“Bas, aku mencarimu ke kantor, tapi kamu—tidak ada di sana…” ucap Elsie sambil perlahan berjalan mendekati Bastian. “Kamu— kemana?”Elsie ingin sekali mengkonfrontasi Bastian, dan memakinya karena pria itu telah membohonginya. Bastian telah berpura-pura kehilangan ingatannya padahal ia justru pergi menemui Kanaya, bahkan membawa anak mereka kembali kepada perempuan murahan itu!Akan tetapi Elsie tidak dapat begitu saja memaki Bastian. Sebab ia membutuhkan Bastian.Elsie tahu ia berada pada posisi yang tidak menguntungkan saat itu. Nasib dan nama baiknya bergantung pada kemurahan hati Bastian.Akan tetapi nahasnya, Bastian tidak lagi percaya padanya setelah Bastian memergoki perbuatannya beberapa kali.Akankah Bastian masih memberinya kesempatan? Elsie sadar, tidak akan mudah untuk bisa mempengaruhi pendirian Bastian mulai saat ini.“Menyelidiki sesuatu,” jawab Bastian sambil melirik Elsie.Menyelidiki sesuatu? Apa yang dia selidiki? Pikir Elsie dengan jantung berdebar kencang.“Bas,
Bunyi pintu terbuka dan langkah derap kaki mengalihkan fokus Elsie dari Bastian. Kedua mata Elsie membelalak, menatap nanar pada beberapa orang berpakaian polisi yang memasuki rumah. Apa yang terjadi? Kenapa polisi datang ke rumah? Pikir Elsie dengan rasa ketakutan yang menelingkupinya. Tanpa sadar ia melangkah mundur sambil menatap horor pada pria dan wanita berseragam yang berjalan ke arahnya. “Ibu Elsiana Zhiva, anda kami tahan atas tuduhan penculikan, perencanaan menghilangkan nyawa, serta kaki tangan penyelundupan barang-barang ilegal.” Seorang petugas polisi berkata di hadapan Elsie, sebelum memberi isyarat pada dua orang petugas wanita untuk mengamankan Elsie. “Tunggu, tunggu, Pak! Pasti ada kesalahan!” teriak Elsie sambil menolak di mbawa oleh kedua polwan tersebut. “Anda bisa jelaskan itu nanti di kantor polisi! Sebaiknya anda bekerjasama dna tidak membuat masalah, Bu Elsie!” Petugas polisi bersikukuh untuk membawa Elsie ke kantor untuk penahanan. “Bas! Bas! Kamu.. Bas!
Bastian kembali tersenyum mendengar penuturan Elsie. “Kamu benar Els, aku memang orang yang selalu menepati janji,” ucap Bastian. Ia lalu berbalik badan dan melangkah. “Dan aku akan selalu membalas budi kebaikan orang yang telah berbuat baik padaku,” ucap Bastia. Ia berhenti melangkah dan kembali berbalik badan, menghadap perempuan yang 11 tahun lalu dilihatnya pertama kali di gudang kosong itu. “Kamu menyelamatkan nyawaku, dan aku berjanji akan selalu menjagamu,” ucap Bastian lagi sambil terus menatap Elsie. Senyum di bibir Elsie semakin terkembang lebar. Ia tahu ia telah berhasil. Bastian tidak mungkin memenjarakannya! “Tetapi tahukah kamu bahwa hari ini aku pergi menemui seorang pria bernama Amar.” Bastian tiba-tiba bicara dengan suara yang tenang dan dalam seperti menyimpan suatu misteri yang tidak sabar untuk menyeruak. “Dia—memiliki seorang anak perempuan. Usianya baru 15 tahun,” tutur Bastian seperti bercerita. Kening Elsie berkerut. Ia tidak mengerti mengapa Bastian me
Sunset Summit. Setelah menidurkan Kenzo, Kanaya berdiam diri di dalam kamar. Ia asyik mengetik dan mencari informasi dengan menggunakan telepon genggamnya. “Gema Dwipangga.” Kanaya mengetik nama ibu Reno itu melalui pencarian internet. Hanya dalam sekejap, keluarlah beberapa informasi mengenai Gema. Informasi itu bersifat umum, mengenai keluarga, tanggal kelahiran serta tanggal kematian. Di sana juga disebutkan jika Gema meninggal karena sakit, meski tidak dijelaskan sakit apa yang ia derita, atau bagaimana ia meninggal dunia. “Sebelah tahun yang lalu…” gumam Kanaya setelah ia menghitung tanggal meninggalnya Gema. Kanaya lalu memulai pencarian baru. “Penculikan Bastian Dwipangga.” Namun, pencarian itu tidak membuahkan hasil. Kanaya mengerutkan keningnya. Ia benar-benar ingin mengetahui kejadian itu. Akan tetapi, ia tidak mendapatkan hasil apa pun. Rupanya keluarga Dwipangga benar-benar menutup rapat kejadian itu. Clara tidak mungkin berbohong mengenai hal seperti ini, pik
“Apa maksudmu Bas? Elsie yang membuat hubunganmu dan Reno berantakan?” tanya Kanaya lebih tidak mengerti lagi. Kenapa sekarang ada Elsie? Apakah Elsie juga berperan dalam buruknya hubungan Bastian dan Reno? “Reno?” Bastian mengerutkan keningnya mendengar nama itu di sebut. Apa hubungan Reno dengan penculikan itu? Dia bahkan masih berusia 15 tahun saat itu, dan tidak ikut serta dalam kejadian penculikan. Kanaya mengangguk. “Reno, dia membencimu karena dia menyalahkanmu sebagai penyebab ibunya meninggal dunia, kan? Karena semua orang saat itu hanya memperhatikan kamu… dan mengabaikan sakit yang diderita ibunya. Benar kan? Lalu apa hubungannya hal itu dengan Elsie? Dia—dia tidak mungkin menjadi penyebab sakitnya… Gema, kan?” Setelah mengetahui sepak terjang Elsie dari Clara, ia jadi menduga-duga. Bastian menatap Kanaya dengan terperangah, sebelum ia menundukkan wajahnya dan menahan tawa. Rupanya ia dan Kanaya telah salah pengertian. Apa yang mereka berdua bicarakan adalah dua hal
Plang! Plang! Plang! Suara berisik besi yang beradu membuat Elsie terbangun dari tidurnya dengan terkejut. “Heh, berisik sekali!” bentak Elsie dengan keras. “Apa? Ini sudah siang! Bangun!” Suara seorang perempuan yang berbicara dengan nada tegas membuat Elsie menoleh. Diseberang jeruji besi berdiri seorang polisi wanita sedang menatap ke arahnya. “Bangun! Ini sudah siang!” pelototnya sebelum kembali berjalan. Elsie segera beranjak duduk. Ia baru teringat apa yang terjadi tadi malam dan di mana ia berada saat ini. Setelah melalui sederetan pemeriksaan tadi malam, akhirnya Elsie ditempatkan dalam satu sel sendirian. Di sel tahanan yang hanya seluas 2,5 x 2 meter itu, hanya terdapat ranjang, meja dan satu kamar mandi kecil. Ruangan itu adalah sel tahanan sementara selama kasusnya masih dalam proses. Elsie masih saja tidak percaya jika Bastian benar-benar melaporkannya ke polisi dan mengajukan tuntutan dengan berbagai pasal yang berlipat. Bagaimana mungkin ini terjadi? “Aarrr
“Mau apa?” Elsie memberanikan diri bertanya, berusaha tidak menampakkan rasa takutnya. Perempuan itu tersenyum miring. Ia masuk ke dalam sel Elsie dengan tangan terlipat di depan dada. “Lumayan. Mereka masih memberimu fasilitas…” ucap perempuan itu sambil melihat ke sekeliling sel yang ditempati Elsie. Sel itu memang diperuntukkan untuk dua orang, akan tetapi saat itu hanya ada Elsie yang menempatinya. Padahal di sel lain, tahanan berbagi tiga atau empat orang dalam satu sel. Elsie pun menyadari hal itu. Sepertinya petugas masih mempertimbangkan statusnya sebagai istri Bastian. Sehingga mereka memisahkannya dari tahanan lainnya. Elsie tidak mengomentarinya. Jelas penghuni tahanan lainnya mengetahui siapa dirinya dan alasan ia mendapat perlakuan istimewa. Terlihat dari cara mereka berbisik-bisik membicarakan dirinya, dan tidak ada yang berani mengganggunya. Tetapi perempuan ini berbeda. Ia seakan tidak takut dengan statusnya yang masih istri Bastian. Perempuan itu dengan lancan
Sesampainya di gedung DPG Corp, dengan ditemani Amran, Kanaya tidak mendapat kesulitan untuk masuk dan naik ke lantai 60 tempat kantor Bastian berada. “Maaf, Bapak sedang tidak di tempat,” ujar Sofie pada Amran yang mendatangi mejanya. Ia melirik pada wanita muda yang mengenakan baju terusan bernuasa soft yang berdiri di belakang Amran. Awalnya Sofie tidak mengenali wanita itu, karena penampilannya yang jauh berbeda saat ia melihatnya dulu. Dulu, saat Kanaya datang ke kantor Bastian untuk pertama kalinya, wanita muda itu hanya mengenakan celana jean, kemeja dan sepatu kets biasa, tidak bermerek dan mengesankan dia hanya mahasiswi biasa. Namun kali ini, wanita yang berdiri di belakang Amran itu tampak sangat cantik dan lembut dengan pakaian bermerek dari ujung kepala hingga ujung kaki. Namun penampilannya itu tidak menampakkan sikap arogan ataupun menyombongkan apa yang ia kenakan. Dia bahkan sopan menunggu Amran menanyakan di mana Bastian berada. Padahal Sofie tahu, saat ini wan
“Aliya, apa sebenarnya yang kamu lakukan di caffe ini? Apa kamu mengikuti kami berdua?” tembak Bastian dengan lebih spesifik. Aliya tampak gugup. “Aku— Kanaya, aku… aku…” “Kamu kebetulan saja ada di sini kan?” Kanaya bertanya. Ia berharap Aliya tidak sengaja bertemu dengannya. “Kanaya, aku sebenarnya memang ingin menemuimu…kalau kamu ada waktu untuk… wawancara….” aku Aliya dengan gugup. “Tapi Kanaya, selain karena urusan pekerjaan, aku juga ingin sekali bertemu denganmu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu…” ucap Aliya langsung. Kanaya menatap teman kecilnya itu. “Kenapa kamu tidak mengatakannya sejak tadi?” “Aku tahu aku seharusnya jujur mengatakan hal itu padamu. Tapi aku takut, kalian akan menolaknya,” jawab Aliya sambil melirik Bastian. “Kalian seharusnya tahu kalau Kanaya sangat menghargai kejujuran. Ditolak atau tidak, itu hal belakangan,” ucap Bastian yang juga ikut merasa kecewa. Ia menunggu Aliya untuk mengakuinya, namun tidak juga kunjung dilakukannya. “Kanaya, ak
“Halo… apa kabar? Perkenalkan, saya Ardyan, Ini Indra, Fariz dan Clara.” Tiba-tiba Ardyan beranjak dari duduknya dan menyalami mereka berdua. Melihat suasana canggung, ia langsung mengambil inisiatif memperkenalkan mereka semua yang ada di sana. Indra, Fariz dan Clara pun menyapa mereka dari tempat mereka duduk. “Halo…” balas Aliya dan Gita bersama-sama pada keempat orang itu. “Maaf, Bastian memang sangat protektif seperti ini pada Kanaya. Harap maklum dengan situasi saat ini,” ucap Ardyan sembari menepuk pundak Bastian agar berhenti membuat mereka takut dengan tatapannya yang mendominasi. Bastian memutar bola matanya melihat Ardyan meminta maaf pada mereka berdua. Namun harus diakuinya jika inisiatif Ardyan itu memang mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kalian duduk bersama kami? Kalian pasti masih ingin mengobrol kan?” Ardyan menawarkan sambil me Tidak hanya itu, Ia langsung menggeser bangku dan meminta bangku tambahan pada pelayan caffe. Dalam beberapa menit saja, Aliya d
Keesokan harinya, Bastian dan Kanaya berkumpul di Caffeine Cuisine bersama Ardyan, Indra, Fariz dan Clara. “Apa kalian baik-baik saja?” Ardyan lebih dahulu bertanya saat Kanaya dan Bastian sampai di Caffe itu. Bastian saling bertukar pandang dengan Kanaya. “Kami baik-baik saja, Dokter Ardyan.” Dan Kanaya yang menjawab pertanyaan itu. Dari cara Bastian menatapnya, Kanaya tahu Bastian ingin ia yang menjawab pertanyaan Ardyan. Karena sebenarnya dirinyalah yang tengah mereka tanyakan. Ketiga sahabat Bastian itu tidak terlalu mengkhawatirkan Bastian. Karena mereka yakin Bastian bisa mengurus dirinya sendiri. “Aku senang mendengarnya, Kanaya. Kamu tidak perlu memikirkan apa yang dikatakan orang. Kami semua, tahu apa yang sebenar terjadi,” ujar Clara yang duduk di sebelah Kanaya. Ia merangkul Kanaya dengan penuh perhatian. “Aku memang tidak terlalu memikirkannya,” balas Kanaya yang kemudian melirik Bastian dan lanjut berkata, “Karena aku yakin, kebenaran akan terungkap cepat atau lamb
Dengan penjagaan Jay dan anak buahnya, Bastian mengajak Kanaya pergi ke restoran baru yang sedang happening siang itu. Sudah pasti restoran itu sangat penuh oleh pengunjung pada jam seperti itu. Walaupun mereka mendapat tempat di bagian VIP akan tetapi kebersamaan mereka saat sedang memasuki dan keluar dari restoran itu sangat jelas terlihat oleh pengunjung restoran. Dan kali ini Bastian membiarkan mereka mengambil gambar dirinya dan Kanaya. Tidak hanya di restoran, Bastian juga mengajak Kanaya berbelanja ke mall terbesar di kota mereka. Tak ayal semua pandangan mata langsung mengarah kepada sepasang pria dan wanita yang sangat serasi. Yang satu tampan dan sangat berkharismatik, sementara satunya terlihat manis, cantik dan menggemaskan. Penampilan mereka berdua sungguh membuat iri siapa saja yang melihatnya. Apalagi Bastian tidak menahan diri untuk memperlakukan Kanaya dengan sangat lembut di depan publik. Seakan tidak peduli dengan tatapan mata dan bisik-bisik pengunjung mall,
Bastian tersenyum, memahami kekhawatiran Kanaya. Ia beranjak berdiri dan menyodorkan tangannya untuk membantu Kanaya bangun. “Ayo…” Kanaya menyambut uluran tangan Bastian dan beranjak dari rumput. Setelah Kanaya berdiri dengan tegak, Bastian meraih tangan Kanaya dan menggenggamnya dengan ekspresi wajah serius. “Naya kamu tahu siapa yang telah membocorkan hubungan kita ke publik?” tanya Bastian. “Aku bisa menduga. Tetapi aku tidak terlalu yakin. Apakah—Elsie?” jawab Kanaya dengan jujur sambil menatap Bastian. Kanaya yakin Bastian mengetahui pasti siapa pelakunya. Bastian melepas pegangan tangannya dan mengangguk. “Dugaanmu benar. Memang Elsie yang melakukan ini semua. Sidang perceraianku dan Elsie akan digelar dua hari lagi. Dan ini adalah cara dia untuk menarik simpati, memutar balikkan fakta dengan membuat opini publik seakan-akan aku mengkhianatinya lebih dulu.” “Naya, sebenarnya aku ingin mengikuti keinginanmu, menunggu sampai perceraianku selesai sebelum mempublikasikan hubu
Mendengar hal itu, Bastian mengangkat pandangannya dan menatap sahabatnya itu. Indra menghela nafas dan lanjut bicara. “Kalau pun aku memperhatikan dan mengkhawatirkan Kanaya, hal itu karena aku memiliki tanggung jawab sebagai orang yang membawa dia pada situasi ini.” “Aku—memiliki tanggung jawab moral untuk menjaganya karena aku yang mengenalkan dia pada kalian,” tambah Indra dengan nada serius. Untuk beberapa saat keduanya saling menatap seakan mencari kebenaran dalam hal itu. Bastian menghela nafas. Ia menepuk pundak Indra. “Aku berterima kasih, Ndra. Tetapi sekarang, itu bukan lagi tugasmu. Kanaya memiliki aku. Dan kamu tidak lagi perlu khawatir akan nasib Kanaya kedepannya. Aku yang akan memastikan dia baik-baik saja,” ujar Bastian sambil tersenyum. Ia sekarang mengerti alasan temannya itu datang menemui Kanaya dan ia bahkan menghargai kejujuran pengakuan Indra. Indra mengangguk menyetujui. “Tapi Bas, aku ingatkan lagi. Kalau kamu menyakiti dia—” “Never! Itu tidak akan p
“Kamu tidak perlu melakukan itu!” seru Bastian sambil berjalan menghampiri Kanaya dan Indra. Ia berjalan memotong diantara kedua orang itu kemudian melingkarkan tangannya di pinggang ramping Kanaya, memperlihatkan keposesifannya. “Itu adalah kewajibanku sebagai SUAMINYA. Kamu tidak perlu ikut campur dalam masalah ini!” Indra memutar bola matanya melihat reaksi berlebihan Bastian. Mengapa dia harus memotong jalan ditengah mereka dan bahkan menekankan kata suami? Tidak perlu diberitahu, Indra pun mengerti jika Bastian adalah suami Kanaya. Sebagai Dokter IVF dan sahabat Bastian, ia paling mengetahui hal itu. “Bas, aku hanya menguatirkan Kanaya. Kamu tahu kan bagaimana komentar yang beredar di luaran?” ujar Indra sambil mengangkat alisnya. Bastian menoleh pada istrinya. “Naya, kamu membaca komentar mereka? Tidak perlu membacanya, sayang. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Omongan mereka tidak ada artinya.” Bastian langsung teringat salah satu alasan kedatangannya siang
Ting! Ting! Ting! Ting! Suara notifikasi pesan yang masuk datang silih berganti. Kanaya yang baru selesai menyusui Kenzo, kembali ke kamarnya dan menemukan telepon genggamnya itu penuh dengan notifikasi pesan dan misscalled, salah satunya dari Bastian. Kanaya membuka satu persatu pesan singkat yang masuk, dan ia tampak kebingungan. Apa yang terjadi? Apa maksud semua ini? Kenapa teman-teman kuliahnya banyak yang menghubunginya, bertanya dan bahkan ada yang menyebutnya simpanan, sugar baby-nya Bastian? Bahkan Profesor Zaky yang dulu pernah menjadi dosen pembimbingnya ikut bertanya padanya. “Kanaya, apa kamu baik-baik saja? Aku tahu apa yang orang lain pikirkan, tapi aku yakin semua berita itu tidak benar. Kamu bukanlah seperti yang mereka beritakan.” Beritakan? Berita apa? Batin Kanaya semakin heran. Tiba-tiba perasaannya tidak enak dan tangannya sedikit gemetar saat membuka browser pencarian. Namun sebelum Kanaya sempat membuka portal berita online, sebuah panggilan telepon ma
“Bos, saya punya berita buruk…” Ezra mendekati Bastian dan berbisik saat Bosnya baru saja selesai meeting dengan klien. Bastian berhenti membenahi dokumen-dokumen bisnisnya dan menoleh. “Berita buruk?” Ia menegakkan punggungnya dan memutar kursi swivelnya menghadap Ezra. Ezra tidak menjawab. Ia memberikan Bastian tablet yang ada di tangannya. Bastian merasa heran sebab Ezra tidak mau memberitahukannya dan justru memberinya tablet. Ia menatap Ezra dengan selidik sebelum menerima tablet itu dan membuka layarnya. Untuk beberapa saat Bastian memperhatikan tampilan layar tablet itu. Banyak sekali ditemukannya foto-foto kebersamaannya bersama Kanaya. Bastian ingat setiap moment yang ada dalam foto itu. Foto-foto itu memang real, bukan rekayasa. Namun memang sebagian foto telah mengalami pengeditan. Dalam foto-foto itu Kanaya tidak ditampakkan sedang dalam keadaan hamil. Padahal saat foto-foto itu diambil, justru saat Kanaya tengah mengandung Kenzo. Dengan melihatnya saja, Basti