City HallReno bersama asistennya Heri dan beberapa orang timnya dari Renowed innovation duduk di kursi di ruang tunggu. Beberapa saat yang lalu mereka telah selesai mempresentasikan proposal yang mereka ajukan.Saat ini, mereka sedang memperhatikan DPG Corp, sebagai perusahaan terakhir yang menyampaikan penawaran mereka. Reno duduk dengan punggung ditegakkan. Ia menatap ke arah Bastian di podium yang sedang menerangkan poposal bidding dari perusahaannya.Reno sangat yakin perusahaannya akan bisa bersaing dengan penawaran yang diberikan oleh Bastian. Sebab, ia telah mendapatkan informasi dari sumber terpercaya mengenai harga final penawaran dari DPG Corp. Oleh karenanya ia yakin harga yang ia berikan jauh lebih baik dari harga yang Bastian tawarkan.Di depan penyelenggara tender dan dua perusahaan peserta bidding lainnya, Bastian berdiri dengan sikap yang kharismatik, menerangkan apa saja yang ditawarkan perusahaannya pada proyek urban planning di Emerald City.Setelan jas baru yang
Bastian mempercepat langkahnya berjalan di lorong rumah sakit.Dari City Hall ia langsung pergi menuju rumah sakit Medical Centre di mana Felix sedang dirawat.Di depan ruang operasi, ia bertemu dengan Agni dan Elsie.“Bas! Papa…” Elsie langsung menghamburkan dirinya ke pelukan Bastian. Ia menangis dan meneteskan airmata sambil memeluk suaminya itu.“Papamu akan baik-baik saja,” ucap Bastian sembari membalas pelukan Elsie.Meskipun ia sedang kesal dengan istrinya itu, namun kondisi saat itu membuatnya berempati. Bagaimanapun ayah dari istrinya itu sedang sakit, Felix dikabarkan mendapat serangan stroke yang menyebabkan pembuluh darahnya pecah, dan saat ini sedang menjalani operasi.Bastian menoleh ke arah Agni yang berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Wanita berusia lima puluhan tahun itu terlihat terpukul.“Mah, apa Mama baik-baik saja? Apa yang terjadi?” tanya Bastian sembari berjalan mendekat bersama Elsie di rangkulannya.Wajah Agni sedikit menunduk. Diam-diam ia melirik Elsie,
Bastian berdiri di depan pintu ruangan ICU. Ia menarik nafas panjang, merasakan udara dingin area beraroma antiseptik itu.Di balik pintu kaca, mertuanya, Felix, terbaring lemah setelah serangan stroke yang dialaminya siang tadi. Bastian belum pernah melihat Felix dalam kondisi serapuh itu. Entah apa yang dilakukan Ravioli hingga membuat Felix mengalami serangan stroke sampai sefatal itu. Hanya dalam sekejap merubah pria berusia limapuluhan tahun itu menjadi pria yang tampak jauh lebih tua dari usianya.Bastian menarik napas dalam dan membuka pintu ruangan itu. Suara alat bantu napas dan monitor yang berdetak pelan mengikuti irama jantung di ruangan itu terdengar semakin jelas.Saat Bastian berjalan mendekat, kedua mata Felix terbuka, dan pria itu menatap langsung ke arah Bastian dengan tatapan lemah."Bastian..." Suara Felix terdengar serak memanggilnya, nyaris tidak terdengar.Bastian tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa ibanya. Ia mendekat, duduk di kursi di samping ranjang Fel
Berita mengenai berpulangnya Felix Gunawan, pengusaha shipping company cukup menyita banyak perhatian media. Hal ini karena selain sebagai seorang pengusaha, Felix adalah juga ayah mertua dari Bastian Aryo Dwipangga, pengusaha terpandang, tidak hanya di Emerald City, namun juga di Eastasia. Tidak ayal acara pemakamannya pun dihadiri oleh orang-orang kalangan atas yang ada di Emerald City. Pejabat, pengusaha serta keluarga konglomerat lainnya yang mempunyai kedekatan hubungan dengan keluarga Dwipangga ikut datang untuk memberikan ucapan belasungkawa. Suasana duka cukup terasa di rumah kediaman orang tua Elsie. Berbagai macam karangan bunga tanda belasungkawa, menghiasi halaman depan rumah itu. Rumah orang tua Elsie itu penuh dengan pelayat. Orang-orang datang dan pergi, menyampaikan ucapan belasungkawa dengan penuh simpati. Bastian ikut hadir di sana. Ia berdiri di samping Elsie dan Agni, mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka. Agnie tidak berhenti menangis. Sebe
“Elsie, aku turut berduka cita. Maaf aku tidak ada saat Papamu pergi. Aku—baru mengetahuinya semalam dan langsung berangkat pagi ini.” Rosa datang siang itu ke rumah orang tua Elsie untuk mengucapkan belasungkawa.Setelah Bastian mengkonfrontirnya mengenai keterlibatan Elsie dengan Direktur Alex, Bastian memberi Rosa sejumlah uang yang dipergunakan olehnya untuk pergi berjalan-jalan ke luar negeri. Rosa sengaja melakukannya untuk menghindari Elsie. Ia merasa bersalah setiap kali bertemu Elsie. Rosa tidak datang seorang diri. Ia datang bersama Rico. Rico sudah lama tidak bertemu Elsie. Sejak Bastian melarang Elsie pergi keluar rumah dan menaruh penjagaan ketat di Sunnyside Estate, sejak itu pula Rico tidak pernah berjumpa dengan Elsie.Oleh karena itu ketika mengetahui kedatangan Rosa dari luar negeri pagi ini, Rico bersikukuh ingin ikut bersamanya datang ke rumah orang tua Elsie. “Terima kasih Ros, kemana kamu selama ini? Kenapa tidak bisa dihubungi?” Elsie bertanya pada temannya
“Alea! Lucunya kamu sayang…” Kanaya begitu gemas dengan bayi mungil yang ada dalam gendongan Clara.Putri pertama Fariz dan Clara yang belum genap berusia 10 hari itu begitu cantik dan menggemaskan.Kanaya sedang datang berkunjung ke rumah Fariz dan Clara. Semenjak kelahiran Alea, hubungan Kanaya dan Clara menjadi dekat. Mereka kerap berkomunikasi lewat telepon. Dan karena Clara belum lama melahirkan, Kanaya lah yang berkunjung ke rumah mereka. “Aduh, bisa tolong jaga Alea sebentar? Aku mau ke kamar mandi dulu nih!” seru Clara tiba-tiba.Kanaya tentu tidak keberatan. Ia langsung menggendong Alea dan membawanya berjalan di dalam rumah itu.Saat sedang menggendong Alea, Kanaya secara kebetulan melihat berita di televisi yang sedang menayangkan berita pemakaman Felix.Kanaya tentu mengetahui berita mengenai meninggalnya ayah mertua Bastian itu. Meskipun ia tidak datang melayat, Kanaya sudah mengirimkan ucapan duka cita pada Elsie melalui pesan singkat. Hal ini ia lakukan mengingat pe
Bastian rindu? Kanaya tersenyum. Ya, dia pasti rindu. Seandainya Bastian tidak rindu padanya, paling tidak Bastian pasti rindu pada anak mereka. Baru saja selesai memikirkan hal itu, telepon genggam Kanaya yang ada di atas meja berbunyi. “Alea, sama Mama dulu sayang.” Clara mengambil Alea dari tangan Kanaya agar Kanaya bisa menjawab panggilan telepon itu. “Halo?” “Kanaya, bagaimana kabarmu?” Suara Indra yang ramah menyapa Kanaya. “Baik Ndra. Bagaimana?” Kanaya teringat pertemuan terakhirnya dengan Indra di klinik beberapa hari yang lalu. Ia ingat mengatakan pada Indra jika dirinya mungkin saja berubah pikiran untuk tidak menyerahkan anak di dalam kandungannya. Kanaya tidak tahu bagaimana ia bisa mengatakan hal seperti itu. Itu bukan seperti dirinya, yang selalu berusaha menepati janji. Mungkin saja setelah melihat Clara melahirkan Alea, insting serta keegoisannya sebagai seorang ibu mengambil alih saat itu. Clara melirik Kanaya mendengar nama Indra disebut. Ia ingat Fariz m
Di hari ke empat setelah meninggalnya Felix, Bastian dan Elsie sudah kembali ke Sunnyside Estate. Dan hari itu, Bastian berencana masuk bekerja. Bastian baru saja selesai mandi. Ia berjalan keluar kamar mandi dengan mengenakan handuk yang dililitkan di pinggangnya. Di kamar itu, ia hanya seorang diri. Entah kemana Elsie pagi itu. Saat ia bangun, Elsie sudah tidak ada di kamar. Bastian hendak berjalan ke dalam closet saat telepon genggamnya yang ada di atas meja nakas bergetar. Berhenti melangkah, Bastian berbalik arah mengambil telepon itu. Dan bibirnya langsung tersenyum saat melihat nama yang muncul di layar telepon genggamnya itu. “Bastian, bagaimana kabarmu?” Bastian tersenyum membaca pesan dari Kanaya. Bastian duduk di tepi ranjang dan membalasnya. “Still missing you.” Beberapa hari ia belum bertemu Kanaya. Sebagai menantu Felix satu-satunya, ia sibuk dengan pemakaman Felix, menemui tamu-tamu yang datang silih berganti tiada habisnya. Sampai-sampai ia tidak punya wak
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un