Pertama kalinya, Aisyah masuk di rumah ini. Rumah besar namun terasa sangat sunyi. Setahun bertetangga dengan Mira, Aisyah hanya banyak ngobrol di halaman dan sesekali masak bersama, di rumah mereka.
“Kak Mira mau cerita yang sebenarnya, supaya kamu dengan Rumi bisa tahu kehidupan Kakak yang sebenarnya.”
“Iya Kak, saya siap menjadi pendengar,” jawab Aisyah, sangat bersemangat. “Kak Mira sudah resmi berpisah empat bulan yang lalu Dik, setelah pisah rumah selama setahun.”
“Berpisah? Bukannya Kak Mira dan mas Bambang sudah menikah sepuluh tahun, kenapa bisa sampai pisah Kak?” tanya Aisyah, terkejut.
“Ceritanya panjang Dik. Kalau Aisyah mau dengar, Kak Mira akan cerita.”
“Iya Kak. Saya bahagia sekali, jika Kak Mira mau berbagi. Pasti jadi pelajaran berharga untukku, Kak.”
Mira lantas memulai ceritanya. Persoalan rumah tangganya, campur tangan orang tua suaminya, adalah kenyataan terpahit yang membuat pernikahan mereka berakhir.
“Kami menikah hampir sebelas tahun. Selama itu, keluarga kami sangat hangat dan bahagia. Dia suami yang luar biasa dan sangat menyayangiku sebagai istrinya. Tidak ada masalah yang tidak bisa kami bicarakan, semuanya bisa kami lalui dengan baik.
“Kami menikah saat usia kami masih terbilang muda. Usiaku dua puluh dua tahun sedangkan dia dua puluh lima tahun. Waktu terasa singkat selama sepuluh tahun ini. Keluarganya, pun, sangat menghargaiku, dan memperlakukanku seperti anaknya sendiri.”
Mira menghela napas. Tampak bulir-bulir bening, mulai hadir di ujung matanya.
“Tetapi, benarlah bahwa kehidupan tak ada yang sempurna. Memasuki tahun sepuluh pernikahan, kami belum diberi keturunan. Walaupun selama ini, hal itu tidak menjadi persoalan bagi Mas Bambang, tetapi aku sadar, bahwa suami dan orang tua, sangat mengharapkan kehadiran keturunan.”
“Aku merasa sangat bersalah dengan keadaan ini. Aku berpikir, saatnya kami memperioritaskan tentang keturunan. Akhirnya, aku mengajak Mas Bambang ke dokter dan memulai program kehamilan.
“Hal ini ternyata juga mulai mengusik pikiran mertuaku. Mereka mulai bertanya, mengapa kami belum memiliki keturunan. Saat itu, di akhir pekan, kami berkunjung ke rumah mertua. Ternyata, itu menjadi pertemuan terakhir Kak Mira dengan mertua.”
“Terakhir?” Aisyah tersentak.
“Iya. Karena setelah itu, keadaan keluarga kami sangat terguncang. Di pertemuan itu, mertua mulai menunjukkan rasa kecewa dan lelahnya menunggu cucu dari kami.”
“Mira, Bambang. Ayah dan Ibu mau bertanya ke kalian berdua,” ucap Ayah saat itu.
“Iya Yah, silakan,” jawab Mas Bambang.
“Kalian kan sudah menikah sepuluh tahun. Ayah dan Ibu mau tahu, apa memang kalian belum memprogramkan keturunan? Karena Ayah dan Ibu, sudah rindu memiliki cucu.”
“Kami selalu berusaha kok, Yah. Cuma mungkin Tuhan belum mempercayai kami untuk memiliki anak.”
“Tujuan kalian menikah kan, untuk memiliki keturunan?”
“Mas Bambang tidak memiliki keberanian di depan Ayahnya. Mas Bambang hanya diam, merasa serba salah menjawab pertanyaan Ayah.”
“Jangan-jangan istri kamu mandul Bambang?” lanjut Ayah.
“Aku kaget mendengar tuduhan Ayah mertuaku. Mengapa dia seakan-akan menuduhku menjadi penyebab kami belum diberi keturunan?”
“Ayah, jangan menuduh Mira seperti itu. Bisa saja Bambang yang tidak bisa memiliki keturunan.”
“Mas Bambang pun angkat bicara, membelaku dari tuduhan Ayahnya.”
“Kalau kamu yang mandul itu tidak mungkin, karena keluarga kita tidak punya riwayat seperti itu. Tidak seperti keluarga Mira! Keluarganya kan, ada yang tidak bisa memiliki anak? Jadi bisa saja Mira juga mandul!”
“Ayah tidak boleh menyimpulkan seperti itu kalau belum ada bukti. Ayah tidak sadar, Ayah menyakiti hati Mira jika Ayah terus menuduhnya seperti itu.”
“Aku merasa sangat tersudut dengan kata-kata Ayah. Kenapa bisa, dia seakan sangat tahu keadaanku, menuduhku mandul. Aku sungguh tidak menyangka pernikahan kami yang telah kami jaga selama sepuluh tahun, benar-benar terguncang di hari itu.”
“Bambang, bagaimana kalau Ayah mencarikan kamu wanita yang bisa memberikanmu keturunan. Kan pilihan kamu, Mira, ternyata tidak bisa memberikan keturunan?”
“Ayah, kenapa bicara seperti itu? Tuduhan Ayah itu belum terbukti, kenapa sekarang justru menambah masalah baru? Bambang tidak setuju dengan pikiran Ayah!”
“Sungguh, aku terkejut dengan ucapan Ayah mertuaku. Mengapa dia sampai berpikiran seperti itu? Dia seperti menganggapku tidak punya telinga mendengar ucapannya. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Ayah seperti itu.”
“Bambang, kamu tidak boleh berbicara seperti itu dengan Ayahmu. Kamu tidak tahu bagaimana Ayah dan Ibu menghadapi ucapan-ucapan rekan-rekan kerja. Mereka menertawai Ayah yang memiliki menantu yang tidak bisa memberikan keturunan. Masa kamu tega membuat Ayah dan Ibu menjadi bahan tertawaan,” ujar Ibu.
“Mas Bambang hanya diam mendengar ucapan Ibu. Mas Bambang memang sangat dekat dengan Ibunya. Dia tidak pernah bisa menentang apa yang dikatakan oleh Ibunya.”
“Aku tidak percaya dengan kejadian itu. Mengapa pernikahan kami terguncang dengan sangat keras seperti ini, saat kami masih menikmati hari-hari yang penuh kehangatan.”
“Begini saja, karena dulu kamu memaksakan kehendak, memilih istri pilihanmu sendiri, berarti kamu tidak boleh menolak kali ini. Ayah akan menyiapkan seseorang yang lebih bisa memberimu keturunan.”
“Baiklah Yah, tetapi Bambang punya satu permintaan. Saya dan Mira mau check up dulu ke dokter.”
“Berarti kalian harus siap dengan keputusan Ayah. Untuk Mira, Ayah mohon maaf, karena ini untuk kelangsungan keluarga kami. Kami dari keluarga besar. Apabila Bambang tidak memiliki keturunan, Ayah dan Ibu akan sangat dipermalukan.”
“Iya Ayah, Mira paham dan siap dengan semua keputusan Ayah, demi kebahagiaan keluarga ini.”
“Aku menghela napas panjang, aku tidak punya kekuatan apa-apa. Jangankan untuk membantah, Mas Bambang saja tidak mampu menghadapi keluarganya sendiri.
“Setelah pertemuan itu Dik, Mas Bambang berusaha menyakinkanku, agar bisa memahami sikap orang tuanya. Tetapi dia lupa, aku wanita, yang juga punya hati dan harga diri.”
Jeda.
Mira menghela napas.
“Ya, akhirnya semuanya terjadi. Kak Mira, benar-benar menghadapi ujian besar pernikahan. Permintaan mertuaku, semakin mengusik ketenangan keluarga kami.”
“Dik Mira, Mas minta maaf. Mas tidak bisa melakukan apa-apa menghadapi sikap Ayah dan Ibu. Semoga hasil pemeriksaan kita nanti hasilnya baik, sehingga apa yang direncanakan Ayah tidak terjadi.”
“Aku juga tidak berbuat apa-apa Mas. Aku hanya seorang istri, yang hanya bisa ikut, ke mana suami membawa perahu pernikahan ini. Tetapi, Mas Bambang harus ingat perjanjian kita di awal pernikahan.”
“Janji apa Dik?”
“Kita pernah membuat perjanjian, bahwa Mira tidak menerima poligami. Apabila itu terjadi, maka secara otomatis pernikahan kita berakhir.”
“Mas harus melepaskan Dik Mira? Pernikahan kita sudah sepuluh tahun Dik. Mana mungkin Mas merelakan pernikahan ini berakhir. Mas masih sangat menyayangi Dik Mira.”
“Kalau Mas tidak ingin melepaskan Mira, berarti Mas rela melihat Mira tersiksa, melihat Mas Bambang dengan wanita lain?”
“Bukan begitu maksud Mas, Dik.”
“Jika Mas masih menginginkan pernikahan kita ini, masih menyayangi Mira, kenapa Mas tidak bisa menjaga Mira dari semua tuduhan Ayah dan Ibu?”
“Dik, Mas berharap, Dik Mira bisa mengerti posisi Mas. Mas sudah pernah membantah Ayah dan Ibu saat memilih Mira menjadi istri. Mas Bambang untuk sekarang, tidak mungkin melawan Ayah dan Ibu lagi.”
“Kalau memang begitu, kita tidak usah ke dokter, Mas. Aku sudah menerima keputusan Mas Bambang. Mira sangat mengerti, keinginan Ayah dan Ibu. Sebagai anak, seharusnya Mas, memang mendengarkan orang tua. Sejak awal, Mas memang sudah membuat kesalahan dengan memilihku!”
“Aku kecewa dengan sosok yang berada didepanku saat itu. Dia tak lagi sama dengan yang aku lihat selama sepuluh tahun ini. Dia berubah. Benarkah cintanya hanya berbatas pada angka sepuluh tahun?”
“Dik, jangan bicara seperti itu. Pemeriksaan kita, setidaknya bisa membuat Ayah dan Ibu mengubah keputusannya.”
“Jadi kalau terbukti aku yang tidak bisa memberikan keturunan, berarti Mas Bambang akan meninggalkan Mira? Begitu ya Mas?”
“Tidak seperti itu. Mas sangat mencintai Dik Mira.”
“Kata cinta itu sebuah pembuktian Mas, bukan cuma susunan huruf yang terucap manis di bibir.”
“Aku sadar, aku hanya wanita yang bisa diperlakukan seenaknya, selalu disudutkan menjadi tersangka atas setiap masalah yang terjadi. Aku akhirnya mengerti, inilah laki-laki yang selama sepuluh tahun bersamaku. “
“Tetapi maaf, aku masih memiliki harga diri dan aku yakin Mas Bambang akan sangat menyesal memperlakukanku seperti itu. Memang benar kebersamaan ini hanya berusia sepuluh tahun.”
Kembali, jeda.
Aisyah benar-benar serius. Dia sama sekali tidak bergeser dari tempat duduknya.
“Kak Mira lanjutkan, ya.”
Aisyah hanya mengangguk. Matanya menyiratkan perasaan duka, atas semua kisah Mira.
“Lagi, pembicaraan tentang keturunan terus berlanjut.”
“Jadi kapan, kita ke dokter Dik?”
“Kita tidak usah ke dokter Mas. Kita anggap saja apa yang dipikirkan oleh Ayah dan Ibu itu benar. Aku yang tidak bisa memberikan keturunan, jadi silakan, Mas ikuti permintaan Ayah dan Ibu.”
“Aku sudah memutuskan berpisah dengan Mas Bambang. Mungkin, aku dianggap terburu-buru mengambil keputusan. Tetapi, aku masihlah seorang wanita. Hanya harga diri yang kupunya saat itu. Kuikhlaskan menjadi janda!
“Aku tak sanggup mendengar kata-kata mertuaku, yang ternyata, tidak pernah menyukaiku. Mereka selama ini, hanya menunggu dan mencari alasan, sehingga bisa memisahkanku kami. Sikap Mas Bambang yang hanya menuruti kata-kata orang tuanya, membuatku semakin yakin, cepat atau lambat, pernikahan kami akan berakhir.
“Mas Bambang dulu menikahiku dengan perjuangan yang sangat berat. Saat orang tuanya tidak merestui hubungan kami, dia berjuang keras meyakinkan keluarganya bahwa aku adalah pilihan terbaik untuknya. Melihat perjuangannya meyakinkan orang tuanya menerimaku, aku menjadi yakin bahwa aku tidak salah memilihnya.
“Tetapi entahlah apakah memang cinta itu punya batas waktu. Dulu impian pernikahan yang bahagia sampai akhir usia, selalu kuhadirkan dalam hatiku. Tetapi semuanya kini berakhir sudah. Apakah memang semuanya harus berakhir? Inilah takdirku.”
“Tidak mudah menjadi seorang janda, kalimat-kalimat yang sangat tidak nyaman di telinga. Aku memang tidak bisa memaksa dunia diam dengan keadaanku sekarang. Tetapi setidaknya aku sudah bisa merangkai hidupku kembali. Karena aku tak akan pernah bisa bahagia, kalau aku hidup hanya untuk memenuhi apa yang orang lain inginkan.
“Tidak lama setelah aku memutuskan berpisah dengan Mas Bambang, aku dengar dia telah menikah. Impian orang tuanya untuk menikahkan Mas Bambang dengan pilihan mereka, akhirnya kesampaian juga, walaupun harus menunggu sepuluh tahun lamanya.
“Kak Mira bahagia, sangat bahagia. Setidaknya rasa sakit itu hadir, sebelum melihat Mas Bambang menikah dengan orang lain. Karena Kak Mira tidak bisa membayangkan, apabila harus melihat suami sendiri bersanding dengan wanita lain, sungguh tak sanggup.
“Ketika dia tidak bisa menjadikanku satu-satunya dalam hatinya, berarti aku bukan pilihan tepat buatnya. Harapan semoga Mas Bambang bahagia dan bisa memenuhi impian orang tuanya terukir dariku. Walaupun pahit tetapi semuanya pernah indah buat Kak Mira.
“Saat ini aku sangat bersyukur, walaupun hidupku tak semudah yang kubayangkan. Setidaknya aku bisa berjalan tanpa rasa sakit yang menyesakkan dada.”
“Kak Mira, maaf Aisyah kebelet ke belakang dulu. Maaf ceritanya di tahan dulu, ya Kak,” sela Aisyah.
Tanpa menunggu jawaban, Aisyah berlari menuju ke rumah mencari toilet. Aisyah sempat berpikir kembali, kok aku enggak cari toilet di rumah kak Mira saja. Ehm, gara-gara kurang tidur aku jadi tidak fokus.
Setelah berlalu beberapa menit, Aisyah kembali ke rumah Mira. Dia masih antusias dan penasaran dengan perjalanan hidup Mira. “Aku sudah selesai Kak. Kak Mira boleh lanjut ceritanya.” “Tetapi Aisyah masih ingat kan, tadi ceritanya sampai di mana?” tanya Mira, meyakinkan bahwa Aisyah menyimak . “Hehe, iya dong Kak.” Mira pun melanjutkan ceritanya. Entah bagaimana Aisyah menjabarkan perasaannya, dengan semua apa yang telah diceritakan Mira. Perjalanan yang begitu tragis, kebahagiaan yang selama ini ternyata hanya terlihat dari luar, namun setelah menyelam ke dalam, ternyata ada hati yang hancur. “Tak terasa hampir setahun sudah aku berpisah dengan Mas Bambang. Aku tak pernah lagi mendengar berita tentangnya. Mungkin dia sudah bahagia sekarang, pikirku. Namun aku terkejut, saat melihat seorang pria yang sangat kukenal, berdiri tepat dihadapanku saat aku membuka pintu rumah, beberapa bulan yang lalu.” “Dik Mira, apa kabar?” “Aku baik. Mas Bamb
Beberapa detik tidak fokus, Aisyah akhirnya mengingat bahwa dia membutuhkan kalkulator untuk menyelesaikan tugas dari kampus. Dia pun ke kamar Rumi mengambil kalkulator. Ya Allah, kakakku bahkan tidak sempat lagi merapikan tempat tidurnya. Aisyah lantas merapikan dan membersihkan kamar Rumi. Tampak dokumen masih berserakan di atas meja. Pasti kak Rumi begadang lagi semalam. Pantas hari ini buru-buru banget ke kantor. Aisyah kemudian membersihkan tempat tidur dan tidak sengaja dia menemukan sebuah buku bersampul merah bertulisan ‘Goresanku’. Apakah aku boleh membukanya? Nanti kak Rumi marah? Ah nanti dia enggak bakalan tahu. Aku buka saja. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku tahu tentang kak Rumi. Dia membuka pelahan, halaman demi halaman. Sampai dia tiba pada halaman yang bertanda khusus, Destiny. 11 Januari 2014 Hari itu tak akan pernah kulupakan, hari itu sebenarnya sangat aku tunggu. Seseorang yang sangat aku kagumi, sangat aku impikan, akan berbicara serius tentang hubu
Semoga rasa sakitnya kemarin menjadi pengalaman berharga membuatnya semakin menjadi wanita yang kuat dan lebih berhati-hati, harap Aisyah.Beberapa jam kemudian, akhirnya semua berkas yang Aisyah butuhkan untuk ujian sidang telah lengkap.Sekarang aku fokus ke persiapan fisik dan paling utama mental. Semoga aku bisa memberikan kebanggaan untuk orang tuaku ya Allah dan teruntuk kakakku Rumi. Dia telah melalui berbagai banyak kesulitan hidup demiku ya Allah. Semoga kebahagiaan selalu untuknya.Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, saat Aisyah tiba di rumah. Dia kaget melihat kakaknya sudah ada di rumah. Tidak biasanya dia pulang secepat ini.“Kak Rumi, kok tumben banget pulang jam segini?” tanya Aisyah. “Kak Rumi agak kurang sehat, Syah.”“Kak Rumi sakit apa?” tanya Aisyah, panik. Karena Rumi tidak pernah sakit, fisiknya sangat kuat.“Hanya kelelahan saja
“Selamat Pagi, PT. Sky Building,” jawab seorang wanita di balik telepon. “Selamat Pagi Mbak,” jawab Putri.“Ya Mbak, ada yang bisa kami bantu?”“Mbak mohon informasinya, apa Pak Fikri masih tugas di kantor PT Sky Building?”“Maaf, kalau boleh tahu kami berbicara dengan siapa?”“Oh iya, saya Putri salah satu rekan bisnis Pak Fikri. Saya tertarik bekerja sama dengan beliau kembali, namun kontaknya tidak bisa saya hubungi.”“Baik Mbak Putri. Pak Fikri sekarang sudah di kantor Pusat kami, jadi tidak di kantor ini lagi.”“Apa saya bisa minta kontak beliau?”“Kami hanya bisa memberi kontak perusahaan saja ya Mbak. Karena kami dilarang membagi kontak pribadi staf kami.”“Baik, enggak masalah Mbak. Nomor kontak perusahaan saja.”“Oke Mbak berikut nomor kontaknya 5236985.”&l
Aisyah dan Putri menuju meja makan dan segera menyantap makanan yang telah disediakan Rumi. Mereka berdua memang sangat kelaparan, saking terburu-burunya ke kantor Fikri. Mereka tidak sempat memikirkan untuk makan siang.“Syah, jadwal wisudanya sudah ada belum?”tanya Rumi. “Sudah Kak, insyaaAllah awal bulan depan.”“Iya harus jelas, karena ibu dan ayah perlu datang, kan? Jadi bisa diatur waktunya, sehingga ayah dan ibu bisa hadir.”“Iya Kak, insyaaAllah itu sudah fix jadwalnya.”“Jadi Syah, apa rencanamu setelah ini?” tanya Putri. “Aku magang di tempatnya kak Rumi, sambil menunggu ijazah. Iya kan Kak?”“Iya,” jawab Rumi. “Andai aku juga kelar ya, aku juga bisa kerja di tempatnya Kak Rumi,” sambung Putri.“Ehm, yang ada kalian buat kerjaan Kak
Ternyata sekian tahun, Kak Mira hidup sendiri, betapa sunyinya rumah ini, gumam Abduh setibanya di kamar. Dia lantas meletakkan barang-barangnya di kamar, yang akan menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Setelah melaksanakan salat, dia menuju meja makan. Mira telah menunggunya “Abe?” panggil Mira, saat Abduh telah duduk di meja makan, tepat di depannya. “Iya Kak. Kak Mira masih ingat saja panggilan kecilku,” jawab Abduh dengan senyuman manis, ditambah lesung pipinya yang menawan. “Iya dong. Mulai hari ini, Kak Mira panggil kamu Abe ya?” “Siap, Kak.” “Ayo kita makan dulu, kamu pasti lapar.” “Iya Kak. Apalagi masakan Kak Mira sangat enak, persis masakan ibu.” “Iya dong, anak ibu.” “Iya, deh.” Abe tersenyum lebar menanggapi ucapan Mira. Dia pun menyantap makan siang yang telah tersedia di depannya. “Dik, kamu besok sudah ada jadwal ke kampus kan?” “Iya Kak
Tiba di rumah, tepat azan magrib berkumandang.Suara azan begitu terdengar jelas di rumah Putri. Putri bersegera menunaikan salat magrib. Ada yang berbeda sore ini, ada sesuatu yang menarik Putri untuk melaksanakan salat di masjid, tidak seperti biasanya. Tiba-tiba ada kerinduan yang sangat untuk bertamu ke rumah Allah. Sesuatu yang telah berpuluh tahun dia tinggalkan.“Pa, ada apa dengan Putri?” tanya Fitri, ibunda Putri.“Kita harus bersyukur, Ma. Putri kini jauh berubah. Alhamdulillah, semoga inilah petanda, putri kita akan semakin dekat dengan Tuhannya.”Ayah dan ibu Putri, tercengang dengan perubahan sikap sang anak. Setelah perpisahan dengan Andi, hidayah seakan memeluknya erat.Sejak Putri keluar dari rumah sakit, ayah dan ibunya juga sudah mulai mengurangi aktivitas di luar rumah. Mereka sepakat untuk memberikan waktu lebih untuk putri mereka s
Berselang beberapa menit, Aisyah muncul dari dalam rumah. “Kak Mira sudah ada? Aku pikirnya tadi Kak Mira masih lama, jadinya Aisyah hanya menunggu di dalam.” “Iya Syah. Ini Abduh juga sudah siap. Enggak apa-apa, Abduh yang bawa mobil?” “Oh iya, Kak,” jawab Aisyah dengan senyuman tulus. “Oh ya, aku belum kenalin kalian berdua ya. Syah ini Abduh, adik Kak Mira.” “Salam kenal Abduh,” “Salam kenal, kak Aisyah,” sahut Abduh. “Aku serasa tua banget ya dipanggil Kakak, haha.” Aisyah tertawa lebar mendengar Abduh memanggilnya dengan sebutan Kakak. “Kan kamu memang lebih tua Syah.” “Tetapi kan, enggak tua-tua amat Kak Mira. Panggil Aisyah saja ya, aku enggak enak dipanggil Kakak.” “Baiklah. Dengar ya Be, kamu jangan manggil Kakak, kalau dia ngamuk bahaya lho,” canda Mira yang disertai tawa, yang membuat wajah Aisyah berubah cemberut.
Aisyah terus berjalan sambil menoleh, ke beberapa ruangan yang dilaluinya. Kemudian langkahnya akhirnya terhenti, di depan ruangan yang tertutup.“Kamar Abduh,” ucap Mira ke Putri. “Apa yang mau dia lakukan, Kak?” bisik Putri. Dia merasa khawatir.Mira hanya memberikan isyarat, untuk Putri tetap tenang. Mira yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Aisyah.Kamar Abduh, pikir Aisyah. Kamarnya tidak terkunci. Aku minta maaf ya Abduh, langsung masuk kamar kamu, tanpa permisi.Memasuki kamar Abduh, ada rasa berbeda hadir dalam relung hati Aisyah. Saat dia menoleh ke dinding kamar, air matanya mengalir, melihat foto-fotonya bersama Abduh.Ya Allah, kenapa foto-fotoku ada di kamar ini? Fotoku bersama Abduh, ya Allah, lengkap dengan tanggal diambilnya foto ini. Satu tahun ini, terlalu banyak hal yang kuhabiskan bersamamu, Abduh. Maafkan aku. Aku tidak sadar, akan cinta dan kasih sayangmu.
Vas itu, mendarat mulus mengenai kepala Abduh. “Ada apa ini?” Rumi tiba, bersama Adam. “Kak Rumi, kenapa Abduh jadi kurang ajar seperti ini? Dia masuk ke dalam kamarku, dan memelukku, dalam keadaan hanya memakai handuk. Ya Allah, kenapa kamu jadi murahan seperti ini Abduh?” “Ya Allah, Abduh, kepalamu berdarah. Mas, minta tolong bawa Abduh dulu ya.” Adam langsung membawa Abduh, dengan kepala yang mengeluarkan darah, setelah vas bunga yang dilemparkan Aisyah, mendarat mulus di pelipisnya. Adam lantas memapah Abduh keluar dari kamar Aisyah. “Kak Rumi, kenapa lebih memperhatikan Abduh? Kak Rum, aku adikmu! Dia sudah melecehkanku, Kak! Harga diriku sudah hancur! Kenapa dia seenaknya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarku? Ya Allah semuanya hancur, harga diriku hancur, tidak ada lagi yang tersisa!” “Adikku, ada hal yang perlu kami jelaskan,” jelas Rumi, lembut. “Apa lagi Kak Rumi? Bukannya mengecam Abduh, K
Untuk pertama kalinya, Abduh masuk ke dalam kamar Aisyah. Kamar yang sangat nyaman. Di meja belajar Aisyah, terlihat fotonya bersama Rayhan. Senyuman Aisyah, begitu sempurna di samping mendiang suaminya. Cintanya yang begitu besar, terlihat nyata, melalui pancaran cahaya di mata dan senyumannya. Bagaimana bisa aku bisa menjadi cintanya, Ya Allah. Apakah ini tidak akan semakin menyakitinya? Abduh tidak bisa menahan kesedihannya, air mata itu kembali membasahi pipinya. Dia merasakan duka yang sangat. Dia begitu takut menghadapi kenyataan, jika nanti, Aisyah tahu dan membencinya. Setelah beberapa saat berdiri kaku, memerhatikan foto Aisyah dan Rayhan, Aisyah terbangun dari tidurnya. Aisyah merasakan kehadiran Abduh. “Mas Rayhan, dari mana saja? Aisyah kesepian di kamar sendiri. Kak Rumi juga melarang Aisyah ke mana-mana,” ucap Aisyah, manja. Betapa sakitnya hati ini ya Allah. Istr
Putri dan Mira kembali saling bertatapan. Aisyah menyangka Abduh adalah Rayhan, suaminya. “Mas Raihan kok di situ, sudah enggak sayang lagi, dengan Aisyah?” sambung Aisyah. “Kak, bagaimana?” bisik Abduh ke Mira. “Enggak apa-apa Dik, niatkan hanya untuk memulihkan kondisi Aisyah, kamu mendekat ke sana,” perintah Mira, Abduh mendekat ke Aisyah, walaupun hatinya merasa sangat bersalah. Takut, jika tindakannya, akan semakin membuat Aisyah, terluka. Dalam diam, dia masih menaruh cinta yang besar pada Aisyah, yang semakin hari justru semakin tumbuh. Walaupun begitu, dia juga sangat berduka dengan kematian Rayhan. “Mas, Aisyah kangen banget. Kenapa Mas Rayhan tega meninggalkan Aisyah?” Tiba-tiba, Aisyah memeluk Abduh. “Kak, bagaimana?” Putri ikut panik dengan sikap Aisyah, pada Abduh. “Enggak masalah Put, nantilah kita bicarakan kembali. Setidaknya, kita memberikan sedikit kebahagiaan untuk Aisyah. Agar dia kembali punya harapan,” ucap Mira.
Hari-hari pun, dilalui dengan langkah berat, oleh Aisyah. Dia lupa caranya tertawa. Hanya air matanya, yang kini menjadi saksi, setiap detik yang dia lalui, menyaksikan suaminya, merasakan kesakitan yang sangat. Setiap hari, dia bolak balik ke rumah sakit, untuk menjaga dan mengurus Rayhan. Dia terus berupaya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, kepada seseorang yang selalu menghadirkan tawa untuknya. Rumi, Putri dan Mira, bahkan kehilangan kalimat, untuk terus menguatkan Aisyah. Mereka begitu paham, kondisi hati Aisyah saat ini, mereka tidak banyak bicara. Mereka hanya terus hadir, berharap itu akan menjadi kekuatan untuk Aisyah, terus berjuang demi kesembuhan Rayhan. Namun, dua pekan berlalu, Rayhan belum juga membaik. Belum selesai, beban Putri dengan kondisi Aisyah, sebuah kejutan kembali hadir, menemuinya, siang ini. Dia mendapat pesan, lagi-lagi dari Dinda. Di
Betapa bahagianya hatiku ya Allah. Aku bisa mengantarkan kakakku tersayang ke jenjang pernikahan. Aku tak lagi khawatir, dia sendiri dan kesepian. InsyaaAllah, ini jalan terbaik untuk kami. Amin. “Jadi, Kakak sudah kabari ayah dan ibu?” “Besok, Kakak rencana memberi kabar.” “Aisyah siap, jadi apa pun, di acara pernikahan Kakak nanti.” “Kok jadi apa pun, ya tetap jadi adik Kakak, dong. Cukup mendampingi Kakaknya.” Aisyah kembali memeluk Rumi. Ada bahagia, namun, juga ada sedikit rasa kehilangan. Dia mungkin akan kehilangan kakaknya setelah menikah. Tetapi, dia sadar tak mungkin menjaga egonya, tanpa memikirkan kebahagiaan kakak, yang sangat menyayanginya. “Aisyah sangat bahagia, Kak. Ini impian Aisyah, bisa mendampingi Kak Rumi bertemu dengan seseorang, yang akan menjaga Kak Rumi, selamanya.” “Terima kasih, ya, Adikku.” Beberapa menit berlalu, Aisyah kembali ke kamar. Kekasih hatinya se
Suasana kantor kini sangat berbeda bagi Aisyah, setelah Rayhan kembali bekerja. Dia berada di kantor yang sama dengan kakaknya, pun dengan suaminya. Kadang terdengar suara teman-teman kantornya bercanda, “Ini sudah jadi kantor keluarga kamu, ya, Syah?” Hening. Walaupun hanya candaan, tetapi Aisyah merasa terganggu dengan ucapan-ucapan tersebut. Akhirnya, niatnya yang telah dia pikirkan beberapa hari ini, dia sampaikan ke suaminya. “Mas, bagaimana kalau Aisyah, pindah kerja saja?” “Lho, kok mau pindah kerja?” “Aku enggak nyaman, Mas. Sekantor sama suami sendiri, aku risih jadinya.” “Kok, begitu sih, Sayang? Kan kalau sekantor dengan suami sendiri, kamu bisa melepaskan rindu setiap saat.” “Mas, aku serius! Tolong deh, jangan selalu bercanda.” “Siapa yang bercanda, Sayang. Mas serius. Kenapa kamu risih, apa ada orang yang menyakiti kamu di kantor?”
Kembali ke rumah sakit, Rayhan masih dirawat. Tampak Aisyah, sangat semangat mengurusi kebutuhan suaminya. Terlihat kasih sayang dan ketulusannya, yang begitu besar pada Raihan. Di tengah kesibukannya merapikan pakaian Rayhan, ada panggilan telepon dari kakaknya, Rumi. “Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam, iya Kak?” “Bagaimana kabar Rayhan, Syah?” “Alhamdulillah kata dokter, besok sudah bisa pulang, Kak.” “Alhamdullilah. Kak Rumi sangat bahagia mendengarnya. Jadi kalian pulang ke mana?” “Mas Rayhan setuju, untuk sementara ke rumah Kakak? Boleh kan, Kak?” “Apa enggak masalah, Syah?” “Tidak dong, Kak. Kan, Aisyah sudah berdiskusi dengan Mas Rayhan. Mas Rayhan juga mengerti, Aisyah belum bisa jauh dari Kak Rumi.” “Kalau Kak Rumi sih, enggak masalah.” “Terima kasih, Kak.” “Kok malah terima kasih, Kakak kan, masih Kakak kamu, Syah. Sudah tugas Kakak
Tanpa disadari Aisyah, perasaan yang sama, juga berselimut dalam hati semua orang-orang, yang sangat menyayanginya. Namun, semuanya berusaha, memahami keputusan Aisyah. Semuanya menampakkan kebahagiaan, untuk menguatkan Aisyah. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar perawatan Rayhan. Rayhan masih terbaring sangat lemah. Namun penampillannya sangat istimewa. Dia tampil menggunakan kemeja putih dilengkapi dengan jas hitam. Ketampanannya menyeruak, walaupun wajahnya sangat pucat. Ya Allah, betapa pria ini sangat sempurna, Engkau kirimkan untukku. Ya Allah, semoga ini awal kebahagiaan kami. Aisyah begitu terpana, melihat sosok pria yang dicintainya, terlihat sangat sempurna pagi ini. Semua telah hadir, orang tua Rayhan, seorang pejabat KUA dan saksi dari keluarga Rayhan. “Alhamdulillah semuanya telah berkumpul. Baiklah kita segerakan saja akad nikahnya,” ujar Rumi, memulai.