“Kenapa sedih seperti itu?” Sedang merenung, tiba-tiba Kanaya dikejutkan oleh suara seorang pria. Ia mengangkat wajahnya dan terlihatlah Indra berdiri tidak jauh darinya sambil tersenyum. “Indra?” Kanaya langsung beranjak dari duduknya. “Kamu tidak perlu menonton berita seperti itu kalau hanya akan membuatmu sedih,” ucap Indra sambil menunjuk pesawat televisi yang masih menayangkan liputan dari depan rumah keluarga Dwipangga. Meskipun tidak diperbolehkan meliput ke dalam rumah, namun mereka tetap berada di sana, mengomentari siapa saja yang terlihat hadir di sana. Tidak hanya keluarga besar Dwipangga, namun juga kerabat dan rekan bisnis mereka pun ikut di undang berbagi kebahagiaan keluarga itu. “Aku—tidak sedih,” bantah Kanaya. “Benarkah?” tanya Indra sambil memiringkan kepalanya dan memperhatikan wajah Kanaya dengan jenaka. Melihat itu Kanaya memutar bola matanya. Kenapa Dokter Indra justru menggodanya seperti itu? “Dokter tumben ke sini. Ada apa?” Kanaya mengalihkan pembica
Acara Baby Shower diadakan di halaman belakang rumah keluarga besar Dwipangga.Pelaksanaannya dipercayakan kepada salah satu Event Organizer langganan keluarga mereka.Halaman belakang yang telah didekorasi sedemikian rupa sesuai dengan tema acara hari itu tampak sangat meriah. Berbagai macam kegiatan diadakan di sana. Mulai dari live music, stand up comedy, photo booth serta berbagai macam permainan bertema baby shower.Bastian dan Elsie berbaur dengan para tamu undangan. Mereka khusus datang untuk mengucapkan selamat kepada mereka berdua. Hari itu, Bastian— terutama Elsie menjadi pusat perhatian para tamu undangan yang datang dengan membawa berbagai macam hadiah untuk mereka berdua sebagai calon ayah dan ibu.Keluarga besar Dwipangga datang menghadiri, termasuk Azhar Dwipangga, kakek Bastian yang sudah berusia 78 tahun.Azhar duduk di kursi roda ditemani oleh Haidar dan Miranda, bercakap-cakap dengan kerabat mereka.Bastian yang sedari tadi mendamping Elsie, undur diri dan berjalan
“Sejak kapan dia kembali ke Eastasia?” Ardyan ikut bertanya setelah mereka memastikan pria yang berjalan masuk ke dalam rumah itu memang Reno.“Beberapa bulan yang lalu,” jawab Bastian dengan datar. “Jadi kamu tahu dia sudah kembali?” tanya Fariz dengan terkejut.Bastian menjawabnya dengan kerlingan mata.Mereka bertiga tidak lagi bicara saat melihat Reno berjalan menghampiri mereka.“Halo, apa kabar Bas, Ardy, Fariz— hmm, di mana teman kalian yang satu lagi? Dokter Indra?” tanya Reno sambil tersenyum miring pada ketiganya.“Atau jangan-jangan kamu tidak mengundang dia Bas? Apa kalian ada masalah? Jangan katakan kalau ini mengenai perempuan…” ucap Reno dengan nada memprovokasi.Ardyan dan Fariz saling beradu tatap sebelum beralih memperhatikan ekspresi wajah Bastian yang tampak tenang menatap Reno.Dalam hati mereka mengumpat, ‘Damn! Sialan ini tahu dari mana jika hubungan Bastian dan Indra sedang renggang?’“Apa maumu?” Bastian tidak terkejut dengan ucapan provokatif Reno. Seperti R
“Bas! Bas!” Ardyan mencoba melerai. Walaupun lokasi mereka terhalang oleh dinding dan jauh dari tamu lain, namun bisa saja ada yang melihat mereka.Akan tetapi Bastian tidak peduli. Ia terus menghimpit Reno ke dinding.Bagaikan seorang psikopat, Reno tertawa. “Sudah kubilang, aku mengamati dirimu Bas! Dan aku tahu rahasiamu!”Menyadari dugaannya benar, Bastian semakin geram saja. “Kalau kamu berani menyentuh dia—”“Siapa? Elsie—atau istrimu yang lain?” potong Reno sambil tertawa mengejek. Wajahnya begitu senang dan puas telah berhasil membuat Bastian emosi.“HAAAH!” Bastian menghentakkan tangannya, menekan leher Reno dengan lebih keras. Ia begitu marah Reno berani mengancam keluarganya!Wajah Reno memerah dan mulai kesulitan untuk bernafas.“Bas, lepaskan, Bas!” Ardyan kembali melerai. Bagaimana pun Bastian tidak boleh terprovokasi apalagi sampai membuat keributan di acara hari itu.Akan tetapi Bastian tidak melepaskannya. Ia harus membuat Reno bicara. Ia harus mengetahui apa yang
"Ada apa ini? Bas?" Elsie yang baru datang segera menghampiri Bastian. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun melihat keluarga mereka berkumpul di sana dalam suasana tegang, membuatnya khawatir. Saat itulah Elsie melihat sosok yang sudah lama tidak dilihatnya, dan ia terkejut. Bukankah itu Reno? Pikirnya. “Apa yang kalian tunggu? Bastian, Reno, ke ruang baca, sekarang!” Azhar kembali memerintah. Ia memberi kode kepada Haidar untuk membawanya masuk ke ruangan di depan mereka. Kedua orang itu pergi terlebih dahulu diikuti oleh Bastian dan Reno. Elsie yang bingung dengan apa yang terjadi hendak ikut masuk, namun Miranda mencegahnya. “Biarkan mereka. Jangan kuatir,” ucap wanita paruh baya yang sangat anggun itu. Di ruang baca, Bastian dan Reno berdiri di hadapan Azhar. Azhar berdiri perlahan dengan bertumpu pada tongkat yang diberikan oleh Haidar. Ditatapnya kedua pria muda sepantaran di hadapannya. “Ada apa dengan kalian? Kalian sudah dewasa, berhenti bermain seperti an
Bastian dan Reno berdiri bersandar di dinding di depan sebuah kamar. Azhar berada di dalam kamar itu, sedang diperiksa oleh Ardyan. Bastian dan Reno berdiri tidak terlalu jauh, akan tetapi tidak satu pun diantara mereka saling bicara. “Kamu telah salah paham dengan apa yang terjadi. Kami semua menyayangi Mamamu. Bahkan Kakek,” ucap Bastian sambil menatap pintu di hadapan mereka. Ia berharap Kakeknya baik-baik saja. “Hah, sekarang kamu menyalahkan aku hingga membuat Kakek sakit?” lontar Reno merasa dituduh. Bastian menoleh, merasa helpless. “Kamu harus belajar untuk berpikiran positif dan mendengarkan.” Bastian lanjut bicara, “Keadaan kakek saat ini membuktikan kalau dia sangat menyayangi mamamu dan selalu memikirkannya. Bukan sebaliknya.” “Atau—merasa bersalah,” timpal Reno dengan sarkas. Bastian menghela nafas dan menggeleng. Sulit berbicara pada Reno jika pikirannya sudah menyangkal semua yang disodorkan padanya. “Terserah apa yang kamu percayai. Tetapi Tante Gema adalah
Bastian mengambil kursi di kamar itu dan meletakkannya di samping ranjang, dekat dengan Azhar. Ia lalu duduk di sana. “Kakek memanggilku?”Azhar mengangguk. “Di mana dia?”Bastian tahu siapa yang Azhar maksudkan. “Dia sudah pergi, Kek.”“Anak keras kepala itu!Haaahhh…” keluh Azhar sambil menghela nafas.“Jangan dimasukkan ke hati apa yang Reno katakan. Apa yang terjadi di masa lampau, bukan kesalahanmu,” nasehat Azhar menanggapi tuduhan Reno sebelumnya.Bastian mengangguk. Ia pun paham. Kejadian yang menimpa Gema Dwipangga lebih dari 10 tahun yang lalu bukan kesalahannya. Takdir lah yang membuat semua itu terjadi.“Reno, dia dibutakan oleh kesalahpahaman. Kamu harus maklum, dan jangan terbawa emosi jika dia memprovokasimu,” tambah Azhar.“Katakan, apa yang dia katakan hingga dia membuatmu begitu marah?” Azhar bertanya sembari mengerutkan keningnya memperhatikan Bastian.Bastian menyandarkan punggungnya di kursi dan menghembuskan nafas.“Kakek, ini masalah pribadi. Dan dia terlalu ikut
“Indra, kamu kenapa?” Kanaya terkejut dengan aksi Indra yang mengerem mobilnya dengan mendadak. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mengecek jika ada kendaraan lain yang melaju. Pasalnya mereka sedang berada di tengah-tengah jalan raya. Untungnya jalanan saat itu sedang tidak ramai, sehingga kendaraan lain sempat menghindar. Menyadari di mana mereka berada, Indra segera menepikan mobilnya. “Ndra, kamu sama siapa?” tanya Fariz yang mendengar suara seorang wanita berbicara. Namun Indra tidak menjawabnya dan justru berbicara dengan Kanaya. “Maaf, aku harus terima telepon in.” Indra pun keluar dari mobil. “Riz, kamu bilang apa tadi?” tanya Indra sekali lagi. Berharap ia salah mendengar atau sedang berhalusinasi karena terlalu memikirkan Kanaya yang sedang bersamanya saat itu. “Tadi Bastian dan Reno sempat clash, dan aku nggak tahu kenapa Bastian tiba-tiba marah besar. Dan Reno bilang sesuatu seperti—Elsie, atau istri Bastian yang lain!” “Mana mungkin Bastian punya istri lain, ya kan
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un