Saat aku menatap salah satu di antara mereka, aku tersenyum sambil sedikit membungkukan badan, berlalu mengikuti Kakak Ku. Selanjutnya aku asyik menonton melihatnya memasak.
Fahri sudah pernah memberitahuku soal Kakak ku yang jago memasak. Dia menyalahkan kompor, menyiapkan wajan, tak lupa juga menuangkan minyak goreng.
Aku mengamatinya dengan cermat, barangkali saja aku bisa sedkit belajar. Sambil menunggu minyak di panaskan. Dia menuangkan tepung bumbu di baskom mini, sepertinya dia akan membuat filet udang.
Pyak,, pyak,, pyak!
Suara itu terdengar mendominasi saat udang yang memang sudah di baluri tepung bumbu berenang ke dalam minyak yang sudah panas. Sambil menunggu, Perhatiannya teralihkan, dia mengambil pisau dan talenan.
Mengiris beberapa bawang, cabe dan tomat. Tidak akan berlebihan jika aku berkata bahwa aku sedang menyaksikan perlombaan memasak, hanya saja kontestan yang mengikuti lomba hanya dia sendiri. Hehehe!
Dia mengambi
Aku tidak perduli bagaimana sistem gaji disini khususnya bagi pedagang orang buton yang menyimpan gaji karyawan dengan iming – iming akan di berikan saat mereka pulang kampung atau paling tidak harus bertahan selama 3 tahun dengan imbalan akan di bantu menjajaki usaha dengan bantuan modal. Jadi begini! Pertama, setelah karyawan kios mampu bertahan selama 3 tahun. Mereka akan diberikan tanggung jawab untuk menjalankan sebuah usaha. Dalam hal ini mereka akan di berikan kios untuk di jalankan sendiri tanpa campur tangan orang lain. Mulai dari biaya kontrak kios hingga barang – barang yang di perlukan sesuai dengan kebutuhan pasar. Kedua, mereka akan di minta untuk mengisi barang – barang yang di butuhkan. Karena baru akan memulai sebuah usaha. Mereka tidak di berikan pilihan selain mengambil barang dari sang Bos. Setelah semua keperluan sudah terlaksana, Barulah sang Bos dan karyawan akan menghitung semua biaya yang di keluarkan. Biasanya, seorang karyawan di gaji Rp. 300.000/bulan. K
Menerutku, pemicunya tidak lain adalah karena hubungan darah. Alih – alih memikirkan hubungan darah, skenario terburuknya bahkan kalian akan di peralat. Berbisnis dengan keluarga lebih cenderung berakhir dengan perselisihan. Rasa was – was tidak akan terhindarkan. Ya, tapi kembali lagi, selama bisa me_manage hubungan darah dalam bisnis, aku rasa semuanya akan baik – baik saja. Lain lagi ceritanya jika membangun sebuah bisnis dan bekerja sama dengan orang luar, kedua bela pihak akan saling terbuka dan berusaha meminimalisir kesalah pahaman. Pritoritasnya adalah kepercayaan. Dari pada hanya sekedar memanfaatkan keuntungan pribadi, mereka akan lebih cenderung meningkatkan progres usaha yang di jalankan. Kalaupun ada yang berani bermain di belakang, itu karena memang dari awal sudah di rencanakan. Tapi kemabli lagi kepada diri sendiri. Selama tidak ada niatan untuk memanfaat kerabat atau pun orang luar! Tidak akan ada keriguan yang berarti. Setidaknya semuanya akan baik – baik saja, buk
“Apa istrimu memang selalu seperti itu! Atau,, apa karena aku membeli ini?” aku segera melontarkan pertanyaan saat aku turun dari motornya sambil menunjukan ponsel yang baru saja aku beli beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya aku sudah ingin bertanya sejak aku masih berada di rumahnya, tapi urung karena aku rasa itu akan terlihat sedikit tidak sopan, aku juga tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Dan aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Sejujurnya aku tidak akan terlalu perduli jika saja ini terjadi kepada orang lain. Tapi biar bagaimanapun dia adalah iparku, istri dari kakak kandungku. Aku tidak bisa diam saja sebagaimana biasanya aku bersikap. Kebetulan di halaman rumah ada beberapa kursi, kami segera duduk. Dia merabah sak celananya, meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang. Pangkal bibirnya mengapit bagian filter kemudian menyalahkan pematik sebelum satu tarikan itu menyemburkan asap yang cukup menutup sebagian wajahnya. “Aku rasa pertanyaanmu suda
Sebelum matahari terbit, aku langsung menuju pasar. Pagi ini aku sendirian, aku tidak mengajak Fahri ataupun Umar. Mereka masih tidur. Terlalu pulas untuk dibangunkan. Lagipula tidak ada lagi taruhan diantara mereka. Juli juga tidak pernah lagi bermalam disini. Dan itu membuat Umar tidak mempunyai partner untuk bertaruh dengan Fahri. Orang – orang mulai memadati pasar. Dari pedagang, pembeli hingga orang – orang yang hanya sekedar mampir untuk memanjakan mata. Semuanya menyatuh dalam satu frame.Ratusan kata terdengar samar – samar ditelingaku. Ada yang sedang menawar harga barang karena ingin membeli, ada juga yang hanya sekedar iseng menawar seakan ingin membeli dan itu sudah menjadi seni layaknya musik pengantar. Seakan ingin memberikan sentuhan terakhir, suara roda dua dan empat tidak luput dari perhatianku. Bukan karena itu mobil sport atau harley davidson, akan sangat lucu jika itu benar - benar terjadi. Itu hanyalah angkutan umum dan ojek yang selalu setia menunggu penumpang.
Alhamdulillah setibanya di Ambon, beliau langsung di bantu oleh Ayahnya Ahmad. Rumah pengungsi yang di janjikan pemerintah benar – benar dibangun, dengan ukuran 2×3m per unit. Sebagian orang mungkin akan bertanya – tanya mengapa rumah pengungsi yang dibangun terlalu kecil! Apa jadinya bila satu kepala keluarga berjumlah 4 atau 5 orang atau bahkan lebih. Karena ukurannya yang terbilang kecil, ada sebagian warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Entah itu dengan mengontrak rumah atau hanya sekedar mencari kerabat dekat. Meskipun terbilang kecil setidaknya ada hunian, bukan! Kebetulan saat itu Ayahnya Ahmad adalah kepala RT di komplek pengungsian. Ibuku diberikan satu unit. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah korban dari kerusuhan kota Ambon dan sudah seharusnya beliau mendapatkan bagiannya. *** Setelah Ibu menjelaskan keadaan kami. Alahamdulillah pamanku tidak keberatan, toh juga si Adit hanya mampir. Beliau meminta agar Ibuku tidak perlu repot – repot mengurus si
1.Terputusnya Jembatan Impian Pukul 11 siang, aku harus bersiap-siap ke kampus, ini adalah hari pertama bertatap muka langsung dengan Dosen. Aku adalah mahasiswa baru di salah satu kampus swasta. Setelah melewati serangkain tes tertulis disusul menyelesaikan administrasi__bagi yang lulus tes tertulis__dan dilanjutkan dengan tahap terkahir yaitu masa orientasi ( OSPEK ). Tahun ajaran baru dimulai, resmi sudah aku menjadi mahasiswa. Sayangnya aku tidak mampu bertahan. Menjadi mahasiswa sudah pasti membuat siapa saja semakin dekat dengan impiannya, itulah kalimat yang pernah kudengar dari seseorang yang tentunya ungkapan itu bertolak belakang dengan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan karena realita yang ada justru berkata lain, dan faktanya mereka yang tidak pernah mencicipi bangku pendidikan mampu meraih impian tanpa harus berdasi. Jika hanya diuraikan dalam rangkain kata mungkin terlihat mudah, tapi percayalah tidak sesederhana itu. Coba saja bertanya kepada tetangga kalia
"Nilaimu terlalu bagus untuk masuk Unidar. Apa kau tidak berminat untuk mendaftar di Unpatti? Atau di salah satu kampus yang bisa menunjang prestasimu! Sayang sekali jika nilai sebagus ini hanya menghabiskan waktu di kampus swasta! Tapi diluar dari itu, saya pribadi dengan senang hati akan menerimamu tanpa harus mengikuti tes, jarang sekali kami mendapat calon mahasiswa dengan nilai sebagus ini.” Rupanya Bapak itu sedang mengamati nilai ujianku. Apa dia sedang memujiku? Sejujurnya aku tidak terkejut ataupun harus terbuai dengan pujiannya, aku sibuk mengisi formulir. Ini bukan kali pertama aku mendengar kalimat yang sama. Para Guru dan teman – temanku juga pernah menyarankan agar aku kuliah di luar kota atau setidaknya mengambil behasiswa yang sudah di sediakan dari beberapa Yayasan atau Universitas ternama. Setelah aku dinyatakan lulus SMA. Ada beberapa kerabat yang menawariku untuk melanjutkan pendidikan di Universitas yang mereka inginkan, dan salah satu dari kerabat itu adalah Pa
Berbeda dengan peserta lainnya, yang punya segala apapun yang mereka inginkan. Dan itu bisa terlihat dari raut wajah mereka yang masih semangat untuk kembali mengikuti kelas Bimbel__tak ada tampang susah disana. Mereka tidak akan merasa kelelahan__ada kendaraan pribadi yang selalu siap memanjakan mereka! Mereka juga tidak akan pernah perduli dengan apa yang di pikirkan oleh orang – orang susah__secara garis besar. Sudah jelas bahwa didikan keluarga orang kaya sangat berbeda jauh dengan keluarga orang miskin, pola hidup mereka sudah diatur sedemikian rupa, semua fasilitas tersedia. Sedangkan orang miskin tidak sedemikian, jangankan mengatur pola hidup, untuk bertahan hidup saja rasanya sudah sangat sulit. Hal itulah yang kadang membuatku merasa tidak pantas berada di sekolah ini! Entah hanya sugesti atau karena status sosial. Awalnya aku tidak begitu mengerti, kenapa pemikiran konyol itu bisa muncul di kepala ku. Tapi setelah setahun, lebih tepatnya sa