalau Ahmad suaminya Novi sering berjudi hingga pagi. Mereka biasanya mangkal berjudi di warung tuak di pinggir desa mereka. Jangan tanya kenapa nggak diberantas polisi. Karena ada beberapa anggota yang juga suka ikut berjudi. Warung tuak itu memiliki beking seorang polisi, jadi selalu aman-aman saja."Kasihan istrinya Pak Tejo ya?" Asih menimpali."Uangnya Pak Tejo kan banyak." "Hutangnya juga banyak. Rata-rata bos ikan kan kayak gitu. Usahanya lancar, hutang bank juga melimpah, haha."Di daerah sini yang disebut bos ikan itu adalah orang yang memiliki usaha kolam perikanan. Biasanya memang usaha kolamnya dalam skala besar."Betul itu. Kayaknya para bos ikan itu selalu bersaing membeli barang-barang. Coba perhatikan, bos ikan di desa kita, mobilnya Fortuner semua, terus punya motor KLX dan Nmax. Belum lagi para istri bos ikan yang memakai emas s
Novi hanya terdiam. Ia sudah tahu arah pembicaraan mertuanya. Pasti akan membicarakan Vera istrinya Alif. Memang Bu Wulan tidak sepaham dengan Vera. Menurutnya Vera itu tipe istri yang mau menang sendiri. Maklumlah Vera berasal dari keluarga berada, terbiasa hidup enak.Bu Wulan menarik nafas panjang."Kemarin sore, waktu Ibu dan Bapak ke rumah Alif, hanya ada Irvin dan Elisa bersama dengan pembantunya. Alif masih di bengkel. Vera pergi arisan dari pagi sampai sore belum pulang. Arisan apa yang memakan waktu seharian? Nggak mikirin anak-anaknya.""Sesibuk-sibuknya seorang ibu, harus tetap memperhatikan anak-anaknya. Sebenarnya Vera itu sibuk apa, sih. Dia kan hanya menganggur di rumah. Terkadang kasihan melihat Alif, memiliki istri seperti itu. Untung Alif itu orangnya penyabar. Tapi Ibu kadang-kadang tidak suka dengan sifat Alif yang selalu mengalah pada Vera. Jadi kesannya tidak tegas dengan Vera."Novi masih terdiam, ia tampak sangat menyimak ucapan mertuanya. Karena ia bingung ma
"Untuk dua kali angsuran, ya Pak," kata Novi sambil menyerahkan uang pada Pak Tomo."Iya, Mbak. Jadi sudah lima kali angsuran ya?" kata Pak Tomo sambil membuka-buka bukunya. Pak Tomo pun menerima uang dari Novi dan menuliskan di buku, juga di kwitansi."Ini Mbak, kwitansinya." Pak Tomo menyerahkan kwitansi pada Novi."Terima kasih, Pak."Pak Tomo mengangguk. Kemudian membereskan buku dan kwitansi dan memasukkannya ke dalam tas. "Saya pulang, Mbak." Pak Tomo pun beranjak dari duduknya dan melangkah pergi dari rumah Novi.Pak Tomo merupakan orang kaya di desa ini. Memiliki banyak tanah. Pak Tomo mengkaplingkan tanahnya dan menjualnya secara cash atau kredit. Novi sudah membeli satu kapling tanah yang dibelinya secara kredit, dan yang ini adalah yang kedua. Tentu saja ia tidak menceritakan semua ini pada Ahmad, ia juga meminta Pak Tomo untuk tidak menceritakan pada Ahmad. Pak Tomo paham, karena beliau juga tahu kebiasaan Ahmad yang suka berjudi dan tentu saja menghabiskan banyak uang.K
"Enggak kok, Mbak. Ini memang beli gula dan kopi untuk di rumah." Ekta menjawab dengan pelan."Heran aku sama Ardi, kenapa dia menikah denganmu. Masih mending sama Weni, orangnya baik, nggak suka keluyuran, pintar cari uang juga. Nggak kayak kamu yang hanya bisa menghabiskan uang Ardi. Cepat pulang, dicari sama Ibu." Asih berkata kemudian pergi meninggalkan Ekta yang masih terdiam.Novi melihat Ekta menghapus air matanya."Begitulah watak orang, Ekta. Kalau sudah tidak senang dengan kita, apa yang kita lakukan selalu salah. Tidak ada yang benar.""Iya, Mbak," kata Ekta dengan tersedu-sedu."Sekarang kamu pulang dulu, nanti malah semakin rumit urusannya. Kamu harus sabar dan kuat demi anakmu."Ekta mengangguk kemudian pamit pulang. Novi merasa sedih melihat Ekta. Semoga Ekta kuat dan sabar menghadapi mertua dan ipar. Tak berapa lama, muncul lagi Weni di warung Novi."Mbak, Ekta tadi ngomongin apa?" tanya Weni."Maksudnya?" Novi mengernyitkan dahinya."Apa saja yang diomongin Ekta tadi.
"Sudah kenyang?" tanya Ahmad. Ia melihat piring Indah dan piringnya sudah bersih di makanan.Indah mengangguk dan tersenyum dengan lebar. "Kenyang sekali, Mas.""Aku bayar dulu ya?" kata Ahmad sambil beranjak dari tempat duduknya.Ahmad pun berjalan menuju ke kasir untuk membayar makanan."Mas Ahmad? Dengan siapa kesini?" tanya seorang laki-laki.Ahmad pun menoleh ternyata Farel yang juga antri di kasir. "Eh, Mas Farel. Makan disini juga ya?" jawab Ahmad dengan ramah. Walaupun sebenarnya ia tidak suka melihat Farel."Iya, Mas. O ya Mas Ahmad, saya kok penasaran. Apa hubungan Pak Harno dengan Mbak Novi? Apakah masih saudara? Kelihatannya Pak Harno sangat mencemaskan Mbak Novi," tanya Farel.Belum sempat menjawab, muncul seorang perempuan mendekati mereka. "Mas, kok lama sekali?" tanya Indah.Farel memandang ke arah Indah yang perutnya terlihat membesar. Farel sudah menebak kalau ini adalah istrinya Ahmad."Eh, iya. Antri tadi," jawab Ahmad dengan gelagapan."Oh, istrinya Mas Ahmad y
"Nanti habis magrib ya keluarnya, kalau sekarang keluar tanggung," kata Ahmad mencoba memberi pengertian pada istrinya yang sedang hamil besar."Aku pengennya sekarang." Indah benar-benar keras kepala."Sebentar lagi azan magrib, kata orang tua, ibu hamil jangan keluyuran kalau azan magrib, pamali. Menunggu setelah azan magrib." Ahmad berusaha membujuk istrinya yang kekanak-kanakan.Indah masih merajuk, ia cemberut dengan mengerutkan bibirnya. Ahmad yang menatap Indah menjadi sangat kesal. "Ya sudah, kalau masih ngeyel dan merajuk mending nggak usah keluar sekalian. Makan yang ada saja. Kamu nggak mau makan ya nggak apa-apa, yang merasakan sakit itu kan kamu bukan aku." Ahmad pun merebahkan tubuhnya di kasur, mereka berdua saling memunggungi."Ya Allah, alangkah besarnya cobaanku ini. Mendapatkan istri yang tidak bisa mengerti tapi maunya dimengerti. Apakah ini karmaku karena sering menyakiti hati Novi?” Ahmad bermonolog dalam hati. Indah terdiam mendengar kata-kata Ahmad. “Benar j
“Bu, ini ada sarapan untuk Ibu dan Mbak Novi,” kata Farel memecahkan keheningan.“O iya Nak Farel, terima kasih. Malah ngerepotin Nak Farel," kata Bu Murni."Enggak kok, Bu." Farel menjawab sambil tersenyum. Farel menatap ke arah Pak Harno yang tampak tersenyum juga. Ketika melihat kearah Ahmad, terlihat wajah Ahmad yang tidak bersahabat. Sebenarnya dari tadi Farel penasaran dengan hubungan Novi dan Pak Harno. Mau bertanya tapi ia sungkan."Apakah mereka masih ada hubungan keluarga ya? Tapi dari tadi Ahmad hanya diam saja," kata Farel dalam hati.Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Farel. Ia pun mengambil ponsel yang ada di saku kemejanya. Seketika ekspresi wajah Farel berubah, ketika melihat layar ponsel. Ia pun mengabaikan panggilan di ponsel tersebut dan memasukkan lagi ponsel itu ke saku kemeja. Ternyata ponsel Farel berdering lagi. Karena merasa tidak enak dengan semua yang ada di ruangan itu, akhirnya Farel pamit pulang.***"Ponselnya kok nggak aktif, Mas?" tanya Indah ke
"Siapa yang kecelakaan?" Pak Harno mengulangi pertanyaannya. Semua yang ada disitu terkejut mendengar suara Pak Harno. Pak Harno menatap empat orang itu satu persatu."Mbak Novi Pak," jawab Abdul dengan pelan, karena ia tahu kalau Novi itu menantu kesayangan bosnya."Novi? Novi anakku?" tanya Pak Harno lagi dengan ekspresi wajah yang sangat kaget."Iya, Pak. Mbak Novi ibunya Dina dan Haikal." Wawan ikut menjawab.Deg! Pak Harno memegang dadanya, Ahmad yang terkejut melihat bapaknya. Ia segera mendekati bapaknya, Wawan dan Wahyu ikut mendekati bos mereka, membantu Ahmad memapah bapaknya berjalan ke kursi terdekat. Abdul segera mengambil air putih untuk Pak Harno."Minum dulu, Pak," kata Abdul sambil menyerahkan gelas kepada Pak Harno. Pak Harno menyambut gelas tersebut dan segera meminumnya. Kemudian menarik nafas panjang."Bagaimana kondisi Novi?" tanya Pak Harno."Saya belum tahu, Pak," jawab Abdul."Kapan kejadiannya? Sendirian atau bersama anak-anak?" Pak Harno yang semakin penasar
"Bagi Ibu kamu masih anak kecil Ibu yang cengeng dan manja, juga mandiri. Maafkan Bapak dan Ibu yang tidak bisa memberikan kemewahan pada kalian," kata Bu Murni dengan mata berkaca-kaca."Pantesan Novi cengeng, keturunan dari Ibu," celetuk Pak Budi. Novi dan Septi tertawa mendengar celetukan bapaknya, sedangkan Bu Murni tampak bersungut-sungut kesal. "Tuh kan, hujan turun," lanjut Pak Budi ketika melihat air mata Bu Murni menetes di pipi. Novi dan Septi semakin lebar tertawanya. Novi sangat bahagia melihat orang tuanya masih bisa bercanda dan selalu terlihat bahagia. Terkadang Novi iri melihat orang tuanya yang sampai detik ini mereka masih seperti dulu. Selalu saling menggoda dan bercanda. Ia pun membandingkan dengan kehidupan rumah tangganya yang hancur berantakan. Seketika mata Novi menghangat, ia pun berusaha mati-matian supaya tidak menangis."Bu, Haikal kemana? Kok nggak diajak?" tanya Novi mengalihkan pembicaraan."Tadi pagi-pagi sudah dijemput Lastri. Katanya kasihan kalau
"Gimana Novi?" tanya Pak Budi dengan penasaran. "Sudah sadar, Pak. Aku mau cari ruangan dulu," kata Septi. Semua mata yang dari tadi memandang Septi, akhirnya bernafas lega mendengar kata-kata Septi."Biar saya yang mencari ruangan, Mbak," kata Farel mengajukan diri untuk membantu. Pak Budi memberi isyarat pada Septi untuk menuruti perkataan Farel."O iya, Mas. Silahkan," jawab Septi. Farel tersenyum dan melangkah pergi untuk mencari kamar. "Bapak, masuklah," ucap Septi mempersilahkan Pak Budi masuk ke ruang UGD. Pak Budi segera masuk ke ruangan."Mbak Septi, gimana Novi?" tanya Lastri yang masih setia menunggu."Tadi waktu Novi sadar, ia tampak tidak merespon kami. Aku cemas sekali, Mbak? Aku takut kalau Novi benar-benar tidak mengenali kami. Tapi Alhamdulillah, akhirnya Novi bisa mengingat kami. Kata perawat, Novi hanya syok saja." Novi menjelaskan pada Lastri."Syukurlah. Aku sangat cemas, takut terjadi sesuatu pada Novi." Lastri mengungkapkan kecemasannya. "Kita sama-sama berdo
Ceklek! Pintu UGD dibuka, tampak dokter dan satu orang perawat keluar dari UGD.Bu Murni segera mendekati dokter dan perawat itu."Dok, bagaimana kondisi anak saya?" tanya Bu Murni."Oh, anak Ibu yang mengalami kecelakaan ya?" tanya dokter perempuan yang cantik dengan hijab berwarna mustard. Dokter tersebut bertanya dengan suara yang lembut dan enak didengar."Iya, Dok," jawab Bu Murni sambil mengangguk. Sesekali tampak ia menghapus air mata yang mengalir dengan sendirinya. Matanya sampai bengkak karena kebanyakan menangis."Masa kritisnya sudah lewat, tapi masih belum sadar." Dokter berkata sambil tersenyum untuk menenangkan ibu pasien, "kami akan berusaha yang terbaik untuk anak Ibu.""Boleh saya melihatnya, Dok?" tanya Bu Murni dengan penuh harap. Melihat perempuan setengah baya itu dengan wajah sangat cemas, dokter pun mengizinkannya."Boleh, gantian ya? Dua orang saja." Dokter memberikan jawaban, wajah Bu Murni memperlihatkan senyum lebar."Baik, Dok. Terima kasih," kata Bu Murni
"Evi, tolong kamu sama Haikal dulu, ya? Mbah Kung mau mengurus Mbah Uti dulu," kata Pak Budi pada Evi."Iya, Mbah," kata Evi, kemudian ia masuk ke kamar Novi untuk menemani Haikal.Terdengar suara langkah kaki yang sangat tergesa-gesa, memasuki ruangan."Ada apa, Pak?" tanya Septi yang baru masuk ke dalam rumah, dibelakangnya ada Yanti."Adikmu kecelakaan," kata Pak Budi. Septi terkejut mendengar ucapan bapaknya, begitu juga Yanti."Kecelakaan? Kapan? Dimana? Bagaimana kondisinya? Sekarang Novi dimana?" cecar Septi dengan panik."Bapak juga nggak tahu kondisinya, sekarang Novi ada di rumah sakit. Yanti, kamu nggak usah buka warung. Tutup warungnya, beresin belanjaan Novi dan tolong tunggu di sini menemani Haikal." Pak Budi memberi arahan pada Yanti, Yanti pun mengangguk.Di rumah sakit, Lastri masih setia menunggu. Ia dan Pak Fahri beserta dua remaja berpakaian SMA menunggu di luar UGD. Novi sendiri masih ditangani oleh dokter.Lastri tampak mondar-mandir, sesekali duduk. Pak Fahri s
Tiiin…. Suara klakson motor mengagetkan Novi, ia tidak bisa mengendalikan diri."Mau mati ya?" teriak pengendara motor yang melaju dengan kencang.Novi yang mulai oleng mengendarai motor semakin kaget mendengar teriakan orang itu, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya benar-benar kosong, ia hanya menatap pengendara motor itu yang sudah menghilang dari pandangan matanya.Brak!! Yang ia rasakan, tubuhnya terkena benda keras dan ia pun terjatuh mencium kerasnya aspal jalanan.Orang-orang pun berlarian dan berteriak-teriak."Kecelakaan.""Oh, yang kecelakaan pelakor.""Karma seorang pelakor.""Biarin aja, nggak usah ditolong."Beberapa orang berkata-kata sambil menonton Novi yang mengalami kecelakaan. Air mata menetes di pipi Novi, menangis karena luka hati dan fisiknya."Hei, orang kecelakaan kok malah dilihat saja," teriak seorang laki-laki yang datang mendekati tempat kejadiam. Orang tersebut tampak cemas melihat darah yang keluar dari t