“Maaf..” Agni kembali mengucapkan kata itu sembari sedikit membungkuk.
Karena tidak mendapatkan respon dari Pria itu, Agni langsung memutar troli miliknya, bermaksud untuk melanjutkan kegiatan belanja.
Namun, troli itu di pegang dengan erat oleh sebuah tangan kekar. Agni mengehentikan langkahnya, lalu melihat kearah tangan itu. Sebuah jam bermerek dengan harga fantastis melingkar di pergelangan tangan Pria itu.
Mata Agni melihat ke lengan kekar itu, terlihat jas yang di jahit khusus tengah membungkus tubuh atletis milik Pria itu. Saat Agni semakin mengangkat wajahnya, matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin yang sangat familiar baginya.
"Lili putih," gumam pria itu. Terdengar sedikit tidak jelas, karena itu Agni mengangkat sebelah alisnya.
"Maaf?" Tapi tidak ada jawaban, pria itu masih berdiri seperti arca hidup didepan Agni.
“Maafkan Aku, Tuan. Aku tidak sengaja tadi," ucap Agni lagi. Namun, seperti tadi, tidak ada respon apapun dari pria itu. Merasa sedikit canggung, Agni berdehem membersihkan tenggorokannya, kemudian melanjutkan.
"Mmm, karena ini adalah pertemuan pertama kita, aku harap Tuan bermurah hati untuk memaafkanku,” Ucap Agni.
“Tiga kali,” Ucap Pria itu, untuk pertama kalinya. Hal yang membuat Agni mengerutkan keningnya.
“Maksud, Anda?”
“Ini adalah pertemuan kita yang ke-tiga kalinya,” pria itu menjelaskan dengan dingin.
Mendengar ucapan Pria itu, Agni semakin mengerutkan keningnya, kemudian berucap, “Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan. Saya merasa belum pernah bertemu dengan Anda.”
“Enam tahun lalu, Grand Hotel. Dua tahun lalu, tempat parkir Golden Hotel. Hari ini, Swalayan.”
Ucapan Pria itu membuat Agni kembali terpaku. Agni kembali mengangkat sebelah alisnya.
“Maaf, saya tidak mengingatnya,” Ucap Agni.
“Saya tidak minta kamu untuk mengingat. Saya hanya mengoreksi ucapan kamu,” Ucap Pria itu lagi. Nada yang Pria itu gunakan selalu sama, dingin.
Agni menganggukkan kepalanya, “Baik, terima kasih karena sudah diingatkan. Kalau begitu, saya permisi,” Ucap Agni.
Agni lalu mencoba mendorong troli miliknya lagi. Namun, tangan Pria itu masih menahan troli. Agni sempat berpikir, apa Pria ini menginginkan troli miliknya? Tapi, dia langsung menggelengkan kepala. 'Tidak mungkin.'
Agni yang masih berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan Absurd, dikejutkan dengan tangan Pria itu yang di arahkan padanya.
Agni kembali mengangkat sebelah alisnya, bertanya apa maksud Pria itu.
“Berkenalan.”
Agni yang memang ingin segera pergi, langsung menyambut uluran tangan Pria itu.
“Agni.”
“Samudera.”
Deg
Bukan hanya mata Pria itu saja yang Familiar, namanya pun demikian. Agni seperti pernah melihat mata itu, dan mendengar nama itu, entah di mana.
Alam bawah sadarnya seperti sangat akrab, bahkan dia merasa ada seseorang yang pernah membisikkan nama itu, secara intim di telinganya.
Menyadari pikirannya yang mulai melayang entah kemana, Agni segera menggelengkan kepalanya lagi.
“Senang berkenalan dengan Anda, Pak Sam. Kalau begitu, saya permisi.”
“Tunggu sebentar.”
Agni kembali menghentikan langkahnya, kemudian berbalik kearah Pria itu, “Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?” Tanya Agni.
“Kita telah bertemu secara tidak sengaja sebanyak tiga kali.”
“Ya, Lalu?” Ucap Agni dengan heran.
“Ada orang yang pernah berkata bahwa, jika kamu secara tidak sengaja bertemu dengan orang yang sama sebanyak tiga kali, maka orang itu adalah, jodohmu.”
Mendengar ucapan Pria yang baru Agni tahu bernama Samudera itu, membuat pupil mata Agni melebar. ‘Apa-apaan Pria ini!?' Batin Agni.
“Ja-jadi maksud Anda, kita berjodoh?” Agni bertanya, sambil menunjuk dirinya dan Samudra. Samudra menjawabnya dengan anggukan.
Melihat anggukan kepala dari Pria itu, Agni menepuk jidatnya. Agni kemudian menarik nafasnya kemudian berkata, “itu hanya mitos, Pak.”
“Saya percaya dengan mitos itu.” Tandas Samudera.
Agni yang sudah tidak sabar, lalu menghembuskan nafas berat, kemudian berkata dengan penuh penekanan. “Baik, saya tidak ingat dengan pertemuan pertama dan kedua kita, Pak. Untuk itu saya merasa ini tidak valid. Sebentar, jangan memotong ucapan Saya." Agni mengangkat telapak tangannya saat Samudera ingin menyela.
"Karena saya tidak mengingat pertemuan pertama dan kedua kita, saya akan menganggap ini pertemuan kedua kita saja. Ini karena anda yang sangat yakin kita pernah bertemu. Dan, kalau nanti kita bertemu secara tidak sengaja sekali lagi, saya baru akan percaya kalau Anda dan Saya memang berjodoh. Bagaimana, pak?”
Mendengar ucapan Agni, Samudera menelan kembali sanggahan yang telah sampai pada ujung lidahnya itu. Kemudian menganggukkan kepalanya, “Baik! Jika kita bertemu sekali lagi, berarti kamu adalah jodoh saya. Dan saat itu juga, kamu telah resmi menjadi kekasih saya. Bagaimana, Deal?” Samudra berucap sembari mengulurkan tangannya lagi.
Agni yang memiliki keyakinan bahwa mereka tidak akan bertemu lagi, segera menyambut uluran tangan Samudera, “Deal!”
“Good Girl,” ucap Samudra dengan seringai tipis.
“Kalau begitu saya permisi, Pak,” Ucap Agni. Kemudian mendorong trolinya setelah mendapat anggukan dari Samudera.
Saat berjalan sedikit jauh dari Pria itu, Agni mengembuskan napas lega.
‘Semoga kita tidak bertemu lagi,' batinnya.
***
Setelah membayar semua belanjaannya, Agni langsung memacu mobil menuju Kafe miliknya.
Sejak perpisahannya dengan Andi dua tahun silam, Agni mencoba peruntungan dengan membuka usaha kecil-kecilan.
Agni yang memang piawai mengolah adonan tepung menjadi kue, membuka sebuah kafe sederhana untuk menyambung hidupnya dan Aska. Awalnya, Agni hanya menjajakan kue kuenya pada warung warung kecil. Karena cita rasa kue Agni yang cocok dengan lidah orang sekitar, jumlah pelanggannya pun semakin bertambah banyak.
Hingga, ia memutuskan membuka sebuh kafe dengan modal yang berasal dari tabungannya waktu masih gadis, dan harta Gono gini dari perceraiannya dengan Andi dulu.
Kafe milik Agni memiliki interior klasik yang sedikit mengadaptasi dari gaya Korea, hal yang memang sesuai dengan selera anak muda jaman sekarang. Agni sendiri yang mendesign Kafenya itu. Karena ini adalah usaha pertama dari hasil jerih payahnya sendiri, Agni merasa harus ikut terlibat dalam setiap proses perkembangan usahanya.
Kurang lebih satu tahun terakhir, Kafenya sudah menunjukkan progres yang menakjubkan. Perhitungan balik modal sudah ia raih sejak lama, hingga Agni dapat mempekerjakan dua orang tetangganya yang juga seorang single parent untuk membantunya di dapur. Agni pun mempekerjakan dua orang mahasiswa yang ingin bekerja part time untuk membiayai sekolah mereka.
Untuk menunjang bisnisnya agar sesuai dengan selera pasar, Agni juga berkolaborasi dengan seorang Barista muda. Aleandro namanya. Pria blasteran Italia Indonesia berusia awal dua puluhan yang memulai bisnisya sendiri. Akan tetapi, karena masalah financial ia harus rela menutup usahanya itu. Agni yang merasa simpati dengan keadaan Alen, menawarkan kerja sama dengannya. Selain untuk menambah variasi tatanan menu dalam kafe milikya, kehadiran Alen juga menjadi daya tarik tersendiri bagi kafe miliknya itu. Alen yang berparas tampan tak ayal menarik banyak pelanggan, khususnya remaja wanita.
Setelah memikirkan mobilnya, Agni bergegas masuk kedalam Kafe.
“Selamat pagi, semuanya.” Agni yang baru saja tiba, langsung menyapa karyawannya yang tengah bersiap-siap membuka Kafe.
“Selamat pagi, mbak Agni.” Mereka semua membalas sapaan Agni dengan senyuman mengembang.
“Selamat bekerja, semuanya,” Ucap Agni lagi.
“Selamat bekerja juga, Mbak.” Lagi, Koor dari karyawan Agni kembali terdengar, kemudian mereka membubarkan diri dan kembali pada aktivitas masing-masing.
Agni yang tengah berkutat dengan adonan tepung, dikejutkan dengan keributan yang berasal dari arah kafe. Sepertinya seseorang tengah marah, entah karena apa. Tanpa membuang waktu lagi, Agni bergegas ke depan. Bahkan tanpa melepas apron yang menggantung di tubuhnya. Dari jauh, samar Agni mendengar suara keras seorang wanita yang menyebut-nyebut pelayanan dan cheesecake. Tidak ingin terus menebak, Agni mempercepat langkahnya. Saat memasuki area kafe, ia melihat seorang wanita berbadan tambun tengah marah sembari memukul counter kasir. Anisa yang berada dibalik counter kasir terlihat sangat ketakutan. “Ada apa ini?” Tanya Agni. Suara Agni membuat perhatian semua orang yang tengah menonton kejadian itu, tertuju padanya. Seolah mendapat ‘mangsa’, wanita berbadan tambun itu bergegas kearah Agni sembari mengarahkan telunjuknya. Membuat Alen yang kebetulan berada di samping Agni menjadi siaga. “Akhirnya keluar juga kamu. Kamu kan, pemilik tempat ini?” mendapa
Agni masih terpaku di tempatnya, ia membutuhkan banyak waktu untuk dapat memahami semua yang baru saja terjadi. ‘Siapa orang-orang ini, dari mana mereka berasal?’ Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sejak tadi muncul di kepalanya. Agni yang terlalu larut dalam lamunannya tentang identitas Pria-pria asing itu, tidak menyadari kedatangan Sherly. Hingga tepukan di bahunya membuat ia terkejut, “kenapa bengong, Tha? Lagi mikirin apa?” Tanya Sherly. Agni hanya menggelengkan kepalanya. “Nggak lagi mikirin apa-apa kok, Sher.” Sherly yang mendengar perkataan Agni, hanya menganggukkan kepalanya. “Ya udah, kalo gitu.” “Eh iya, Tha. Tadi pas gue sampai depan Kafe, Gue denger ada keributan ya, keributan apa?” Tanya Sherly mengalihkan pembicaraan. Agni mengangguk, “iya, tadi ada orang iseng yang bilang kalo Cake yang dia beli disini itu busuk,” ucap Agni. “Terus? Udah di laporin ke polisi?” Tanya Sherly lagi, dan d jawab dengan gelengan kepala o
Setelah mendengar apa yang dikatakan bawahannya, sudut bibir Samudera terangkat membentuk seringai tipis, “Menarik.” Hal yang membuat Jonatan—Asisten pribadi Samudera bergidik. Sebagai orang yang telah mengikuti Samudera sejak usia muda, bahkan mereka tumbuh bersama sejak kecil, Jo bisa menebak maksud dari seringai tuannya itu. Jonatan dan Samudera telah bersahabat sejak kecil, Selama beberapa generasi keluarga Jo mengabdi pada keluarga Aditama. Sampai saat inipun, Ayahnya masih menjadi penasihat hukum keluarga Aditama. Bisa dibilang Jo dan sang Ayah adalah tangan kanan dan kiri Samudera. “Jo....” Jonatan yang telah mengerti maksud Tuannya, segera meminta para Pria berbadan kekar itu untuk meninggalkan ruangan. Setelah memastikan ruangan telah kosong, Jo segera menyampaikan laporannya, “Saya telah menyelidikinya, Tuan. Wanita itu bukan berasal dari sini. Bisa dipastikan bahwa ia sengaja datang ke kota ini hanya untuk me
Malampun tiba. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit dari villa pribadi miliknya, Samudra akhirnya sampai pada kediaman kedua orang tuanya. Sebuah mansion mewah bergaya Timur Tengah menyambut kedatangannya. Kedua orang tuannya memang sangat menyukai budaya Timur Tengah. Terlihat dari eksterior rumah ini yang tiap jendela dan lorong berbentuk kubah berornamen. Juga terdapat motif berwarna pada kaca patri yang menghias bingkai jendela tersebut, semakin menambah kentalnya unsur Timur Tengah pada rumah itu. Saat keluar dari mobilnya, Samudra sedikit mengerutkan kening, ketika mendapati dua mobil yang terlihat asing baginya. Apa orang tuanya sedang kedatngan tamu, atau mobil itu adalah koleksi terbaru adik laki-lakinya? Samudra mengendikan bahu tidak peduli, kemudian melangkahkan kakinya kearah pintu utama. Dia disambut oleh kepala pelayan tua yang telah mengabdi selama puluhan tahun pada keluarga mereka. “Selamat datang Tuan muda,” uca
Suara denting sendok menjadi pengiring makan malam keluarga saat itu. Ah, bukan keluarga, karena ada orang luar yang turut bergabung. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis dalam keluarga Aditama, bahwa saat makan tidak ada yang diijinkan untuk berbicara. Karena itulah suasana sunyi yang sedikit mencekam mengiringi makan malam mereka saat ini. Bahkan si kembar Mario dan Marcelline yang biasanya banyak bicara, tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aura sang kakek benar-benar membuat mereka tercekik. Orang yang terlihat biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa adalah Samudra. Ia sudah biasa dengan acara makan ala militer seperti ini. Saat para pelayan menyingkirkan makanan berat dan diganti dengan dessert, barulah kedua remaja itu bisa menarik nafas lega. Karena itu berarti, saat ini mereka bisa berbicara sesuka hati mereka di meja makan. "Celline ingin buah, kak. Kak Sam bisa bantu kupasin?" Celline mulai menunjukkan sikap manjanya pa
“Cucuku bukan pemandu wisata!” Suara tegas dari Ratna Aditama berhasil melunturkan senyum di bibir Tasya. Suara Ratna memberikan efek yang lebih besar daripada sikap Samudra tadi, ruang makan itu mendadak hening. “Aku tidak bermaksud seperti itu, Bu,” Ucap Lautan, setelah mendapatkan kembali suaranya. Melalui matanya ia mengucapkan maaf tanpa suara pada keluarga Lorens. Ia tidak punya maksud apa-apa, hanya memenuhi keinginan putri dari sahabatnya yang ingin berkeliling bersama putranya. Namun, melihat respon sang ibu, Lautan menelan kembali semua keinginannya itu. “Kalau Sam nggak bisa, nggak apa-apa kok Om. Nanti aku minta tolong sama teman lamaku saja,” ucap Tasya. Dia masih menyunggingkan senyum, namun jauh di bawah meja, kuku jarinya tengah menekan kuat telapak tangannya. Menahan geram karena Ratna menggagalkan rencananya. “Harusnya memang seperti itu, kamu itu bukan bagian dari keluarga ini. Apa kata orang nanti, jika melihat kepala keluarga Adit
Hari masih pagi, namun Agni telah sibuk berkutat dengan tepung dan loyang. Di dapur Kafe miliknya, Agni dan buk Atik—salah satu pegawainya, tengah sibuk mempersiapkan pesanan pelanggan.Disela kesibukannya di Kafe Agni memang masih menerima pesanan kue untuk acara-acara tertentu, seperti ulang tahun atau acara resmi lainnya, dan kali inipun mereka tengah sibuk menyelesaikan pesanan pelanggan, yang harus diantarkan pukul 12.00 siang nanti.Agni dan Buk Atik yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka, dikejutkan dengan dering telepon genggam milik Agni. Terlihat nama Ibu Mawar disana. Agni sedikit mengerutkan kening, tidak biasanya guru putranya itu menghubungi Agni pada jam pelajaran seperti ini.Tidak ingin terlarut dalam rasa penasarannya, Agni segera menekan ikon hijau pada gawainya itu.“Halo selamat pagi, Bu Mawar.”“Selamat pagi, Bu Agni. Maaf mengganggu, saya ingin mengabarkan bahwa.....”Suara Mawar disebe
Saat mendekati ruang perawatan putranya, Agni mendengar suara tawa khas anak-anak. Itu suara Aska, itu suara putranya, namun dengan siapa ia tengah tertawa? Kalau dengan mbok Inem, sepertinya tidak mungkin. Putranya adalah orang yang sedikit menutup diri.Perpisahannya dengan Andi dulu, tidak hanya berdampak padanya tapi juga pada Aska. Putranya itu menjadi orang yang sedikit berbeda. Ia hanya akan tersenyum dan tertawa dengan tulus padanya, jika berhadapan dengan orang lain, termasuk mbok Inem yang merawatnya sejak bayi, atau Sherly yang menemani mereka sejak dua tahun silam, Aska akan menjadi pribadi yang tertutup dan menjaga jarak.Untuk itulah Agni sedikit mengerutkan kening saat mendengar tawa putranya itu. Tidak ingin larut dalam rasa penasaran, Agni segera mempercepat langkahnya.Saat membuka pintu ruang rawat putranya, ia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria.Jika melihat dari profil sampingnya, pria yang tengah berbicara dengan putranya itu,
Hari berlalu dengan cepat. Tak terasa lima tahun telah berlalu. Putri kecil yang dulu selalu di timang, kini beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan sangat ceria.Kepribadian kedua anak Samudera dan Agni sangat bertolak belakang. Jika Aska sang kakak bersikap dingin dan tidak banyak omong. Maka sang adik Lillian justru sebaliknya. Gadis kecil itu selalu ceria, bahkan mereka sampai menjulukinya little Sunshine.Karena dimana pun ia berada, Lillian selalu menjadi sumber keceriaan, kehangatan dan kebahagiaan.Oh, harus di garis bawahi. Lillian akan sehangat matahari kecil, bagi mereka yang bersikap baik pada keluarganya, tapi akan sebaliknya bagi mereka yang bersikap buruk apalagi yang sengaja ingin menghancurkan keluarganya.Seperti sekarang ini. Samudera yang sangat memanjakan putri kecilnya, sering membawa Lillian ke Kantor. Selain karena tidak bisa jauh dari si kecil, Samudera juga ingin memberikan waktu istirahat pada Agni. Mengingat keaktifan Lill
Samudera berlari di sepanjang koridor Rumah Sakit, dengan diikuti Jona, Rein serta Sherly. Mereka sedang rapat, saat Lautan meneleponnya mengabarkan keadaan Agni.Ternyata tanpa ia sadari, Agni sudah merasa sakit perut sejak subuh, tetapi ditahan sendiri olehnya karena tidak ingin merepotkan orang-orang. Samudera berlari sembari menyekah sudut matanya. Ia merasa menjadi suami paling bodoh yang tidak peka dengan keadaan istrinya.Saat sampai di depan ruang bersalin, Samudera langsung menghampiri Lautan. “Bagaimana keadaan Agni, Yah?”“Dia baik-baik saja, sebaiknya kamu masuk. Sejak tadi dokter terus mencarimu.”Tepat saat Lautan mengatakan hal itu, pintu ruang bersalin terbuka. “Pak Samudera?” Panggil suster.“Saya.”Suster itu tersenyum tipis. “Syukurlah Anda sudah datang. Mari ikut, Saya.”Samudera mengikuti langkah sang Suster.Sepeninggal Samudera, semua orang masih
Tempat pemakaman umum itu terlihat sepi. Ya, kalau ramai namanya pasar. Hehehe Agni dan Samudera saat ini tengah berada di makam kedua orang tua Agni serta ibunda Samudera. Diusia kandungannya yang memasuki 7 bulan, Agni memang berkeinginan untuk mengunjungi makam orang tersayang mereka. Selagi masih bisa ‘kan, karena ia yakin kedepannya pasti mereka akan lebih sibuk lagi mempersiapkan kelahiran. Apalagi nanti saat si kecil sudah lahir. Perhatian mereka pastilah untuk kedua anak mereka. Karena itulah, selagi masih ada waktu seperti sekarang. Lebih baik dimanfaatkan untuk see Hay dengan para orangtua. Agni meletakkan sebuket tulip orange di atas makam ibunya. Ia lalu bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, dan berdoa dengan khusyuk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Samudera dan Aska. “Halo Ayah, Bunda, aku kembali. Terakhir kali aku datang, dengan perasaan yang hancur. Waktu itu aku bersimpuh dan menangis sendirian di sini.” Agni menarik
Setelah mengeluarkan isi perutnya, Agni terduduk lemas di sofa ruangan Samudera. Ia sedikit mengerutkan keningnya, saat tidak sengaja menduduki sesuatu. Dan saat melihat benda itu, Agni membelalakkan matanya.“Siapa yang baru datang kemari, Kak?”“Jona, Reinhart? Hanya mereka.”Agni menggeleng. “Perempuan.”“Flora?” Samudera mengangkat sebelah alisnya.“Ck, bukan Bella??” Tuding Agni sembari melipat tangannya di depan dada.“Ada apa?” tanya Sam tanpa daya.“Jawab, kak... Apa Bella berusan kesini?”Samudera memijat pelipisnya. “Ya. Dia baru saja kemari,” jawab Sam sembari menatap Istri cantiknya. “Perusahaan mereka ingin mengajukan kerjasama. Dan dia yang di tunjuk sebagai perwakilan,” jelas Samudera.“Hmm... Pantas saja.”“Ada apa?” Samudera menghampiri Agni, lalu membawanya dalam pel
Namun, suara dari luar berhasil menghentikan aksi gila Mario. Mereka berdua sama-sama terkejut dibuatnya.“Rio!?”Sherly mengembuskan napas lega, berpikir kalau Rio akan berhenti. Nyatanya tidak. Pria itu tetap melanjutkan aksinya.“Rio!?”Barulah saat panggilan kedua, pria itu mengehentikan tindakannya. Ia lalu mengumpat pelan. Kemudian keluar dari paviliun. “Urusan kita belum selesai,” ucapnya. Lalu benar-benar keluar.Setelah bayangan Rio menghilang, kaki Sherly langsung lemas seperti jelly, ia sampai terduduk di lantai.Dia Lalu mengusap pelan dada-nya, sembari bergumam. “Selamat, selamat. Hampir aja, bibir gue nggak perawan lagi.”Dari dalam paviliun, Sherly bisa mendengar percakapan mereka. Ternyata yang memanggil Rio adalah Reinhart. Pria itu mengatakan kalau Rio tengah di cari oleh Samudera. Rio terdengar menolak, tetapi Reinhart menegaskan kalau ini penting. Dan harus sekarang.
Mobil Samudera perlahan memasuki pekarangan rumah. Setelah tadi mereka singgah di pasar tradisional untuk membeli bahan-bahan Ketam Cili pesanan Agni.Kepulangan mereka di sambut oleh Lautan dan Mayang, si kembar serta Aska, yang tengah menunggu mereka di teras.Mayang yang melihat Samudera menuntun Agni, bergegas menjemput menantunya itu. “Kalian dari mana, Sayang?” Tanya Mayang.Namun, ia langsung mendapatkan jawabannya, saat melihat Reinhart membuka bagasi dan mengeluarkan belanjaan.“Kalian ingin masak?” Tanya Mayang lagi. Dan kali ini Agni mengangguk cepat.“Iya, Ma. Kita mau masak kepiting pedas,” ucap Agni, sembari menelan ludahnya. Baru menyebut namanya saja, sudah membuatnya lapar.Tingkah Agni berhasil membuat mereka semua tertawa. Terkecuali Rio, yang justru tengah menahan geram karena melihat Reinhart memegang pinggang Sherly. Padahal kenyataannya Sherly hampir jatuh, dan Reinhart sigap menahan
BRAKKK Bunyi bantingan pintu, membuat semua orang yang tengah berada di ruang rapat Aditama Corp itu, terlonjak kaget. Bahkan Samudera yang sejak tadi memejamkan matanya, sembari mendengar laporan bawahannya pun, ikut terkejut. Saat menoleh, terlihat Reinhart berdiri dengan nafas memburu. “Tuan!!” Samudera mengangkat sebelah alisnya. Dengan masih mengatur nafasnya, Reinhart menunjuk kearah meja. Bukan, lebih tepatnya pada benda di depan Samudera. “Handphone, Anda.” “Ada apa, Rein?” Tanya Jonatan penasaran. Pasalnya, tidak biasanya sahabat somplak nya itu, mengacau seperti ini. Apalagi di tengah rapat tahunan seperti sekarang. Reinhart tidak menjawab, dia terus menatap Samudera. Sementara Samudera yang ditatap seperti itu, semakin tidak mengerti. “Ada apa?” tanya Sam. “Handphone Anda mati?” Samudera mengambil telepon genggamnya. Dan ya, seperti kata Reinhart, handphonenya memang mati. Mungkin keha
Aska, Marni, Indira serta Stave dan istrinya, terkejut mendengar ucapan Samudera.“Ayo pulang.” Samudera menggendong Aska dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain, merangkul pinggang Agni, kemudian pergi.Indira mencoba mengejar, tapi ia di halangi oleh para bodyguard Samudera. Reinhart yang baru saja tiba, menatap Indira tajam. “Ekhm... Ibu Indira, benar?” Indira mengangguk.“Oh, bagus. Ada pesan dari Tuan Aditama....” Indira memiliki firasat buruk. Dan benar saja, ucapan Reinhart berikutnya berhasil membuatnya terpaku.“Karena sekolah ini sudah lalai menjaga tuan muda kami, mulai sekarang Aditama Corp akan menghentikan pendanaan untuk sekolah ini. Dan, saya di sini juga bermaksud untuk mengurus kepindahan tuan kecil. Sekian.” Reinhart menutup laporannya dengan wajah datar.Indira pucat pasih. Ingin protes, tapi tidak bisa. Karena kalau salah bertindak, bisa-bisa perusahaan ayahnya yang menj
“Ada apa ini?” Suara berat seorang pria, membuat Indira menghentikan ucapannya. Agni dan Indira sama-sama menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri seorang pria bertubuh tambun, yang mengenakan jas biru Dongker. Wajah pria itu terlihat marah, nafasnya juga memburuh. Sepertinya pria itu baru saja berlari kemari. “Sayang....” Wanita bertubuh tambun yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba berjalan cepat kearah pria di depan pintu. “Ayah....” Anak kecil berpipi chubby yang sejak tadi diam, langsung berbinar saat melihat orang di depan pintu. “Kenapa dengan wajah mu? Kenapa merah seperti ini?” pria itu mengusap wajah istrinya. Wanita bergaun merah tadi, langsung menunjuk Agni. “Karna dia! Dia yang membuat aku seperti ini... Padahal yang salah itu putranya dan aku hanya menegur, tetapi dia langsung marah dan menamparku.” “Benar Ayah! Semua ini perbuatan Tante itu.” Bocah chubby itu ikut memprovokasi. Indira yang melihat