Share

Bab 4. Kau Hamil?

“Kau harus bertanggung jawab padaku untuk kejadian malam itu di hotel,” ucap Belva lagi, dengan nada tegas dan sedikit penuh tuntutan pada sang dokter tampan yang ada di hadapannya.

Ya, Belva mengakui dirinya memang sudah kehilangan akal sehatnya. Namun, dalam kondisi hamil seperti ini dia bingung harus bagaimana. Seakan takdir menuntunnya, dia kembali bertemu dengan pria yang menjadi cinta satu malamnya.

Hening sejenak, beberapa orang terlihat sedang menengok pada mereka, sementara sebagian lagi tidak peduli dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Belva. Tampak kening dokter tampan mengerut dalam. Dalam ketenangannya, dokter tampan itu terkejut.

“Kau tidak mungkin lupa denganku, kan?” Nada bicara Belva sedikit menurun, agar aman tak didengar oleh orang lain. Sebab, dia tak ingin menjadi pusat perhatian.

Dokter tampan itu masih tetap tenang meski terkejut akan ucapan Belva yang meminta pertanggung jawabannya. Dalam keheningan yang membentang, Belva tak sengaja melihat name tag di sneli dokter tampan itu.

Seketika jantung Belva ingin lepas dari tempatnya di kala melihat name tag yang tertulis di sana ‘Ares Ducan’. No way! Sangat tidak mungkin! Belva terus mengatakan dalam hatinya bahwa pria itu tidak mungkin salah satu dari anggota keluarga Ducan. Sekali lagi dia membaca nama yang tertera di sana, berharap jika di awal dia telah salah lihat. Namun sangat jelas bahwa nama Ducan tersemat di belakang nama pria itu.

Gawat! Urusannya akan menjadi panjang dan rumit jika menyangkut keluarga Ducan. Khawatir orang-orang yang berada di sekitar mereka mendengar atau salah sangka terhadap permintaan tanggung jawab dari Belva yang terdengar sangat menuntut, membuat dokter tampan bernama Ares itu menarik tangan Belva menghindari dari tempat itu.

Mereka berjalan cepat melintasi beberapa lorong rumah sakit. Beberapa kali Belva harus sedikit berlari kecil karena harus mengimbangi langkah Ares yang panjang. Tampak jelas wajah Belva menjadi sangat pucat!

 Kemudian, di sinilah tujuan mereka berakhir. Ares membawa Belva menuju ke area tangga darurat, satu-satunya tempat sepi yang aman untuk berbicara secara empat mata.

“Apa maksudmu?” tanya Ares dingin, dengan sorot mata menatap tajam pada Belva.

Nyali perempuan itu sedikit menciut karena melihat tatapan Ares. Dia sering mendengar tentang pria keluarga Ducan yang terkenal dingin dan menakutkan, tapi dia tidak pernah melihatnya secara langsung. Kali ini, dirinya bisa mengerti kenapa rumor itu tersebar kuat di kalangan para pekerja yang berhubungan dengan keluarga itu.

Aura dingin Ares tidak main-main. Jika saja Belva tidak memiliki kepentingan dengannya, dia pasti akan menghindari pria itu. Sayangnya, logika Belva tidak aktif saat dia sedang dalam posisi mabuk berat, seperti waktu itu.

“Maaf membuatmu terkejut, tapi aku yakin seratus persen kau mengingatku,” kata Belva sedikit memberanikan diri. Meski takut, tapi jika dia tak berani bagaimana caranya untuk bicara dengan sosok pria di hadapannya ini?

Ares terdiam belum bersuara. Matanya menyipit berusaha mengingat perempuan gila di hadapannya ini. Harus dia akui, dia tak asing melihat perempuan di hadapannya ini. Namun, otaknya belum bisa mengingat jelas perempuan itu.

“Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni omong kosong seperti ini, Nona. Silakan kau pulang, dan jangan ganggu aku,” ucap Ares dingin, dengan aura wajah penuh ketegasan.

Ares berbalik, bersiap untuk melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu. Akan tetapi gerakannya dicegah oleh Belva dengan menarik ujung snelli milik pria itu. Dengan terpaksa, Ares menoleh dan menuntut jawaban dari sikap perempuan itu dengan sorot tajam kedua matanya.

“Apa yang kau lakukan?!” sentak Ares, membuat Belva berjingkat terkejut.

“Tolong jangan pergi dulu. Aku tidak mengucapkan omong kosong padamu, dan aku juga tidak sedang bercanda untuk saat ini.” Belva nyaris putus asa mengatakan demikian.

Belva mengeluarkan print hasil USG yang baru saja dia lakukan, lalu memberikannya pada Ares. “Itu adalah anak kita. Dia sangat sehat.”

Ares berdecak kesal tak sanggup lagi menahan emosinya. “Pergilah ke psikiater. Kurasa kau perlu mendapatkan perawatan di sana.”

Belva menyadari, jika dia berada di posisi Ares, tentu dia juga akan mengeluarkan respon  yang sama. “Ares, dengarkan aku dulu! Maksudku, Dokter Ares, tolong dengarkan penjelasanku dulu, please.”

Ares masih memasang sorot tajam untuk memandang Belva. “Waktumu tidak lebih dari satu menit.”

Belva tersenyum lebar, lega karena dia diberi kesempatan untuk menjelaskan.

“Malam itu, di Ritz Hotel dua bulan yang lalu. Kita bertemu di sana,” ucap Belva mulai menjelaskan. “Karena mabuk berat, aku salah masuk ke dalam kamar yang telah kau sewa. Aku merasa bahwa itu adalah mimpi, jadi aku mulai merayumu dan akhirnya, kita melakukan hubungan seks. Apakah kau sudah mengingatnya?”

Raut wajah Ares masih terlihat kaku, bahkan lebih kaku dari sebelumnya. Sorot matanya berusaha untuk menelisik lebih jauh dari maksud Belva yang masih menatapnya dengan penuh harap.

Sementara itu, detak jantung Belva berdebar sangat kencang. Mungkin jika saat ini dia mengenakan jam tangan untuk mendeteksi ritme jantung, dia yakin sinyal bahayanya akan terus berkedip merah.

Tanpa mengatakan satu kata pun, Ares akhirnya pergi, meninggalkan Belva sendirian di tangga darurat itu.

Belva menghela napas. Tubuhnya terasa lemas saat melihat respon Ares yang berhasil menyakiti hatinya. Perlahan, Belva duduk di anak tangga dengan tatapan kosong mengarah ke depan.

Belva mulai bertanya-tanya, kesalahan besar apa yang telah dia lakukan sampai Tuhan menghukumnya seperti ini. Banyak orang lain yang mabuk, bahkan lebih parah dari dirinya di malam itu, tapi mereka baik-baik saja. Kenapa justru Belva yang mengalami hal menyedihkan seperti ini?

Apa  yang harus dia lakukan saat ini? mungkin, apakah lebih baik dia menggugurkan kandungannya saja? Dengan begitu, dia akan bisa kembali meneruskan untuk meraih cita-citanya, dan janin yang sedang dia kandung juga tidak akan pernah lahir dengan situasi yang tidak menyenangkan seperti ini.

Belva mengerang frustrasi. Dia bahkan tidak memiliki keberanian untuk melakukan hal itu. Moral di dalam dirinya sangat menentang pemikiran sesaat itu. Alih-alih terus memikirkan tentang menggugurkan kandungan, saat ini dia mulai berpikir mengenai kebodohan yang telah dia lakukan.

Tampaknya, setiap hari dia akan selalu ada masa di mana dirinya akan berdiam, tanpa ekspresi dan tatapan matanya yang kosong. Dari banyaknya pria yang ada di Manhattan, kenapa harus seorang Ares Ducan yang menjadi ayah dari anaknya?

Jika ibunya sampai tahu, riwayat Belva pasti akan tamat. Oleh karena itu, dia harus memastikan bahwa ibunya untuk sementara waktu ini tidak akan pernah tahu kondisinya. Belva tidak memiliki kesulitan yang besar. Disebabkan kesibukan, keduanya menjadi jarang bertemu. Ditambah lagi, sudah beberapa tahun ini Belva berada di Inggris. Untuk beberapa bulan tidak bertemu lagi, akan menjadi hal yang normal bagi ibunya.

Sementara yang menjadi beban pikiran Belva saat ini adalah, bagaimana dia menemukan pekerjaan dengan kondisi seperti ini? Belva menghela napasnya dalam-dalam. Mengeluhkan masalahnya di sini tidak akan membuatnya menjadi lebih baik. Perempuan itu berdiri, menyeka air matanya yang tadi sempar turun. Kedua pipinya terasa sangat lembap. Setelah memastikan penampilannya kembali rapi, dia keluar dari tempat tangga darurat itu.

Sekali lagi, Belva berusaha mencari sosok Ares. Namun, dia telah kehilangan jejak. Desahan frustrasi mengiringi langkah kakinya yang berat. Jujur saja, dia tidak bisa menghadapi ini sendirian. Namun sekali lagi, tak ada satu pun orang yang dia percaya untuk mendengarkan masalahnya.

Belva menghela napasnya kuat kuat. Pikiran positifnya mulai berusaha untuk menyingkirkan prasangka buruk yang demi apa pun hampir menguasai seluruh bagian otak dan perasaannya.

Besok, Belva berniat untuk kembali lagi ke sini, dan mencoba untuk menemui Ares, kemudian membicarakan masalah ini lagi dengannya. Sebab bagaimanapun, anak yang ada di kandungannya adalah anak Ares.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status