Di kamar berpendingin ruangan, Elsie tidur di balik selimut berbahan halus dan lembut.Kamar yang di disain dengan mewah itu terlihat begitu tenang dan sunyi. Begitu tenangnya, sampai suara jarum yang jatuh akan terdengar nyaring.Perlahan kedua kelopak mata Elsie bergerak, sebelum akhirnya terbuka.Kernyitan di dahinya seketika tampak.Bukan karena silaunya cahaya yang masuk, akan tetapi karena kepala Elsie yang terasa begitu pening dan berat.Elsie mengangkat tangannya dan memegang pelipisnya. Ia mengerang pelan, mengeluh terhadap apa yang ia rasakan. “Aarrrgghh…. sial…. kenapa pusing sekali…?”Apa yang terjadi? Kenapa kepalanya terasa begitu berat?Memicingkan matanya, ia mengenali kamar itu. Tidak ada yang aneh. Kamar itu adalah kamar yang sudah ditempatinya bersama Bastian dalam hampir empat tahun pernikahan mereka.Samar matanya mulai beradaptasi dalam ruangan yang nyaris gelap itu. Saat itulah ia melihat sosok yang terasa familiar tengah duduk di sofa yang tidak jauh darinya.
“Ini hari terakhirmu bekerja. Kemasi barang-barangmu dan jangan kembali lagi!” Rico terkejut mendengar ucapan atasannya di tempat kerja. Ia memegang surat pemecatan dirinya dengan tidak percaya. Bagaimana mereka tahu jika ia sering pergi clubbing dan minum minuman keras, juga menjual suplemen kepada klien yang ia lakukan secara diam-diam? Siang itu, tiba-tiba saja atasannya di tempat fitness tempatnya bekerja memanggilnya dan memberinya surat pemutusan hubungan kerja. Jelas Rico sangat terkejut. Rico adalah seorang Personal Trainer sebuah fasilitas fitness ternama di Emerald City. Sebagai seorang personal trainer di tempat kebugaran itu, ia dilarang untuk mengkonsumsi minuman beralkohol. Hal ini karena sebagai seorang PT, perannya bukan hanya memberi instruksi; tetapi juga memberi inspirasi dengan memberi contoh kepada klien dan sesama rekan kerja. Alkohol diketahui tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kejernihan mental seseorang. Itu sebabnya mereka melarang
Setelah diusir dari apartemennya, Rico pergi ke sebuah cafe tidak jauh dari gedung apartemen miliknya. Rico tidak tahu ke mana ia harus pergi. Ia menunggu hingga ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, berharap masih bisa kembali ke apartemennya.Rico masih tidak habis pikir. Kenapa ia sial sekali hari ini? Setelah dipecat dari pekerjaannya, ia pun diusir dari apartemen yang sudah setahun ini ia tinggali. “Aaaahhh…. sial! Kenapa sial sekali hari ini? Kemana Elsie? Kenapa dia tidak mengangkat teleponku?” sungut Rico sambil menggebrak meja. Ia merasa sangat kesal. Terlebih Elsie tidak bisa dihubunginya. Jika saja ia bisa menghubungi Elsie, tentu ia tidak akan sampai mengalami ini semua!Ia masih berusaha menghubungi Elsie, namun saat ini justru nomor kekasih gelapnya itu tidak lagi bisa dihubungi.Tunggu! Apa ini semua perbuatan Elsie? Apa dia yang melakukan ini semua? Apa dia berusaha menjauhinya? Meninggalkannya sekarang? Pikir Rico, merasa jika kesialan yang dialaminya hari itu buka
“Ba-baik Tony, jangan pukuli aku lagi. Be-berapa lagi— yang harus kubayar?” Rico mencoba untuk duduk. Mah tidak mau ia harus membayar bedebah-bedebah itu.“200 juta! Transfer 200 juta lagi, dan kau akan kubiarkan pergi!”“Du-dua ratus?” Rico tergagap mendengar jumlah uang itu. Dari mana ia mendapatkan dua ratus juta saat itu? Ditabungannya hanya ada sisa uang sejumlah 50 juta saja!Seorang anak buah Tony memberinya telepon genggam miliknya, dan menyuruhnya segera membuka aplikasi m-banking miliknya.“Cepat! Transfer sekarang juga! Atau kupatahkan tanganmu!” bentak Tony sambil melotot di depan wajah Rico.Rico sampai memejamkan wajahnya dengan ketakutan.Tony menggertakkan buku-buku jari tangannya sembari dia beranjak dan memutar tubuhnya. Ia mengambil telepon genggamnya, menunggu transferan dana dari Rico.“Cepat! Lamban sekali!” bentak Tony dengan kesal karena Rico tidak juga mentransfer dana itu. “Tunggu! Tunggu! Saya akan transfer sekarang!”Dengan tangan gemetar, Rico mentransfer
Jay melirik memperhatikan Bastian yang sedang memimpin rapat. Ia datang ke ruangan itu untuk menemui Bastian. Namun ia harus menunggu Bosnya itu selesai memimpin rapat.Jay bergidik melihat raut wajah pria yang sudah lama mempekerjakannya itu. Kedua belah bibir Bastian mengatup dengan rapat, dan rahangnya menegang. Tatapan matanya mengkritisi semua yang hadir di sana.Keadaan ruangan rapat itu pun tidak jauh berbeda. Begitu mencekam.Raut wajah semua yang hadir tampak tegang. Tidak ada yang berani berbicara atau mengutarakan sesuatu tanpa ditanya.Ezra mengatakan, sejak datang ke kantor siang ini, mood bos mereka itu sangatlah buruk. Tidak ada satu orang pun di kantor yang tidak terkena perlakuan dingin bosnya itu. Jay tahu apa yang menyebabkan Bastian seperti itu. Kegeraman dan kekecewaan yang begitu besar pada istri yang begitu ia ratukan selama ini membuatnya marah dan murka.Bahkan saat mengetahui istrinya itu tidak bisa memberinya keturunan, Bastian tetap mempertahankannya. Be
“Semua sudah dibereskan Non. Bibi taruh di sini dulu ya. Bibi mau temui perawat.” Sifa menaruh koper kecil yang berisi baju dan perlengkapan sehari-hati Kanaya selama ia tinggal di rumah sakit. Kanaya yang sedang berdiri di depan jendela, menoleh dan mengangguk. “Terima kasih, Bi.” “Anak bibi jadi berobat di sini?” ia lanjut bertanya. “Iya Non. Kalau semua lancar, dalam waktu dekat anak bibi bisa transplantasi sumsum tulang dari kakaknya. Kalau boleh, bibi mau ijin beberapa hari ke depan.” “Biar nanti Naya ngomong sama Bapak, Bi. Sepertinya Bapak nggak akan keberatan. Kebetulan Naya pas di tempat ibu.” Hari ini, Kanaya diperbolehkan untuk pulang. Ia tidak lagi harus bed rest meskipun tetap harus berhati-hati. Dan seperti yang sudah mereka rencanakan, ia akan tinggal bersama ibunya dan Laila untuk beberapa waktu ke depan. Sehingga tanpa kehadiran Sifa, Kanaya tidak akan kesepian. “Iya, Non. Semoga aja.” Sifa begitu berharap. “Bibi pergi keluar sebentar Non, mumpung Bapak belum
Bastian dan Kanaya menghabiskan waktu petang dan malam itu di apartemen Ayunda. Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya duduk dan mengobrol sampai tiba waktu Ayunda harus beristirahat. “Bastian kamu ikut menginap kan?” tanya Ayunda dengan penuh harap. Anak mantunya itu belum pernah menginap di tempatnya. Sehingga sangat wajar jika ia mengharapkan Bastian untuk tinggal malam itu. Kanaya menoleh kearah Bastian yang saat itu sedang menatap Ayunda. Kanaya merasa Bastian akan merasa tidak enak untuk menolaknya. Maka dari itu, ia pun menjawab untuk Bastian. “Ibu, Bastian harus bekerja besok jadi—” “Tentu, Bu.” Bastian menimpali. Ia lalu menoleh dan merangkul Kanaya yang duduk disebelahnya. “Aku bisa berangkat pagi-pagi sekali dari sini, Naya. Tidak masalah.” Kanaya masih menatap Bastian, terkejut karena Bastian memilih untuk menginap di apartemen ibunya bersamanya. Bastian belum pernah menginap di rumah ibunya, dan ini kali pertama mereka akan tidur bersama dengan sepengetahuan
Kanaya baru saja selesai membantu budenya menyiapkan meja makan untuk mereka sarapan pagi itu. Ia masuk ke dalam kamar, hendak memanggil Bastian untuk sarapan bersama. Bastian menoleh saat pintu kamar itu dibuka. Dan ia tersenyum lebar ketika melihat Kanaya datang menghampirinya. “Sarapan yuk. Bude sudah masak untuk kita.” Kanaya membantu membenahi pakaian Bastian dan merapikan dasi yang Bastian kenakan. “Sepertinya aku tidak akan sempat sarapan. Aku harus ke luar kota pagi ini.” Kanaya mengangkat pandangannya dan menatap Bastian. “Keluar kota?” Bastian mengangguk. “Ada kericuhan yang terjadi di daerah penambangan batubara, aku harus terbang ke sana dan melihat apa yang terjadi.” “Ke-ricuhan?” Kekhawatiran menelusup di hati Kanaya. Bastian mengangguk. “Kejadiannya baru tadi malam.” “Apa kamu harus pergi ke sana? Apa tidak bisa diwakilkan?” Tidak disadarinya ia memegang kemeja Bastian sedikit lebih erat. Melihat perubahan raut wajah Kanaya, Bastian tersenyum dan berkata, “Jan
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un