“Bagaimana pendapat Anda berdua mengenai perayaan Baby shower hari ini?” seorang reporter berita infotainment mewawancarai Bastian dan Elsie di layar kaca. Kanaya menatap layar televisi sabtu menjelang siang itu. Bastian dan Elsie tampak bagaikan pasangan yang serasi, mengenakan baju serasi berwarna putih. Elegan dan mewah dengan aksesoris berlian. Pakaian seperti itu hanya bisa didapat melalui pemesanan butik desainer terkenal dengan harga yang fantastis. Di belakang mereka tampak sebuah rumah besar dan megah, jika tidak bisa dibilang sebagai mansion. Acara baby shower itu bukan diadakan di Sunnyside Estate. Kanaya tahu benar seperti apa Sunnyside Estate yang memiliki desain bergaya modern. Dan apa yang tampak dilayar kaca lebih bergaya klasik dan elegan. Tempat itu tidak lain adalah rumah kelurga besar Dwipangga. Keluarga Dwipangga tengah memanjakan Elsie yang sedang mengandung anak laki-laki pertama Bastian. Seperti biasa, Bastian menanggapi pertanyaan reporter itu dengan sik
“Kenapa sedih seperti itu?” Sedang merenung, tiba-tiba Kanaya dikejutkan oleh suara seorang pria. Ia mengangkat wajahnya dan terlihatlah Indra berdiri tidak jauh darinya sambil tersenyum. “Indra?” Kanaya langsung beranjak dari duduknya. “Kamu tidak perlu menonton berita seperti itu kalau hanya akan membuatmu sedih,” ucap Indra sambil menunjuk pesawat televisi yang masih menayangkan liputan dari depan rumah keluarga Dwipangga. Meskipun tidak diperbolehkan meliput ke dalam rumah, namun mereka tetap berada di sana, mengomentari siapa saja yang terlihat hadir di sana. Tidak hanya keluarga besar Dwipangga, namun juga kerabat dan rekan bisnis mereka pun ikut di undang berbagi kebahagiaan keluarga itu. “Aku—tidak sedih,” bantah Kanaya. “Benarkah?” tanya Indra sambil memiringkan kepalanya dan memperhatikan wajah Kanaya dengan jenaka. Melihat itu Kanaya memutar bola matanya. Kenapa Dokter Indra justru menggodanya seperti itu? “Dokter tumben ke sini. Ada apa?” Kanaya mengalihkan pembica
Acara Baby Shower diadakan di halaman belakang rumah keluarga besar Dwipangga.Pelaksanaannya dipercayakan kepada salah satu Event Organizer langganan keluarga mereka.Halaman belakang yang telah didekorasi sedemikian rupa sesuai dengan tema acara hari itu tampak sangat meriah. Berbagai macam kegiatan diadakan di sana. Mulai dari live music, stand up comedy, photo booth serta berbagai macam permainan bertema baby shower.Bastian dan Elsie berbaur dengan para tamu undangan. Mereka khusus datang untuk mengucapkan selamat kepada mereka berdua. Hari itu, Bastian— terutama Elsie menjadi pusat perhatian para tamu undangan yang datang dengan membawa berbagai macam hadiah untuk mereka berdua sebagai calon ayah dan ibu.Keluarga besar Dwipangga datang menghadiri, termasuk Azhar Dwipangga, kakek Bastian yang sudah berusia 78 tahun.Azhar duduk di kursi roda ditemani oleh Haidar dan Miranda, bercakap-cakap dengan kerabat mereka.Bastian yang sedari tadi mendamping Elsie, undur diri dan berjalan
“Sejak kapan dia kembali ke Eastasia?” Ardyan ikut bertanya setelah mereka memastikan pria yang berjalan masuk ke dalam rumah itu memang Reno.“Beberapa bulan yang lalu,” jawab Bastian dengan datar. “Jadi kamu tahu dia sudah kembali?” tanya Fariz dengan terkejut.Bastian menjawabnya dengan kerlingan mata.Mereka bertiga tidak lagi bicara saat melihat Reno berjalan menghampiri mereka.“Halo, apa kabar Bas, Ardy, Fariz— hmm, di mana teman kalian yang satu lagi? Dokter Indra?” tanya Reno sambil tersenyum miring pada ketiganya.“Atau jangan-jangan kamu tidak mengundang dia Bas? Apa kalian ada masalah? Jangan katakan kalau ini mengenai perempuan…” ucap Reno dengan nada memprovokasi.Ardyan dan Fariz saling beradu tatap sebelum beralih memperhatikan ekspresi wajah Bastian yang tampak tenang menatap Reno.Dalam hati mereka mengumpat, ‘Damn! Sialan ini tahu dari mana jika hubungan Bastian dan Indra sedang renggang?’“Apa maumu?” Bastian tidak terkejut dengan ucapan provokatif Reno. Seperti R
“Bas! Bas!” Ardyan mencoba melerai. Walaupun lokasi mereka terhalang oleh dinding dan jauh dari tamu lain, namun bisa saja ada yang melihat mereka.Akan tetapi Bastian tidak peduli. Ia terus menghimpit Reno ke dinding.Bagaikan seorang psikopat, Reno tertawa. “Sudah kubilang, aku mengamati dirimu Bas! Dan aku tahu rahasiamu!”Menyadari dugaannya benar, Bastian semakin geram saja. “Kalau kamu berani menyentuh dia—”“Siapa? Elsie—atau istrimu yang lain?” potong Reno sambil tertawa mengejek. Wajahnya begitu senang dan puas telah berhasil membuat Bastian emosi.“HAAAH!” Bastian menghentakkan tangannya, menekan leher Reno dengan lebih keras. Ia begitu marah Reno berani mengancam keluarganya!Wajah Reno memerah dan mulai kesulitan untuk bernafas.“Bas, lepaskan, Bas!” Ardyan kembali melerai. Bagaimana pun Bastian tidak boleh terprovokasi apalagi sampai membuat keributan di acara hari itu.Akan tetapi Bastian tidak melepaskannya. Ia harus membuat Reno bicara. Ia harus mengetahui apa yang
"Ada apa ini? Bas?" Elsie yang baru datang segera menghampiri Bastian. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun melihat keluarga mereka berkumpul di sana dalam suasana tegang, membuatnya khawatir. Saat itulah Elsie melihat sosok yang sudah lama tidak dilihatnya, dan ia terkejut. Bukankah itu Reno? Pikirnya. “Apa yang kalian tunggu? Bastian, Reno, ke ruang baca, sekarang!” Azhar kembali memerintah. Ia memberi kode kepada Haidar untuk membawanya masuk ke ruangan di depan mereka. Kedua orang itu pergi terlebih dahulu diikuti oleh Bastian dan Reno. Elsie yang bingung dengan apa yang terjadi hendak ikut masuk, namun Miranda mencegahnya. “Biarkan mereka. Jangan kuatir,” ucap wanita paruh baya yang sangat anggun itu. Di ruang baca, Bastian dan Reno berdiri di hadapan Azhar. Azhar berdiri perlahan dengan bertumpu pada tongkat yang diberikan oleh Haidar. Ditatapnya kedua pria muda sepantaran di hadapannya. “Ada apa dengan kalian? Kalian sudah dewasa, berhenti bermain seperti an
Bastian dan Reno berdiri bersandar di dinding di depan sebuah kamar. Azhar berada di dalam kamar itu, sedang diperiksa oleh Ardyan. Bastian dan Reno berdiri tidak terlalu jauh, akan tetapi tidak satu pun diantara mereka saling bicara. “Kamu telah salah paham dengan apa yang terjadi. Kami semua menyayangi Mamamu. Bahkan Kakek,” ucap Bastian sambil menatap pintu di hadapan mereka. Ia berharap Kakeknya baik-baik saja. “Hah, sekarang kamu menyalahkan aku hingga membuat Kakek sakit?” lontar Reno merasa dituduh. Bastian menoleh, merasa helpless. “Kamu harus belajar untuk berpikiran positif dan mendengarkan.” Bastian lanjut bicara, “Keadaan kakek saat ini membuktikan kalau dia sangat menyayangi mamamu dan selalu memikirkannya. Bukan sebaliknya.” “Atau—merasa bersalah,” timpal Reno dengan sarkas. Bastian menghela nafas dan menggeleng. Sulit berbicara pada Reno jika pikirannya sudah menyangkal semua yang disodorkan padanya. “Terserah apa yang kamu percayai. Tetapi Tante Gema adalah
Bastian mengambil kursi di kamar itu dan meletakkannya di samping ranjang, dekat dengan Azhar. Ia lalu duduk di sana. “Kakek memanggilku?”Azhar mengangguk. “Di mana dia?”Bastian tahu siapa yang Azhar maksudkan. “Dia sudah pergi, Kek.”“Anak keras kepala itu!Haaahhh…” keluh Azhar sambil menghela nafas.“Jangan dimasukkan ke hati apa yang Reno katakan. Apa yang terjadi di masa lampau, bukan kesalahanmu,” nasehat Azhar menanggapi tuduhan Reno sebelumnya.Bastian mengangguk. Ia pun paham. Kejadian yang menimpa Gema Dwipangga lebih dari 10 tahun yang lalu bukan kesalahannya. Takdir lah yang membuat semua itu terjadi.“Reno, dia dibutakan oleh kesalahpahaman. Kamu harus maklum, dan jangan terbawa emosi jika dia memprovokasimu,” tambah Azhar.“Katakan, apa yang dia katakan hingga dia membuatmu begitu marah?” Azhar bertanya sembari mengerutkan keningnya memperhatikan Bastian.Bastian menyandarkan punggungnya di kursi dan menghembuskan nafas.“Kakek, ini masalah pribadi. Dan dia terlalu ikut
“Saya menyatakan keberatan, Yang Mulia. Saudara kuasa hukum penggugat belum mendaftarkan saksi tersebut dalam berita acara, sehingga sebaiknya tidak dihadirkan dalam sidang hari ini.” Chandra berusaha menghalangi siapa pun saksi yang dimiliki tim kuasa hukum penggugat untuk bersaksi. Ia mempunyai fisrasat jika saksi ini akan bisa mementahkan sangkalan Elsie baru saja.Dan jika hal itu terjadi, pihaknya akan dipastikan kalah dalam persidangan itu, dan Elsie bisa dikenakan pasal yang menjeratnya dalam kesaksian palsu.Belum lagi kredibilitas firma hukum miliknya yang akan dipertaruhkan jika ia kalah lagi dalam kasus ini. Ditambah lagi, kasus ini telah menarik begitu banyak atensi publik.Akan tetapi Adnan tidak mau menyerah begitu saja. “Yang Mulia, kedua saksi ini memang belum kami daftarkan dalam berita acara. Namun saya yakin bahwa saksi-saksi ini bisa memberikan titik terang terhadap kasus ini. Kami harap Yang Mulia bisa memberikan ijin.”Dua saksi? Kanaya dan Bastian saling berad
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s