Setelah diusir dari apartemennya, Rico pergi ke sebuah cafe tidak jauh dari gedung apartemen miliknya. Rico tidak tahu ke mana ia harus pergi. Ia menunggu hingga ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, berharap masih bisa kembali ke apartemennya.Rico masih tidak habis pikir. Kenapa ia sial sekali hari ini? Setelah dipecat dari pekerjaannya, ia pun diusir dari apartemen yang sudah setahun ini ia tinggali. “Aaaahhh…. sial! Kenapa sial sekali hari ini? Kemana Elsie? Kenapa dia tidak mengangkat teleponku?” sungut Rico sambil menggebrak meja. Ia merasa sangat kesal. Terlebih Elsie tidak bisa dihubunginya. Jika saja ia bisa menghubungi Elsie, tentu ia tidak akan sampai mengalami ini semua!Ia masih berusaha menghubungi Elsie, namun saat ini justru nomor kekasih gelapnya itu tidak lagi bisa dihubungi.Tunggu! Apa ini semua perbuatan Elsie? Apa dia yang melakukan ini semua? Apa dia berusaha menjauhinya? Meninggalkannya sekarang? Pikir Rico, merasa jika kesialan yang dialaminya hari itu buka
“Ba-baik Tony, jangan pukuli aku lagi. Be-berapa lagi— yang harus kubayar?” Rico mencoba untuk duduk. Mah tidak mau ia harus membayar bedebah-bedebah itu.“200 juta! Transfer 200 juta lagi, dan kau akan kubiarkan pergi!”“Du-dua ratus?” Rico tergagap mendengar jumlah uang itu. Dari mana ia mendapatkan dua ratus juta saat itu? Ditabungannya hanya ada sisa uang sejumlah 50 juta saja!Seorang anak buah Tony memberinya telepon genggam miliknya, dan menyuruhnya segera membuka aplikasi m-banking miliknya.“Cepat! Transfer sekarang juga! Atau kupatahkan tanganmu!” bentak Tony sambil melotot di depan wajah Rico.Rico sampai memejamkan wajahnya dengan ketakutan.Tony menggertakkan buku-buku jari tangannya sembari dia beranjak dan memutar tubuhnya. Ia mengambil telepon genggamnya, menunggu transferan dana dari Rico.“Cepat! Lamban sekali!” bentak Tony dengan kesal karena Rico tidak juga mentransfer dana itu. “Tunggu! Tunggu! Saya akan transfer sekarang!”Dengan tangan gemetar, Rico mentransfer
Jay melirik memperhatikan Bastian yang sedang memimpin rapat. Ia datang ke ruangan itu untuk menemui Bastian. Namun ia harus menunggu Bosnya itu selesai memimpin rapat.Jay bergidik melihat raut wajah pria yang sudah lama mempekerjakannya itu. Kedua belah bibir Bastian mengatup dengan rapat, dan rahangnya menegang. Tatapan matanya mengkritisi semua yang hadir di sana.Keadaan ruangan rapat itu pun tidak jauh berbeda. Begitu mencekam.Raut wajah semua yang hadir tampak tegang. Tidak ada yang berani berbicara atau mengutarakan sesuatu tanpa ditanya.Ezra mengatakan, sejak datang ke kantor siang ini, mood bos mereka itu sangatlah buruk. Tidak ada satu orang pun di kantor yang tidak terkena perlakuan dingin bosnya itu. Jay tahu apa yang menyebabkan Bastian seperti itu. Kegeraman dan kekecewaan yang begitu besar pada istri yang begitu ia ratukan selama ini membuatnya marah dan murka.Bahkan saat mengetahui istrinya itu tidak bisa memberinya keturunan, Bastian tetap mempertahankannya. Be
“Semua sudah dibereskan Non. Bibi taruh di sini dulu ya. Bibi mau temui perawat.” Sifa menaruh koper kecil yang berisi baju dan perlengkapan sehari-hati Kanaya selama ia tinggal di rumah sakit. Kanaya yang sedang berdiri di depan jendela, menoleh dan mengangguk. “Terima kasih, Bi.” “Anak bibi jadi berobat di sini?” ia lanjut bertanya. “Iya Non. Kalau semua lancar, dalam waktu dekat anak bibi bisa transplantasi sumsum tulang dari kakaknya. Kalau boleh, bibi mau ijin beberapa hari ke depan.” “Biar nanti Naya ngomong sama Bapak, Bi. Sepertinya Bapak nggak akan keberatan. Kebetulan Naya pas di tempat ibu.” Hari ini, Kanaya diperbolehkan untuk pulang. Ia tidak lagi harus bed rest meskipun tetap harus berhati-hati. Dan seperti yang sudah mereka rencanakan, ia akan tinggal bersama ibunya dan Laila untuk beberapa waktu ke depan. Sehingga tanpa kehadiran Sifa, Kanaya tidak akan kesepian. “Iya, Non. Semoga aja.” Sifa begitu berharap. “Bibi pergi keluar sebentar Non, mumpung Bapak belum
Bastian dan Kanaya menghabiskan waktu petang dan malam itu di apartemen Ayunda. Tidak banyak yang mereka lakukan, hanya duduk dan mengobrol sampai tiba waktu Ayunda harus beristirahat. “Bastian kamu ikut menginap kan?” tanya Ayunda dengan penuh harap. Anak mantunya itu belum pernah menginap di tempatnya. Sehingga sangat wajar jika ia mengharapkan Bastian untuk tinggal malam itu. Kanaya menoleh kearah Bastian yang saat itu sedang menatap Ayunda. Kanaya merasa Bastian akan merasa tidak enak untuk menolaknya. Maka dari itu, ia pun menjawab untuk Bastian. “Ibu, Bastian harus bekerja besok jadi—” “Tentu, Bu.” Bastian menimpali. Ia lalu menoleh dan merangkul Kanaya yang duduk disebelahnya. “Aku bisa berangkat pagi-pagi sekali dari sini, Naya. Tidak masalah.” Kanaya masih menatap Bastian, terkejut karena Bastian memilih untuk menginap di apartemen ibunya bersamanya. Bastian belum pernah menginap di rumah ibunya, dan ini kali pertama mereka akan tidur bersama dengan sepengetahuan
Kanaya baru saja selesai membantu budenya menyiapkan meja makan untuk mereka sarapan pagi itu. Ia masuk ke dalam kamar, hendak memanggil Bastian untuk sarapan bersama. Bastian menoleh saat pintu kamar itu dibuka. Dan ia tersenyum lebar ketika melihat Kanaya datang menghampirinya. “Sarapan yuk. Bude sudah masak untuk kita.” Kanaya membantu membenahi pakaian Bastian dan merapikan dasi yang Bastian kenakan. “Sepertinya aku tidak akan sempat sarapan. Aku harus ke luar kota pagi ini.” Kanaya mengangkat pandangannya dan menatap Bastian. “Keluar kota?” Bastian mengangguk. “Ada kericuhan yang terjadi di daerah penambangan batubara, aku harus terbang ke sana dan melihat apa yang terjadi.” “Ke-ricuhan?” Kekhawatiran menelusup di hati Kanaya. Bastian mengangguk. “Kejadiannya baru tadi malam.” “Apa kamu harus pergi ke sana? Apa tidak bisa diwakilkan?” Tidak disadarinya ia memegang kemeja Bastian sedikit lebih erat. Melihat perubahan raut wajah Kanaya, Bastian tersenyum dan berkata, “Jan
Prang! “Perawat! Bangsat!” Rico berteriak dari tempatnya berbaring. Ia sedang kesal karena sejak tadi ia memanggil perawat, namun tidak ada yang datang. Begitu kesalnya hingga ia melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Sudah hampir empat hari ia dirawat di rumah sakit itu. Ia tidak bisa berjalan. Kakinya di gips, patah tulang, dan kemungkinan ia tidak akan bisa berjalan lagi dengan sempurna. Rico depresi dan stres! Sebab ia tidak punya apa-apa lagi. Dan mengetahui ia tidak bisa berjalan dengan sempurna, bagaimana ia akan bisa bekerja sebagai PT? Padahal itulah pekerjaannya sehati-hari. Ditambah lagi, Elsie tidak bisa dihubungi! Ia tidak tahu mengapa. Bahkan Rosa pun tidak tahu. Saat ditemukan di bekas pabrik itu beberapa hari yang lalu, ia dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit umum daerah. Naasnya lagi, saat dibawa ke sana, asuransi kesehatan yang ia miliki mendadak tidak bisa di gunakan! Ada saja alasannya! Kesialan datang bertubi-tubi, dan Rico tid
Bukan hanya Rico yang kesal. Elsie pun juga kesal.Ia melempar bantal ke lantai dengan geram. “Aaarggghhh!” Elsie tidak tahu bagaimana Bastian bisa mengetahui perselingkuhannya dengan Rico. Padahal ia sudah sangat berhati-hati dan selalu menyamar saat keluar menemui Rico ataupun saat ia tengah menikmati dunia malam. Ia tidak pernah langsung pergi ke tempat Rico untuk mengecoh siapa saja yang mungkin mengikutinya. Tetapi sial, akhirnya suaminya itu bisa juga mengetahuinya! Ia tahu betapa marahnya Bastian. Ia tidak hanya telah mengkhianatinya, namun juga telah menginjak ego dan harga diri Bastian dengan apa yang ia lakukan. Terbukti dengan apa yang suaminya itu lakukan pada Rico, perusahaan papanya, dan juga rencana Bastian untuk menceraikannya. Akan tetapi, Elsie berasumsi Bastian hanya mengetahui perselingkuhannya dengan Rico, dan tidak mengetahui hal lain yang ia lakukan. Itu sebabnya, Elsie merasa masih memiliki harapan. Walaupun harapan itu tipis, tetapi ia harus bisa membuat
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m