Jantung Kanaya berdebar melihat mobil itu datang. Namun ternyata Bastian tidak datang ke rumah. Hanya Rafles yang ada di dalam mobil itu.Supir pribadi Bastian itu datang membawakan Kanaya beberapa buah bantal dengan ukuran dan bentuk.“Apa ini?” Kanaya merasa heran saat melihatnya. Bukan hanya karena bentuknya yang aneh, bamun juga karena Bastian tidak mengatakan apa pun mengenai hal ini.“Ini Bu, maternity pillow. Bapak pesan sama temannya di Singapura, dan saya baru mengambilnya di bandara,” ujar Rafles menerangkan panjang lebar.Pesan di Singapura? Batin Kanaya cukup terkejut.“Ini ada brosur petunjuk di dalamnya, nanti ibu bisa lihat-lihat untuk fungsi dan kegunaannya.” tambah Rafles sambil mengangguk dan menunjuk brosur yang terlihat dari luar plastik pembungkus bantal itu.Kanaya mengangguk. Ia pasti akan membaca brosur itu. Sebab ia ingin tahu apa saja fungsi setiap bantal itu. “Saya balik dulu ya Bu, saya mau ke kantor Bapak, sebentar lagi Bapak selesai meeting,” ujar Rafle
“Saya tidak dengar apa-apa, Bos!” seru Ezra sambil membuat tanda garis melitang di depan mulut dengan tangannya.Padahal jelas Ezra mendengar percakapan Bosnya itu dengan Kanaya. Gestur Ezra hanya menyatakan jika ia akan tutup mulut dan tidak akan memberitahukan apa yang didengarnya pada orang lain.Bastian sadar itu bukan kesalahan Ezra. Asistennya itu memang sudah berada di sana sebelum ia menghubungi Kanaya. Hanya saja sebagai seorang Bos, ia harus menjaga harga dirinya. “Berikan berkas itu!” seru Bastian masih dengan tatapan melotot sembari menunjuk berkas di tangan Ezra. Ezra tidak membantah. Ia segera meletakkan dokumen yang ia bawa ke atas meja kerja Bastian. Sebentar saja Bastian sudah kembali sibuk bekerja. Sambil mengecek dan menandatangani berkas-berkas itu, ia menanyakan banyak hal yang berhubungan dengan pekerjaan kanyor pada Ezra.“Untuk tender besok lusa, semua sudah siap Zra?” tanya Bastian sambil matanya membaca dokumen di hadapannya. “Sudah Bos. Tetapi ada hal y
Di halaman gedung City Hall, mobil-mobil mewah bernilai miliaran berhenti di depan lobi. Disinilah para pengusaha di Eastasia mencoba peruntungan untuk mendapatkan tender mega proyek urban planning untuk menciptakan integrated transport and land.Proyek ini berskala besar dan nilainya fantastik, karena akan melingkupi penyediaan transportasi publik dan penyediaan area hijau di seluruh bagian Eastasia. Itu sebabnya, banyak perushaan besar yang mendaftar untuk mengikuti tender tersebut.Dwipangga Corporation pun tidak ketinggalan. Mereka mendapat undangan untuk menghadirinya.Bastian, Ezra dan beberapa orang tim tender perusahaan datang ke tempat acara.Mobil Maybach hitam yang dikendarai Rafles berhenti tepat di depan lobi gedung itu. Dan saat Bastian melangkahkan kakinya keluar, beberapa orang panitia tender langsung menyambutnya.“Selamat datang, Pak Bastian. Apa kabar? Senang sekali Bapak bisa hadir di sini. Silahkan Pak Bastian m, sebelah sini,” ketua panitia tender itu sendiri
“Akhirnya kamu berani menampakkan batang hidungmu. Tampaknya sudah bosan bersembunyi,” sindir Bastian sambil membalas senyum sarkas Reno. Kedua pria yang sekilas tampak memiliki kemiripan itu saling berhadapan. Keduanya memancarkan aura yang kuat, meskipun postur tubuh Bastian lebih tinggi dan ia tampak lebih mengintimidasi. Reno terkekeh mendengar sindiran Bastian itu. “Aku tidak akan mengatakan bersembunyi. Katakanlah, aku sedang mengamati. Dan aku harus mengakui, kehidupanmu sungguh berwarna, Bas.” ucap Reno sambil mengerling, menyimpan suatu misteri dari tatapan matanya. Bastian mendengus dan menatap pria dihadapannya dengan tak acuh. Bukan hal baru bagi Bastian jika Reno berusaha mengulik kehidupan pribadinya. Namun sejauh mana dia mengetahui kehidupan pribadinya? “Ternyata kehidupanku begitu menarik perhatianmu,” ucap Bastian sambil terkekeh?? Ia lalu maju selangkah sehingga kedua pria itu saling beradu tatap dalam jarak yang dekat. “Saranku, berhenti ingin tahu kehidupa
Kanaya baru saja selesai mandi dan berdandan saat Bastian datang. Dia datang lebih cepat dari yang dijanjikan. Kanaya belum siap. Bastian yang terbiasa langsung masuk ke dalam kamar, kali ini pun melakukan hal yang sama.“Pak Bas, kok sudah sampai?” Kanaya begitu terkejut melihat Bastian melangkah masuk. Ia berhenti memoles wajahnya dan menatap pria tampan yang datang dengan mengenakan kemeja berwarna putih dan celana dark navy itu melalui pantulan cermin.Bastian menghampiri dan memeluk Kanaya dari belakang. Di kecupnya pipi Kanaya dari samping cukup lama, melepaskan rasa rindunya.“Pak Bas…” panggil Kanaya karena Bastian tidak juga melepaskannya.Bastian terkekeh saat ia melepaskan kecupan di pipi mulus itu.“Tidak usah buru-buru. Kita berangkat kapan saja kamu siap,” ucap Bastian sambil ia menatap Kanaya damelalui pantulan cermin di hadapan mereka. Memperhatikan kedekatan fisik mereka saat itu.Ia kemudian menuidorkan sebuah paper bag herwarna merah dengan sematan pita berwarna go
“Kita mau ke mana?” Kanaya begitu penasaran. Bastian belum memberitahu tujuan mereka sejak tadi. Padahal mereka sudah 15 menit berada di dlaam mobil.“Makan Beef Pho. Bukan kah itu yang kamu inginkan?” tanya Bastian sambil mengerling, menolak untuk memberitahu tujuan mereka.Kanaya memutar bola matanya, merasa Bastian tidak akan memberitahukan tujuan mereka berapa kali pun ia bertanya. Kanaya pun tidak lagi bertanya lagi dan menunggu hingga merrka sampai di tujuan.Dan setelah setengah jam lebih menunggu, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.Kanaya belum pernah mengunjungi tempat itu. Dan ia sama sekali tidak menduga Bastian mengaknya pergi ke sana. Tempat itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya.Tidak tanggung-tanggung, Bastian mengajak Kanaya ke sebuah tempat yang cukup jauh dari pusat kota, melewati jalan bebas hambatan menuju ke luar kota. Restoran yang mereka tuju berada di sebuah cottage di pinggir pantai.Kanaya tidak habis pikir mengapa Bastian membawanya sejauh itu han
Makan malam berjalan dengan sangat menyenangkan. Praktis tidak ada yang mengganggu terkecuali pelayan cottage yang membawakan pesanan mereka. Mereka berdua mengobrol banyak hal sambil menyantap hidangan yang disediakan. Mereka bertukar cerita tentang masa kecil mereka. Bagaimana Kanaya yang sudah menjadi seorang yatim sejak ia masih berusia 9 tahun, sehingga kehidupannya selalu pas-pasan. Ia belum pernah bepergian ke banyak tempat hiburan, taman rekreasi ataupun pergi piknik seperti kebanyakan anak lainnya. Sehingga Kanaya hanya bisa mendengarkan cerita dari teman-temannya saja. Meskipun demikian, Kanaya mengakui jika ia bahagia hidup bersama ibunya. Kehidupannya berbanding terbalik dengan Bastian yang hidup serba berkecukupan sejak pria itu dilahirkan hingga sekarang. “Dulu jaman sekolah, cuma aku yang belum pernah pergi ke wonderland. Semua orang bilang kalau tempat paling seru, paling mengasyikkan itu adanya ya di wonderland. Mereka bilang ada banyak permainan, makanan, minum
Kanaya memasuki ruangan vila.Namun keindahan kamar serta pemandangan menakjubkan yang terpampang dari jendela kamar itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.Jantungnya terlalu berdegub dengan kencang, dan benaknya begitu penuh dengan berbagai kemungkinan, keinginan serta tasa yang sulit ia bendung.“Oke, terima kasih…”“Selamat beristirahat…”Samar didengarnya percakapan Bastian dengan pelayan cottage yang mengantar mereka ke kamar itu, dari depan pintu yang berada beberapa meter dibelakangnya.Lalu terdengar suara pintu di tutup.Jantung Kanaya berdetak semakin cepat mendengar langkah kaki Bastian yang berjalan semakin mendekat.Inilah saatnya, batin Kanaya. Ia pun berbalik badan tepat saat Bastian berhenti di hadapannya.Mereka bertukar pandangan, kembali menatap satu sama lain.“Aku sangat menginginkanmu…” Bastian tidak bisa menahan diri lagi, direngkuhnya tubuh Kanaya dan dipagutnya bibir gadis itu dengan penuh gairah.“Paaakk aaah aah…” Kanaya mendesah diantara pagutan bibir
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un