“Kita mau ke mana?” Kanaya begitu penasaran. Bastian belum memberitahu tujuan mereka sejak tadi. Padahal mereka sudah 15 menit berada di dlaam mobil.“Makan Beef Pho. Bukan kah itu yang kamu inginkan?” tanya Bastian sambil mengerling, menolak untuk memberitahu tujuan mereka.Kanaya memutar bola matanya, merasa Bastian tidak akan memberitahukan tujuan mereka berapa kali pun ia bertanya. Kanaya pun tidak lagi bertanya lagi dan menunggu hingga merrka sampai di tujuan.Dan setelah setengah jam lebih menunggu, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.Kanaya belum pernah mengunjungi tempat itu. Dan ia sama sekali tidak menduga Bastian mengaknya pergi ke sana. Tempat itu sama sekali tidak terpikirkan olehnya.Tidak tanggung-tanggung, Bastian mengajak Kanaya ke sebuah tempat yang cukup jauh dari pusat kota, melewati jalan bebas hambatan menuju ke luar kota. Restoran yang mereka tuju berada di sebuah cottage di pinggir pantai.Kanaya tidak habis pikir mengapa Bastian membawanya sejauh itu han
Makan malam berjalan dengan sangat menyenangkan. Praktis tidak ada yang mengganggu terkecuali pelayan cottage yang membawakan pesanan mereka. Mereka berdua mengobrol banyak hal sambil menyantap hidangan yang disediakan. Mereka bertukar cerita tentang masa kecil mereka. Bagaimana Kanaya yang sudah menjadi seorang yatim sejak ia masih berusia 9 tahun, sehingga kehidupannya selalu pas-pasan. Ia belum pernah bepergian ke banyak tempat hiburan, taman rekreasi ataupun pergi piknik seperti kebanyakan anak lainnya. Sehingga Kanaya hanya bisa mendengarkan cerita dari teman-temannya saja. Meskipun demikian, Kanaya mengakui jika ia bahagia hidup bersama ibunya. Kehidupannya berbanding terbalik dengan Bastian yang hidup serba berkecukupan sejak pria itu dilahirkan hingga sekarang. “Dulu jaman sekolah, cuma aku yang belum pernah pergi ke wonderland. Semua orang bilang kalau tempat paling seru, paling mengasyikkan itu adanya ya di wonderland. Mereka bilang ada banyak permainan, makanan, minum
Kanaya memasuki ruangan vila.Namun keindahan kamar serta pemandangan menakjubkan yang terpampang dari jendela kamar itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.Jantungnya terlalu berdegub dengan kencang, dan benaknya begitu penuh dengan berbagai kemungkinan, keinginan serta tasa yang sulit ia bendung.“Oke, terima kasih…”“Selamat beristirahat…”Samar didengarnya percakapan Bastian dengan pelayan cottage yang mengantar mereka ke kamar itu, dari depan pintu yang berada beberapa meter dibelakangnya.Lalu terdengar suara pintu di tutup.Jantung Kanaya berdetak semakin cepat mendengar langkah kaki Bastian yang berjalan semakin mendekat.Inilah saatnya, batin Kanaya. Ia pun berbalik badan tepat saat Bastian berhenti di hadapannya.Mereka bertukar pandangan, kembali menatap satu sama lain.“Aku sangat menginginkanmu…” Bastian tidak bisa menahan diri lagi, direngkuhnya tubuh Kanaya dan dipagutnya bibir gadis itu dengan penuh gairah.“Paaakk aaah aah…” Kanaya mendesah diantara pagutan bibir
Mereka menghabiskan waktu seharian di cottage itu. Tidak hanya berdiam di dalam Vila, namun juga berjalan menyusuri pantai, dan menghabiskan waktu sore hari berenang di kolam di bibir pantai.Dan anehnya mereka tidak bertemu pengunjung atau tamu lain selama mereka menghabiskan waktu di sana.Kanaya tidak menanyakan hal itu, namun ia iseng mencari tahu review cottage itu melalui internet.Dan seperti dugaannya, penginapan di pinggir pantai itu mendapat review yang sangat bagus dengan tingkat hunian yang tinggi.Ada dua kemungkinan mengapa kali ini tempat itu begitu sepi. Yang pertama, Bastian menyewa semua tempat di cottage itu untuk mereka berdua.Dan yang kedua, Bastian memiliki tempat itu dan dia tidak menyewakannya pada pengunjung lain saat itu.Kedua hal itu tidak mengherankan bagi Kanaya. Ia percaya, Bastian bisa melakukannya.Kenyataan ini menjelaskan satu hal lagi padanya. Bahwa Bastian telah merencanakan mengajaknya menginap tadi malam!Jika memikirkan hal itu Kanaya hanya bis
Bastian sedang berada di butik Luisa, seorang desainer terkenal yang ada di Emerald City. Ia dan Elsie sedang fitting baju yang akan mereka gunakan untuk acara baby shower anak mereka. Bastian saat itu sedang mengenakan baju serba putih yang sangat pas ditubuhnya. Sambil menunggu Elsie selesai mencoba pakaiannya di ruangan ganti, Bastian duduk di sofa butik itu. Hari ini ia dan Elsie berencana menghabiskan waktu bersama. Setelah fitting baju, mereka akan makan siang bersama. Dan setelahnya, Elsie memintanya menemaninya mencari perhiasan yang akan ia kenakan saat acara baby shower nanti. Mau tidak mau Bastian mengabulkan permintaan istrinya itu. Itu pun berarti ia tidak akan menemui Kanaya hari ini. Sambil menunggu, Bastian menulis pesan singkat pada Kanaya. Dia menanyakan dimana dan apa yang gadis itu tengah lakukan. “Di rumah. Pak Bas nanti ke sini?” Bastian berpikir sesaat sebelum membalas. “Aku tidak bisa datang hari ini, Naya.” Di Sunset Summit Kanaya membaca pesan
Mungkin karena insting seorang ibu, Kanaya langsung meraih baju bayi itu. Ia langsung memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Bagaimana saat anaknya itu memakainya, pasti akan lucu sekali. Namun siapa sangka di saat bersamaan ada orang lain yang juga tertarik pada baju itu?Melihat wanita paruh baya berwajah ayu dan berpenampilan elegan di hadapannya, Kanaya refleks melepaskan baju itu.Aura wanita itu sangat jelas terlihat. Ia tidak hanya terhormat tetapi juga berkelas. Penampilannya membuktikan jika dia bukan berasal dari kalangan biasa.Akan tetapi ada sesuatu yang membuat Kanaya merasa familiar melihatnya. Dan Kanaya tidak bisa menemukan apa itu.“Ternyata selera kita sama. Baju ini memang sangat menggemaskan.” Diluar dugaan wanita itu berkata dengan ramah dan tersenyum padanya.Kanaya cukup terkejut. Ia pikir orang-orang kalangan sosialita seperti mereka tidak akan seramah itu pada orang-orang biasa seperti dirinya.Kanaya tersenyum dan mengangguk menyetujui.“Apa nyonya m
Miranda sedang berjalan-jalan dengan asistennya saat ia melihat baju bayi yang sangat lucu. Ia langsung teringat pada bakal cucunya yang sebentar lagi akan dilahirkan oleh Elsie, menantunya.Namun siapa menduga jika ia bertemu dengan seorang wanita muda dan cantik yang juga menginginkan baju itu untuk anak yang tengah di kandungnya. Kanaya namanya. Sayangnya baju bayi itu hanya tinggal satu saja. Namun karena kebaikan hatinya, Kanaya merelakan baju bayi itu untuknya. Miranda tidak tahu mengapa ia sangat menyukai wanita itu. Apakah karena parasnya yang cantik? Ataukah karena dia tengah mengandung?Sudah lama Miranda mendambakan seorang cucu, dan setiap kali melihat seorang wanita yang sedang mengandung, hatinya mudah sekali menjadi luruh. Jadi pastilah itu sebabnya.“Kanaya, apa kamu baik-baik saja?” tanya Miranda yang melihat wajah Kanaya menjadi pucat seketika. Dipegangnya lengan Kanaya dengan rasa was-was. Apa dia baik-baik saja?“Mmm… mmm tidak, saya tidak apa-apa—Bu,” ucap Kana
“Bas, apa kalian sudah fitting baju?” Terdengar suara Miranda dari ujung sambungan telepon. Ibunya itu tampak begitu riang.“Sudah Mah. Ada apa?” “Tidak ada apa-apa. Mama hanya ingin telepon saja memastikan kalian sudah selesai dengan persiapannya.”“Oya Bas, tadi Mama beli baju untuk putramu. Bagus sekali bajunya. Nanti biar mama minta Aida antar ke rumahmu ya.”“Mah, baju yang kemarin mama beli sudah banyak di rumah,” ucap Bastian sambil ia berjalan diantara etalase toko perhiasan itu.“Yang ini beda Bas. Bagus sekali. Cuma satu-satunya. Oya, tadi mama ketemu seorang perempuan yang juga sedang hamil 7 bulan. Dan bayinya itu aktif sekali bergerak. Bahkan mama sempat pegang perutnya!” Miranda bercerita dengan begitu antusias sampai-sampai Bastian tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba benaknya teringat Kanaya dan anak mereka. Junior mereka itu memang sangat aktif bergerak. Miranda terdengar mendesah. “Mama belum pernah merasakan gerakan anakmu. Apa dia malu sama neneknya sendiri?” prote
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un