Inaya memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Tanpa memedulikan benda itu kembali bergetar. Dia harus segera berangkat kerja, takut juga kalau telat. Apalagi dia belum juga sarapan. Jilbab warna biru dipakainya dengan cepat.
Entahlah, siapapun yang menelepon, Inaya tidak peduli. Tidak penting baginya. Selagi Andra belum kembali, dia tidak akan menerima telepon dari siapapun itu."Kamu nggak sarapan dulu, Naya?" tanya ibunya yang menyiapkan sarapan di meja."Nggak, Buk. Nanti Naya telat."Wanita itu menyalami ibu dan bapaknya, mengucap salam kemudian tergesa keluar rumah. Motor sudah di panasi oleh bapaknya tadi.Pikirannya tidak sekacau hari ini. Tapi bukankah selama ini dia tidak pernah bisa tenang, kekhawatiran, kecemasan, juga rasa takut yang berlebihan sangat mengganggunya. Entah kapan, pernikahannya ini pasti akan diketahui oleh istri suaminya. Dan ketika itu terjadi, akan ada dua kemungkinan. Dia dipertahankan atau di buang.Inaya memacu kendaraannya lebih cepat. Berkendara di antara anak-anak yang hendak berangkat sekolah. Rasanya baru kemarin saja dia masih memakai seragam abu-abu putih itu, kemudian kuliah dan pulang sebulan dua kali. Waktunya hanya untuk belajar dan belajar. Tidak seperti rekan-rekan lainnya yang menyelingi dengan pacaran. Satu-satunya pria yang dekat dengannya hanya Arsyaka.Dia sangat menjaga diri, agar bisa fokus untuk sukses terlebih dulu sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Namun perkenalannya dengan Andra telah melunturkan keteguhan hati yang selama ini diagungkannya. Dia jatuh cinta pada pria berpostur tinggi tegap dengan dadanya yang bidang. Sopan santun lelaki itu telah memikat Inaya.Sejak kenal di sebuah workshop, mereka sering bertemu saat pulang kerja. Karena perusahaan tempat kerja Inaya berada satu jalur dengan perusahaan Andra. Sejak awal pria itu telah berterus terang kalau dia pria beristri dengan dua anak. Mereka menjalin pertemanan yang wajar. Hingga seiring berjalannya waktu, tidak ada yang bisa mengelak dari perasaan yang pada akhirnya tumbuh subur di hati keduanya.Inaya membuang napas kasar, menepis kenangan yang membuatnya hampir menyenggol pengendara sepeda onthel di sebelahnya. Wanita itu mengurangi kecepatan, kemudian berbelok di pintu gerbang yang di jaga oleh seorang satpam.Tati yang baru saja memarkir motornya, berdiri menunggu sahabatnya."Udah sarapan belum?" tanya Inaya pada Tati."Belum. Ini aku bawa bekal. Anakku semalaman demam, jadi tadi aku bangunnya kesiangan. Ayo, ke kantin!"Keduanya melangkah ke arah kantin. Di sebelah mereka, Pak Leo, kepala divisi perencanaan, juga melangkah ke kantin. "Hai," sapa pria itu."Selamat pagi, Pak." Inaya dan Tati menyapa hampir bersamaan. Pria berwajah blasteran Belanda itu tersenyum genit pada Inaya. Entah sudah berapa kali pria itu mengajaknya kencan beberapa jam saja. Tapi Inaya tidak pernah menggubrisnya. Posisinya sebagai istri kedua, sering membuat dirinya di remehkan oleh beberapa atasannya.Namun begitu, teman-teman kerjanya tidak ada yang menyindirnya dengan status yang di sandang sekarang. Mereka sangat menghormati privasi masing-masing. Tidak seperti penduduk desa yang masih sering menyindirnya.Tangan Tati digandeng oleh Inaya dan diajaknya melangkah lebih cepat, meninggalkan pria jangkung itu.πππ"Ayo anak-anak cepetan, udah di tunggu Papa tuh!" teriak wanita cantik dengan rambut lurus sebahu kepada dua anaknya. Sementara Andra sudah siap duduk di belakang kemudi mobil.Bocah umur sembilan tahun dan tujuh tahun itu berlari sambil menyeret tas sekolahnya. Seorang asisten rumah tangga tergesa menghampiri dan membawakan tas untuk mereka dan memasukkan ke dalam mobil."Bik, nanti bilangkan ke Mama kalau aku dan Mas Andra keluar, ya," pamit Marina pada ART-nya."Njih, Mbak Rina."Mobil meluncur keluar rumah megah milik mertua Andra. Sepanjang perjalanan dua anak mereka bernyanyi dengan riang. Mereka sangat bahagia tiap kali papanya pulang. Andra memperhatikan dari cermin kecil di atas kemudi, lantas tersenyum senang."Papa, nggak balik kerja lagi, 'kan?" tanya si sulung. Amelia."Balik dong, Sayang.""Kenapa nggak pindah kerja di sini saja. Biar tiap hari bisa ngantar kami sekolah." Amelia berkata dengan bibir mungilnya yang mengerucut sebal."Papa kerja, Kak. Biar bisa beliin mainan buat adik," jawab sing bungsu yang baru umur tujuh tahun. Kiki namanya."Kamu ini mainan saja." Amel memarahi sang adik."Sudah-sudah, Amel, Kiki. Nggak usah bertengkar, kita sudah sampai ini." Marina melerai dua anaknya. Mobil sudah menepi tepat di depan pagar sekolah mereka. Sekolah favorit berkelas internasional. Marina dan Andra turun. Wanita itu membuka pintu mobil. Dua anak yang manis mencium tangan kedua orang tuanya bergantian."Nanti Papa yang jemput kami, 'kan?" tanya Amelia."Iya, Sayang!" Andra mencium kening kedua anaknya. Mereka bergerak riang menuju pintu gerbang.Setelah anak-anak masuk dan berbaur dengan murid-murid lainnya. Andra dan Marina kembali masuk ke mobil. Mereka hendak melihat rumah yang sudah di beli Andra dua tahun yang lalu. Hingga sekarang belum ditempati karena Marina lebih nyaman tinggal bersama kedua orang tuanya. Karena fasilitas di sana lebih lengkap, ada beberapa pembantu juga. Jadi wanita itu tidak perlu repot-repot mengurus rumah dan dua anaknya. Dia juga punya banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri, hang out dengan teman-temannya sewaktu-waktu. Rumah orang tuanya berada di kawasan elite, sedangkan Andra hanya mampu beli rumah di kawasan standard.Seorang lelaki setengah baya tergopoh membuka pintu pagar untuk majikannya. Pak Sarno, pria yang dibayar Andra untuk menjaga dan merawat rumah mereka."Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa lelaki itu saat Andra dan Marina turun dari mobil."Selamat pagi, Pak," jawab Andra sambil tersenyum ramah. Marina dengan angkuhnya, hanya menatap sekilas pada lelaki itu. Kemudian mengajak istrinya masuk rumah. Belum banyak perabotan di sana. Rumah minimalis berlantai dua, tidak terlalu besar, tapi pekarangannya cukup luas.Mereka naik ke lantai dua. Menuju balkon dan melihat pemandangan dari sana. Di kejauhan tampak hutan kota yang segar di tengah kepadatan lalu lintas dan gedung-gedung pencakar langit.Marina memeluk suaminya dari belakang. Mencium aroma tubuh yang selalu di rindukannya. Usapan lembut tangan Marina di area perutnya menimbulkan sensasi berbeda. Andra menghentikan gerakan tangan itu dan berbalik. Marina tersenyum. "Mas, jangan lupa mempertimbangkan usulan Papa tadi malam," kata Marina sambil menyandarkan kepala ke dada bidang suaminya.Andra tidak menjawab. Tadi malam papa mertuanya memaksanya untuk segera mengajukan pindah lagi ke kantor pusat. "Rayu Pak Yusa, beliau pasti luluh juga. Bukankah kalian sangat dekat? Karirmu di sana juga begitu-begitu saja. Gaji segitu mana cukup untuk kehidupan anak istrimu di sini." Kalimat mertuanya selalu saja ada yang menyentil perasaannya. Padahal gaji Andra tidak sedikit dengan jabatan Chief Engineer. Dengan gaji itu dia bisa mengirim uang untuk mamanya, untuk nafkah Inaya, dan paling besar untuk Marina dan anak-anak.Bagi Andra itu sudah lebih dari cukup. Tapi gaya glamour istrinya membuat apa yang diberikan selalu kurang. Marina memang tidak pernah mengeluh, karena dia memiliki jatah sendiri dari sewa puluhan ruko dan gudang milik orang tuanya. Dari uang itulah Marina bisa memenuhi gaya hidupnya yang mewah.Satu hal yang paling tidak di sukai Andra. Dia selalu di banding-bandingkan dengan menantu yang lain. Di sindir dan di rendahkan. Tiap kali mengajak Marina membicarakan hal itu, selalu kata sabar yang diucapkan istrinya. Sepuluh tahun Andra menulikan telinga dengan ejekan keluarga Marina. Dan bagi Marina itu hal biasa, jangan di dengarkan. Padahal harga diri Andra sedang diinjak-injak.Dia bertahan karena sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Meski perasaan itu kini terbagi dengan kehadiran Inaya yang sangat menghargainya sebagai seorang pria dan suami."Sayang, akan bicara dengan Pak Yusa, 'kan?""Iya. Walaupun kemungkinan itu kecil. Mas sangat di andalkan dan dipercaya di sana.""Di coba, dong. Apa selamanya kita akan berjauhan begini? Pulang juga nggak bisa tiap bulan. Aku nggak mungkin ikut ke sana. Sekolahnya anak-anak bagaimana? Papa khawatir cucunya nggak mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak."Andra tersenyum getir mendengar ucapan istrinya. Apa mereka pikir di kota tempatnya bekerja tidak ada sekolahan terbaik. Bahkan dulu Andra sudah mencari tahu akan hal itu sebelum menyampaikan niat untuk mengajak Marina dan anak-anak pindah. Ada sekolah favorit berbasis agama yang tak kalah dari sekolah-sekolah di ibukota. Namun sayang, niatnya itu di tolak mentah-mentah oleh Marina dan mertuanya. Andra mengalah."Sayang," rengek Marina."Iya, nanti Mas usahakan."Satu kecupan lembut diberikan Marina ke bibir suaminya. Wanita itu menarik tangan Andra untuk masuk ke kamar mereka. Sepagi itu mereka bercinta.πππBu Safitri mengangsurkan satu gelas jus sirsak di meja depan putranya. Beberapa buah sirsak di samping rumah yang dipetiknya kemarin sudah masak. Melihat putranya datang, langsung saja di buatkan jus kesukaan Andra."Kapan kamu kembali?""Tiga hari lagi, Ma."Wanita itu mengangguk-angguk. "Mama sebenarnya pengen ikut ke sana. Kalau lihat foto-foto yang kamu kirim atau pas kamu video call, tampak suasana di sana sangat asri.""Andra senang kalau mama pengen ke sana. Ayo, Ma. Kapan?""Nanti setelah adikmu lahiran. Minggu depan ini Amy lahiran, Nak."Amy ini satu-satunya adik Andra yang tengah mengandung anak keduanya. Rumahnya masih di lingkungan tempat tinggal mamanya."Mama, pasti kerasan tinggal di sana.""Kamu nggak coba bicara lagi dengan Marina. Siapa tahu kali ini dia luluh pikirannya?"Andra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menatap pada tempat yang sama seperti kemarin-kemarin. "Malah aku yang di suruh pindah ke sini, Ma. Kembali tinggal serumah dengan mertua. Marina sama sekali tidak ingin lepas dari sana."Bu Safitri bersandar pada sofa. Menantunya itu memang susah diajak bicara. Bahkan sekarang enggan datang menemuinya, karena Marina merasa kecewa waktu dinasehati sebagai istri harus nurut suami, agar Marina mau ikut Andra tinggal di kota kecil itu."Terus, bagaimana keputusanmu?""Pak Yusa sudah percaya penuh padaku, Ma, untuk pegang kendali di sana. Lagian aku tidak mungkin membantah perintahnya. Keluarga kita berhutang budi pada beliau. Pengobatan Papa dulu, kuliahku, dan membiayai Amy sejak masih SMA. Dengan cara ini aku bisa membalas budi, Ma. Beliau juga tidak kecil dalam menggajiku. Bahkan aku sudah bilang untuk memotong gajiku sebagai membayar apa yang beliau keluarkan untuk keluarga kita. Beliau malah bilang, 'dengan bekerja padaku saja sudah cukup untuk membayar semuanya. Kamu dan Amy sudah seperti anakku sendiri'. Itu yang Pak Yusa bilang, Ma."Bu Safitri terharu, netra tuanya berkaca-kaca. Teman suaminya itu memang sangat baik pada mereka sejak dahulu."Tampaknya kamu juga kerasan tinggal di sana?""Harus, Ma. Di sana tempatku mencari uang.""Lalu siapa yang sibuk kamu telepon kemarin?""Yang mana?" Andra mengelak."Yang kamu bilang teman itu. Tak kan teman sampai membuatmu gelisah seperti itu."Andra tak menjawab. Di raihnya gelas jus dan dihabiskan isinya."Jujur saja sama Mama.""Tidak ada, Ma.""Ingat, Andra. Kamu ini sudah punya istri dan anak. Jangan mempermainkan perasaan mereka dengan bermain hati di sana, meski kamu kesepian. Harusnya memang Marina bisa mendampingimu. Apapun alasannya kamu jangan mendua, Nak. Akan ada banyak hati yang terluka jika kamu lakukan itu. Rumah tanggamu akan hancur berantakan, kamu akan kehilangan anak-anakmu, reputasimu juga bisa hancur. Mertuamu bisa melakukan apapun untuk menghancurkanmu. Ingat itu, mereka punya kuasa di mana-mana."Andra menunduk. Bayangan wajah Inaya memenuhi benaknya. Wanita yang sejak kemarin menolak semua panggilannya, meski dia menelepon memakai nomer baru. Dadanya terasa sesak, tidak bisa membayangkan andai Inaya juga di serang jika semua terbongkar. Tapi sampai kapan, semua ini bertahan menjadi rahasia?"Mama akan nyusul kamu setelah Amy lahiran. Mama akan nemani kamu di sana selama dua mingguan.""Ya, nanti Mama telepon saja biar aku pesankan tiket pesawat. Bisa juga minta tolong suaminya Amy, Ma.""Nggak usah naik pesawat, pasti mahal itu. Biar Mama naik kereta api saja, nanti kamu tinggal jemput ke stasiun.""Naik kereta api lama, Ma. Kurang lebih dua belas jam.""Nggak apa-apa. Mama masih kuat, kok.""Ya sudah, terserah Mama saja."Bu Safitri berdiri sambil mengambil gelas kosong di meja dan membawanya ke belakang.Sepeninggal mamanya, Andra mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Belum ada pesan masuk dari Marina. Tadi dia mengantar istrinya untuk belanja. Wanita itu memilih mampir belanja di mall daripada ikut Andra menemui mamanya.Andra membuka satu akun di I*******m. Akun yang tidak diikutinya. Akun milik Inaya. Hanya ada satu foto close up milik wanita itu. Inaya memakai jilbab warna merah muda, terlihat sangat lembut dan cantik. Andra mengusap wajah itu. Sedang apa dia? Pasti jam segini sudah persiapan untuk pulang kerja."Siapa gadis itu, Andra?" Pertanyaan yang membuat pria itu terkejut. Saat menoleh, mamanya sudah berdiri di belakang sofa tempat duduknya.Next ....Selamat membaca π"Siapa gadis itu, Andra?" Bu Safitri bertanya lagi.Dengan dada berdebar Andra menegakkan duduknya. Bahkan hanya untuk menelan air liur saja rasanya susah. Sang mama duduk di sofa dekatnya. "Namanya Inaya, Ma," jawab Andra sambil menahan napas."Siapa dia? Selingkuhanmu?"Andra diam sejenak. Kemudian memandang tatapan tajam mamanya. Pria itu tahu kalau mamanya menahan amarah. "Dia istriku, Ma."Bu Safitri terkejut, debar di dadanya berdentum hebat. Seperti gunung berapi yang akan memuntahkan laharnya atau seperti badai yang bisa memporak-porandakan apa yang ada di dekatnya. Jemarinya yang bertumpu di tangan sofa gemetar. "Apa maksudmu, Andra?"Andra menjatuhkan diri di lantai dan meraih tangan mamanya untuk di ciumi. "Maafkan Andra, Ma. Maafkan!"Wajah wanita itu menunjukkan rasa kecewa yang teramat dalam. Bukan anaknya yang diduakan, tapi justru sedang menduakan wanita yang sudah sepuluh tahun ini menjadi menantunya. Netra Bu Safitri berkaca-kaca. Dulu beliau sudah berpikir bahwa ha
Setelah dua jam perjalanan naik pesawat, Andra sampai di bandara dan langsung menuju tempat parkir mobil. Jarum jam menunjukkan pukul dua sore. Inaya pasti sudah sampai di rumah satu jam lagi. Bisa jadi mereka akan tiba bersamaan.Andra langsung masuk pintu tol agar mempercepat perjalanannya. Mobilnya melaju dengan kecepatan 100km/jam. Tepat satu jam kemudian, dirinya sudah turun dari gerbang tol terakhir. Jarak dari sana ke rumah hanya butuh waktu sepuluh menit. Biasanya dia akan membawakan oleh-oleh untuk Inaya, tapi kali ini dia tidak sempat membelikan apa-apa karena pikirannya sedang kalut.Sampai rumah di kawasan sebuah perumahan yang lumayan elit di kota itu, Andra sudah melihat motor Inaya terparkir di depan garasi. Dia segera turun untuk membuka pintu pagar. Tepat saat mobilnya masuk garasi, Inaya muncul dari pintu masih memakai mukena. Wajah wanita itu berbinar senang melihat kedatangan suaminya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Dia di sambut dengan pelukan hangat setel
"Mas tidak pernah melarangmu untuk hamil, Naya. Setiap perempuan mengimpikan untuk menjadi seorang ibu. Mas akan berusaha adil untuk anak kita dan anak-anak Mas sebelumnya."Inaya diam, dia memperhatikan jalanan yang diguyur hujan. Setahun mengenal Andra dan setahun menjadi istrinya, Inaya cukup mengenal lelaki itu bagaimana. Dia pria yang berusaha selalu bertanggung jawab dengan pasangannya.Mobil berhenti di depan sebuah apotek. Inaya berlari kecil menerobos hujan. Kebetulan apotek dalam keadaan sepi, jadi dirinya langsung bisa dilayani.Sesampainya di rumah, Andra membantu Inaya memasukkan belanjaan ke dalam kulkas. Kemudian mereka salat Isya berjamaah. Selesai salat, Inaya ganti baju. Seperti yang selalu di minta Andra, baju seksi itu yang dipakainya. Wanita itu termangu di depan meja rias, bimbang antara mau minum pil kontrasepsi itu atau tidak. Belum sempat membuat keputusan, Andra sudah mengangkat tubuhnya ke pembaringan mereka.Hujan menjadi saksi menyatunya dua raga yang meme
"Andra sudah balik, ya?" tanya Lia pada Marina, ketika wanita itu bertemu saat menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka duduk di halte depan sekolahan."Sudah.""Kapan?""Kemarin.""Kamu ini bisanya anteng begini jauhan sama suami. Nggak takut suami nyabang sama yang lain? Yang ditunggui aja bisa belok arah apalagi yang berjauhan."Marina menggeleng sambil tersenyum. "Nggak mungkin Mas Andra melakukan itu. Dia mau nyari yang kayak gimana lagi.""Jangan ngremehin laki-laki. Sejelek apapun dia, pasti laku. Apalagi kayak Andra. Tampan, gagah, dan karirnya juga bagus. Kalau aku jadi kamu, kuikuti terus ke mana dia pergi."Marina termenung. Ada yang membuat hatinya tersentil. Hati kecilnya mulai risau mendengar ucapan temannya. Selama ini dia tidak kepikiran sampai ke situ. Bahkan nasehat mertuanya juga di abaikan. Dia percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia cantik, kaya, dan Andra mesti berpikir berulang kali untuk mendua. Apa tidak takut, jika label menjadi menantu orang kaya
Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak. Sementara ini dia tidak ingin memi
Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah. Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya."Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama."Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andr
"Waktu Mas tinggal tadi apa Mama memarahimu?" tanya Andra pada Inaya yang tidur di lengannya malam itu."Nggak, Mas. Ibu sangat baik, beliau hanya menasehatiku.""Mama bilang apa?""Wanita yang akan selalu dirugikan dalam sebuah pernikahan bawah tangan."Andra merapatkan dekapan. Mencium aroma wangi rambut tebal Inaya. Dia yang telah membawa Inaya dalam hidupnya, maka dari itu dia akan bertanggung jawab sepenuhnya."Ibu benar, Mas. Kita harus jujur pada Mbak Marina. Aku akan meminta maaf, walaupun mungkin nggak akan pernah dimaafkan. Kita cari waktu yang tepat, ya." Inaya berkata sambil mendongak, memandang wajah suaminya. Andra mengangguk kemudian mendekap lagi. Dia sangat paham apa yang bakalan terjadi setelah ini. Hanya satu yang ditakutkan Andra, papanya Marina bisa menempuh banyak cara untuk menyingkirkan Inaya.Pria itu ingat bagaimana rapinya orang suruhannya saat menyingkirkan saingan bisnisnya. Juga menyingkirkan jauh-jauh perempuan simpanannya sebelum di ketahui mamanya Mari
Andra baru saja berdiskusi dengan Tony siang itu. Dia merasa tidak enak hati kalau harus izin pulang lagi di hari ulang tahunnya Amel, sedangkan itu jatahnya Tony untuk cuti. Namun rupanya lelaki itu telah sepakat dengan istrinya kalau tidak akan pulang kali ini. Nanti saja pas sekalian anaknya sudah libur sekolah. "Kamu tinggal pulang saja nggak apa-apa, Ndra. Pasti Amel kecewa kalau kamu nggak pulang," saran Tony tadi.Setelah ulang tahun putrinya, dia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan Marina dan segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi saat dia jujur nanti. Bahkan berhadapan dengan mertua yang bisa nekat berbuat apa saja.Di raihnya ponsel di atas meja. Ada pesan dari Inaya yang menawarinya makan siang. Tidak ada pesan masuk dari Marina. Dia hanya menghubunginya jika sedang butuh membicarakan sesuatu. Kalau Andra tak memulai, Marina tidak akan berinisiatif untuk mengirimkan pesan lebih dulu.Di sentuhnya nomer Marina. Cukup lama menunggu agar panggilannya
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt