Berbanding terbalik dengan kesuraman yang terjadi di rumah sakit, Suasana di ballroom hotel bintang lima ibu kota itu masih sangat meriah. Setelah tadi pihak keluarga dikejutkan dengan kedatangan Agni, kini keadaannya telah kembali normal.
Andi dan Laras sudah di rawat oleh tim medis yang di panggil Rani. Batang hidung Andi, sepertinya sedikit retak. Setelah acara berakhir, mereka berencana pergi ke Rumah sakit untuk Rontgen. Sementara Laras, wanita itu sudah memperbaiki make up nya, MUA yang mereka sewa sedikit repot karena harus menutup lebam di pipi Laras dan hidung Andi. Untungnya semua bisa teratasi, jadi pestanya kembali di lanjutkan.
Meskipun ada beberapa orang yang masih diam-diam membahas masalah ini, termasuk pihak keluarga besar Laras. Khususnya Kedua orang tua Laras.
Dua orang paruh baya itu sangat marah atas kejadian ini. Pasalnya selama ini mereka tidak tahu bahwa putri yang mereka bangga banggakan ternyata tidak lebih dari seorang perebut suami orang.
Ibunda Laras adalah orang yang paling kecewa dengan kelakuan putrinya itu. Bagaimana mungkin putrinya menyakiti wanita lain, dengan mengatasnamakan sesuatu yang disebut cinta. Apalagi wanita yang dikhianati oleh sang Putri, adalah sahabat dekatnya sendiri. Entah mau ditaruh di mana muka mereka saat bertemu Agni nantinya.
Selama ini Kedua orang tua Laras memang tidak pernah bertemu dengan suami Agni. Saat pertama kali bertemu dengan Andi mereka tidak mencurigai apapun, karena Andi bertemu dengan mereka tanpa mengenakan cincin pernikahan.
Saat Shaka dan Rani Pramono datang melamar Laras, mereka juga tidak pernah menyinggung tentang status Andi yang masih menjadi suami sah dari wanita lain. Pasangan suami istri Prayoga itu benar-benar merasa telah ditipu oleh Shaka dan Rani, juga putrinya dan Andi.
Ini memang salah mereka juga, karena tidak menyelidiki latar belakang Andi terlebih dahulu. Tapi ya, nasi sudah menjadi bubur. Mereka hanya bisa pasrah saja.
Farhan Prayoga, Ayah Laras, sudah ingin meninggalkan tempat itu sejak tadi, tetapi dicegah oleh sang istri.
Sudah cukup Laras melemparkan kotoran kewajah mereka. Jika Farhan juga pergi, entah bagaimana penilaian orang-orang tentang keluarga mereka. Untuk itulah Farhan dan Gina tetap bertahan ditempat itu, menebalkan muka dan ikut menyapa para tamu undangan yang kebanyakan adalah rekan bisnis Farhan.
....
Berbeda dengan kedua orang tua Laras, Kebahagiaan justru tergambar jelas diwajah Laras dan Rani Pramono. Sangat jelas bahwa pasangan mertua dan menantu itu telah lama menunggu hari ini.
Memang bukan hanya Laras yang menunggu saat-saat seperti ini, Rani juga telah lama mananti hari ini. Hari dimana ia bisa menyombongkan diri, karena memiliki menantu yang berasal dari keluarga terpandang.
Saat Andi menikah dengan Agni dulu, Rani sempat menjadi bahan olok-olokan teman-teman sosialitanya. Mereka menertawakan dirinya, karena memiliki menantu yang miskin.
Itu juga salah satu alasan mengapa Rani sangat membenci Agni. Menurut Rani, Agni hanya benalu dalam kehidupan putranya. Rani yakin, kalau Andi layak mendapatkan wanita yang lebih baik daripada Agni.
Begitu pula dengan Laras. Laras yang merasa menjadi ratu hari ini, terus berkeliling menyapa tamu-tamunya. Tidak sedikit orang yang memandangnya dengan sinis, apalagi setelah insiden tadi. Namun tidak dipedulikan olehnya. Laras sadar, setelah ini predikat perebut suami orang akan terus melekat pada dirinya. Tapi, selagi Andi menjadi miliknya, gunjingan orang-orang hanya menjadi angin lalu bagi Laras.
Hingga suara sinis di balik puggungnya membuyarkan euphoria kebahagiaan Laras.
"Jalang, tetap saja jalang.”
Tanpa berbalik pun ia sudah tau siapa yang berbicara.
“Jaga mulut Lo! Status gue sekarang kakak ipar Lo. Jadi lo harus hormatin gue, adik—ipar,” kata Laras dengan menekan kata adik ipar. Membuat sang lawan bicara mendengus.
"Ngapain jaga mulut, faktanya kan emang gitu. Dan... jujur ya, gue baru pernah liat orang yang nggak tau malu kayak lo. Udah jadi pelakor, minta di buatin resepsi gede lagi. Tujuan lo tuh apa sih, mau pamer anak hasil hubungan gelap lo sama suami orang?” ucap Kinan, sepupu Andi. Sambil memandang rendah Laras.
Kinan adalah sepupu Andi dari pihak ayahnya. Salah satu orang yang secara terang-terangan menunjukan ketidak sukaannya pada Laras. Para sepupu Andi memang tidak pernah menunjukkan rasa suka mereka pada Agni, akan tetapi, tanpa orang lain bahkan Agni sendiri ketahui, mereka sangat menyukai Agni bahkan menerima Agni. Untuk itulah banyak dari antara mereka yang tidak menyukai Laras, salah satunya adalah Kinan.
Laras yang mendengar kata-kata menusuk dari Kinan, hanya bisa menahan dirinya untuk tidak mecakar wajah Kinan. Laras tidak ingin merusak pestanya. Karena itulah, dia segera berbaur bersama tamu yang lain, meninggalkan Kinan yang tengah tersenyum puas.
’Karma's coming—Laras’ bisik Kinan tersenyum miring.
***
Ditengah hingar bingar pesta yang tengah berlangsung, Awan mendung sedang membayangi dua orang berbeda usia yang duduk di sudut Ballroom hotel. Sejak Agni meninggalkan tempat itu, mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan raut kebahagiaan.
Pasangan Ayah dan putrinya itu merasa sangat malu pada Agni. Dulu, mereka meminta Agni secara baik-baik. sekarang, orang terkasih mereka secara sadar menyakiti Agni.
"Ayah tidak tau lagi bagaimana menghadapi Agni. Ayah sangat malu saat ini. Kali ini, kakakmu sudah keterlaluan," Suara Shaka Pramono memecah keheningan di tempat itu.
"Bukan hanya kak Andi yang keterlaluan, kita semua melakukan hal yang sama. Bertahun - tahun menutupi semuanya dari kak Agni. Aku lagi mikirin gimana nasib Aska kedepannya," balas Andin.
"Ayah hanya takut Agni membawa Aska pergi. Dilihat dari tabiat Agni, bukan tidak mungkin ia akan membawa Aska pergi jauh," Ucap Shaka lagi.
Andin hanya menanggapi dengan anggukan. Mereka sama-sama tau bahwa kakak iparnya itu memiliki pendirian teguh. Ia tidak mau di pandang sebagai wanita lemah oleh orang lain.
"Kalian terlalu banyak berpikir, toh kalau Agni pergi pun kita masi punya Laura cucu kita yang cantik. Lagian, aku yakin Laras bisa memberikan kita Cucu laki-laki yang tampan, bahkan lebih tampan dari pada Aska, yang asal usul ibunya saja tidak jelas," suara Rani Pramono menggema disudut Ballroom. Tatapan sinis menghiasi wajah wanita paruh baya itu.
menahan geram, Shaka dan Andin hanya bisa menjauh dari Rani. Mereka tidak ingin membuat keributan yang akan membuat keluarga mereka menjadi malu.
Shaka sadar kelakuan istrinya sudah sangat kelewatan kali ini. Bahkan nama cucu laki - lakinya pun dibawa - bawa. Dengan tangan terkepal, shaka pergi berbaur dengan tamu undangan. Namun sebelum benar-benar pergi, Shaka sempat membisikkan sesuatu yang membuat Rani terpaku.
"Kamu akan menyesal karna perbuatanmu, Ran. Dan saat kamu sadar, semua sudah terlambat!" ucap Shaka pada Rani sebelum benar-benar berlalu dari sana.
Setelah menetralkan debaran jantungnya, Rani bergumam. "Aku tidak akan menyesal mas. Keputusanku adalah yang terbaik untuk putra kita," ucapnya lebih kepada dirinya sendiri. Untuk meyakinkan dirinya, bahwa dia tidak salah mengambil keputusan
Dua tahun kemudian. Hari masih sangat pagi, bahkan matahari pun masih malu-malu untuk menunjukkan wujudnya. Kesunyian masih membayangi rumah minimalis bercat putih, bergaya American klasik dengan hamparan taman yang indah itu. Para penghuni rumah masih nyaman berteman dengan bantal dan selimut. Namun, tidak demikian dengan seorang Wanita cantik bertubuh mungil, yang tengah berkutat dengan bahan makanan di dapur mini miliknya. Agni yang tengah menikmati aktifitasnya di depan penggorengan, dikejutkan dengan suara kursi bar yang ditarik. “Pagi, Tha.” Sapaan dari Sherly sabatnya, membuat Agni mengalihkan pandangan. “Pagi Sher, tumben jam segini udah bangun,” Ucap Agni sembari melihat jam dinding yang tergantung di dinding dapur. Agni merasa sedikit heran, pasalnya sahabatnya itu sangat jarang bangun sepagi ini. Apalagi saat ini, waktu bahkan belum menunjukkan pukul 6 pagi. Merupakan sebuah keajaiban jika saha
Agni tercekat mendengar ucapan Sherly. Informasi penting yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu ternyata tentang kemalangan yang menimpa mantan suaminya. Sherly yang melihat perubahan pada wajah Agni segera berucap, "Maaf ya, Tha. Gue bener bener nggak ada maksud buka luka lama Lo, gue cuman mau berbagi aja kok, serius," Ucap Sherly sembari mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'. Agni hanya membalasnya dengan senyum. Ada rasa iba yang menyusup ke dalam hati Agni, tetapi segera ia tepis. Mereka telah memiliki jalannya sendiri. Andi dan Laras yang memilih jalan ini, Agni tidak harus peduli tentang hal apapun tentang mereka. “Ekhm.. Aku nggak apa-apa kok Sher, cuman kaget aja tadi. Aku turut prihatin sama keadaan mereka. Cuma, mau gimana lagi, kami sudah punya jalan masing-masing." Agni mencoba menenangkan Sherly. "Mmm, ya udah, aku bangunin Aska dulu ya, Sher.” lanjut Agni. Kemudian berlalu dari sana. Saat sampai di depan
“Maaf..” Agni kembali mengucapkan kata itu sembari sedikit membungkuk. Karena tidak mendapatkan respon dari Pria itu, Agni langsung memutar troli miliknya, bermaksud untuk melanjutkan kegiatan belanja. Namun, troli itu di pegang dengan erat oleh sebuah tangan kekar. Agni mengehentikan langkahnya, lalu melihat kearah tangan itu. Sebuah jam bermerek dengan harga fantastis melingkar di pergelangan tangan Pria itu. Mata Agni melihat ke lengan kekar itu, terlihat jas yang di jahit khusus tengah membungkus tubuh atletis milik Pria itu. Saat Agni semakin mengangkat wajahnya, matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin yang sangat familiar baginya. "Lili putih," gumam pria itu. Terdengar sedikit tidak jelas, karena itu Agni mengangkat sebelah alisnya. "Maaf?" Tapi tidak ada jawaban, pria itu masih berdiri seperti arca hidup didepan Agni. “Maafkan Aku, Tuan. Aku tidak sengaja tadi," ucap Agni lagi. Namun, seperti tadi,
Agni yang tengah berkutat dengan adonan tepung, dikejutkan dengan keributan yang berasal dari arah kafe. Sepertinya seseorang tengah marah, entah karena apa. Tanpa membuang waktu lagi, Agni bergegas ke depan. Bahkan tanpa melepas apron yang menggantung di tubuhnya. Dari jauh, samar Agni mendengar suara keras seorang wanita yang menyebut-nyebut pelayanan dan cheesecake. Tidak ingin terus menebak, Agni mempercepat langkahnya. Saat memasuki area kafe, ia melihat seorang wanita berbadan tambun tengah marah sembari memukul counter kasir. Anisa yang berada dibalik counter kasir terlihat sangat ketakutan. “Ada apa ini?” Tanya Agni. Suara Agni membuat perhatian semua orang yang tengah menonton kejadian itu, tertuju padanya. Seolah mendapat ‘mangsa’, wanita berbadan tambun itu bergegas kearah Agni sembari mengarahkan telunjuknya. Membuat Alen yang kebetulan berada di samping Agni menjadi siaga. “Akhirnya keluar juga kamu. Kamu kan, pemilik tempat ini?” mendapa
Agni masih terpaku di tempatnya, ia membutuhkan banyak waktu untuk dapat memahami semua yang baru saja terjadi. ‘Siapa orang-orang ini, dari mana mereka berasal?’ Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sejak tadi muncul di kepalanya. Agni yang terlalu larut dalam lamunannya tentang identitas Pria-pria asing itu, tidak menyadari kedatangan Sherly. Hingga tepukan di bahunya membuat ia terkejut, “kenapa bengong, Tha? Lagi mikirin apa?” Tanya Sherly. Agni hanya menggelengkan kepalanya. “Nggak lagi mikirin apa-apa kok, Sher.” Sherly yang mendengar perkataan Agni, hanya menganggukkan kepalanya. “Ya udah, kalo gitu.” “Eh iya, Tha. Tadi pas gue sampai depan Kafe, Gue denger ada keributan ya, keributan apa?” Tanya Sherly mengalihkan pembicaraan. Agni mengangguk, “iya, tadi ada orang iseng yang bilang kalo Cake yang dia beli disini itu busuk,” ucap Agni. “Terus? Udah di laporin ke polisi?” Tanya Sherly lagi, dan d jawab dengan gelengan kepala o
Setelah mendengar apa yang dikatakan bawahannya, sudut bibir Samudera terangkat membentuk seringai tipis, “Menarik.” Hal yang membuat Jonatan—Asisten pribadi Samudera bergidik. Sebagai orang yang telah mengikuti Samudera sejak usia muda, bahkan mereka tumbuh bersama sejak kecil, Jo bisa menebak maksud dari seringai tuannya itu. Jonatan dan Samudera telah bersahabat sejak kecil, Selama beberapa generasi keluarga Jo mengabdi pada keluarga Aditama. Sampai saat inipun, Ayahnya masih menjadi penasihat hukum keluarga Aditama. Bisa dibilang Jo dan sang Ayah adalah tangan kanan dan kiri Samudera. “Jo....” Jonatan yang telah mengerti maksud Tuannya, segera meminta para Pria berbadan kekar itu untuk meninggalkan ruangan. Setelah memastikan ruangan telah kosong, Jo segera menyampaikan laporannya, “Saya telah menyelidikinya, Tuan. Wanita itu bukan berasal dari sini. Bisa dipastikan bahwa ia sengaja datang ke kota ini hanya untuk me
Malampun tiba. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit dari villa pribadi miliknya, Samudra akhirnya sampai pada kediaman kedua orang tuanya. Sebuah mansion mewah bergaya Timur Tengah menyambut kedatangannya. Kedua orang tuannya memang sangat menyukai budaya Timur Tengah. Terlihat dari eksterior rumah ini yang tiap jendela dan lorong berbentuk kubah berornamen. Juga terdapat motif berwarna pada kaca patri yang menghias bingkai jendela tersebut, semakin menambah kentalnya unsur Timur Tengah pada rumah itu. Saat keluar dari mobilnya, Samudra sedikit mengerutkan kening, ketika mendapati dua mobil yang terlihat asing baginya. Apa orang tuanya sedang kedatngan tamu, atau mobil itu adalah koleksi terbaru adik laki-lakinya? Samudra mengendikan bahu tidak peduli, kemudian melangkahkan kakinya kearah pintu utama. Dia disambut oleh kepala pelayan tua yang telah mengabdi selama puluhan tahun pada keluarga mereka. “Selamat datang Tuan muda,” uca
Suara denting sendok menjadi pengiring makan malam keluarga saat itu. Ah, bukan keluarga, karena ada orang luar yang turut bergabung. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis dalam keluarga Aditama, bahwa saat makan tidak ada yang diijinkan untuk berbicara. Karena itulah suasana sunyi yang sedikit mencekam mengiringi makan malam mereka saat ini. Bahkan si kembar Mario dan Marcelline yang biasanya banyak bicara, tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aura sang kakek benar-benar membuat mereka tercekik. Orang yang terlihat biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa adalah Samudra. Ia sudah biasa dengan acara makan ala militer seperti ini. Saat para pelayan menyingkirkan makanan berat dan diganti dengan dessert, barulah kedua remaja itu bisa menarik nafas lega. Karena itu berarti, saat ini mereka bisa berbicara sesuka hati mereka di meja makan. "Celline ingin buah, kak. Kak Sam bisa bantu kupasin?" Celline mulai menunjukkan sikap manjanya pa
Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa lima tahun telah berlalu. Putri kecil yang dulu selalu di timang, kini beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan sangat ceria.Kepribadian kedua anak Samudera dan Agni sangat bertolak belakang. Jika Aska sang kakak bersikap dingin dan tidak banyak omong. Maka sang adik Lillian justru sebaliknya. Gadis kecil itu selalu ceria, bahkan mereka sampai menjulukinya little Sunshine.Karena dimana pun ia berada, Lillian selalu menjadi sumber keceriaan, kehangatan dan kebahagiaan.Oh, harus di garis bawahi. Lillian akan sehangat matahari kecil, bagi mereka yang bersikap baik pada keluarganya, tapi akan sebaliknya bagi mereka yang bersikap buruk apalagi yang sengaja ingin menghancurkan keluarganya.Seperti sekarang ini. Samudera yang sangat memanjakan putri kecilnya, sering membawa Lillian ke Kantor. Selain karena tidak bisa jauh dari si kecil, Samudera juga ingin memberikan waktu istirahat pada Agni. Mengingat keaktifan Lill
Samudera berlari di sepanjang koridor Rumah Sakit, dengan diikuti Jona, Rein serta Sherly. Mereka sedang rapat, saat Lautan meneleponnya mengabarkan keadaan Agni.Ternyata tanpa ia sadari, Agni sudah merasa sakit perut sejak subuh, tetapi ditahan sendiri olehnya karena tidak ingin merepotkan orang-orang. Samudera berlari sembari menyekah sudut matanya. Ia merasa menjadi suami paling bodoh yang tidak peka dengan keadaan istrinya.Saat sampai di depan ruang bersalin, Samudera langsung menghampiri Lautan. “Bagaimana keadaan Agni, Yah?”“Dia baik-baik saja, sebaiknya kamu masuk. Sejak tadi dokter terus mencarimu.”Tepat saat Lautan mengatakan hal itu, pintu ruang bersalin terbuka. “Pak Samudera?” Panggil suster.“Saya.”Suster itu tersenyum tipis. “Syukurlah Anda sudah datang. Mari ikut, Saya.”Samudera mengikuti langkah sang Suster.Sepeninggal Samudera, semua orang masih
Tempat pemakaman umum itu terlihat sepi. Ya, kalau ramai namanya pasar. Hehehe Agni dan Samudera saat ini tengah berada di makam kedua orang tua Agni serta ibunda Samudera. Diusia kandungannya yang memasuki 7 bulan, Agni memang berkeinginan untuk mengunjungi makam orang tersayang mereka. Selagi masih bisa ‘kan, karena ia yakin kedepannya pasti mereka akan lebih sibuk lagi mempersiapkan kelahiran. Apalagi nanti saat si kecil sudah lahir. Perhatian mereka pastilah untuk kedua anak mereka. Karena itulah, selagi masih ada waktu seperti sekarang. Lebih baik dimanfaatkan untuk see Hay dengan para orangtua. Agni meletakkan sebuket tulip orange di atas makam ibunya. Ia lalu bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, dan berdoa dengan khusyuk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Samudera dan Aska. “Halo Ayah, Bunda, aku kembali. Terakhir kali aku datang, dengan perasaan yang hancur. Waktu itu aku bersimpuh dan menangis sendirian di sini.” Agni menarik
Setelah mengeluarkan isi perutnya, Agni terduduk lemas di sofa ruangan Samudera. Ia sedikit mengerutkan keningnya, saat tidak sengaja menduduki sesuatu. Dan saat melihat benda itu, Agni membelalakkan matanya.“Siapa yang baru datang kemari, Kak?”“Jona, Reinhart? Hanya mereka.”Agni menggeleng. “Perempuan.”“Flora?” Samudera mengangkat sebelah alisnya.“Ck, bukan Bella??” Tuding Agni sembari melipat tangannya di depan dada.“Ada apa?” tanya Sam tanpa daya.“Jawab, kak... Apa Bella berusan kesini?”Samudera memijat pelipisnya. “Ya. Dia baru saja kemari,” jawab Sam sembari menatap Istri cantiknya. “Perusahaan mereka ingin mengajukan kerjasama. Dan dia yang di tunjuk sebagai perwakilan,” jelas Samudera.“Hmm... Pantas saja.”“Ada apa?” Samudera menghampiri Agni, lalu membawanya dalam pel
Namun, suara dari luar berhasil menghentikan aksi gila Mario. Mereka berdua sama-sama terkejut dibuatnya.“Rio!?”Sherly mengembuskan napas lega, berpikir kalau Rio akan berhenti. Nyatanya tidak. Pria itu tetap melanjutkan aksinya.“Rio!?”Barulah saat panggilan kedua, pria itu mengehentikan tindakannya. Ia lalu mengumpat pelan. Kemudian keluar dari paviliun. “Urusan kita belum selesai,” ucapnya. Lalu benar-benar keluar.Setelah bayangan Rio menghilang, kaki Sherly langsung lemas seperti jelly, ia sampai terduduk di lantai.Dia Lalu mengusap pelan dada-nya, sembari bergumam. “Selamat, selamat. Hampir aja, bibir gue nggak perawan lagi.”Dari dalam paviliun, Sherly bisa mendengar percakapan mereka. Ternyata yang memanggil Rio adalah Reinhart. Pria itu mengatakan kalau Rio tengah di cari oleh Samudera. Rio terdengar menolak, tetapi Reinhart menegaskan kalau ini penting. Dan harus sekarang.
Mobil Samudera perlahan memasuki pekarangan rumah. Setelah tadi mereka singgah di pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan Ketam Cili pesanan Agni.Kepulangan mereka di sambut oleh Lautan dan Mayang, si kembar serta Aska, yang tengah menunggu mereka di teras.Mayang yang melihat Samudera menuntun Agni, bergegas menjemput menantunya itu. “Kalian dari mana, Sayang?” Tanya Mayang.Namun, ia langsung mendapatkan jawabannya, saat melihat Reinhart membuka bagasi dan mengeluarkan belanjaan.“Kalian ingin masak?” Tanya Mayang lagi. Dan kali ini Agni mengangguk cepat.“Iya, Ma. Kita mau masak kepiting pedas,” ucap Agni, sembari menelan ludahnya. Baru menyebut namanya saja, sudah membuatnya lapar.Tingkah Agni berhasil membuat mereka semua tertawa. Terkecuali Rio, yang justru tengah menahan geram karena melihat Reinhart memegang pinggang Sherly. Padahal kenyataannya Sherly hampir jatuh, dan Reinhart sigap menahan
BRAKKK Bunyi bantingan pintu, membuat semua orang yang tengah berada di ruang rapat Aditama Corp itu, terlonjak kaget. Bahkan Samudera yang sejak tadi memejamkan matanya, sembari mendengar laporan bawahannya pun, ikut terkejut. Saat menoleh, terlihat Reinhart berdiri dengan nafas memburu. “Tuan!!” Samudera mengangkat sebelah alisnya. Dengan masih mengatur nafasnya, Reinhart menunjuk kearah meja. Bukan, lebih tepatnya pada benda di depan Samudera. “Handphone, Anda.” “Ada apa, Rein?” Tanya Jonatan penasaran. Pasalnya, tidak biasanya sahabat somplak nya itu, mengacau seperti ini. Apalagi di tengah rapat tahunan seperti sekarang. Reinhart tidak menjawab, dia terus menatap Samudera. Sementara Samudera yang ditatap seperti itu, semakin tidak mengerti. “Ada apa?” tanya Sam. “Handphone Anda mati?” Samudera mengambil telepon genggamnya. Dan ya, seperti kata Reinhart, handphonenya memang mati. Mungkin keha
Aska, Marni, Indira serta Stave dan istrinya, terkejut mendengar ucapan Samudera.“Ayo pulang.” Samudera menggendong Aska dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain, merangkul pinggang Agni, kemudian pergi.Indira mencoba mengejar, tapi ia di halangi oleh para bodyguard Samudera. Reinhart yang baru saja tiba, menatap Indira tajam. “Ekhm... Ibu Indira, benar?” Indira mengangguk.“Oh, bagus. Ada pesan dari Tuan Aditama....” Indira memiliki firasat buruk. Dan benar saja, ucapan Reinhart berikutnya berhasil membuatnya terpaku.“Karena sekolah ini sudah lalai menjaga tuan muda kami, mulai sekarang Aditama Corp akan menghentikan pendanaan untuk sekolah ini. Dan, saya di sini juga bermaksud untuk mengurus kepindahan tuan kecil. Sekian.” Reinhart menutup laporannya dengan wajah datar.Indira pucat pasih. Ingin protes, tapi tidak bisa. Karena kalau salah bertindak, bisa-bisa perusahaan ayahnya yang menj
“Ada apa ini?” Suara berat seorang pria, membuat Indira menghentikan ucapannya. Agni dan Indira sama-sama menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pria bertubuh tambun, yang mengenakan jas biru Dongker. Wajah pria itu terlihat marah, nafasnya juga memburuh. Sepertinya pria itu baru saja berlari kemari. “Sayang....” Wanita bertubuh tambun yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba berjalan cepat kearah pria di depan pintu. “Ayah....” Anak kecil berpipi chubby yang sejak tadi diam, langsung berbinar saat melihat orang di depan pintu. “Kenapa dengan wajah mu? Kenapa merah seperti ini?” pria itu mengusap wajah istrinya. Wanita bergaun merah tadi, langsung menunjuk Agni. “Karna dia! Dia yang membuat aku seperti ini... Padahal yang salah itu putranya dan aku hanya menegur, tetapi dia langsung marah dan menamparku.” “Benar Ayah! Semua ini perbuatan Tante itu.” Bocah chubby itu ikut memprovokasi. Indira yang melihat