Prang! “Perawat! Bangsat!” Rico berteriak dari tempatnya berbaring. Ia sedang kesal karena sejak tadi ia memanggil perawat, namun tidak ada yang datang. Begitu kesalnya hingga ia melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Sudah hampir empat hari ia dirawat di rumah sakit itu. Ia tidak bisa berjalan. Kakinya di gips, patah tulang, dan kemungkinan ia tidak akan bisa berjalan lagi dengan sempurna. Rico depresi dan stres! Sebab ia tidak punya apa-apa lagi. Dan mengetahui ia tidak bisa berjalan dengan sempurna, bagaimana ia akan bisa bekerja sebagai PT? Padahal itulah pekerjaannya sehati-hari. Ditambah lagi, Elsie tidak bisa dihubungi! Ia tidak tahu mengapa. Bahkan Rosa pun tidak tahu. Saat ditemukan di bekas pabrik itu beberapa hari yang lalu, ia dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit umum daerah. Naasnya lagi, saat dibawa ke sana, asuransi kesehatan yang ia miliki mendadak tidak bisa di gunakan! Ada saja alasannya! Kesialan datang bertubi-tubi, dan Rico tid
Bukan hanya Rico yang kesal. Elsie pun juga kesal.Ia melempar bantal ke lantai dengan geram. “Aaarggghhh!” Elsie tidak tahu bagaimana Bastian bisa mengetahui perselingkuhannya dengan Rico. Padahal ia sudah sangat berhati-hati dan selalu menyamar saat keluar menemui Rico ataupun saat ia tengah menikmati dunia malam. Ia tidak pernah langsung pergi ke tempat Rico untuk mengecoh siapa saja yang mungkin mengikutinya. Tetapi sial, akhirnya suaminya itu bisa juga mengetahuinya! Ia tahu betapa marahnya Bastian. Ia tidak hanya telah mengkhianatinya, namun juga telah menginjak ego dan harga diri Bastian dengan apa yang ia lakukan. Terbukti dengan apa yang suaminya itu lakukan pada Rico, perusahaan papanya, dan juga rencana Bastian untuk menceraikannya. Akan tetapi, Elsie berasumsi Bastian hanya mengetahui perselingkuhannya dengan Rico, dan tidak mengetahui hal lain yang ia lakukan. Itu sebabnya, Elsie merasa masih memiliki harapan. Walaupun harapan itu tipis, tetapi ia harus bisa membuat
Di ujung sambungan, Kanaya semakin tersipu dengan cara Bastian menatapnya. “Bas… jangan menatapku seperti itu,” ucap Kanaya dengan salah tingkah. Tangannya sibuk bermain dengan rambutnya dan ia menggigit bibirnya. Bastian tertawa. “Aku tidak bisa menahannya, Naya. Sebaiknya kamu harus mulai terbiasa dengan itu. Karena ini adalah caraku menatapmu mulai saat ini…” Bastian mengerling dan salah satu alisnya terangkat, menggoda Kanaya. Kanaya menundukkan wajahnya dan menutupinya dengan lengannya. Ia merasa saat itu wajahnya sudah memerah seperti tomat rebus. Dadanya membuncah. Meskipun ia tidak begitu mengerti arti ucapan Bastian dan mengapa Bastian mengatakan hal itu, tetapi rasa hangat yang menjalar dari lubuk hatinya yang bahagia begitu mendominasi tubuh dan pikirannya saat itu. Rasanya terlalu indah, sehingga ia tidak ingin memikirkan hal lainnya. Jika ini momen yang akan ia rasakan sekali seumur hidupnya, maka biarlah ia menikmatinya. “Naya, biarkan aku melihatmu, jangan tutu
“Mind over matter…I'm in tatters thinking 'bout her. Taste my disaster… It's heavy on my tongue…” Reno membasuh tangannya di wastafel sambil mengumandangkan sebuah lagu. Ia berhenti bersenandung saat telepon genggamnya bergetar di meja wastafel itu. “Ya?” “Bos, seperti yang bos perkirakan, Pak Bastian akan mengajukan gugatan cerai kepada Ibu Elsie.” “Hem,” gumam Reno sambil tersenyum. Benar dugaannya. Lalu ia bertanya, “Dan Rico?” “Dia ada di rumah sakit. Mereka mematahkan kakinya dan membuatnya tidak memiliki apa-apa.” “Tentu saja. Bastian tidak akan membiarkan seseorang menginjak-injak harga dirinya… terutama seseorang seperti Rico. Dia adalah pion kecil bagi Bastian…” Reno terkekeh pelan. “Bagaimana Bos tahu Pak Bastian akan menceraikan Ibu Elsie?” tanya Heri dengan hati-hati dari ujung sambungan telepon. “Bukankah sudah jelas. Untuk apalagi Jay ada di sana malam itu?” Reno menyugar rambutnya sambil berkaca, menatap dirinya di cermin. Heri teringat malam itu kala ia dan
Kanaya menyapu pandangannya ke sekeliling lobi itu dengan heran bercampur bingung. Kemana dia pergi? “Kenapa? Ada apa? Kenapa wajahmu pucat sekali Kanaya? Apa kamu baik-baik saja?” Rizal bertanya dengan nada khawatir. “Tadi— sepertinya ada orang yang mengikutiku…” Kanaya masih memegang lengan Rizal dengan erat, sembari matanya beredar ke sekeliling mereka. Kemana dia pergi? Batin Kanaya hampir tidak percaya jika orang itu bisa menghilang begitu cepat. Mendengar penjelasan Kanaya, Rizal memasang badan. Ia melindungi Kanaya dibelakangnya dan matanya menatap tajam ke sekeliling mereka. “Aku tidak melihat siapapun, Kanaya.” “Tadi dia di belakangku! Aku yakin sekali!” Kanaya bersikukuh. “Kamu mengenalnya? Kamu melihat wajahnya?” tanya Rizal masih melihat dengan waspada ke segala arah. Kanaya menggeleng. Ia melepaskan pegangan tangannya saat terdengar pintu lift terbuka. “Kita bisa bertanya pada pengelola apartemen. Mereka pasti punya CCTV. Ayo…” Rizal mengajak Kanaya pergi bersa
“Kanaya…” Rizal tidak tampak terkejut melihat Kanaya berdiri di depan pintu apartemennya. “Dari Bude untukmu. Boleh aku masuk?” Kanaya pun tidak berbasa-basi dengan Rizal. Ia langsung memberikan kotak berisi kue itu kepada Rizal. Rizal tertawa dan menerima kotak itu. “Kamu tidak takut masuk ke apartemenku? Bagaimana kalau aku melakukan sesuatu padamu?” tanya Rizal sambil menatap balik Kanaya. “Apakah kamu akan melakukan sesuatu padaku?” Kanaya balik bertanya. Rizal terkekeh. Ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Kanaya masuk dengan melebarkan tangannya. Kanaya melangkah masuk. Ia mengalahkan rasa takutnya. Tujuannya datang ke sana adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai Rizal. Kanaya berhenti melangkah dan melihat ke penjuru apartemen itu, memperhatikan segala sesuatu yang ada di sana. Tampaknya tidak ada yang mencurigakan. Model ruangan apartemen itu sama seperti apartemen yang ditempati ibunya. Hanya interiornya saja yang berbeda. Apartemen ibunya terkesan leb
“A-apa itu… pi-sau?” Suara Kanaya bergetar saat mengatakan benda yang tampak di layar ponsel itu. Rizal menurunkan telepon genggamnya. Ia pun tampak terkejut. “Sepertinya. Tetapi untuk memastikannya, sebaiknya kita meminta sekuriti gedung untuk mendalaminya.” Kanaya sibuk dengan pikirannya. Ia masih terkejut, menyadari betapa dekatnya ia dari suatu bahaya. Jika Rizal tidak menge-zoom gambar itu, mereka berdua tidak akan melihat jelas benda apa yang dipegang pria itu. “Ini, minum dulu, Kanaya.” Rizal memberikan Kanaya segelas air putih yang sudah ia siapkan. Ia pun juga melakukan hal yang sama. Kanaya masih saja terlihat syok saat ia meletakkan gelas itu ke atas meja. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba menenangkan diri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya jika Rizal tidak datang menghampirinya saat itu. Apakah orang itu benar-benar akan melukainya dna anak dalam kandungannya? Kanaya bergidik memikirkan hal itu. Refleks tangannya memegangi perutnya, s
“Apa kamu bilang?!!” teriak Elsie dengan kesal pada orang diujung sambungan telepon. Begitu kesalnya sampai ia lupa mengecilkan suaranya. Fendi, salah satu supir di Sunnyside Estate yang mengendarai mobilnya saat itu, sampai melirik melalui kaca interior mobil. Elsie berdehem dan melotot ke arah Fendi, sehingga Fendi segera mengalihkan pandangannya ke jalanan di depannya. “Kamu tahu siapa yang membantunya?” Elsie bertanya dengan berbisik. “Saya tidak tahu, Bu. Tiba-tiba saja seorang pria datang, dengan tatapan mata mengancam. Saya tidak mau ambil resiko dan bersembunyi di lorong.” Terdengar suara seorang pria dari ujung sambungan telepon itu. Pria itu lanjut berkata, “Tetapi saat saya sedang sembunyi, dua orang laki-laki lain mendatangi saya. Untung saja saat itu saya berhasil kabur!” “Sialan!” umpat Elsie, merasa sangat kesal. Lagi-lagi orang yang ia suruh untuk mencelakai Kanaya gagal! “Seperti apa wajahnya?” Elsie penasaran ingin tahu siapa yang membantu Kanaya. Tidak mung
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m