Setelah dua jam perjalanan naik pesawat, Andra sampai di bandara dan langsung menuju tempat parkir mobil. Jarum jam menunjukkan pukul dua sore. Inaya pasti sudah sampai di rumah satu jam lagi. Bisa jadi mereka akan tiba bersamaan.
Andra langsung masuk pintu tol agar mempercepat perjalanannya. Mobilnya melaju dengan kecepatan 100km/jam. Tepat satu jam kemudian, dirinya sudah turun dari gerbang tol terakhir. Jarak dari sana ke rumah hanya butuh waktu sepuluh menit. Biasanya dia akan membawakan oleh-oleh untuk Inaya, tapi kali ini dia tidak sempat membelikan apa-apa karena pikirannya sedang kalut.Sampai rumah di kawasan sebuah perumahan yang lumayan elit di kota itu, Andra sudah melihat motor Inaya terparkir di depan garasi. Dia segera turun untuk membuka pintu pagar. Tepat saat mobilnya masuk garasi, Inaya muncul dari pintu masih memakai mukena. Wajah wanita itu berbinar senang melihat kedatangan suaminya."Assalamu'alaikum.""W*'alaikumsalam."Dia di sambut dengan pelukan hangat setelah lebih dulu Inaya mencium tangannya. Andra datang hanya membawa ransel yang berisi jaket."Mas tak sempat bawain oleh-oleh. Nanti saja kita makan malam di luar," kata Andra merangkul istrinya masuk ke dalam.Inaya mengangguk sambil tersenyum. Mereka masuk ke kamar. Andra merebahkan diri di ranjang, sedangkan Inaya melepas dan melipat mukena. "Aku buatin minum ya, Mas. Teh apa kopi?""Teh, Sayang."Wanita itu bergegas ke dapur. Merebus air di teko dan menyiapkan cangkir yang biasa dipakai untuk membuatkan teh suaminya. Inaya juga menyiapkan brownis di piring. Tadi sepulang kerja, dia mampir ke toko kue.Andra mengetik pesan untuk Marina dan mengabarkan kalau dirinya sudah sampai di tempat. Hingga beberapa menit saat Inaya kembali masuk kamar, pesannya belum di balas.Satu gelas teh hangat dan sepiring brownis di bawa masuk ke kamar. Andra buru-buru duduk. Inaya mengangsurkan teh padanya. "Makasih, ya.""Iya. Brownisnya ini enak lho Mas. Rasa matcha. Aku beli di tempat biasanya itu," kata Inaya sambil duduk di samping suaminya.Andra mengambil sepotong brownis menggigitnya separuh dan sisanya disuapkan pada istrinya. Keduanya tersenyum. Dari mata bening itu Andra merasakan rindu yang dalam, mata yang memandangnya penuh cinta. "Kenapa tidak mau menjawab waktu Mas telepon?""Mas, kan sudah pernah bilang, aku nggak boleh menelepon kalau Mas pulang ke Mbak Marina. Dan yang kemarin itu, aku takut jika bukan Mas yang menelepon.""Bahkan Mas juga nelepon kamu memakai nomer yang berbeda.""Maaf, aku nggak tahu.""Tidak apa-apa, Mas nelepon mau nanya keadaan kamu.""Aku nginap di rumah Ibuk semalam saja."Andra meraih bahu istrinya, kemudian merangkulnya erat. Aroma wangi tercium dari rambut istrinya yang terurai hampir sebatas pinggang. Mereka menikmati kebersamaan dalam hening untuk beberapa saat. Di luar rintik hujan mulai turun. Menguarkan aroma khas tanah basah. Musim penghujan di mulai. Inaya menarik diri dari rangkulan suaminya. "Mas, mandi dulu terus Salat Asar. Kusiapkan baju gantinya. Nanti aku pijitin, Mas pasti capek."Pria itu tersenyum, setelah mengecup puncak kepala istrinya, Andra segera berdiri. Membuka kancing kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Inaya memberikan handuk bersih dari lemari.Guyuran air shower sedikit menenangkan pikirannya yang bercelaru. Bayangan anak-anak memenuhi pikiran, juga sosok Inaya yang menjelma menjadi dewi ditengah kegersangan hatinya. Belum lagi ingat saat sang mama menasehatinya panjang lebar. Nasehat di antara rasa kecewanya yang dalam. Dalam beberapa hari ke depan, mama dan Inaya pasti bertemu. Dia harus memberitahu Inaya soal ini."Mas, Mas nggak apa-apa, 'kan? Lama banget mandinya." Teriak Inaya diliputi rasa khawatir."Tidak apa-apa, ini sudah selesai." Andra mematikan kran shower. Lantas membelitkan handuk ke pinggangnya. Di luar pintu kamar mandi, Inaya berdiri mematung penuh rasa khawatir. Andra tersenyum, Inaya lega. Segera di bentangkan sajadah dan mempersiapkan sarung untuk salat suaminya.Inaya menunggu di tepi pembaringan hingga Andra telah selesai salat dan berdoa. Di ciumnya tangan sang suami, sambil duduk di sebelahnya. "Mas, lagi ada masalah?" tanya Inaya menyelidik.Andra menggeleng pelan. Inaya sering bertanya duluan saat merasakan sikap suaminya yang berbeda dari biasanya. Sementara Andra sendiri belum berani memberitahu soal mamanya, nanti saja setelah hilang capeknya."Ayo, buruan baring biar aku pijitin!" Inaya menarik tangan suaminya. Andra menurut dan tengkurap di atas ranjang. Tangan Inaya yang mungil mulai mengurut punggung suaminya. Pria itu merasakan rileks dari tekanan yang di rasakan. Otot-otot mulai mengendur dan merasakan nyaman. Inaya membiarkan suaminya terlelap. Nanti kalau mendekati azan Maghrib baru di bangunkan.πππAndra menggandeng Inaya berjalan menyusuri trotoar di jalan tengah kota itu. Mereka mencari warung untuk makan malam. Di antara deretan warung, Andra mengajak istrinya untuk masuk sebuah kedai bakso yang menjadi makanan favoritnya."Bagaimana keadaan keluarganya, Mas? Sehat semua, 'kan?" tanya Inaya ketika mereka menunggu pesanan."Alhamdulillah, sehat. Amy akan segera melahirkan," jawab Andra. Inaya tahu kalau adik suaminya itu sedang menunggu kelahiran anak kedua.Sambil makan, Andra bercerita mengenai anak-anak dan pertemuannya dengan big bos, Pak Yusa. Pria itu juga cerita mengenai famili gathering untuk para karyawan yang memiliki jabatan penting di perusahaan. Rencananya akan diadakan liburan ke Bali. Tapi masih dalam tahap pembahasan. Inaya mendengar sambil menikmati bakso yang baru saja di suguhkan oleh seorang pelayan.Wanita itu juga paham, dia hanya menjadi pendengar untuk semua rencana acara di perusahaan tempat Andra bekerja. Sebab dia tidak mungkin akan diajak untuk menghadiri. Tetap saja istri pertama suaminya yang direncanakan pasti ikut.Walaupun hampir semua karyawan di perusahaan cabang itu juga tahu kalau Andra dan Inaya menikah siri. Mereka juga menghormati dan menghargai Inaya sebagai istri atasannya. Entah kalau di belakangnya, bisa jadi tetap ada kasak kusuk membicarakannya. Imej sebagai wanita kedua akan selalu buruk di mata mereka. Namun ada beberapa yang paham situasi Andra, karena mereka juga tahu bagaimana sifat Marina.Andra menanyakan kegiatan Inaya selama ditinggal. Wanita itu menceritakan aktivitas yang tidak jauh berbeda saat Andra bersamanya. "Tapi aku nggak pernah masak selama Mas nggak ada, daripada nggak kemakan.""Pantesan kamu agak kurusan."Inaya mengernyit. "Masa, sih? Perasaan aku malah ngemil melulu waktu Mas nggak ada," jawabnya sambil memperhatikan tubuhnya sendiri. Andra tersenyum. "Mas hanya bercanda."Jemari lentik itu mencubit pinggang Andra. Pria itu hanya meringis sebentar ketika rasa sakit dan panas terasa di pinggangnya.Terkadang Inaya ingin sekali mendengar aktivitas Andra selama bertemu dengan istri, anak, dan keluarganya di sana. Misalnya saat mengajak mereka pergi jalan-jalan atau sekedar makan malam bersama. Tapi Andra tidak pernah menceritakan itu. Bagi Andra sendiri, hal itu tidak perlu di ceritakan pada Inaya. Seperti Marina yang tidak tahu mengenai Inaya dan begitu juga Inaya. Tidak perlu tahu kegiatan Andra selama berkumpul dengan mereka. Sedapat mungkin pria itu menjaga perasaan dua wanitanya.Andra hanya cerita mengenai pekerjaan dan setiap permasalahan yang menguras pikiran di perusahaan. Itu saja. Apapun permasalahan dengan orang tua Marina, Andra tidak pernah memberitahu Inaya. Juga, Inaya tidak pernah mengorek banyak hal tentang hubungan Andra dengan yang di sana, bagi wanita itu, selagi Andra tidak cerita berarti dia tidak boleh tahu."Habis ini antar aku ke supermarket, ya, Mas. Mau belanja sayuran. Besok Mas mau di masakin apa?""Hmm, apa ya?" Andra berpikir. "Tumis kangkung saja, sama goreng ikan." Dia bosan makan daging sama ayam selama seminggu kemarin."Oke."Selesai makan, Andra langsung mengantar istrinya belanja. Menikmati setiap jejak langkah wanita itu saat terpesona melihat sayuran segar, seperti melihat barang mewah di butik atau toko perhiasan. Inaya memang suka sekali memasak."Ayo, sudah selesai apa belum?" Andra bertanya lirih. Saat Inaya masih asyik memasukkan berbagai sayuran, ikan, dan bumbu-bumbu ke dalam troli belanjaan."Iya, bentar lagi. Biar besok-besok aku nggak repot belanja. Tinggal masak aja. Kalau Mas capek, duduk saja di bangku sana." Inaya memandang bangku di teras supermarket. Andra menggeleng. Terus menemani hingga Inaya antri di kasir.Hujan kembali turun saat mereka keluar dari supermarket. Padahal tadi sore sempat gerimis sebentar terus berhenti menjelang Maghrib."Mampir ke apotek sebentar, ya, Mas," kata Inaya setelah mobil keluar dari halaman supermarket."Beli apa?""Stok obat di kotak P3K udah habis. Pilku juga habis.""Kamu masih mau mengonsumsi pil itu?" tanya Andra. Mereka berpandangan. Rasa ragu masih menggelayuti pikiran Inaya. Bagaimana jika kelak dirinya ditinggalkan? Bagaimana dengan anaknya? Apakah akan mengalami nasib seperti dirinya? Membesar tanpa ayah di sampingnya. Cukup sudah dia membuat kesalahan dengan masuk dalam kehidupan wanita lain.Next ...."Mas tidak pernah melarangmu untuk hamil, Naya. Setiap perempuan mengimpikan untuk menjadi seorang ibu. Mas akan berusaha adil untuk anak kita dan anak-anak Mas sebelumnya."Inaya diam, dia memperhatikan jalanan yang diguyur hujan. Setahun mengenal Andra dan setahun menjadi istrinya, Inaya cukup mengenal lelaki itu bagaimana. Dia pria yang berusaha selalu bertanggung jawab dengan pasangannya.Mobil berhenti di depan sebuah apotek. Inaya berlari kecil menerobos hujan. Kebetulan apotek dalam keadaan sepi, jadi dirinya langsung bisa dilayani.Sesampainya di rumah, Andra membantu Inaya memasukkan belanjaan ke dalam kulkas. Kemudian mereka salat Isya berjamaah. Selesai salat, Inaya ganti baju. Seperti yang selalu di minta Andra, baju seksi itu yang dipakainya. Wanita itu termangu di depan meja rias, bimbang antara mau minum pil kontrasepsi itu atau tidak. Belum sempat membuat keputusan, Andra sudah mengangkat tubuhnya ke pembaringan mereka.Hujan menjadi saksi menyatunya dua raga yang meme
"Andra sudah balik, ya?" tanya Lia pada Marina, ketika wanita itu bertemu saat menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka duduk di halte depan sekolahan."Sudah.""Kapan?""Kemarin.""Kamu ini bisanya anteng begini jauhan sama suami. Nggak takut suami nyabang sama yang lain? Yang ditunggui aja bisa belok arah apalagi yang berjauhan."Marina menggeleng sambil tersenyum. "Nggak mungkin Mas Andra melakukan itu. Dia mau nyari yang kayak gimana lagi.""Jangan ngremehin laki-laki. Sejelek apapun dia, pasti laku. Apalagi kayak Andra. Tampan, gagah, dan karirnya juga bagus. Kalau aku jadi kamu, kuikuti terus ke mana dia pergi."Marina termenung. Ada yang membuat hatinya tersentil. Hati kecilnya mulai risau mendengar ucapan temannya. Selama ini dia tidak kepikiran sampai ke situ. Bahkan nasehat mertuanya juga di abaikan. Dia percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia cantik, kaya, dan Andra mesti berpikir berulang kali untuk mendua. Apa tidak takut, jika label menjadi menantu orang kaya
Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak. Sementara ini dia tidak ingin memi
Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah. Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya."Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama."Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andr
"Waktu Mas tinggal tadi apa Mama memarahimu?" tanya Andra pada Inaya yang tidur di lengannya malam itu."Nggak, Mas. Ibu sangat baik, beliau hanya menasehatiku.""Mama bilang apa?""Wanita yang akan selalu dirugikan dalam sebuah pernikahan bawah tangan."Andra merapatkan dekapan. Mencium aroma wangi rambut tebal Inaya. Dia yang telah membawa Inaya dalam hidupnya, maka dari itu dia akan bertanggung jawab sepenuhnya."Ibu benar, Mas. Kita harus jujur pada Mbak Marina. Aku akan meminta maaf, walaupun mungkin nggak akan pernah dimaafkan. Kita cari waktu yang tepat, ya." Inaya berkata sambil mendongak, memandang wajah suaminya. Andra mengangguk kemudian mendekap lagi. Dia sangat paham apa yang bakalan terjadi setelah ini. Hanya satu yang ditakutkan Andra, papanya Marina bisa menempuh banyak cara untuk menyingkirkan Inaya.Pria itu ingat bagaimana rapinya orang suruhannya saat menyingkirkan saingan bisnisnya. Juga menyingkirkan jauh-jauh perempuan simpanannya sebelum di ketahui mamanya Mari
Andra baru saja berdiskusi dengan Tony siang itu. Dia merasa tidak enak hati kalau harus izin pulang lagi di hari ulang tahunnya Amel, sedangkan itu jatahnya Tony untuk cuti. Namun rupanya lelaki itu telah sepakat dengan istrinya kalau tidak akan pulang kali ini. Nanti saja pas sekalian anaknya sudah libur sekolah. "Kamu tinggal pulang saja nggak apa-apa, Ndra. Pasti Amel kecewa kalau kamu nggak pulang," saran Tony tadi.Setelah ulang tahun putrinya, dia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan Marina dan segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi saat dia jujur nanti. Bahkan berhadapan dengan mertua yang bisa nekat berbuat apa saja.Di raihnya ponsel di atas meja. Ada pesan dari Inaya yang menawarinya makan siang. Tidak ada pesan masuk dari Marina. Dia hanya menghubunginya jika sedang butuh membicarakan sesuatu. Kalau Andra tak memulai, Marina tidak akan berinisiatif untuk mengirimkan pesan lebih dulu.Di sentuhnya nomer Marina. Cukup lama menunggu agar panggilannya
Pintu rumah kembali di buka. Mereka masuk. Inaya cepat-cepat masuk kamar dan mandi, agar tidak ketinggalan waktu salat Maghrib. Sementara Andra ke dapur untuk membuatkan teh untuk istrinya."Mas, nggak usah repot-repot. Lain kali biar aku buat sendiri," protes Inaya sambil duduk di ruang keluarga, di samping suaminya. Setelah menyesap teh, Inaya berdiri. "Akan ku siapkan makan malam dulu, Mas."Andra mengekori istrinya ke belakang. Inaya mengeluarkan lauk dari lemari kaca. Ada kare ayam dan kering tempe. Mereka langsung makan malam tanpa menghangatkan lauk terlebih dahulu. Andra tidak suka lauk yang dipanaskan. "Mas, makan sedikit banget. Mau kutambahi." Inaya mengambil centong nasi dan hendak membuka magic jar. Namun Arya mencegahnya. "Tidak usah, Naya. Perut Mas lagi tak enak.""Nah, pasti gara-gara Mas telat makan. Sebentar aku ambilkan obat." Inaya bergegas ke kotak P3K yang menempel di dinding dekat kulkas. Dia sudah hafal kebiasaan Andra. Kalau banyak pikiran dan telat makan, m
Ponsel di dasbor berdering, segera Andra menyambarnya. Berharap ada kabar mengenai Inaya. Rupanya Tony yang sedang menelepon."Halo.""Kamu di mana? Inaya nggak ada di rumah sakit. Kutanyakan pada petugas, mereka bilang sudah di bawa pulang keluarganya?""Ya, aku sudah tahu. Tapi di rumahnya juga nggak ada. Aku mau nemui temannya dulu, barangkali dia tahu.""Pulang saja dulu, urusi Marina. Biar kucarikan kabar mengenai Inaya. Aku yakin orang tuanya punya alasan yang kuat untuk membawa Inaya pergi. Padahal dia dalam keadaan butuh perawatan.""Ton, kamu yang ngabari orang tua Inaya tadi?""Bukan. Mesi panik dan menghubungi Tita. Kurasa Tita yang ngabari bapak dan ibunya Naya. Sudahlah kamu pulang dulu. Biar aku cari info di mana Inaya. Tenangkan dulu Marina, dia bisa nekat berbuat apa saja.""Ya, aku harus tahu kalau Inaya baik-baik saja. Kata perawat Inaya sedang hamil.""Memangnya kamu belum tahu?""Inaya belum memberitahuku.""Kemungkinan dia baru hamil sekitar sebulan, kata dokter y
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt