"Siapa gadis itu, Andra?" Bu Safitri bertanya lagi.
Dengan dada berdebar Andra menegakkan duduknya. Bahkan hanya untuk menelan air liur saja rasanya susah. Sang mama duduk di sofa dekatnya."Namanya Inaya, Ma," jawab Andra sambil menahan napas."Siapa dia? Selingkuhanmu?"Andra diam sejenak. Kemudian memandang tatapan tajam mamanya. Pria itu tahu kalau mamanya menahan amarah. "Dia istriku, Ma."Bu Safitri terkejut, debar di dadanya berdentum hebat. Seperti gunung berapi yang akan memuntahkan laharnya atau seperti badai yang bisa memporak-porandakan apa yang ada di dekatnya. Jemarinya yang bertumpu di tangan sofa gemetar. "Apa maksudmu, Andra?"Andra menjatuhkan diri di lantai dan meraih tangan mamanya untuk di ciumi. "Maafkan Andra, Ma. Maafkan!"Wajah wanita itu menunjukkan rasa kecewa yang teramat dalam. Bukan anaknya yang diduakan, tapi justru sedang menduakan wanita yang sudah sepuluh tahun ini menjadi menantunya. Netra Bu Safitri berkaca-kaca. Dulu beliau sudah berpikir bahwa hal ini bisa saja terjadi. Peluang orang ketiga masuk sangat besar, karena Andra dan istrinya berjauhan. Marina juga tidak mau menuruti nasehatnya agar ikut dengan suaminya. Bahkan menantunya itu sekarang enggan bertemu dengannya gara-gara pernah di beri saran oleh beliau. Dia sudah banyak berubah, tak lagi seperti Marina yang kalem ketika masih menjadi kekasih putranya.Namun beliau juga tidak membenarkan Andra yang menikah diam-diam. Banyak hati yang tersakiti jika semuanya terbongkar. "Kenapa kamu melakukan itu, Nak? Karena nafsu?""Aku mencintainya, Ma.""Apa kamu nggak mencintai Marina dan anak-anakmu lagi?""Ma, ini berbeda. Aku mencintai keluargaku.""Tapi kenapa kamu tega menduakannya?"Andra menunduk dalam-dalam. Rasanya susah untuk menjelaskan. Tentang perasaannya, tentang dua wanita yang telah dinikahinya. Juga tentang anak-anaknya. Mereka menempati sisi-sisi yang berbeda dalam hatinya. Anak-anak tetap menjadi prioritas utama. Marina yang telah menjadi istrinya sepuluh tahun, setelah setahun mereka pacaran. Inaya yang banyak memberikan support dan sabar mendengarkan keluh kesahnya di saat dia stres karena pekerjaan. Juga memberikan haknya sebagai pria dewasa kapanpun dia butuh. Andra tahu, tindakannya itu tidak akan benar di hadapan siapapun. Termasuk bagi mamanya. Terlebih bagi Marina jika akhirnya tahu."Kenapa kamu mengambil resiko yang bisa menyakiti anak-anakmu juga? Kasihan wanita itu kalau hanya menjadi objek pelampiasan syahwatmu saja."Pria itu masih diam. Syok dengan tuduhan mamanya. Sosok Inaya menjelma jelas dalam ruang ingatan. Wajahnya yang teduh, matanya yang bening, segala tindak tanduk patuhnya pada suami, dan sikapnya yang sangat menghargai dirinya sebagai seorang kepala rumah tangga.Dia juga tidak menutup mata dengan kebaikan Marina. Di awal pernikahan, Marina juga kalem, hingga semua berubah saat kedua orang tuanya ikut campur dan mengendalikan rumah tangga mereka. Bahkan untuk membawa istrinya sendiri pindah, mertua tidak mengizinkannya. Dan Marina sendiri juga ingin tetap bertahan di sana."Andra, kenapa sebelum mengambil keputusan menikah lagi kamu nggak ngabari Mama?""Maafkan Andra, Ma.""Semuanya nggak akan mudah setelah ini, Nak."Andra mengangguk. Dia paham bahwa setelah semua terbongkar, hal terburuk pasti akan terjadi."Perempuan itu belum punya anak denganmu?"Andra menggeleng. Sebenarnya dia juga tidak melarang Inaya untuk hamil. Tidak sama sekali. Dia juga bahagia andai wanita itu mengandung anak untuknya. Hanya saja Inaya sendiri yang memutuskan untuk tidak hamil dulu. Dia masih tetap bekerja seperti sebelum mereka menikah."Sampai kapan ini akan jadi rahasia, Nak?" Bu Safitri menyusut air matanya."Andra tidak tahu, Ma."Hening. Bu Safitri paham dengan ketidakharmonisan rumah tangga putranya, tapi tidak menyangka kalau Andra akan melakukan hal nekat begini. Rasanya beliau sendiri juga tidak sabar untuk bertemu dengan wanita bernama Inaya itu. Seperti apa wanita yang mau saja dijadikan istri kedua putranya. Secinta itukah pada putranya? Atau silau dengan kesuksesan Andra? Siapa dia?"Sudah sore, pulanglah! Anak dan istrimu pasti sudah menunggu."💐💐💐Andra seperti orang asing di tengah keluarga besar Marina yang sedang berkumpul untuk makan malam. Dua kakak lelaki Marina beserta istri dan anaknya, juga ada adik lelaki Marina yang menikah setahun lalu. Di antara mereka hanya adik iparnya yang tidak memandang rendah dirinya. Andra hanya menjadi pendengar sambil meladeni Kiki yang makan di sebelahnya. Bocah lelaki itu sangat manja setiap kali papanya sedang di rumah."Andra, Papa tunggu keputusanmu secepatnya. Coba pindah lagi ke ke sini atau kalau perlu resign dari sana dan ikut bergabung dengan Mario." Mario ini kakak sulungnya Marina. Punya perusahaan yang bergerak di bidang properti.Marina memandang suaminya dengan tatapan penuh harap. Jika Andra bisa pindah lagi, dirinya tidak perlu lagi mendengar ceramah mertuanya yang selalu bilang, 'sebaik-baiknya tempat wanita adalah di sisi suaminya.' Sementara dirinya enggan tinggal di kota di lereng gunung itu. Di samping papanya yang tidak akan memberikan jatah lagi kalau dia keluar dari rumah. Bagaimana dia bisa memenuhi gaya hidupnya yang tidak akan bisa dipenuhi sempurna oleh Andra, jika jatahnya di stop.Pembicaraan mereka tidak beralih dari persoalan harta. Kesuksesan, uang, dan jabatan, memang bisa merubah segalanya. Padahal Andra dulu mengenal mereka tidak seperti itu.Jam sembilan malam, Andra memilih masuk kamar karena Kiki merengek minta di temani tidur. Seperti biasa, Andra akan mendongeng kisah-kisah nabi pada putranya. Inilah yang di sukai Kiki. Tidak seperti mamanya yang mendongeng kisah superhero yang selalu di lihat Kiki di televisi."Mas, akan serius bicara dengan Pak Yusa, 'kan? Papa sudah ngasih peluang agar Mas bergabung dengan Bang Mario." Marina bertanya sambil memeluk lengannya saat mereka sudah di peraduan dan anak-anak sudah tidur.Andra mengangguk pelan. Dia belum bisa menjanjikan apa-apa, mengangguk hanya untuk menenangkan hati Marina. Tenaganya sangat dibutuhkan di perusahaan cabang itu. Dan belum tentu kalau dia bergabung dengan iparnya semua akan baik-baik saja. Dia akan memulai semuanya dari nol lagi dan itu tidak akan mudah. Belum lagi jika mereka tidak bisa menghargainya, seperti yang terjadi sekarang ini. Dari cara Mario yang menatapnya saja, Andra sudah bisa meraba, akan seperti apa dirinya diperlakukan nanti. Bukankah lebih baik bekerja sendiri?"Andai saja Mas bisa pindah, apakah kamu dan anak-anak mau menempati rumah kita sendiri?" Tantang Andra pada istrinya. Walaupun taruhannya dia akan berjauhan dengan Inaya jika Marina mau menuruti permintaannya."Anak-anak nyaman di sini, Mas. Sekolahnya juga lebih dekat dari sini." Marina berkata lembut sambil mencium pipi suaminya.Pria itu tidak berkata-kata lagi, percuma saja. Bertahun-tahun dia melakukan hal yang sama, merayu istrinya agar mau diajak hidup mandiri, tapi jawabannya tetap sama, tidak mau. Meski di ucapkan dengan kalimat yang halus."Kamu tidak khawatir jika kita terus berjauhan begini bisa memberi peluang masuknya orang ketiga? Baik dariku atau darimu."Marina terkejut dengan ucapan suaminya. Dia mengangkat kepala dan menyangga dengan tangan sambil menatap suaminya. "Mas, punya perempuan lain?"Andra memandang sekilas istrinya. Tetap bersikap setenang mungkin. Meskipun ucapannya baru saja bisa menyebabkan satu rahasia besar itu terbongkar. "Mas hanya bilang kemungkinan yang bisa saja terjadi di antara kita."Wanita itu tersenyum. "Aku nggak yakin Mas akan melakukan itu. Kita sudah memiliki semuanya, cinta, anak-anak, dan masa depan. Papa sudah merencanakan membagi hartanya untuk kami berempat. Aku akan mewarisi apa yang Papa beri dan itu menguntungkan untuk keluarga kita, Mas. Tanpa meminta uang darimu, aku bisa memanjakan diriku."Apa yang diucapkan sang istri hanya didengarkan oleh Andra. Dia tidak ingin terlibat dengan harta yang bukan haknya, karena dirinya hanyalah menantu di sana. Satu kesimpulan yang bisa Andra ambil, Marina sangat mempercayai bahwa tidak mungkin dirinya mengkhianati pernikahan karena Marina anak orang kaya yang akan mewarisi harta mereka.Tidak, tidak hanya melulu tentang harta saja. Kariernya cukup bagus untuk menopang hidup mereka. Andra juga ingin di bela jika dipojokkan keluarga istrinya, tapi kenyataannya Marina tidak pernah melakukan itu. Malah justru menekannya agar suami mau menuruti kehendak orang tuanya. Andra juga ingin di dampingi menghadapi rutinitas pekerjaan yang menyita tenaga dan pikiran. Atau setidaknya di dengarkan ketika dia bercerita mengenai aktivitasnya di kantor. Terlebih istrinya bisa selalu ada, saat dia ingin melepaskan hasrat biologisnya sebagai pria dewasa.Sementara selama ini Andra berusaha memenuhi tanggung jawabnya. Nafkah lahir tiap bulan selalu dikirim tepat waktu, telepon untuk bertanya kabar dan membicarakan masalah anak-anak juga di sempatkan setiap hari. Setiap pulang, dia juga memberikan nafkah batin yang berusaha semaksimal mungkin ditunaikan. Tidak peduli itu siang atau malam. Namun kenapa, kadang tiap kali dirinya menelepon Marina dan berusaha curhat mengenai beban di kantor, istrinya selalu menanggapi sambil lalu saja. "Ah, itu kan pekerjaan, Mas. Manalah aku tahu. Percuma juga Mas cerita ke aku." Padahal Andra hanya butuh di dengarkan.Sekarang tidak pernah lagi Andra cerita apapun mengenai pekerjaan pada istrinya. Inaya yang saat ini menjadi tumpuannya berbagi kisah."Mas, jadi kembali besok?""Iya.""Bulan depan pulang lagi ya, pas ulang tahunnya Amel."Andra mengangguk sambil mencium kening istrinya. Marina tersenyum senang, dipeluknya erat tubuh tegap itu.💐💐💐Penerbangan masih dua jam lagi. Tapi Andra sudah berangkat dari rumah mertuanya lebih awal karena dia harus mampir dulu ke rumah Mamanya untuk pamitan. Selalu seperti itu jika dirinya hendak berangkat kerja lagi. Hari ini dia juga mampir ke rumah adik perempuannya."Mama buatin teh dulu, ya?" kata Bu Safitri setelah Andra duduk di ruang keluarga."Tidak usah, Ma. Tadi sudah dibuatin teh sama Amy," tolak Andra dan membuat mamanya kembali duduk di sofa depan putranya."Mama, masih marah pada Andra mengenai kenyataan kemarin?"Bu Safitri mendengkus kasar. "Mama kecewa. Nggak seharusnya kamu mengambil keputusan yang bisa menghancurkan hati banyak orang.""Maafkan Andra, Ma."Wanita sepuh itu menatap putranya dengan pandangan kecewa sekaligus iba. Nalurinya sebagai perempuan sudah pasti tidak terima kalau di duakan. Namun ada satu kebutuhan yang bisa menjadikan putranya tersesat dan jajan di luar jika tidak menikah lagi. Apalagi Bu Safitri sangat paham dengan pergaulan kaum eksekutif muda seperti putranya. Di waktu senggang pertemuan bisnis mereka, kalau tidak alkohol pasti juga perempuan penghibur. Tentu saja dirinya lebih tidak bisa terima kalau Andra melampiaskan kebutuhannya pada tempat yang salah. Tidak kurang-kurangnya beliau meminta sang menantu agar mau mendampingi suaminya. Tapi sayang, semua berakhir dengan kekecewaan."Sebaik apa wanita yang bisa membuatmu jatuh cinta lagi?""Mama, ingin mengenalnya?""Kalau bertemu dia, Mama hanya ingin bertanya, kenapa mau-maunya jadi istri kedua? Padahal dia masih muda, cantik, dan terpelajar.""Karena cinta, Ma," jawab Andra kemudian tersenyum."Seperti yang mama bilang kemarin, mama hanya kasihan kalau dia hanya jadi pelampiasan nafsumu.""Ma, aku memperlakukan dia sebagaimana aku memperlakukan Marina. Aku menghargai dan menghormati dia sebagai wanita. Bukan hanya untuk bersenang-senang saja, Ma.""Kamu sudah siap jika rahasia ini terbongkar dan diketahui nggak hanya oleh istrimu, tapi oleh keluarga besarnya?""Ya.""Kamu siap kehilangan salah satu di antara mereka? Jelas Marina nggak akan terima. Tapi kalau perempuan itu pasti terima, karena dari awalnya sudah tahu kalau menjadi yang kedua."Andra tidak bisa menjawabnya. Kehilangan Marina sama saja akan kehilangan anak-anaknya juga. Tapi jika kehilangan Inaya, cukup dia kehilangan satu wanita saja. Namun apa mungkin Andra tega? Mencampakkan Inaya seperti habis manis sepah di buang. Sementara selama ini istri keduanya itu sangat berbakti pada dirinya. Di sela kesibukannya bekerja selalu menyempatkan diri untuk memenuhi tanggung jawabnya di rumah."Andra, kamu sudah salah melangkah, Nak. Poligami nggak salah, jika di lakukan sesuai syariah. Bukan diam-diam tak beradab begini."Tak ada ucapan apapun, Andra diam. Menunduk dalam-dalam. Semua sudah terjadi, sekarang hanya butuh kesiapan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Dilihatnya jam di pergelangan tangan kirinya. "Ma, aku harus berangkat sekarang.""Naik apa?""Naik taksi dari depan saja."Bu Safitri mengantarkan putranya hingga ke jalan depan rumahnya. Menunggui hingga sebuah taksi membawa Andra pergi ke bandara. Wanita itu memandang hingga taksi tak tampak lagi, karena berbaur dengan padatnya lalu lintas. Pikirannya tak lagi tenang, masalah besar sedang mengintai putranya.Masalahnya tak lagi sederhana. Dia kenal bagaimana mertua Andra. Segala cara bisa digunakan mereka agar tujuannya tercapai. Bahkan bisa-bisanya melarang putrinya agar tidak ikut dengan suaminya, dengan alasan yang sebenarnya tidak masuk akal.Wajah dua cucunya terbayang di pelupuk mata. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa, bisa saja akan jadi korban keegoisan orang tuanya.Makanya, Bu Safitri selalu menasehati anak perempuannya. Patuh pada suamimu, selagi tidak melanggar hukum agama. Jangan biarkan rumah tangga hancur karena keegoisan salah satu dari kalian. Namun sekarang, justru masalah timbul pada putranya.Beliau memang harus pergi menyusul putranya dan mengenal langsung wanita bernama Inaya.Next ....Selamat membaca 😍Setelah dua jam perjalanan naik pesawat, Andra sampai di bandara dan langsung menuju tempat parkir mobil. Jarum jam menunjukkan pukul dua sore. Inaya pasti sudah sampai di rumah satu jam lagi. Bisa jadi mereka akan tiba bersamaan.Andra langsung masuk pintu tol agar mempercepat perjalanannya. Mobilnya melaju dengan kecepatan 100km/jam. Tepat satu jam kemudian, dirinya sudah turun dari gerbang tol terakhir. Jarak dari sana ke rumah hanya butuh waktu sepuluh menit. Biasanya dia akan membawakan oleh-oleh untuk Inaya, tapi kali ini dia tidak sempat membelikan apa-apa karena pikirannya sedang kalut.Sampai rumah di kawasan sebuah perumahan yang lumayan elit di kota itu, Andra sudah melihat motor Inaya terparkir di depan garasi. Dia segera turun untuk membuka pintu pagar. Tepat saat mobilnya masuk garasi, Inaya muncul dari pintu masih memakai mukena. Wajah wanita itu berbinar senang melihat kedatangan suaminya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Dia di sambut dengan pelukan hangat setel
"Mas tidak pernah melarangmu untuk hamil, Naya. Setiap perempuan mengimpikan untuk menjadi seorang ibu. Mas akan berusaha adil untuk anak kita dan anak-anak Mas sebelumnya."Inaya diam, dia memperhatikan jalanan yang diguyur hujan. Setahun mengenal Andra dan setahun menjadi istrinya, Inaya cukup mengenal lelaki itu bagaimana. Dia pria yang berusaha selalu bertanggung jawab dengan pasangannya.Mobil berhenti di depan sebuah apotek. Inaya berlari kecil menerobos hujan. Kebetulan apotek dalam keadaan sepi, jadi dirinya langsung bisa dilayani.Sesampainya di rumah, Andra membantu Inaya memasukkan belanjaan ke dalam kulkas. Kemudian mereka salat Isya berjamaah. Selesai salat, Inaya ganti baju. Seperti yang selalu di minta Andra, baju seksi itu yang dipakainya. Wanita itu termangu di depan meja rias, bimbang antara mau minum pil kontrasepsi itu atau tidak. Belum sempat membuat keputusan, Andra sudah mengangkat tubuhnya ke pembaringan mereka.Hujan menjadi saksi menyatunya dua raga yang meme
"Andra sudah balik, ya?" tanya Lia pada Marina, ketika wanita itu bertemu saat menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka duduk di halte depan sekolahan."Sudah.""Kapan?""Kemarin.""Kamu ini bisanya anteng begini jauhan sama suami. Nggak takut suami nyabang sama yang lain? Yang ditunggui aja bisa belok arah apalagi yang berjauhan."Marina menggeleng sambil tersenyum. "Nggak mungkin Mas Andra melakukan itu. Dia mau nyari yang kayak gimana lagi.""Jangan ngremehin laki-laki. Sejelek apapun dia, pasti laku. Apalagi kayak Andra. Tampan, gagah, dan karirnya juga bagus. Kalau aku jadi kamu, kuikuti terus ke mana dia pergi."Marina termenung. Ada yang membuat hatinya tersentil. Hati kecilnya mulai risau mendengar ucapan temannya. Selama ini dia tidak kepikiran sampai ke situ. Bahkan nasehat mertuanya juga di abaikan. Dia percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia cantik, kaya, dan Andra mesti berpikir berulang kali untuk mendua. Apa tidak takut, jika label menjadi menantu orang kaya
Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak. Sementara ini dia tidak ingin memi
Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah. Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya."Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama."Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andr
"Waktu Mas tinggal tadi apa Mama memarahimu?" tanya Andra pada Inaya yang tidur di lengannya malam itu."Nggak, Mas. Ibu sangat baik, beliau hanya menasehatiku.""Mama bilang apa?""Wanita yang akan selalu dirugikan dalam sebuah pernikahan bawah tangan."Andra merapatkan dekapan. Mencium aroma wangi rambut tebal Inaya. Dia yang telah membawa Inaya dalam hidupnya, maka dari itu dia akan bertanggung jawab sepenuhnya."Ibu benar, Mas. Kita harus jujur pada Mbak Marina. Aku akan meminta maaf, walaupun mungkin nggak akan pernah dimaafkan. Kita cari waktu yang tepat, ya." Inaya berkata sambil mendongak, memandang wajah suaminya. Andra mengangguk kemudian mendekap lagi. Dia sangat paham apa yang bakalan terjadi setelah ini. Hanya satu yang ditakutkan Andra, papanya Marina bisa menempuh banyak cara untuk menyingkirkan Inaya.Pria itu ingat bagaimana rapinya orang suruhannya saat menyingkirkan saingan bisnisnya. Juga menyingkirkan jauh-jauh perempuan simpanannya sebelum di ketahui mamanya Mari
Andra baru saja berdiskusi dengan Tony siang itu. Dia merasa tidak enak hati kalau harus izin pulang lagi di hari ulang tahunnya Amel, sedangkan itu jatahnya Tony untuk cuti. Namun rupanya lelaki itu telah sepakat dengan istrinya kalau tidak akan pulang kali ini. Nanti saja pas sekalian anaknya sudah libur sekolah. "Kamu tinggal pulang saja nggak apa-apa, Ndra. Pasti Amel kecewa kalau kamu nggak pulang," saran Tony tadi.Setelah ulang tahun putrinya, dia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan Marina dan segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi saat dia jujur nanti. Bahkan berhadapan dengan mertua yang bisa nekat berbuat apa saja.Di raihnya ponsel di atas meja. Ada pesan dari Inaya yang menawarinya makan siang. Tidak ada pesan masuk dari Marina. Dia hanya menghubunginya jika sedang butuh membicarakan sesuatu. Kalau Andra tak memulai, Marina tidak akan berinisiatif untuk mengirimkan pesan lebih dulu.Di sentuhnya nomer Marina. Cukup lama menunggu agar panggilannya
Pintu rumah kembali di buka. Mereka masuk. Inaya cepat-cepat masuk kamar dan mandi, agar tidak ketinggalan waktu salat Maghrib. Sementara Andra ke dapur untuk membuatkan teh untuk istrinya."Mas, nggak usah repot-repot. Lain kali biar aku buat sendiri," protes Inaya sambil duduk di ruang keluarga, di samping suaminya. Setelah menyesap teh, Inaya berdiri. "Akan ku siapkan makan malam dulu, Mas."Andra mengekori istrinya ke belakang. Inaya mengeluarkan lauk dari lemari kaca. Ada kare ayam dan kering tempe. Mereka langsung makan malam tanpa menghangatkan lauk terlebih dahulu. Andra tidak suka lauk yang dipanaskan. "Mas, makan sedikit banget. Mau kutambahi." Inaya mengambil centong nasi dan hendak membuka magic jar. Namun Arya mencegahnya. "Tidak usah, Naya. Perut Mas lagi tak enak.""Nah, pasti gara-gara Mas telat makan. Sebentar aku ambilkan obat." Inaya bergegas ke kotak P3K yang menempel di dinding dekat kulkas. Dia sudah hafal kebiasaan Andra. Kalau banyak pikiran dan telat makan, m
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt