Bastian masih memikirkan mengenai keterlibatan Ravioli pada kasus tabrakan mobil yang membawa Alex dan Tyo, saat telepon genggamnya berbunyi.Bastian melirik layar telepon genggamnya dan langsung mengangkat panggilan itu, seakan panggilan telepon itu adalah hal paling penting dalam hidupnya.“Ada apa? Apa semua baik-baik saja?” Bastian langsung bertanya tanpa berbasa-basi. Ia bahkan menegakkan punggungnya dengan tegang menunggu kabar yang akan disampaikan.Ezra yang duduk di sebelah Bastian, diam-diam mendengarkan. Ia sempat melihat dari siapa panggilan telepon itu dan ia ikut penasaran dengan kabar yang dibawa.“Jangan kuatir, Pak! Semua baik~baik saja,” jawab Emran dari ujung sambungan telepon.Diam-diam Bastian menghembuskan nafas lega.“Ada perlu apa? Di mana kamu? Kamu bersama Kanaya?” Bastian tidak membuang waktu dan langsung bertanya.Pasalnya, ia memberikan nomor pribadi miliknya itu untuk digunakan dalam keadaan darurat.“Kami sedang di klinik Life’s Blessing, dan ibu—”“Di
“Naya, kenapa bengong?” Bastian terkekeh pelan. Ia menjentik ujung hidung Kanaya yang tidak meresponnya. “Kita berangkat setelah kamu siap. Tidak perlu terburu-buru.” “Mm… apa tidak terlalu sore datang jam segini?” Kanaya mengalihkan pandangan matanya dari Bastian dan melihat ke arah jam dinding. Jantung Kanaya berdetak cepat. Ia gugup dan hanya beralasan saja. Entah bagaimana, ia merasa tidak nyaman menjenguk Clara bersama Bastian. Hubungannya dengan Bastian bukan sesuatu yang bisa diungkapkan ke publik begitu saja. Dan ia merasa heran kenapa tiba-tiba saja Bastian mengajaknya pergi menengok kelahiran anak temannya? Kenapa dia tidak mengajak Elsie, Istri sah yang notabene mengenal mereka dengan baik. Bastian tidak mengetahui apa yang Clara telah katakan pada Kanaya. Dua kali bertemu dengan Clara, dua kali juga istri teman Bastian itu menyudutkannya. Namun begitu, Kanaya tidak berniat untuk memberitahukannya pada Bastian. Dia bukan pengadu. Kanaya juga bukan orang yang tidak
Kanaya menatap penampilan Bastian yang membuatnya heran. Kenapa dia justru memakai baju rumah? Bukankah dia mau pergi mengunjungi Clara dan Fariz? Bastian tersenyum sembari membalas tatapan Kanaya. Tadi saat Kanaya menolak pergi dengannya, Bastian sempat khawatir jika Kanaya sakit atau terlalu lelah. Namun saat mendengar Kanaya menyebut nama Elsie, barulah Bastian menyadari jika ada sesuatu yang lain yang membuat Kanaya enggan pergi dengannya menengok Clara. Dan hal itu secara tidak langsung menyangkut Elsie. Cukup lama Bastian memikirkan, mencoba mencari tahu apa yang membuat Kanaya bersikap seperti itu. “Tidak. Aku lebih baik di rumah menemanimu,” jawab Bastian sambil mengerling. Ia merangkul dan menarik tubuh Kanaya merapat padanya. Kanaya tidak puas dengan jawaban Bastian. Ia menarik kakinya naik ke sofa dan berputar badan ke arah Bastian. “Tapi—kenapa? Naya gak pa-pa di rumah. Kamu pergi saja. Mereka pasti senang melihatmu dan —” “Tidak tanpamu.” Bastian memotong ucapan Ka
Bastian meraih tangan Kanaya dan menaruhnya diantara kedua telapak tangannya.“Mereka sudah mengetahui hubungan kita, Naya,” jawab Bastian dengan jujur.“Bahkan Fariz? Apa kamu mengatakan kepada mereka jika kita—” Kanaya menunjuk dirinya dan Bastian bergantian, sebagai simbol hubungan yang terjalin antara dirinya dan Bastian.Bahkan Kanaya sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungannya dan Bastian saat itu.Bastian tidak menjawab dengan kata-kata. Ia memberi Kanaya tatapan penuh arti.Lagipula, pada kenyataannya ia tidak perlu menceritakan dengan detil bagaimana hubungannya dengan Kanaya. Ketiga temannya itu laki-laki, mereka dengan sendirinya bisa menerka hubungan seperti apa yang ia jalani bersama Kanaya.Kanaya menghela nafas dan mendesah. Ia lalu memejamkan matanya dan kembali bersandar ke sofa.Ia lalu bergumam seakan pada dirinya sendiri, “Mereka pasti memandang rendah diriku.”“Mereka tidak akan berani melakukan itu!” Terdengar suara Bastian meresponnya dengan
Kanaya masih mengulurkan buket bunga itu saat Fariz menegur lembut istrinya, “Sayang, Kanaya datang untuk melihat keadaanmu dan Lea.” Fariz mendekat, dan berdiri di dekat Clara, berseberangan dengan Kanaya. Baru setelah itu, Clara tersenyum dan menerima buket bunga itu. “Terima kasih.” Kanaya mengangguk dan tersenyum. “Di mana anakmu Riz?” pertanyaan Bastian memecah keheningan dan kecanggungan yang sempat terasa. “Sedang di ruang bayi. Sebentar lagi dia diantar kesini. Nah, itu dia!” Tepat saat itu, seorang perawat masuk ke dalam kamar perawatan dengan mendorong sebuah crib, tempat tidur khusus bayi di rumah sakit. Di dalamnya, seorang bayi mungil tampak berbaring, mengenakan baju berwarna pink yang sangat lucu. Kedua tangan dan kakinya bergerak pelan, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi gemas. Kanaya menatap bayi dalam crib itu tanpa berkedip. Ia begitu mungil, lemah dan menggemaskan. Refleks ia tersenyum dan memberi jalan perawat itu untuk mendekati Clara. Fariz la
Saat Clara mulai menyusui Alea, perawat itu pamit untuk keluar, sehingga meninggalkan Kanaya dan Clara bersama si mungil Alea. Awalnya mereka berdua terlihat canggung. Clara yang sibuk menyusui Alea, dan Kanaya yang berdiri memperhatikan dengan canggung. Melihat Clara baru belajar menyusui anaknya, dan masih membutuhkan penyesuaian, Kanaya berjalan mendekatinya. Ia bermaksud untuk menemani, menjaga jika Clara membutuhkan sesuatu. Terlebih Clara baru saja melahirkan beberapa jam yang lalu. Berdiri di samping ranjang yang ditempati Clara, Kanaya memperhatikan Alea yang tengah sibuk menyusu. Ia tersenyum melihat pipi Alea yang kembang kempis saat menghisap ASI dari ibunya. Ia tampak begitu lucu dan menggemaskan, tidak peduli jika ada orang yang sedang memperhatikan betapa menggemaskannya dia. “Duduklah,” tiba-tiba saja Clara menepuk tepi ranjang yang didudukinya. Kanaya mengikuti keinginan Clara. Ia duduk di tempat yang ditunjuk itu dengan perlahan. “Kanaya, terima kasih suda
Setelah satu jam lebih mereka berada di klinik Life’s Blessing, akhirnya Bastian dan Kanaya berpamitan. Hari telah malam, dan mereka butuh beristirahat. Bastian menyalakan mesin mobilnya dan hendak berjalan saat Ezra menghubunginya. “Ya Zra?” “Malam Bos, maaf mengganggu. Saya ingin melaporkan sesuatu,” ujar Ezra dari seberang sambungan telepon. “Ada apa?” “Ini mengenai Ravioli.” Bastian melirik Kanaya melalui kaca spion, berharap dia tidak mendengar percakapannya dengan Ezra. “Bas, Naya ke toilet dulu sebentar ya? Mau pipis.” Kanaya tiba-tiba saja ingin ke kamar mandi. Padahal tadi ia sudah sempat buang air kecil di tempat Clara. Untungnya, Bastian belum melajukan mobilnya. “Mau diantar?” Bastian menjepit telepon genggamnya diantara telinga dan pundaknya sembari hendak mematikan mesin mobil. “Gak usah, kamu tunggu saja di sini! Aku cuma sebentar,” jawab Kanaya sambil membuka pintu. Ia pun sudah langsung turun dan menutup pintu sebelum Bastian sempat merespon ucapannya. “B
Kanaya tersenyum melihat reaksi Bastian. Ia bisa menebak apa yang Bastian pikirkan. “Belum lama. Tapi aku juga tidak tahu kalau dia istri temanmu. Aku bahkan tidak mengenal Fariz saat itu, jadi…” Kanaya mengendikkan bahu. Kanaya sengaja tidak menceritakan apa yang terjadi antar dirinya dan Clara sebelumnya pada Bastian. Menurutnya itu tidak perlu. Toh hubungannya dan Clara sudah jauh lebih baik saat ini. “Dunia ini kecil…” gumam Bastian, menyadari jika Clara juga mengenal Elsie dan Kanaya. “Atau mungkin—takdir…” timpal Kanaya sambil melirik Bastian. Mendengar kalimat itu, Bastian mengangkat pandangannya, dan ia menatap Kanaya dengan lekat. Takdir… kalimat itu seakan berarti banyak hal bagi mereka berdua. Apa lagi kalau bukan takdir-lah yang mempertemukan mereka berdua. Baik Kanaya ataupun Bastian tidak pernah berpikir jika hubungan mereka akan menjadi seperti saat ini. Siapa yang akan menyangka jika seorang Bastian yang terkenal setia pada istrinya akan menikahi gadis lain
“Saya menyatakan keberatan, Yang Mulia. Saudara kuasa hukum penggugat belum mendaftarkan saksi tersebut dalam berita acara, sehingga sebaiknya tidak dihadirkan dalam sidang hari ini.” Chandra berusaha menghalangi siapa pun saksi yang dimiliki tim kuasa hukum penggugat untuk bersaksi. Ia mempunyai fisrasat jika saksi ini akan bisa mementahkan sangkalan Elsie baru saja.Dan jika hal itu terjadi, pihaknya akan dipastikan kalah dalam persidangan itu, dan Elsie bisa dikenakan pasal yang menjeratnya dalam kesaksian palsu.Belum lagi kredibilitas firma hukum miliknya yang akan dipertaruhkan jika ia kalah lagi dalam kasus ini. Ditambah lagi, kasus ini telah menarik begitu banyak atensi publik.Akan tetapi Adnan tidak mau menyerah begitu saja. “Yang Mulia, kedua saksi ini memang belum kami daftarkan dalam berita acara. Namun saya yakin bahwa saksi-saksi ini bisa memberikan titik terang terhadap kasus ini. Kami harap Yang Mulia bisa memberikan ijin.”Dua saksi? Kanaya dan Bastian saling berad
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s