Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.
Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak.Sementara ini dia tidak ingin memikirkan bagaimana bisa pindah seperti permintaan keluarga istrinya. Yang terpenting adalah melaksanakan tanggung jawab besar pada perusahaan yang harus dilakukan dengan totalitas kerjanya.Andra sadar, dia telah melakukan kesalahan yang mungkin saja tidak akan di maafkan Marina. Namun dia juga kenal bagaimana istrinya itu, jika semua terbongkar bukan tidak mungkin kalau Marina yang menuntut Andra menceraikan Inaya.Napas di tariknya dalam-dalam. Berat rasanya harus berpisah dengan wanita itu. Perempuan yang selalu ada saat dia mengadukan segala rasa penatnya. Sementara dengan Marina, waktu sepuluh tahun bersama juga tidak ingin berakhir sia-sia. Mereka punya anak yang tidak ingin menjadi korban broken home.Andra mengetik sebuah pesan pada seseorang. Sahabat yang tahu banyak tentang dirinya. Laki-laki itu salah satu engineering yang jadi asistennya. Dulu mereka memang berangkat bersama-sama ke cabang perusahaan itu. Tidak lama kemudian masuklah seorang pria seumuran dengan Andra."Ada apa memanggilku? Pasti lagi kalut." Laki-laki bernama Tony duduk di kursi depan Andra."Tunda saja kepulanganmu minggu ini. Lagi banyak kerjaan yang harus kita selesaikan." Andra menunjukkan perencanaan kerja di laptopnya pada Tony. Dahi pria itu mengernyit. Jadwal mereka memang padat. Padahal sejak dulu mereka akan bergantian untuk pulang cuti."Hmm, okelah. Padahal anakku dah seneng banget mau diajak nyambangi neneknya.""Bilang ke istri dan anakmu kalau di tunda. Setidaknya dua minggu lagi.""Baiklah." Keduanya lantas membahas pekerjaan. Andra mengamati Tony yang sedang memperhatikan dokumen kontrak di laptop.Gaji Tony tidak sebesar dirinya, tapi ke mana pun Tony pindah tugas, istrinya selalu ikut. Suami istri itu juga yang menjadi saksi pernikahannya dengan Inaya. Tony pernah memberinya saran agar Andra memaksa Marina untuk ikut, tapi kenyataannya tetap tidak mau. "Ya udah, nikah aja, Bro. Daripada kamu jajan di luar. Marina ngamuk ya hadapi saja," kata Tony yang merasa usaha Andra untuk mengajak istrinya selalu sia-sia."Ton, mamaku mau datang." Andra berkata setelah beberapa saat terdiam."Tante mau datang? Sama istrimu?""Tidak, Mama datang sendirian. Malah Marina minta aku pindah ke kantor pusat lagi." Andra mengulas juga tentang permintaan keluarga istrinya."Karirmu sendiri sudah bagus. Ngapain jadi boneka mereka. Tahu nggak adik dari istrinya Mario, cuman dijadikan alat saja kerja sama mereka. Kalau menurutku yang satu itu nggak usah kamu turuti. Pak Yusa aja nggak pernah manfaatin kamu, walaupun beliau banyak berjasa pada keluarga kamu." Tony berapi-api memberi saran pada sahabatnya. Sebab dia tahu bagaimana keluarga Marina."Mama marah banget, Ton, dengan pernikahan diam-diamku. Kelak Marina pun pasti akan tahu hal ini. Aku kepikiran sama mereka, Marina dan anak-anak. Sudah sepuluh tahun aku nikah, tak mungkin akan kubiarkan hancur begitu saja. Tapi memang Marina harus tahu juga mengenai Inaya.""Kamu siap?""Harus siap?"💐💐💐Sepulang kerja Inaya langsung beres-beres rumah. Hari ini dia minta pulang lebih awal. Dia mengganti seprai yang ada di kamar depan. Kamar yang akan di tempati mamanya Andra. Seluruh ruangan di sapu dan di pel. Taplak meja dan sarung bantal sofa di ganti juga. Barang-barang yang tidak perlu, seperti koran dan majalah di taruh di gudang belakang.Besok mamanya Andra akan sampai sekitar jam sepuluh pagi. Dia dan suaminya sudah sepakat untuk mengambil cuti kerja.Andra mencium aroma pewangi ruangan dan obat pel harum lavender memenuhi penciumannya saat turun dari mobil dan hendak masuk rumah. "Mas sudah boleh, masuk?" tanya Andra pada Inara yang sedang menyusun bunga di vas."Iya Mas, masuk saja. Sudah kering kok lantainya."Andra duduk di sebelah istrinya. Bibirnya mencium tangan suaminya dengan cara menundukkan badan. "Maaf, tanganku kotor." Inaya menunjukkan kedua tangannya yang kotor karena habis memotong bunga mawar dan lili di depan untuk di taruh di jambangan."Kamu pulang jam berapa, jam segini sudah rapi semua?" tanya Andra sambil memperhatikan sekeliling ruangan."Aku minta pulang lebih awal agar bisa beres-beres dan nyuci."Pria itu mengecup kening istrinya. "Terima kasih."Inaya hanya tersenyum kemudian kembali fokus memasukkan tiga tangkai mawar putih. Lantas meletakkan jambangan bunga di meja bulat pojok ruang tamu. "Aku buatkan minum dulu, Mas.""Tidak usah. Mas minum air putih saja nanti." Andra menarik tangan Inaya agar mau kembali duduk. Dari sorot mata keduanya, mereka tampak gelisah. Pria itu melihat resah yang tersembunyi di balik senyum istrinya. "Setelah ini, semua tak akan lagi mudah, Naya.""Ya, aku tahu, Mas," jawab pelan Inaya. Andra merangkul pundak istrinya. Membiarkan wanita itu rebah di dada kirinya. Mereka memandang lurus ke luar. Menatap rintik hujan yang kembali turun sore itu.💐💐💐Bau aroma masakan tercium dan membangunkan Andra. Suara spatula yang beradu dengan penggorengan terdengar hingga ke kamar. Pria itu segera duduk, sinar matahari sudah menyorot masuk melalui celah jendela. Dia ketiduran setelah salat subuh tadi. Segera di matikannya pendingin ruangan dan membuka jendela kamar.Semalaman dia tidak cukup tidur karena Inaya tidak bisa tidur. Ada ucapan Inaya yang amat mengguris hati Andra. "Jika kita memang harus berpisah, aku nggak apa-apa, Mas. Mas juga harus ikhlas ngelepasin aku. Setahun ini kita membuat kesalahan dengan menikah diam-diam. Setahun ini adalah kenangan yang nggak mungkin bisa aku lupakan begitu saja. Tapi aku nggak apa-apa jika harus pergi."Andra menunduk dalam-dalam. Ada luka yang mengangga meski belum ada yang menggoresnya. Pria itu merasakan dadanya yang kian sesak. Inaya sangat cemas, padahal menurut Andra, Mamanya adalah wanita yang sangat bijaksana. Tentu tidak akan menyerang Inaya begitu saja."Mas," panggil Inaya yang mengintip dari balik pintu kamar dan membuat Andra terkejut dan menoleh."Ayo, sarapan dulu!" Inaya berkata lagi sambil tersenyum. Andra berdiri dan menyusul istrinya ke belakang. Di meja makan sudah ada beberapa menu masakan yang dibuat istrinya. Dengan cekatan wanita itu menyiapkan piring dan meladeni suaminya. Tatapan Andra tidak lepas dari wajah yang matanya menghindari berpandangan dengannya."Jam delapan Mas harus berangkat ke bandara daripada nanti mamanya Mas yang nunggu di sana." Inaya menuang air putih di gelas suaminya.Sampai sarapan selesai, Inaya lebih banyak menunduk. Berusaha menikmati makanannya, walaupun terlihat sekali kalau dia susah menelan. Andra memperhatikan itu.Next ....Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah. Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya."Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama."Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andr
"Waktu Mas tinggal tadi apa Mama memarahimu?" tanya Andra pada Inaya yang tidur di lengannya malam itu."Nggak, Mas. Ibu sangat baik, beliau hanya menasehatiku.""Mama bilang apa?""Wanita yang akan selalu dirugikan dalam sebuah pernikahan bawah tangan."Andra merapatkan dekapan. Mencium aroma wangi rambut tebal Inaya. Dia yang telah membawa Inaya dalam hidupnya, maka dari itu dia akan bertanggung jawab sepenuhnya."Ibu benar, Mas. Kita harus jujur pada Mbak Marina. Aku akan meminta maaf, walaupun mungkin nggak akan pernah dimaafkan. Kita cari waktu yang tepat, ya." Inaya berkata sambil mendongak, memandang wajah suaminya. Andra mengangguk kemudian mendekap lagi. Dia sangat paham apa yang bakalan terjadi setelah ini. Hanya satu yang ditakutkan Andra, papanya Marina bisa menempuh banyak cara untuk menyingkirkan Inaya.Pria itu ingat bagaimana rapinya orang suruhannya saat menyingkirkan saingan bisnisnya. Juga menyingkirkan jauh-jauh perempuan simpanannya sebelum di ketahui mamanya Mari
Andra baru saja berdiskusi dengan Tony siang itu. Dia merasa tidak enak hati kalau harus izin pulang lagi di hari ulang tahunnya Amel, sedangkan itu jatahnya Tony untuk cuti. Namun rupanya lelaki itu telah sepakat dengan istrinya kalau tidak akan pulang kali ini. Nanti saja pas sekalian anaknya sudah libur sekolah. "Kamu tinggal pulang saja nggak apa-apa, Ndra. Pasti Amel kecewa kalau kamu nggak pulang," saran Tony tadi.Setelah ulang tahun putrinya, dia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan Marina dan segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi saat dia jujur nanti. Bahkan berhadapan dengan mertua yang bisa nekat berbuat apa saja.Di raihnya ponsel di atas meja. Ada pesan dari Inaya yang menawarinya makan siang. Tidak ada pesan masuk dari Marina. Dia hanya menghubunginya jika sedang butuh membicarakan sesuatu. Kalau Andra tak memulai, Marina tidak akan berinisiatif untuk mengirimkan pesan lebih dulu.Di sentuhnya nomer Marina. Cukup lama menunggu agar panggilannya
Pintu rumah kembali di buka. Mereka masuk. Inaya cepat-cepat masuk kamar dan mandi, agar tidak ketinggalan waktu salat Maghrib. Sementara Andra ke dapur untuk membuatkan teh untuk istrinya."Mas, nggak usah repot-repot. Lain kali biar aku buat sendiri," protes Inaya sambil duduk di ruang keluarga, di samping suaminya. Setelah menyesap teh, Inaya berdiri. "Akan ku siapkan makan malam dulu, Mas."Andra mengekori istrinya ke belakang. Inaya mengeluarkan lauk dari lemari kaca. Ada kare ayam dan kering tempe. Mereka langsung makan malam tanpa menghangatkan lauk terlebih dahulu. Andra tidak suka lauk yang dipanaskan. "Mas, makan sedikit banget. Mau kutambahi." Inaya mengambil centong nasi dan hendak membuka magic jar. Namun Arya mencegahnya. "Tidak usah, Naya. Perut Mas lagi tak enak.""Nah, pasti gara-gara Mas telat makan. Sebentar aku ambilkan obat." Inaya bergegas ke kotak P3K yang menempel di dinding dekat kulkas. Dia sudah hafal kebiasaan Andra. Kalau banyak pikiran dan telat makan, m
Ponsel di dasbor berdering, segera Andra menyambarnya. Berharap ada kabar mengenai Inaya. Rupanya Tony yang sedang menelepon."Halo.""Kamu di mana? Inaya nggak ada di rumah sakit. Kutanyakan pada petugas, mereka bilang sudah di bawa pulang keluarganya?""Ya, aku sudah tahu. Tapi di rumahnya juga nggak ada. Aku mau nemui temannya dulu, barangkali dia tahu.""Pulang saja dulu, urusi Marina. Biar kucarikan kabar mengenai Inaya. Aku yakin orang tuanya punya alasan yang kuat untuk membawa Inaya pergi. Padahal dia dalam keadaan butuh perawatan.""Ton, kamu yang ngabari orang tua Inaya tadi?""Bukan. Mesi panik dan menghubungi Tita. Kurasa Tita yang ngabari bapak dan ibunya Naya. Sudahlah kamu pulang dulu. Biar aku cari info di mana Inaya. Tenangkan dulu Marina, dia bisa nekat berbuat apa saja.""Ya, aku harus tahu kalau Inaya baik-baik saja. Kata perawat Inaya sedang hamil.""Memangnya kamu belum tahu?""Inaya belum memberitahuku.""Kemungkinan dia baru hamil sekitar sebulan, kata dokter y
Kembali ditariknya napas panjang, lantas melanjutkan bicara. "Kamu pikir aku hanya butuh urusan ranjang saja? Aku butuh teman bicara, aku butuh ada orang yang bisa mendampingiku di sini. Kita pernah duduk berdua membahas ini dua tahun yang lalu. Bahkan sejak dulu aku sering mengajakmu bicara untuk mencari solusi agar kita tak lagi satu atap dengan orang tuamu. Tapi kamu selalu menjawab 'gampang.' Sepuluh tahun kita bersama. Ini pencapaian yang luar biasa dalam pernikahan kita yang selalu beriak. Kita pernah sangat bahagia saat lahir anak-anak kita. Aku pernah bilang, jika pulang kerja ingin bertemu anak-anak dan bercanda dengan kalian. Saat kupinta kalian tinggal di kota ini, apa jawabanmu. 'Kamu bisa nelepon kan, Mas'. Kamu tidak berusaha memahami bagaimana perasaanku. Apakah ini yang di namakan cinta?"Mereka saling pandang. "Maafkan aku. Aku memang salah, Rin. Tapi dari cara yang salah ini aku bisa merasakan bagaimana menjadi suami yang dihargai dan di butuhkan." Andra tidak lagi m
Andra menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu berplitur cokelat, dengan permukaan berukiran klasik. Pintu ruang kerja setinggi tiga meter dengan pegangan kuning keemasan. Dua kali ketukan, terdengar papa mertua menyuruhnya masuk.Pintu terdorong, di kursi kebesarannya lelaki berusia enam puluh lima tahun itu duduk dengan angkuhnya. Andra melangkah dengan tenang menghampiri mertuanya."Duduklah!" perintah lelaki yang di kenal dengan nama Cakra Kusuma. Andra menarik kursi dan duduk."Bagaimana pekerjaanmu?""Alhamdulillah, lancar, Pa.""Kapan rencana pindah ke kantor pusat?""Saya tidak tahu."Pak Cakra manggut-manggut. Lebih baik Andra menahan diri agar tidak banyak bicara. Dengan begitu dia bisa membaca gelagat mertuanya. Dia juga tidak ingin berurusan dengan hal yang rumit dengan mertua. Terlebih jika akan berakhibat fatal pada Inaya."Apa dulu antara kamu dan Pak Yusa nggak ada perjanjian mengenai tugas kamu di sana? Misalnya hanya beberapa tahun saja gitu.""Tidak ada, Pa.
Anak-anak sangat riang diajak jalan-jalan dan membeli apa yang mereka mau. Andra sangat bahagia mereka bisa seceria itu. Sedangkan di lengan kirinya, Marina bergelayut manja. Andra melangkah di sepanjang koridor dengan perasaan hampa. Tadi sempat menelepon Tati sewaktu pulang dari kantor Pak Yusa, tapi jawaban perempuan itu sama seperti jawaban Tony. Kantor tempat mereka bekerja juga tidak menerima surat izin dari Inaya. Dan keberadaan perempuan bermata bening itu jadi bahan pertanyaan bagi rekan-rekan yang mengenalnya.Kiki ngotot ingin masuk kids zone. Amel sebenarnya tidak mau, tapi akhirnya harus mengalah demi sang adik. Andra dan Marina duduk menunggu di bangku besi depan tempat bermain itu."Apakah pertemuan Mas dengan Pak Yusa tadi untuk membicarakan kepindahan Mas kembali ke sini?" tanya Marina setelah diam cukup lama."Kami bicara mengenai pekerjaan.""Itu saja?""Ya."Marina kecewa. Ternyata laki-laki yang beberapa waktu lalu di temui papanya tidak mengindahkan permintaan sa
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt