Getaran ponsel tanda pesan masuk mengagetkan seorang wanita yang tengah berkutat dengan pekerjaan rumahnya. 'Aku belum bisa pulang dalam beberapa hari ini. Pekerjaanku di sini masih belum selesai.' Seperti itulah isi pesan yang tertera di gawainya. Pesan dari Andi Pramono, suaminya yang saat ini tengah bekerja di luar kota. Wanita itu pun segera membalas pesan suaminya, mengatakan agar suaminya menjaga kesehatan dan mengabarkan bahwa ia dan putra mereka menunggunya di rumah.
'Baiklah, sayang. Aku mencintaimu.' Begitulah balasan yang ia terima dari suaminya, yang kemudian berhasil menerbitkan senyum tulus dari bibir wanita itu. Sejenak, ia melupakan kegundahan hatinya yang menunggu kepulangan Andi, sang suami.
Hari ini, tepat satu minggu Andi pergi ke luar kota untuk bekerja. Profesinya yang merupakan Direktur di salah satu perusahaan periklanan di Ibu kota, terkadang mengharuskan suaminya untuk pergi ke luar kota. Dan sebagai istri yang baik, Agni selalu mendukung suaminya itu.
Agni Paramitha merupakan wanita dua puluh tiga tahun, berparas cantik, dengan mata bulat dan rambut ikal sedikit kemerahan. Postur tubuhnya terbilang mungil dengan tinggi 165cm. Meski tak terlalu tinggi, tubuhnya terlihat ideal. Ia bahkan masih terlihat seperti seorang gadis walaupun sebenarnya ia telah memiliki satu anak yang berusia tiga tahun.
Agni adalah seorang yatim piatu, kedua orang tuanya meninggal saat ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Sejak orang tuanya berpulang, Andi menjadi sandaran hidupnya. Di tambah dengan kehadiran Askara Langit Pramono, putranya, hidup Agni menjadi lengkap. Agni merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia dengan suami yang sangat mencintainya dan anak yang tampan.
Saat itu, Agni yang tengah tersenyum membaca pesan sang suami, ia dikejutkan dengan panggilan telepon dari Sherly sahabatnya.
“Ya, Sher, ada apa?”
'Halo, Tha, Lo udah selesai siap-siap? Biar gue jemput sekarang,' jawab Sherly dari seberang membuat kening Agni mengerut.
"Siap-siap kemana?” Agni mengerutkan keningnya.
“Masa Lo lupa sih Tha, hari ini kan pernikahan Laras, undangannya kan udah gue kasih kemarin. Jangan bilang Lo bener-bener lupa?” jawab Sherly membuat Agni menepuk jidatnya.
Dia memang lupa jika hari ini adalah hari pernikahan Laras, salah satu sahabatnya dan Sherly pada masa putih abu-abu.
"Aku lupa, Sher. Ya udah, aku siap-siap dulu sekalian nitip Aska sama mbok Inem,” balas Agni. Kemudian, memutuskan panggilan telepon.
...
Beberapa hari yang lalu, saat menghadiri reuni sekolah, Laras secara langsug mengudang mereka semua untuk hadir di pernikahannya. Mereka bertiga Agni, Sherly dan Laras, telah bersahabat sejak SMA. Saat memasuki perguruan tinggi, Agni dan Sherly mengambil jurusan yang sama. Sedangkan, Laras yang akan mengambil alih perusahaan milik keluarganya, mengambil jurusan berbeda.
Dalam hal percintaan mereka, hanya Sherly saja yang masi lajang. Sedangkan, Agni dan Laras masing-masing telah berkeluarga. Namun, Laras sedikit tertutup dengan identitas suaminya, saat bercerita kepada mereka, dia hanya mengatakan sangat mencintai pria ini.
Laras merupakan ibu satu anak. Menurut kabar yang Agni dengar, Laras telah menikah secara agama sejak dua tahun silam. Resepsi kali ini, hanya formalitas semata yang bertujuan untuk memperjelas status Laras dan Laura, putrinya.
Sampai saat ini, baik Agni maupun Sherly belum pernah bertemu langsung dengan suami Laras. Bahkan mengetahui namanya saja tidak. Baru sekarang ini, mereka akan benar-benar bertemu degan pria itu.
...
Setelah menghabiskan beberapa menit untuk bersiap-siap, sekaligus menitip putranya pada Mbok Inem. Akhirnya, Agni bisa duduk manis dalam BMW kesayangan Sherly. Dalam perjalanan, Agni dan Sherly terus saja tersenyum. Mereka ikut berbahagia, karena sang sahabat yang sudah di 'gantung' selama dua tahun, statusnya akan di perjelas hari ini.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, mereka akhirnya sampai pada salah satu hotel bintang lima di Ibu kota.
“Kamu yakin acaranya di sini Sher?” tanya Agni dengan nada sarat akan keraguan. Pasalnya, jika melihat dari tempat ini, suami Laras pastilah orang berada. Lalu, mengapa dia harus menunggu selama ini hanya untuk resepsi pernikahan?
“Kalau dari undangannya sih, udah bener tempatnya. Kenapa? Lo nggak yakin?" Tanya Sherly sambil memandang Agni.
"Setau gue nih ya, laki-nya Laras tuh Direktur. Jadi wajar lah kalo ngadain acaranya di sini,” lanjut Sherly. Dan dibalas anggukan oleh Agni.
"Agak nggak yakin," ucap Agni sambil menunjukkan gigi putihnya. "Tapi... Ya udah lah, mending kita masuk aja."
Kali ini Sherly yang mengangguk. Lalu, mereka berdua berjalan masuk.
Saat memasuki lobi hotel, Agni melihat wajah-wajah yang sedikit familiar. Sepertinya, suami Laras memiliki hubunga kekerabatan dengan suaminya, pikir Agni.
Dilihat dari beberapa tamu undangan, yang Agni tau adalah bagian dari keluarga Pramono. Bahkan, paman suaminya juga hadir, ditambah lagi sepupu jauh Andi yang pernah Agni lihat saat pernikahannya dulu.
Semakin ke dalam, Agni seperti melihat siluet adik ipar dan ayah mertuanya. Namun, pikirannya itu segera ia tepis, mengingat ayah mertuanya yang hampir tidak pernah menghadiri acara seperti ini.
Karena terlalu fokus dengan tamu undangan, Agni tidak memperhatikan langkahnya, hingga ia menabrak punggung Sherly, yang tengah terpaku memandang banner pernikahan.
“Kenapa berhenti mendadak sih, Sher?” Tanya Agni sembari mengusap keningnya.
“Tha, gue kok kayak kenal ya sama lakinya Laras. Kenapa wajahnya mirip sama papanya Aska?” kata Sherly, terdengar kurang yakin.
"Apa Andi punya kembaran Tha?” kali ini Sherly menoleh pada Agni.
Mendengar pertanyaan absurd Sherly, Agni sempat tertawa kecil. Merasa lucu dengan pertanyaan yang di lontarkan Sherly.
Akan tetapi, senyum Agni menghilang, begitu melihat foto mempelai pria di banner itu.
DEG!
Seperti disiram air dingin, Agni berdiri terpaku di tempatnya.
Itu suaminya, itu ayah dari anaknya. Apa yang terjadi, apa ini lelucon? Agni terus membatin. Berbagai kemungkinan terburuk sudah dia pikirkan, tapi belum bisa mengerti dengan apa yang terjadi.
'Bukannya Andi ada di luar kota? Andi baru saja berkata mencintaiku, la-lalu ini...' Batin Agni kembali bergolak.
“Tha....” Karena tidak mendapat respon, Sherly mencoba menyentuh pundak Agni.
Agni terkejut, seperti orang linglung, dia menoleh kearah Sherly, dengan perlahan. “Ka-kayaknya mereka salah cetak benner deh, Sher. Andi tuh lagi kerja di luar kota, jadi nggak mungkin kalau dia ada di sini, apalagi buat nikah sama Laras,” kata Agni, dengan mata berkaca-kaca, sambil meremas kedua tangannya.
"I-iya, nggak mungkin. Ka-kamu setuju 'kan, Sher? A-aku benar, kan?" Agni seperti orang yang kehilangan akal, dia terus berkata ‘tidak mungkin’ berkali-kali.
Sherly yang sepertinya sudah bisa menebak apa yang terjadi, memegang kedua pundak Agni. Lalu Mengarahkan wajah Agni padanya. “Tha, dengerin gue!” ucap Sherly.
Akan tetapi Agni terus menggeleng.
“Agni Paramitha!” sentak Sherly, membuat Agni terpaku. Pandangannya yang semula kosong, kini menjadi fokus pada Sherly.
“Dengar! Sekarang kita masuk ke dalam. Kita pastikan semuanya, bila perlu langsung minta penjelasan sama Andi. Gue tau Lo sakit hati Tha, tapi jangan nunjukin kelemahan Lo di depan si brengsek itu.” Agni masi sedikit linglung, akan tetapi ia tetap meganggukan kepalanya.
“Ingat ya Tha, Lo masi punya Aska. Ingat juga apa kata almarhum nyokap Lo, perempuan jangan mau ditindas. Sekarang, tegakin badan Lo, tunjukin ke Andi dan keluarganya, kalo Lo bukan perempuan lemah," lanjut Sherly lagi.
Setelah mendengar ucapan Sherly, Agni menghembuskan nafas berat, "kamu benar, Sher. Lebih baik aku pastikan sendiri. Iya," balas Agni, seraya berjalan kearah ballroom dengan dagu terangkat tinggi.
'semoga hanya mirip,' batin Agni penuh harap.
....
Suasana meriah langsung menyambut kedatangan mereka. Sekali pandang saja, semua orang bisa langsung menebak, bahwa dana yang mereka kucurkan tidak lah sedikit. Dalam hatinya Agni membandingkan dengan pernikahannya dan Andi dulu, yang di adakan secara sederhana.
Tidak heran memang, mengingat Laras berasal dari keluarga berada. Di lihat dari latar belakang nya, Laras merupakan menantu impian ibu mertua Agni. Dari dekorasi yang mewah saja, Agni dapat menebak bahwa, sang ibu mertua memiliki peran penting dalam terlaksananya acara ini. Agni hanya tersenyum miris.
Saat memasuki Ballroom hotel, hati Agni seperti diremas. Di sana, di atas pelaminan, suaminya yang tadi mengatakan sedang bekerja di luar kota, tengah tertawa bahagia bersama Laras, sahabatnya.
Agni merasa sakit hati. Jika boleh memilih, dia ingin berlari keluar dari sini. Pulang ke rumah dan memeluk putranya, kemudian menangis dengan keras.
Akan tetapi, seperti kata Sherly tadi, dia tidak boleh lemah. Dia akan tunjukan pada Andi dan keluarganya, bahwa dia bukan wanita yang mudah di tindas.
Kedatangan Agni dan Sherly disambut kesiap tertahan dari salah satu meja di depan pelaminan, khususnya dari Andin Pramono adik ipar Agni. Dalam keluarga besar Pramono, hanya Andin dan Shaka Pramono sang ayah mertua yang menerima kehadiran Agni. Namun kini, ia merasa tidak ada yang menerima kehadirannya dan Aska. Ia tidak menyangka, jika dua orang yang sangat ia percaya ikut andil menipunya selama ini. Agni yang merupakan seorang yatim piatu dan berasal dari kelurga sederhana, memang tidak diterima baik oleh keluarga Andi. Hinaan dan tatapan merendahkan dari keluarga Pramono, sudah menjadi makanan sehari -hari bagi Agni. Kini, tatapan itu juga yang diterima oleh Agni sejak dia menginjakan kakinya di Ballroom hotel itu. Tatapan terkejut Agni dapatkan dari beberapa rekan kerja Andi, yang memang mengenalnya sebagai istri Andi. Tatapan penuh kekagumanpun Agni dapatkan dari para kaum Adam. Agni yang hari itu mengenakan long dress mermaid berwarna hita
"S-sherly...." Andi dan Laras sama-sama terkejut melihat kehadiran Sherly. Mereka terlalu fokus pada Agni, sampai lupa dengan sahabat Agni yang merupakan juara Taekwondo tingkat nasional itu. "Iya, ini gue. Kenapa, kaget? Nggak pernah liat cewek cantik dan bahenol kayak gue?" Tanya Sherly jenaka. "Bu-bukan gitu, Sher. Ta-tapi...." Ucapan Laras terhenti, saat melihat telapak tangan Sherly terangkat di depannya. "Stop! Gak usah drama. Ck, emang bener kata orang, ya. Jodoh itu cerminan diri. Emang pas banget sih kalian, si brengsek emang cocoknya sama si murahan." Sherly mengarahkan telunjuknya kearah Andi dan Laras, sambil menggeleng pelan. "Untung aja sahabat gue cepat sadar. Kalo nggak 'kan, kasihan. Dia yang cantik dan suci malah di selingkuhin sama cowok mokondo kayak lo." Sherly menatap Andi dengan penuh penghinaan. "Dan buat Lo, penyesalan terbesar dalam hidup gue adalah kenal sama perempuan murahan kayak lo
Berbanding terbalik dengan kesuraman yang terjadi di rumah sakit, Suasana di ballroom hotel bintang lima ibu kota itu masih sangat meriah. Setelah tadi pihak keluarga dikejutkan dengan kedatangan Agni, kini keadaannya telah kembali normal. Andi dan Laras sudah di rawat oleh tim medis yang di panggil Rani. Batang hidung Andi, sepertinya sedikit retak. Setelah acara berakhir, mereka berencana pergi ke Rumah sakit untuk Rontgen. Sementara Laras, wanita itu sudah memperbaiki make up nya, MUA yang mereka sewa sedikit repot karena harus menutup lebam di pipi Laras dan hidung Andi. Untungnya semua bisa teratasi, jadi pestanya kembali di lanjutkan. Meskipun ada beberapa orang yang masih diam-diam membahas masalah ini, termasuk pihak keluarga besar Laras. Khususnya Kedua orang tua Laras. Dua orang paruh baya itu sangat marah atas kejadian ini. Pasalnya selama ini mereka tidak tahu bahwa putri yang mereka bangga banggakan ternyata tidak lebih dari seorang perebut
Dua tahun kemudian. Hari masih sangat pagi, bahkan matahari pun masih malu-malu untuk menunjukkan wujudnya. Kesunyian masih membayangi rumah minimalis bercat putih, bergaya American klasik dengan hamparan taman yang indah itu. Para penghuni rumah masih nyaman berteman dengan bantal dan selimut. Namun, tidak demikian dengan seorang Wanita cantik bertubuh mungil, yang tengah berkutat dengan bahan makanan di dapur mini miliknya. Agni yang tengah menikmati aktifitasnya di depan penggorengan, dikejutkan dengan suara kursi bar yang ditarik. “Pagi, Tha.” Sapaan dari Sherly sabatnya, membuat Agni mengalihkan pandangan. “Pagi Sher, tumben jam segini udah bangun,” Ucap Agni sembari melihat jam dinding yang tergantung di dinding dapur. Agni merasa sedikit heran, pasalnya sahabatnya itu sangat jarang bangun sepagi ini. Apalagi saat ini, waktu bahkan belum menunjukkan pukul 6 pagi. Merupakan sebuah keajaiban jika saha
Agni tercekat mendengar ucapan Sherly. Informasi penting yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu ternyata tentang kemalangan yang menimpa mantan suaminya. Sherly yang melihat perubahan pada wajah Agni segera berucap, "Maaf ya, Tha. Gue bener bener nggak ada maksud buka luka lama Lo, gue cuman mau berbagi aja kok, serius," Ucap Sherly sembari mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'. Agni hanya membalasnya dengan senyum. Ada rasa iba yang menyusup ke dalam hati Agni, tetapi segera ia tepis. Mereka telah memiliki jalannya sendiri. Andi dan Laras yang memilih jalan ini, Agni tidak harus peduli tentang hal apapun tentang mereka. “Ekhm.. Aku nggak apa-apa kok Sher, cuman kaget aja tadi. Aku turut prihatin sama keadaan mereka. Cuma, mau gimana lagi, kami sudah punya jalan masing-masing." Agni mencoba menenangkan Sherly. "Mmm, ya udah, aku bangunin Aska dulu ya, Sher.” lanjut Agni. Kemudian berlalu dari sana. Saat sampai di depan
“Maaf..” Agni kembali mengucapkan kata itu sembari sedikit membungkuk. Karena tidak mendapatkan respon dari Pria itu, Agni langsung memutar troli miliknya, bermaksud untuk melanjutkan kegiatan belanja. Namun, troli itu di pegang dengan erat oleh sebuah tangan kekar. Agni mengehentikan langkahnya, lalu melihat kearah tangan itu. Sebuah jam bermerek dengan harga fantastis melingkar di pergelangan tangan Pria itu. Mata Agni melihat ke lengan kekar itu, terlihat jas yang di jahit khusus tengah membungkus tubuh atletis milik Pria itu. Saat Agni semakin mengangkat wajahnya, matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin yang sangat familiar baginya. "Lili putih," gumam pria itu. Terdengar sedikit tidak jelas, karena itu Agni mengangkat sebelah alisnya. "Maaf?" Tapi tidak ada jawaban, pria itu masih berdiri seperti arca hidup didepan Agni. “Maafkan Aku, Tuan. Aku tidak sengaja tadi," ucap Agni lagi. Namun, seperti tadi,
Agni yang tengah berkutat dengan adonan tepung, dikejutkan dengan keributan yang berasal dari arah kafe. Sepertinya seseorang tengah marah, entah karena apa. Tanpa membuang waktu lagi, Agni bergegas ke depan. Bahkan tanpa melepas apron yang menggantung di tubuhnya. Dari jauh, samar Agni mendengar suara keras seorang wanita yang menyebut-nyebut pelayanan dan cheesecake. Tidak ingin terus menebak, Agni mempercepat langkahnya. Saat memasuki area kafe, ia melihat seorang wanita berbadan tambun tengah marah sembari memukul counter kasir. Anisa yang berada dibalik counter kasir terlihat sangat ketakutan. “Ada apa ini?” Tanya Agni. Suara Agni membuat perhatian semua orang yang tengah menonton kejadian itu, tertuju padanya. Seolah mendapat ‘mangsa’, wanita berbadan tambun itu bergegas kearah Agni sembari mengarahkan telunjuknya. Membuat Alen yang kebetulan berada di samping Agni menjadi siaga. “Akhirnya keluar juga kamu. Kamu kan, pemilik tempat ini?” mendapa
Agni masih terpaku di tempatnya, ia membutuhkan banyak waktu untuk dapat memahami semua yang baru saja terjadi. ‘Siapa orang-orang ini, dari mana mereka berasal?’ Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sejak tadi muncul di kepalanya. Agni yang terlalu larut dalam lamunannya tentang identitas Pria-pria asing itu, tidak menyadari kedatangan Sherly. Hingga tepukan di bahunya membuat ia terkejut, “kenapa bengong, Tha? Lagi mikirin apa?” Tanya Sherly. Agni hanya menggelengkan kepalanya. “Nggak lagi mikirin apa-apa kok, Sher.” Sherly yang mendengar perkataan Agni, hanya menganggukkan kepalanya. “Ya udah, kalo gitu.” “Eh iya, Tha. Tadi pas gue sampai depan Kafe, Gue denger ada keributan ya, keributan apa?” Tanya Sherly mengalihkan pembicaraan. Agni mengangguk, “iya, tadi ada orang iseng yang bilang kalo Cake yang dia beli disini itu busuk,” ucap Agni. “Terus? Udah di laporin ke polisi?” Tanya Sherly lagi, dan d jawab dengan gelengan kepala o
Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa lima tahun telah berlalu. Putri kecil yang dulu selalu di timang, kini beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan sangat ceria.Kepribadian kedua anak Samudera dan Agni sangat bertolak belakang. Jika Aska sang kakak bersikap dingin dan tidak banyak omong. Maka sang adik Lillian justru sebaliknya. Gadis kecil itu selalu ceria, bahkan mereka sampai menjulukinya little Sunshine.Karena dimana pun ia berada, Lillian selalu menjadi sumber keceriaan, kehangatan dan kebahagiaan.Oh, harus di garis bawahi. Lillian akan sehangat matahari kecil, bagi mereka yang bersikap baik pada keluarganya, tapi akan sebaliknya bagi mereka yang bersikap buruk apalagi yang sengaja ingin menghancurkan keluarganya.Seperti sekarang ini. Samudera yang sangat memanjakan putri kecilnya, sering membawa Lillian ke Kantor. Selain karena tidak bisa jauh dari si kecil, Samudera juga ingin memberikan waktu istirahat pada Agni. Mengingat keaktifan Lill
Samudera berlari di sepanjang koridor Rumah Sakit, dengan diikuti Jona, Rein serta Sherly. Mereka sedang rapat, saat Lautan meneleponnya mengabarkan keadaan Agni.Ternyata tanpa ia sadari, Agni sudah merasa sakit perut sejak subuh, tetapi ditahan sendiri olehnya karena tidak ingin merepotkan orang-orang. Samudera berlari sembari menyekah sudut matanya. Ia merasa menjadi suami paling bodoh yang tidak peka dengan keadaan istrinya.Saat sampai di depan ruang bersalin, Samudera langsung menghampiri Lautan. “Bagaimana keadaan Agni, Yah?”“Dia baik-baik saja, sebaiknya kamu masuk. Sejak tadi dokter terus mencarimu.”Tepat saat Lautan mengatakan hal itu, pintu ruang bersalin terbuka. “Pak Samudera?” Panggil suster.“Saya.”Suster itu tersenyum tipis. “Syukurlah Anda sudah datang. Mari ikut, Saya.”Samudera mengikuti langkah sang Suster.Sepeninggal Samudera, semua orang masih
Tempat pemakaman umum itu terlihat sepi. Ya, kalau ramai namanya pasar. Hehehe Agni dan Samudera saat ini tengah berada di makam kedua orang tua Agni serta ibunda Samudera. Diusia kandungannya yang memasuki 7 bulan, Agni memang berkeinginan untuk mengunjungi makam orang tersayang mereka. Selagi masih bisa ‘kan, karena ia yakin kedepannya pasti mereka akan lebih sibuk lagi mempersiapkan kelahiran. Apalagi nanti saat si kecil sudah lahir. Perhatian mereka pastilah untuk kedua anak mereka. Karena itulah, selagi masih ada waktu seperti sekarang. Lebih baik dimanfaatkan untuk see Hay dengan para orangtua. Agni meletakkan sebuket tulip orange di atas makam ibunya. Ia lalu bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, dan berdoa dengan khusyuk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Samudera dan Aska. “Halo Ayah, Bunda, aku kembali. Terakhir kali aku datang, dengan perasaan yang hancur. Waktu itu aku bersimpuh dan menangis sendirian di sini.” Agni menarik
Setelah mengeluarkan isi perutnya, Agni terduduk lemas di sofa ruangan Samudera. Ia sedikit mengerutkan keningnya, saat tidak sengaja menduduki sesuatu. Dan saat melihat benda itu, Agni membelalakkan matanya.“Siapa yang baru datang kemari, Kak?”“Jona, Reinhart? Hanya mereka.”Agni menggeleng. “Perempuan.”“Flora?” Samudera mengangkat sebelah alisnya.“Ck, bukan Bella??” Tuding Agni sembari melipat tangannya di depan dada.“Ada apa?” tanya Sam tanpa daya.“Jawab, kak... Apa Bella berusan kesini?”Samudera memijat pelipisnya. “Ya. Dia baru saja kemari,” jawab Sam sembari menatap Istri cantiknya. “Perusahaan mereka ingin mengajukan kerjasama. Dan dia yang di tunjuk sebagai perwakilan,” jelas Samudera.“Hmm... Pantas saja.”“Ada apa?” Samudera menghampiri Agni, lalu membawanya dalam pel
Namun, suara dari luar berhasil menghentikan aksi gila Mario. Mereka berdua sama-sama terkejut dibuatnya.“Rio!?”Sherly mengembuskan napas lega, berpikir kalau Rio akan berhenti. Nyatanya tidak. Pria itu tetap melanjutkan aksinya.“Rio!?”Barulah saat panggilan kedua, pria itu mengehentikan tindakannya. Ia lalu mengumpat pelan. Kemudian keluar dari paviliun. “Urusan kita belum selesai,” ucapnya. Lalu benar-benar keluar.Setelah bayangan Rio menghilang, kaki Sherly langsung lemas seperti jelly, ia sampai terduduk di lantai.Dia Lalu mengusap pelan dada-nya, sembari bergumam. “Selamat, selamat. Hampir aja, bibir gue nggak perawan lagi.”Dari dalam paviliun, Sherly bisa mendengar percakapan mereka. Ternyata yang memanggil Rio adalah Reinhart. Pria itu mengatakan kalau Rio tengah di cari oleh Samudera. Rio terdengar menolak, tetapi Reinhart menegaskan kalau ini penting. Dan harus sekarang.
Mobil Samudera perlahan memasuki pekarangan rumah. Setelah tadi mereka singgah di pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan Ketam Cili pesanan Agni.Kepulangan mereka di sambut oleh Lautan dan Mayang, si kembar serta Aska, yang tengah menunggu mereka di teras.Mayang yang melihat Samudera menuntun Agni, bergegas menjemput menantunya itu. “Kalian dari mana, Sayang?” Tanya Mayang.Namun, ia langsung mendapatkan jawabannya, saat melihat Reinhart membuka bagasi dan mengeluarkan belanjaan.“Kalian ingin masak?” Tanya Mayang lagi. Dan kali ini Agni mengangguk cepat.“Iya, Ma. Kita mau masak kepiting pedas,” ucap Agni, sembari menelan ludahnya. Baru menyebut namanya saja, sudah membuatnya lapar.Tingkah Agni berhasil membuat mereka semua tertawa. Terkecuali Rio, yang justru tengah menahan geram karena melihat Reinhart memegang pinggang Sherly. Padahal kenyataannya Sherly hampir jatuh, dan Reinhart sigap menahan
BRAKKK Bunyi bantingan pintu, membuat semua orang yang tengah berada di ruang rapat Aditama Corp itu, terlonjak kaget. Bahkan Samudera yang sejak tadi memejamkan matanya, sembari mendengar laporan bawahannya pun, ikut terkejut. Saat menoleh, terlihat Reinhart berdiri dengan nafas memburu. “Tuan!!” Samudera mengangkat sebelah alisnya. Dengan masih mengatur nafasnya, Reinhart menunjuk kearah meja. Bukan, lebih tepatnya pada benda di depan Samudera. “Handphone, Anda.” “Ada apa, Rein?” Tanya Jonatan penasaran. Pasalnya, tidak biasanya sahabat somplak nya itu, mengacau seperti ini. Apalagi di tengah rapat tahunan seperti sekarang. Reinhart tidak menjawab, dia terus menatap Samudera. Sementara Samudera yang ditatap seperti itu, semakin tidak mengerti. “Ada apa?” tanya Sam. “Handphone Anda mati?” Samudera mengambil telepon genggamnya. Dan ya, seperti kata Reinhart, handphonenya memang mati. Mungkin keha
Aska, Marni, Indira serta Stave dan istrinya, terkejut mendengar ucapan Samudera.“Ayo pulang.” Samudera menggendong Aska dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain, merangkul pinggang Agni, kemudian pergi.Indira mencoba mengejar, tapi ia di halangi oleh para bodyguard Samudera. Reinhart yang baru saja tiba, menatap Indira tajam. “Ekhm... Ibu Indira, benar?” Indira mengangguk.“Oh, bagus. Ada pesan dari Tuan Aditama....” Indira memiliki firasat buruk. Dan benar saja, ucapan Reinhart berikutnya berhasil membuatnya terpaku.“Karena sekolah ini sudah lalai menjaga tuan muda kami, mulai sekarang Aditama Corp akan menghentikan pendanaan untuk sekolah ini. Dan, saya di sini juga bermaksud untuk mengurus kepindahan tuan kecil. Sekian.” Reinhart menutup laporannya dengan wajah datar.Indira pucat pasih. Ingin protes, tapi tidak bisa. Karena kalau salah bertindak, bisa-bisa perusahaan ayahnya yang menj
“Ada apa ini?” Suara berat seorang pria, membuat Indira menghentikan ucapannya. Agni dan Indira sama-sama menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pria bertubuh tambun, yang mengenakan jas biru Dongker. Wajah pria itu terlihat marah, nafasnya juga memburuh. Sepertinya pria itu baru saja berlari kemari. “Sayang....” Wanita bertubuh tambun yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba berjalan cepat kearah pria di depan pintu. “Ayah....” Anak kecil berpipi chubby yang sejak tadi diam, langsung berbinar saat melihat orang di depan pintu. “Kenapa dengan wajah mu? Kenapa merah seperti ini?” pria itu mengusap wajah istrinya. Wanita bergaun merah tadi, langsung menunjuk Agni. “Karna dia! Dia yang membuat aku seperti ini... Padahal yang salah itu putranya dan aku hanya menegur, tetapi dia langsung marah dan menamparku.” “Benar Ayah! Semua ini perbuatan Tante itu.” Bocah chubby itu ikut memprovokasi. Indira yang melihat