“Ibu mungkin tidak ingat saya. Nama saya Bastian. Saya menantu ibu dan ayah dari bayi yang Kanaya kandung,” ucap Bastian sambil meraih tangan Ayunda, kemudian menciumnya.Kanaya begitu terkejut dengan pengakuan Bastian. Kenapa dia melakukan itu, dan sejak kapan dia ada di sini? Bukankah dia sedang keluar kota?“Saya sangat senang bisa bertemu dengan ibu. Maaf kalau saya baru bisa datang menengok. Saya harus pergi keluar kota beberapa hari terakhir ini,” tambah Bastian. Kemudian ia dengan mesranya merangkul Kanaya dan bertanya, “Sayang, kamu tadi cerita apa sama ibu?”“Ooh, mmm nggak, aku belum cerita apa-apa.” Kanaya segera tersadar dan menjawab dengan gugup. Mau tidak mau ia harus mengikuti sandiwara Bastian.“Jadi kamu suaminya Naya?” tanya Ayunda sambil menatap Bastian dari ujung kepala hingga ujung kaki, memperhatikan dan berusaha mengingat wajahnya.“Iya Bu, kami baru menikah beberapa bulan yang lalu dan Kanaya sedang mengandung anak pertama kami,” jawab Bastian sambil menyentu
Elsie dan Rosa sedang berada di sebuah toko pakaian wanita di Central Square Mall, salah satu mall besar di Emerald City sore itu.“Coba lihat ini Els, bagus tidak kalau aku pakai ini untuk acara baby showermu nanti?” Rosa membentangkan sebuah gaun berwarna putih di hadapannya. Elsie menoleh dan memperhatikan gaun itu. Gaun itu sangat bagus dan akan menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi ia tidak mengatakan hal itu pada Rosa.“Aku rasa baju ini kurang bagus Ros. Coba kamu cari yang lain. Bagaimana kalau yang ini?” Elsie meraih gaun berwarna biru dari salah satu rak gantung di toko itu dan memberikannya pada Rosa.Elsie tidak mau Rosa memakai gaun putih itu dan merebut pusat perhatian orang-orang darinya. Bagaimana pun dirinya adalah bintang di acara baby shower ‘bayi dalam kandungannya’. Ia tidak akan membiarkan Rosa merusak momen besarnya itu.Acara baby shower yang ia rancang bersama Miranda untuk bayi laki-laki mereka akan bertemakan warna biru, putih dan silver. Ia dan Bast
Kanaya bersiap-siap hendak pulang ke rumah setelah dua malam ia menginap di rumah sakit.Ia sebenarnya enggan untuk pulang, namun Bastian memaksanya mengatakan ia harus beristirahat di rumah. Laila telah datang ke rumah sakit bersiap untuk menggantikannya. Dan Kanaya tidak punya alasan untuk menolak pulang.“Sudah, segera pulang. Biar Bude yang menjaga ibumu. Jangan kuatir Naya, ibumu akan baik-baik saja.” Laila ikut mendorong Kanaya untuk segera pulang. Ia juga mengkhawatirkan keadaan kandungan keponakannya itu jika dia terlalu lelah.Bastian yang sudah Laila ketahui sebagai orang yang ‘menyewa’ kandungan Kanaya bersikukuh menyuruh Kanaya pulang dan menunggunya di depan ruang tunggu.“Iya Bude,” jawab Kanaya tidak lagi menolak. “Dokter Alex Dirga, diturunkan dari jabatannya sebagai Direktur Medical Centre. Ia digantikan oleh Dokter Syarifah melalui keputusan Dewan direksi Rumah Sakit tersebut setelah hampir 6 tahun menjabat. Belum diketahui apa penyebab pergantian jabatan itu karen
Kanaya menelan ludahnya merasakan sikap dominan Bastian. “Siapa Naya? Indra?” tebak Bastian dengan sedikit nada menggeram. Jika benar Indra, ia akan kesal sekali! Kanaya menggeleng dengan cepat. “Bu-bukan. Itu… Naya pikir—Ri-rizal—yang—” jawab Kanaya dengan terbata-bata. Rizal? Bastian mengerutkan keningnya. Ia tidak pernah menyangka jika Rizal yang ada dalam pikiran Kanaya. Bastian sendiri hampir lupa dengan pria satu itu karena begitu banyak yang dipikirkannya belakangan ini. Raut wajah Bastian berubah seketika ia menyadari sesuatu. “Naya, kamu berkomunikasi dengan dia?” tanya Bastian. Tatapan yang tadinya penuh tuntutan, berubah menjadi penuh selidik dengan sekelebat kekhawatiran. Apa yang harus ia jawab? Akankah Bastian marah jika ia mengatakan ‘iya’? Batin Kanaya. “Berikan handphone-mu,” pinta Bastian sambil menengadahkan tangannya. Kanya menjadi heran. Kenapa dia meminta handphone-ku? Kanaya tidak mau memberikannya, karena ia merasa itu adalah privacy-nya. “Naya, ber
“Waktu itu kan Naya bilang, ‘mungkin’,” ucap Kanaya sambil melirik Bastian. Ia berusaha mengulur waktu. Bastian mengeluh pelan mendengar dalih Kanaya. Kenapa dia masih saja bersikeras? “Naya kan bilang, ‘Mungkin kalau Bapak bisa membuat Dokter Nathan mengobati Ibu, Naya akan memikirkannya’.” Kanaya mengulang kata demi kata kalimat yang ia ucapkan waktu itu. “Kalau begitu pikirkan dengan baik-baik, Naya. Kamu tahu aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi,” ucap Bastian dengan suara bernada rendah dan tatapan penuh arti. Kanaya tidak tahu betapa ia menekan dengan kuat keinginannya untuk bercinta dengannya. Hampir dua minggu sudah ia tidak menyentuh Kanaya. Dan ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Kanaya berdecak. Bahkan seandainya pun ia meu kembali berhubungan dengan Bastian, rasa-rasanya ia sedang tidak ingin melakukannya. Ia lelah dan keadaan ibunya pun masih belum pulih benar. “Pak Bas—” Kanaya hendak protes dan melepaskan tangan Bastian, namun Bastian menahannya
Bastian baru saja menurunkan kakinya di halaman Sunnyside Estate, saat pintu depan rumah itu terbuka. Dan tidak seperti biasanya, Elsie kali ini yang membukakan pintu.Bastian sampai menampakkan keheranannya melihat istrinya itu berdiri diantara daun pintu.“Elsie, apa kamu menunggu sesuatu?” tanya Bastian sambil melangkah mendekat. Dulu, saat awal menikah, Elsie memang kerap menunggunya pulang kantor dan membukakan pintu untuknya. Namun beberapa waktu belakangan, Elsie tidak pernah lagi melakukannya. Dan Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi Sunnyside Estate sangat luas, sehingga Elsie tidak selalu mengetahui saat ia datang. Bastian sangat maklum.“Kamu sayang. Tentu aku menunggu kamu! Memang siapa lagi?” jawab Elsie sambil menghamburkan diri ke pelukan Bastian.Bastian tersenyum meski ia merasa heran. Apakah ada sesuatu yang diinginkan istrinya itu? Sejak dulu Bastian tidak pernah berpikiran macam-macam pada Elsie, namun sejak ia memergoki Elsie beberapa kali terbukti
“Di mana mereka di temukan?” tanya Bastian penasaran. Sebab sudah berhari-hari Jay mencari mereka, tetapi baru hari ini Jay bisa menemukan mereka.“Di sebuah rumah kontrakan di daerah Kreta,” jawab Ezra menyebut nama suatu daerah di pinggiran kota, sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota Emerald.“Jay dan anak buahnya masih ada di sana saat ini, Bos,” tambah Ezra.“Apa mereka sudah mengatakan sesuatu? Siapa yang menyuruh mereka?” Bastian lanjut bertanya. Ia ingin tahu siapa yang berani mengusik dan melawan perintahnya, bahkan sengaja menghalangi perawatan Ayunda yang bisa berakibat sangat fatal pada kondisi kesehatannya.“Jay masih menginterogasi mereka. Ia tadi mengatakan jika ia belum mendapatkan pengakuan keduanya. Mereka masih bersikukuh mengatakan tidak mengerti apa-apa.”“Jay juga mengatakan jika mereka menemukan uang tunai sejumlah 900 juta di rumah itu, jadi sangat besar kemungkinannya jika seseorang baru saja membayar mereka.m, memberi mereka uang itu.” Ezra terdengar ger
Di daerah Kreta, di pinggiran Emerald City, Jay dan beberapa orang anak buahnya sedang berdiri mengelilingi Alex. Alex duduk dengan kedua tangan terikat ke belakang. Ia hanya sendirian dihadapan pria-pria berbadan tegap itu. Tyo berada di dalam kamar lain, dipisahkan darinya.“Aku tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kalian harus melepaskan kami, atau aku bersumpah akan menuntut kalian!” Alex menggertak Jay dan anak buahnya. Ia bersikeras tidak mengakui perbuatan yang mereka tuduhkkan padanya. Jay tertawa. “Menuntut kami? Apa kamu tahu sedang berurusan dengan siapa?” Jay balik bertanya dengan ekspresi wajah geli terhadap pernyataan Alex itu.Ia lalu membentangkan beberapa kertas persis di depan wajah Alex.“Anda lihat ini! Ini semua tanda tangan anda, Direktur Alex. Anda menganulir semua perawatan yang harusnya diberikan kepada Ibu Ayunda setelah kepindahan Dokter Ridwan. Di mana hati nurani anda saat anda mempersulit seorang pasien untuk mendapatkan haknya?”“Tidak hanya itu. Sete
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un