Malampun tiba.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit dari villa pribadi miliknya, Samudra akhirnya sampai pada kediaman kedua orang tuanya. Sebuah mansion mewah bergaya Timur Tengah menyambut kedatangannya.
Kedua orang tuannya memang sangat menyukai budaya Timur Tengah. Terlihat dari eksterior rumah ini yang tiap jendela dan lorong berbentuk kubah berornamen. Juga terdapat motif berwarna pada kaca patri yang menghias bingkai jendela tersebut, semakin menambah kentalnya unsur Timur Tengah pada rumah itu.
Saat keluar dari mobilnya, Samudra sedikit mengerutkan kening, ketika mendapati dua mobil yang terlihat asing baginya. Apa orang tuanya sedang kedatngan tamu, atau mobil itu adalah koleksi terbaru adik laki-lakinya?
Samudra mengendikan bahu tidak peduli, kemudian melangkahkan kakinya kearah pintu utama. Dia disambut oleh kepala pelayan tua yang telah mengabdi selama puluhan tahun pada keluarga mereka. “Selamat datang Tuan muda,” uca
Suara denting sendok menjadi pengiring makan malam keluarga saat itu. Ah, bukan keluarga, karena ada orang luar yang turut bergabung. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis dalam keluarga Aditama, bahwa saat makan tidak ada yang diijinkan untuk berbicara. Karena itulah suasana sunyi yang sedikit mencekam mengiringi makan malam mereka saat ini. Bahkan si kembar Mario dan Marcelline yang biasanya banyak bicara, tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aura sang kakek benar-benar membuat mereka tercekik. Orang yang terlihat biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa adalah Samudra. Ia sudah biasa dengan acara makan ala militer seperti ini. Saat para pelayan menyingkirkan makanan berat dan diganti dengan dessert, barulah kedua remaja itu bisa menarik nafas lega. Karena itu berarti, saat ini mereka bisa berbicara sesuka hati mereka di meja makan. "Celline ingin buah, kak. Kak Sam bisa bantu kupasin?" Celline mulai menunjukkan sikap manjanya pa
“Cucuku bukan pemandu wisata!” Suara tegas dari Ratna Aditama berhasil melunturkan senyum di bibir Tasya. Suara Ratna memberikan efek yang lebih besar daripada sikap Samudra tadi, ruang makan itu mendadak hening. “Aku tidak bermaksud seperti itu, Bu,” Ucap Lautan, setelah mendapatkan kembali suaranya. Melalui matanya ia mengucapkan maaf tanpa suara pada keluarga Lorens. Ia tidak punya maksud apa-apa, hanya memenuhi keinginan putri dari sahabatnya yang ingin berkeliling bersama putranya. Namun, melihat respon sang ibu, Lautan menelan kembali semua keinginannya itu. “Kalau Sam nggak bisa, nggak apa-apa kok Om. Nanti aku minta tolong sama teman lamaku saja,” ucap Tasya. Dia masih menyunggingkan senyum, namun jauh di bawah meja, kuku jarinya tengah menekan kuat telapak tangannya. Menahan geram karena Ratna menggagalkan rencananya. “Harusnya memang seperti itu, kamu itu bukan bagian dari keluarga ini. Apa kata orang nanti, jika melihat kepala keluarga Adit
Hari masih pagi, namun Agni telah sibuk berkutat dengan tepung dan loyang. Di dapur Kafe miliknya, Agni dan buk Atik—salah satu pegawainya, tengah sibuk mempersiapkan pesanan pelanggan.Disela kesibukannya di Kafe Agni memang masih menerima pesanan kue untuk acara-acara tertentu, seperti ulang tahun atau acara resmi lainnya, dan kali inipun mereka tengah sibuk menyelesaikan pesanan pelanggan, yang harus diantarkan pukul 12.00 siang nanti.Agni dan Buk Atik yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka, dikejutkan dengan dering telepon genggam milik Agni. Terlihat nama Ibu Mawar disana. Agni sedikit mengerutkan kening, tidak biasanya guru putranya itu menghubungi Agni pada jam pelajaran seperti ini.Tidak ingin terlarut dalam rasa penasarannya, Agni segera menekan ikon hijau pada gawainya itu.“Halo selamat pagi, Bu Mawar.”“Selamat pagi, Bu Agni. Maaf mengganggu, saya ingin mengabarkan bahwa.....”Suara Mawar disebe
Saat mendekati ruang perawatan putranya, Agni mendengar suara tawa khas anak-anak. Itu suara Aska, itu suara putranya, namun dengan siapa ia tengah tertawa? Kalau dengan mbok Inem, sepertinya tidak mungkin. Putranya adalah orang yang sedikit menutup diri.Perpisahannya dengan Andi dulu, tidak hanya berdampak padanya tapi juga pada Aska. Putranya itu menjadi orang yang sedikit berbeda. Ia hanya akan tersenyum dan tertawa dengan tulus padanya, jika berhadapan dengan orang lain, termasuk mbok Inem yang merawatnya sejak bayi, atau Sherly yang menemani mereka sejak dua tahun silam, Aska akan menjadi pribadi yang tertutup dan menjaga jarak.Untuk itulah Agni sedikit mengerutkan kening saat mendengar tawa putranya itu. Tidak ingin larut dalam rasa penasaran, Agni segera mempercepat langkahnya.Saat membuka pintu ruang rawat putranya, ia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria.Jika melihat dari profil sampingnya, pria yang tengah berbicara dengan putranya itu,
Pria itu tersenyum, “Ya, kita bertemu lagi, Pacar..”“Ha???” Agni melebarkan matanya, mulutnya terbuka dan tertutup, seolah ingin mengatakan sesuatu.“Pa-Pacar?” Agni tidak yakin dengan pendengarannya, apa maksud dari pria ini, sejak kapan mereka berpacaran?Bukan hanya Agni yang terkejut mendengar perkataan Samudra, hal yang sama juga dirasakan oleh orang-orang yang ada didalam ruangan itu.Bahkan Jonatan yang sejak tadi berdiri seperti patung selamat datang, langsung tersedak ludahnya sendiri saat mendengar penuturan sang Tuan. ‘Bukankah itu sedikit agresif, tuan? Wanita tidak menyukai pria yang Agresif, Ok,’ batin Jo. Pria itu sempat terbatuk kecil, kemudian menormalkan ekspresi wajahnya menjadi datar kembali.Samudra menikmati wajah terkejut wanitanya, ia tidak peduli dengan orang-orang disekelilingnya. Fokusnya saat ini hanya tertuju pada wanita cantik dengan balutan dress berwarna peach, yang me
“Mbak Agni..” Mbok inem yang melihat sang majikan masih terpaku, kemudian menyentuh bahu Agni.Agni yang terkejut dengan sentuhan Mbok Inem, langsung memalingkan wajahnya. “A-ada apa, Mbok?”“Tidak apa-apa, saya lihat mbak Agni masih bengong, saya pikir ‘kemasukan' makanya saya panggil tadi,” Ucap wanita paruh baya itu.Mengenai panggilan Mbok Inem pada Agni. Dulu waktu masih bersama Andi, Mbok Inem memang memanggil Agni dengan sebutan Nyonya, namun saat pidah kesini Agni meminta agar beliau memanggilnya dengan namanya saja tanpa embel embel apapun. Tetapi, karena si Mbok merasa tidak nyaman jika harus memanggil orang yang memberinya gaji dengan namanya saja, maka ia memanggil Agni dengan sebutan Mbak.Agni yang mendengar perkataan Mbok tentang ‘kemasukan’ hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Tanpa Agni sadari, tangannya bergerak sendiri kemudian mengusap kepalanya, bekas usapan Samudra tad
Saat menutup pintu ruang rawat Aska, senyum tipis yang sejak tadi menghiasi wajah Samudra hilang tanpa jejak. Ia kembali menjadi dirinya sendiri, dingin dan menjaga jarak.Jo yang sejak tadi mengikuti langkah tuannya, menyadari perubahan itu. Sepertinya tuan Sam sudah mengaktifkan mode 'singa lapar,’ pikirnya. Tidak ingin menjadi korban keganasan, ia sengaja memperlambat langkahnya agar tidak sejajar dengan sang tuan.Samudra menyadari perubahan Asistennya, namun tidak dipedulikan olehnya. Ia terus memacu langkahnya kearah tempat parkir. Sepanjang perjalanan menuju mobil, area yang dilewati oleh mereka berdua kosong. Entah disadari oleh Agni atau tidak, si Tuan posesif ini telah meminta agar lorong menuju ruang rawat Aska dikosongkan. Dia tidak ini ketenangannya diusik.“Bagaimana, Jo?” saat sampai didalam mobilnya, Samudra langsung menanyakan apa yang sejak tadi tertahan di ujung lidahnya.“Dia adalah seorang pria biasa yang berke
“Ap-apa... Pacar?? Agni? Pacar?” Tanya Sherly dengan melebarkan matanya, sembari menunjuk Agni.Mbok Inem yang belum menyadari perubahan pada raut wajah dan suara Sherly, menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat.“Iya iya, pacarnya mbak Agni, namanya pak Samudra. Beliau yang tadi menyelamatkan den Aska dan mengurus semua admistrasi Rumah Sakit, mbak Sherly.” Ucapan Mbok Inem bukan hanya membuat Sherly terkejut tapi juga Agni.‘Samudra yang menyelamatkan Aska?’ batin Agni bertanya-tanya.“Samudra? Tha Lo mending jujur deh, hal apalagi yang Lo sembunyiin dari gue?”Agni menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Mending kamu tenang dulu deh, Sher. Nanti aku ceritain,” ucap Agni.“Sekarang, Tha. Jangan pakai nanti, ntar lupa lagi.”Huff..Agni menghembuskan nafas berat, kemudian menceritakan semuanya kepada Sherly. Tentang pertemuan tidak sengaja ant
Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa lima tahun telah berlalu. Putri kecil yang dulu selalu di timang, kini beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan sangat ceria.Kepribadian kedua anak Samudera dan Agni sangat bertolak belakang. Jika Aska sang kakak bersikap dingin dan tidak banyak omong. Maka sang adik Lillian justru sebaliknya. Gadis kecil itu selalu ceria, bahkan mereka sampai menjulukinya little Sunshine.Karena dimana pun ia berada, Lillian selalu menjadi sumber keceriaan, kehangatan dan kebahagiaan.Oh, harus di garis bawahi. Lillian akan sehangat matahari kecil, bagi mereka yang bersikap baik pada keluarganya, tapi akan sebaliknya bagi mereka yang bersikap buruk apalagi yang sengaja ingin menghancurkan keluarganya.Seperti sekarang ini. Samudera yang sangat memanjakan putri kecilnya, sering membawa Lillian ke Kantor. Selain karena tidak bisa jauh dari si kecil, Samudera juga ingin memberikan waktu istirahat pada Agni. Mengingat keaktifan Lill
Samudera berlari di sepanjang koridor Rumah Sakit, dengan diikuti Jona, Rein serta Sherly. Mereka sedang rapat, saat Lautan meneleponnya mengabarkan keadaan Agni.Ternyata tanpa ia sadari, Agni sudah merasa sakit perut sejak subuh, tetapi ditahan sendiri olehnya karena tidak ingin merepotkan orang-orang. Samudera berlari sembari menyekah sudut matanya. Ia merasa menjadi suami paling bodoh yang tidak peka dengan keadaan istrinya.Saat sampai di depan ruang bersalin, Samudera langsung menghampiri Lautan. “Bagaimana keadaan Agni, Yah?”“Dia baik-baik saja, sebaiknya kamu masuk. Sejak tadi dokter terus mencarimu.”Tepat saat Lautan mengatakan hal itu, pintu ruang bersalin terbuka. “Pak Samudera?” Panggil suster.“Saya.”Suster itu tersenyum tipis. “Syukurlah Anda sudah datang. Mari ikut, Saya.”Samudera mengikuti langkah sang Suster.Sepeninggal Samudera, semua orang masih
Tempat pemakaman umum itu terlihat sepi. Ya, kalau ramai namanya pasar. Hehehe Agni dan Samudera saat ini tengah berada di makam kedua orang tua Agni serta ibunda Samudera. Diusia kandungannya yang memasuki 7 bulan, Agni memang berkeinginan untuk mengunjungi makam orang tersayang mereka. Selagi masih bisa ‘kan, karena ia yakin kedepannya pasti mereka akan lebih sibuk lagi mempersiapkan kelahiran. Apalagi nanti saat si kecil sudah lahir. Perhatian mereka pastilah untuk kedua anak mereka. Karena itulah, selagi masih ada waktu seperti sekarang. Lebih baik dimanfaatkan untuk see Hay dengan para orangtua. Agni meletakkan sebuket tulip orange di atas makam ibunya. Ia lalu bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, dan berdoa dengan khusyuk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Samudera dan Aska. “Halo Ayah, Bunda, aku kembali. Terakhir kali aku datang, dengan perasaan yang hancur. Waktu itu aku bersimpuh dan menangis sendirian di sini.” Agni menarik
Setelah mengeluarkan isi perutnya, Agni terduduk lemas di sofa ruangan Samudera. Ia sedikit mengerutkan keningnya, saat tidak sengaja menduduki sesuatu. Dan saat melihat benda itu, Agni membelalakkan matanya.“Siapa yang baru datang kemari, Kak?”“Jona, Reinhart? Hanya mereka.”Agni menggeleng. “Perempuan.”“Flora?” Samudera mengangkat sebelah alisnya.“Ck, bukan Bella??” Tuding Agni sembari melipat tangannya di depan dada.“Ada apa?” tanya Sam tanpa daya.“Jawab, kak... Apa Bella berusan kesini?”Samudera memijat pelipisnya. “Ya. Dia baru saja kemari,” jawab Sam sembari menatap Istri cantiknya. “Perusahaan mereka ingin mengajukan kerjasama. Dan dia yang di tunjuk sebagai perwakilan,” jelas Samudera.“Hmm... Pantas saja.”“Ada apa?” Samudera menghampiri Agni, lalu membawanya dalam pel
Namun, suara dari luar berhasil menghentikan aksi gila Mario. Mereka berdua sama-sama terkejut dibuatnya.“Rio!?”Sherly mengembuskan napas lega, berpikir kalau Rio akan berhenti. Nyatanya tidak. Pria itu tetap melanjutkan aksinya.“Rio!?”Barulah saat panggilan kedua, pria itu mengehentikan tindakannya. Ia lalu mengumpat pelan. Kemudian keluar dari paviliun. “Urusan kita belum selesai,” ucapnya. Lalu benar-benar keluar.Setelah bayangan Rio menghilang, kaki Sherly langsung lemas seperti jelly, ia sampai terduduk di lantai.Dia Lalu mengusap pelan dada-nya, sembari bergumam. “Selamat, selamat. Hampir aja, bibir gue nggak perawan lagi.”Dari dalam paviliun, Sherly bisa mendengar percakapan mereka. Ternyata yang memanggil Rio adalah Reinhart. Pria itu mengatakan kalau Rio tengah di cari oleh Samudera. Rio terdengar menolak, tetapi Reinhart menegaskan kalau ini penting. Dan harus sekarang.
Mobil Samudera perlahan memasuki pekarangan rumah. Setelah tadi mereka singgah di pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan Ketam Cili pesanan Agni.Kepulangan mereka di sambut oleh Lautan dan Mayang, si kembar serta Aska, yang tengah menunggu mereka di teras.Mayang yang melihat Samudera menuntun Agni, bergegas menjemput menantunya itu. “Kalian dari mana, Sayang?” Tanya Mayang.Namun, ia langsung mendapatkan jawabannya, saat melihat Reinhart membuka bagasi dan mengeluarkan belanjaan.“Kalian ingin masak?” Tanya Mayang lagi. Dan kali ini Agni mengangguk cepat.“Iya, Ma. Kita mau masak kepiting pedas,” ucap Agni, sembari menelan ludahnya. Baru menyebut namanya saja, sudah membuatnya lapar.Tingkah Agni berhasil membuat mereka semua tertawa. Terkecuali Rio, yang justru tengah menahan geram karena melihat Reinhart memegang pinggang Sherly. Padahal kenyataannya Sherly hampir jatuh, dan Reinhart sigap menahan
BRAKKK Bunyi bantingan pintu, membuat semua orang yang tengah berada di ruang rapat Aditama Corp itu, terlonjak kaget. Bahkan Samudera yang sejak tadi memejamkan matanya, sembari mendengar laporan bawahannya pun, ikut terkejut. Saat menoleh, terlihat Reinhart berdiri dengan nafas memburu. “Tuan!!” Samudera mengangkat sebelah alisnya. Dengan masih mengatur nafasnya, Reinhart menunjuk kearah meja. Bukan, lebih tepatnya pada benda di depan Samudera. “Handphone, Anda.” “Ada apa, Rein?” Tanya Jonatan penasaran. Pasalnya, tidak biasanya sahabat somplak nya itu, mengacau seperti ini. Apalagi di tengah rapat tahunan seperti sekarang. Reinhart tidak menjawab, dia terus menatap Samudera. Sementara Samudera yang ditatap seperti itu, semakin tidak mengerti. “Ada apa?” tanya Sam. “Handphone Anda mati?” Samudera mengambil telepon genggamnya. Dan ya, seperti kata Reinhart, handphonenya memang mati. Mungkin keha
Aska, Marni, Indira serta Stave dan istrinya, terkejut mendengar ucapan Samudera.“Ayo pulang.” Samudera menggendong Aska dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain, merangkul pinggang Agni, kemudian pergi.Indira mencoba mengejar, tapi ia di halangi oleh para bodyguard Samudera. Reinhart yang baru saja tiba, menatap Indira tajam. “Ekhm... Ibu Indira, benar?” Indira mengangguk.“Oh, bagus. Ada pesan dari Tuan Aditama....” Indira memiliki firasat buruk. Dan benar saja, ucapan Reinhart berikutnya berhasil membuatnya terpaku.“Karena sekolah ini sudah lalai menjaga tuan muda kami, mulai sekarang Aditama Corp akan menghentikan pendanaan untuk sekolah ini. Dan, saya di sini juga bermaksud untuk mengurus kepindahan tuan kecil. Sekian.” Reinhart menutup laporannya dengan wajah datar.Indira pucat pasih. Ingin protes, tapi tidak bisa. Karena kalau salah bertindak, bisa-bisa perusahaan ayahnya yang menj
“Ada apa ini?” Suara berat seorang pria, membuat Indira menghentikan ucapannya. Agni dan Indira sama-sama menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pria bertubuh tambun, yang mengenakan jas biru Dongker. Wajah pria itu terlihat marah, nafasnya juga memburuh. Sepertinya pria itu baru saja berlari kemari. “Sayang....” Wanita bertubuh tambun yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba berjalan cepat kearah pria di depan pintu. “Ayah....” Anak kecil berpipi chubby yang sejak tadi diam, langsung berbinar saat melihat orang di depan pintu. “Kenapa dengan wajah mu? Kenapa merah seperti ini?” pria itu mengusap wajah istrinya. Wanita bergaun merah tadi, langsung menunjuk Agni. “Karna dia! Dia yang membuat aku seperti ini... Padahal yang salah itu putranya dan aku hanya menegur, tetapi dia langsung marah dan menamparku.” “Benar Ayah! Semua ini perbuatan Tante itu.” Bocah chubby itu ikut memprovokasi. Indira yang melihat