Share

Bab 4

Author: Jane Lestari
last update Last Updated: 2022-12-28 19:06:47

“Aku senang bisa berbuat lebih untuk kamu, Put. Kita kan sahabat, sudah selayaknya selalu saling mendukung.”

Aisyah memberi pelukan penuh kasih sayang. Putri yang selalu dimanja, terbiasa bebas, akhirnya tiba pada masa, di mana kedewasaannya diuji. Setelah beberapa hari di rawat, akhirnya Putri diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dengan sisa kekuatan dan ketegaran, dia mencoba melangkah. Aisyah turut mengantarnya pulang, bersama ayah dan ibunda Putri.

Namun, tiba di rumah, sosok yang paling tidak diinginkan Putri, berdiri tepat di depan gerbang rumahnya. Tanpa kata, Putri langsung turun dan menemui Andi.

“Putri, kamu hati-hati. Kamu belum sepenuhnya pulih,” ucap Aisyah, sambil memegang tubuh Putri, yang masih lemah.

“Untuk apa kamu kesini?!” tanya Putri, sangat emosi.

“Aku datang menjengukmu, Sayang. Aku dengar kamu masuk rumah sakit. Terus mengapa kamu membatalkan pernikahan kita? Aku perlu tahu alasannya. Aku sangat mencintaimu.”

Wajah Andi yang penuh drama, semakin membuat amarah Putri tersulut.

“Laki-laki berengsek!!!” Putri melemparkan sepatu yang dikenakannya, ke arah Andi.

“Ada apa ini, kamu kenapa?” tanya Andi, sambil menghindar dari lemparan sepatu Putri. Ternyata Andi belum mengetahui pertemuan Putri dan Rosa. Aisyah tak sempat berkata-kata, karena Putri tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.

“Kamu pergi sekarang, sekarang!!!” teriak Putri. “Oke, aku pergi sekarang. Nanti aku datang lagi kalau kamu sudah tenang ya.”

“Pergi!!! Aku tidak mau melihat muka brengsek-mu lagi!”

Andi pun berlari kecil, menuju mobilnya dan seketika meninggalkan rumah Putri.   Tangis Putri pecah. Dia benar-benar menyesali seluruh perjalanannya.

“Putri, kamu tenang ya. Kamu baru pulih lho, belum sepenuhnya sehat. Kalau kamu begini, nanti kamu malah tambah sakit.”

Aisyah membantu Putri menuju kamarnya.

“Putri, kamu sudah di rumah sekarang. Jadi aku mohon, jangan lakukan hal-hal yang merugikan dirimu sendiri.”

“Terima kasih ya. Aku tadi, tak mampu mengendalikan emosi. Aku tak mampu lagi melihat wajah laki-laki berengsek itu!”

Putri menghela napas, menenangkan sesak di hatinya, yang tak kunjung bersahabat.

“Sabar Put ya. InsyaaAllah, setelah ini keadaanmu akan lebih baik. Kamu istirahat ya, aku balik dulu.”

“Salam aku untuk Kak Rumi ya.”

“Oke, kamu istirahat.”

Aisyah pun meninggalkan kamar Putri.

“Tante, Om, Aisyah pamit,” tutur Aisyah, pada orang tua Putri. “Terima kasih ya Aisyah, sudah banyak membantu Putri.”

“Sama-sama Om. Kami sudah lama bersahabat, jadi sudah seharusnya saya selalu ada untuk Putri.”

“Aisyah hati-hati ya.”

“Terima kasih om.”

Aisyah meninggalkan rumah Putri, mengggunakan taksi. Ya, beberapa hari ini dia sangat lelah. Belum tuntas persiapan ujian sidangnya, energinya terkuras, mengurusi Putri di rumah sakit.

Ya Allah semoga lelahku ini, menjadi berkah buatku dan keluargaku, Aamiin Allahumma Aamiin.

Beberapa hari menghabiskan waktu menemani Putri di rumah sakit, lelah itu baru terasa sangat. Tiba di rumah, dia langsung berbaring di sofa. Dia seakan kehilangan kekuatan menuju kamarnya.

“Bagaimana kabar Putri, Syah?” ucap Rumi, mendapati adiknya di ruang tamu. “Alhamdulillah sudah lebih baik, Kak.”

“Kenapa dia sampai pingsan begitu?”

“Ya masalah Andi!”

“Calon suaminya, kan?”

“Iya, Kak. Putri syok setelah bertemu dengan pacar Andi yang sedang hamil.”

Astagfirullah, dia punya pacar dan hamil?”

“Ya, itu Kak kelakuannya. Sejak awal, memang aku sudah tidak setuju, tetapi ya itulah Putri.”

“Jadi, Putri sudah kembali ke rumah?”

“Iya Kak, sore tadi sudah dijemput orang tuanya.”

Alhamdulillah. Semoga ini jadi pelajaran berharga untuk Putri.”

“Iya Kak, semoga. Aisyah berharap banyak, dia bisa jadikan ini pelajaran. Untung dia belum nikah. Syukur, Allah masih berikan kesempatan untuk dia, bisa sadar lebih awal.”

“Jangan pernah berhenti mendoakan sahabatmu, Dik.”

“Iya Kak, insyaaAllah. Kak aku istirahat dulu ya, aku sangat lelah.”

“Ya kamu istirahat saja.”

Aisyah bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Dia sangat merindukan kamar yang ditinggalkannya beberapa hari ini. Beberapa hari jauh dari kamarnya, serasa pergi berbulan-bulan. Kamar, di mana satu-satunya, dia bisa merasakan kenyamanan dan bisa menjadi dirinya yang sebenarnya.

Malam terasa sangat singkat. Dia merasa baru tidur beberapa jam, matahari sudah tersenyum lebar bersama cahayanya.

“Aisyah!!!” suara Rumi menggelegar, membuat Aisyah tersadar dan bangkit dengan secepat kilat dari tidurnya.

“Kenapa sih, Kak? Aisyah masih mengantuk banget,” keluh Aisyah, memaksa kakinya melangkah, menuju ke meja makan, menemui Kakaknya.

“Kok masih malas-malasan?” tanya Rumi melihat Aisyah melangkah tanpa semangat.

“Kak, aku masih capai banget.”

“Sarapan dulu!” perintah Rumi. “Kak, ayah dan ibu sudah balik kemarin, ya?”

“Iya.”

“Aku enggak sempat bertemu, Kak, karena enggak ada yang mengurus Putri di rumah sakit.”

“Ayah dan ibu mengerti kok, Dik. Mereka paham kondisimu.”

“Iya Kak, aku bahkan tidak bisa keluar, walau sebentar saja. Karena Putri sendiri di rumah sakit.”

“Oh ya, Putri itu anak tunggal, kan? Terus ayah dan ibunya ke mana?”

“Itulah Kak. Ayah dan ibunya sama-sama sibuk. Mungkin alasan itu juga, Putri seperti anak yang kehilangan perhatian. Jadinya, saat Andi memberikan perhatian, Putri tidak berpikir panjang lagi.”

“Jadi, di rumah, siapa yang mengurus Putri?”

“Mereka punya dua pembantu Kak.”

“Syukurlah. Intinya adalah kita harus banyak bersyukur atas semua yang telah dikaruniakan oleh Allah.”      

“Iya Kak. Hidup sederhana namun penuh kebersamaan, jauh lebih berharga dibanding kehidupan dengan materi melimpah, namun selalu merasa sunyi.”

“Kita banyak bersyukur saja, Dik.”

“Iya Kak InsyaaAllah.”

“Oh ya, Syah. Ujian sidang kamu kapan?”

InsyaaAllah pekan depan, Kak.”

“Jadi bagaimana persiapan kamu?”

“Saat ini, yang kurang siap hanya fisik saja, Kak. Karena beberapa hari ini menginap di rumah sakit, jadinya badan Aisyah terasa berat sekali.”

“Oke, jadi hari ini kamu istirahat saja di rumah. Jangan mengerjakan apa-apa. Enggak usah masak ya?” ejek Rumi.

“Ini Kak Rumi, mengejek lagi. Memangnya siapa yang mau masak. Mending aku tidur!”

“Haha, siapa tahu kamu tiba-tiba mau masak. Kakak pamit ya, Kakak berangkat dulu.”

“Iya Kak, hati-hati.”

Rumi pun berangkat ke kantor.

Hari ini Aisyah ingin beristirahat penuh. Dia merasakan, fisiknya belum sepenuhnya pulih, setelah tidur semalam. Melihat kakaknya berangkat ke kantor, dia kembali ke tempat tidur kesayangannya. Tak butuh waktu lama, dia akhirnya tertidur pulas.

Beberapa jam berlalu, azan berkumandang, tanda waktu zuhur, tiba. Aisyah sempat bangun, namun setelah menunaikan salat zuhur, dia melanjutkan tidurnya. Kelelahannya sangat bertumpuk, tidur berjam-jam belum juga mengembalikan tenaganya yang sangat terkuras beberapa hari ini.

Namun, di tengah tidur nyenyak, ponselnya berdering keras.

Ya, Allah aku baru memulai tidurku, kenapa ada lagi yang mengganggu siang-siang begini.

Dengan berat hati, Aisyah mengangkat teleponnya, yang sedari tadi terus bernyanyi.

Assalamu’alaykum, Aisyah.”

Wa’alaykumussalam. Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Aisyah dengan pikiran yang tidak fokus.

“Syah, kamu masih tidur? Kok siang-siang begini masih tidur!”

“Siapa, sih?” Dengan sedikit kesadaran, Aisyah melihat layar ponselnya. Ternyata Rumi yang menelepon.

“Kak Rumi ada apa, sudah tahu Aisyah mau istirahat hari ini. Ada apa sih Kak?”

“Kakak punya berita penting buat kamu.”

“Kan bisa nanti malam, saat Kak Rumi pulang. Kak, Aisyah mengantuk sekali,” keluh Aisyah.

“Pasti kantukmu akan hilang, kalau mendengar berita ini.”

“Langsung saja deh Kak.”

“Ternyata anak tante Maya, kerja di kantor Kakak. Kakak baru tahu.”

“Ha? Kerja di kantor Kakak?” Mata Aisyah seketika membelalak.  “Iya. Kamu langsung enggak mengantuk kan?”

“Ya, tetapi aku enggak ada urusan!”

“Kamu yakin, enggak mau tahu siapa?”

“Memangnya, Aisyah kenal? Kan, Aisyah enggak kenal dengan teman-teman kantor Kak Rumi.”

“Kamu kenal.”

“Kok bisa, siapa sih?”

“Pak Wahyu.”

“Ha, Pak Wahyu?”

Aisyah, terperanjat.

“Bukannya kamu sempat suka dia kan?”

“Bukan aku! Tapi Kak Rumi!”

“Itu saja dulu infonya. Kamu lanjutkan istirahatnya.”

“Kak Rumi menjengkelkan!!!” teriak Aisyah, saat Rumi menutup telepon.

“Sudah merusak tidurku, memberikan informasi juga setengah-setengah. Awas ya Kak. Tunggu pembalasanku. Eh, Pak Wahyu itu anak tante Maya? Kok aku enggak percaya. Ternyata takdir itu dekat ya. Pak Wahyu itu kan usianya tidak jauh beda dari Kak Rumi. Ehm, pasti Ibunya khawatir makanya dia dicarikan jodoh. Laki-laki dewasa, kok enggak bisa menentukan masa depannya sendiri. Masa, orang tua lagi yang harus turun tangan.”

Aisyah sibuk bicara sendiri, mengomentari percakapan barusan.

“Tetapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya Pak Wahyu itu cocok dengan kak Rumi. Tetapi sayang, kak Rumi di awal sudah mengatakan tidak. Ya mau bagaimana lagi, ya sudah.”

Dia pun kembali menuju tempat tidur. Dia mencoba melanjutkan tidur yang tertunda tadi. Namun, belum sepuluh menit memejamkan mata, ponselnya kembali berbunyi.

“Ya Allah, ujianmu begitu berat. Siapa lagi yang menelepon? Astagfirullah, kapan aku bisa tidur baik. Awas ya kalau Kak Rumi lagi!” ucap Aisyah, kesal.

Dia pun menatap layar ponselnya.

“Ya Allah, alarm salat asar. Ahh, akhirnya aku tidak bisa lagi tidur. Kak Rumi, awas, aku ingin membuat perhitungan!”

Rasa tidak enak dihatinya, membuat Aisyah begitu terganggu siang ini. Tidur yang tidak tuntas, membuatnya sangat tidak nyaman.

Menikmati sore, Aisyah menyibukkan diri membersihkan halaman, sambil mengobrol dengan Mira. Sejak mereka pindah ke rumah ini, Aisyah sering menghabiskan waktu bersama Mira.

“Aisyah, enggak punya jadwal kuliah hari ini?” tanya Mira. “Iya Kak, hari ini jadwal Aisyah kosong.”

“Kak Rumi kerja ya?”

“Iya Kak, kak Rumi berangkat sejak jam enam pagi.”

“Pagi banget ya, berangkatnya?”

“Biasalah Kak, kalau enggak pagi-pagi, kak Rumi akan terlambat sampai kantor.”

“Iya ya, semakin hari, kota kita semakin macet saja.”

“Kak Mira, sendiri saja di rumah?”

“Iya Dik, sendiri saja.”

“Kak Mira, boleh Aisyah bertanya?”

“Iya Dik, mau tanya apa?”

“Kak, sejak kami pindah kesini, kami hanya sekali, melihat suami Kak Mira. Sejak beberapa bulan ini, Aisyah ingin bertanya, tetapi khawatir, nanti Kak Mira enggak enak hati.”

“Oh itu, enggak kok Dik, Kak Mira enggak masalah. Kak Mira kan, sudah dekat banget sama kamu dan  Rumi. Kalian berdua sudah kakak anggap, seperti saudara Kak Mira sendiri.”

“Iya Kak.”

 “Ayo kita masuk ke dalam dulu, supaya lebih enak ngobrolnya.”

Mira mengajak Aisyah masuk ke dalam rumahnya.

Related chapters

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 5

    Pertama kalinya, Aisyah masuk di rumah ini. Rumah besar namun terasa sangat sunyi. Setahun bertetangga dengan Mira, Aisyah hanya banyak ngobrol di halaman dan sesekali masak bersama, di rumah mereka.“Kak Mira mau cerita yang sebenarnya, supaya kamu dengan Rumi bisa tahu kehidupan Kakak yang sebenarnya.”“Iya Kak, saya siap menjadi pendengar,” jawab Aisyah, sangat bersemangat. “Kak Mira sudah resmi berpisah empat bulan yang lalu Dik, setelah pisah rumah selama setahun.”“Berpisah? Bukannya Kak Mira dan mas Bambang sudah menikah sepuluh tahun, kenapa bisa sampai pisah Kak?” tanya Aisyah, terkejut.“Ceritanya panjang Dik. Kalau Aisyah mau dengar, Kak Mira akan cerita.”“Iya Kak. Saya bahagia sekali, jika Kak Mira mau berbagi. Pasti jadi pelajaran berharga untukku, Kak.”Mira lantas memulai ceritanya. Persoalan rumah tangganya, campur tangan orang tua suaminya, adalah kenyataan terpahit yang membuat pernikahan mereka berakhir.“Kami menikah hampir sebelas tahun. Selama itu, keluarga kami

    Last Updated : 2022-12-28
  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 6

    Setelah berlalu beberapa menit, Aisyah kembali ke rumah Mira. Dia masih antusias dan penasaran dengan perjalanan hidup Mira. “Aku sudah selesai Kak. Kak Mira boleh lanjut ceritanya.” “Tetapi Aisyah masih ingat kan, tadi ceritanya sampai di mana?” tanya Mira, meyakinkan bahwa Aisyah menyimak . “Hehe, iya dong Kak.” Mira pun melanjutkan ceritanya. Entah bagaimana Aisyah menjabarkan perasaannya, dengan semua apa yang telah diceritakan Mira. Perjalanan yang begitu tragis, kebahagiaan yang selama ini ternyata hanya terlihat dari luar, namun setelah menyelam ke dalam, ternyata ada hati yang hancur. “Tak terasa hampir setahun sudah aku berpisah dengan Mas Bambang. Aku tak pernah lagi mendengar berita tentangnya. Mungkin dia sudah bahagia sekarang, pikirku. Namun aku terkejut, saat melihat seorang pria yang sangat kukenal, berdiri tepat dihadapanku saat aku membuka pintu rumah, beberapa bulan yang lalu.” “Dik Mira, apa kabar?” “Aku baik. Mas Bamb

    Last Updated : 2022-12-30
  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 7

    Beberapa detik tidak fokus, Aisyah akhirnya mengingat bahwa dia membutuhkan kalkulator untuk menyelesaikan tugas dari kampus. Dia pun ke kamar Rumi mengambil kalkulator. Ya Allah, kakakku bahkan tidak sempat lagi merapikan tempat tidurnya. Aisyah lantas merapikan dan membersihkan kamar Rumi. Tampak dokumen masih berserakan di atas meja. Pasti kak Rumi begadang lagi semalam. Pantas hari ini buru-buru banget ke kantor. Aisyah kemudian membersihkan tempat tidur dan tidak sengaja dia menemukan sebuah buku bersampul merah bertulisan ‘Goresanku’. Apakah aku boleh membukanya? Nanti kak Rumi marah? Ah nanti dia enggak bakalan tahu. Aku buka saja. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku tahu tentang kak Rumi. Dia membuka pelahan, halaman demi halaman. Sampai dia tiba pada halaman yang bertanda khusus, Destiny. 11 Januari 2014 Hari itu tak akan pernah kulupakan, hari itu sebenarnya sangat aku tunggu. Seseorang yang sangat aku kagumi, sangat aku impikan, akan berbicara serius tentang hubu

    Last Updated : 2023-01-14
  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 8

    Semoga rasa sakitnya kemarin menjadi pengalaman berharga membuatnya semakin menjadi wanita yang kuat dan lebih berhati-hati, harap Aisyah.Beberapa jam kemudian, akhirnya semua berkas yang Aisyah butuhkan untuk ujian sidang telah lengkap.Sekarang aku fokus ke persiapan fisik dan paling utama mental. Semoga aku bisa memberikan kebanggaan untuk orang tuaku ya Allah dan teruntuk kakakku Rumi. Dia telah melalui berbagai banyak kesulitan hidup demiku ya Allah. Semoga kebahagiaan selalu untuknya.Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, saat Aisyah tiba di rumah. Dia kaget melihat kakaknya sudah ada di rumah. Tidak biasanya dia pulang secepat ini.“Kak Rumi, kok tumben banget pulang jam segini?” tanya Aisyah. “Kak Rumi agak kurang sehat, Syah.”“Kak Rumi sakit apa?” tanya Aisyah, panik. Karena Rumi tidak pernah sakit, fisiknya sangat kuat.“Hanya kelelahan saja

    Last Updated : 2023-01-20
  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 9

    “Selamat Pagi, PT. Sky Building,” jawab seorang wanita di balik telepon. “Selamat Pagi Mbak,” jawab Putri.“Ya Mbak, ada yang bisa kami bantu?”“Mbak mohon informasinya, apa Pak Fikri masih tugas di kantor PT Sky Building?”“Maaf, kalau boleh tahu kami berbicara dengan siapa?”“Oh iya, saya Putri salah satu rekan bisnis Pak Fikri. Saya tertarik bekerja sama dengan beliau kembali, namun kontaknya tidak bisa saya hubungi.”“Baik Mbak Putri. Pak Fikri sekarang sudah di kantor Pusat kami, jadi tidak di kantor ini lagi.”“Apa saya bisa minta kontak beliau?”“Kami hanya bisa memberi kontak perusahaan saja ya Mbak. Karena kami dilarang membagi kontak pribadi staf kami.”“Baik, enggak masalah Mbak. Nomor kontak perusahaan saja.”“Oke Mbak berikut nomor kontaknya 5236985.”&l

    Last Updated : 2023-01-21
  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 10

    Aisyah dan Putri menuju meja makan dan segera menyantap makanan yang telah disediakan Rumi. Mereka berdua memang sangat kelaparan, saking terburu-burunya ke kantor Fikri. Mereka tidak sempat memikirkan untuk makan siang.“Syah, jadwal wisudanya sudah ada belum?”tanya Rumi. “Sudah Kak, insyaaAllah awal bulan depan.”“Iya harus jelas, karena ibu dan ayah perlu datang, kan? Jadi bisa diatur waktunya, sehingga ayah dan ibu bisa hadir.”“Iya Kak, insyaaAllah itu sudah fix jadwalnya.”“Jadi Syah, apa rencanamu setelah ini?” tanya Putri. “Aku magang di tempatnya kak Rumi, sambil menunggu ijazah. Iya kan Kak?”“Iya,” jawab Rumi. “Andai aku juga kelar ya, aku juga bisa kerja di tempatnya Kak Rumi,” sambung Putri.“Ehm, yang ada kalian buat kerjaan Kak

    Last Updated : 2023-01-22
  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 11

    Ternyata sekian tahun, Kak Mira hidup sendiri, betapa sunyinya rumah ini, gumam Abduh setibanya di kamar. Dia lantas meletakkan barang-barangnya di kamar, yang akan menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Setelah melaksanakan salat, dia menuju meja makan. Mira telah menunggunya “Abe?” panggil Mira, saat Abduh telah duduk di meja makan, tepat di depannya. “Iya Kak. Kak Mira masih ingat saja panggilan kecilku,” jawab Abduh dengan senyuman manis, ditambah lesung pipinya yang menawan. “Iya dong. Mulai hari ini, Kak Mira panggil kamu Abe ya?” “Siap, Kak.” “Ayo kita makan dulu, kamu pasti lapar.” “Iya Kak. Apalagi masakan Kak Mira sangat enak, persis masakan ibu.” “Iya dong, anak ibu.” “Iya, deh.” Abe tersenyum lebar menanggapi ucapan Mira. Dia pun menyantap makan siang yang telah tersedia di depannya. “Dik, kamu besok sudah ada jadwal ke kampus kan?” “Iya Kak

    Last Updated : 2023-01-23
  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 12

    Tiba di rumah, tepat azan magrib berkumandang.Suara azan begitu terdengar jelas di rumah Putri. Putri bersegera menunaikan salat magrib. Ada yang berbeda sore ini, ada sesuatu yang menarik Putri untuk melaksanakan salat di masjid, tidak seperti biasanya. Tiba-tiba ada kerinduan yang sangat untuk bertamu ke rumah Allah. Sesuatu yang telah berpuluh tahun dia tinggalkan.“Pa, ada apa dengan Putri?” tanya Fitri, ibunda Putri.“Kita harus bersyukur, Ma. Putri kini jauh berubah. Alhamdulillah, semoga inilah petanda, putri kita akan semakin dekat dengan Tuhannya.”Ayah dan ibu Putri, tercengang dengan perubahan sikap sang anak. Setelah perpisahan dengan Andi, hidayah seakan memeluknya erat.Sejak Putri keluar dari rumah sakit, ayah dan ibunya juga sudah mulai mengurangi aktivitas di luar rumah. Mereka sepakat untuk memberikan waktu lebih untuk putri mereka s

    Last Updated : 2023-01-24

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 30

    Aisyah terus berjalan sambil menoleh, ke beberapa ruangan yang dilaluinya. Kemudian langkahnya akhirnya terhenti, di depan ruangan yang tertutup.“Kamar Abduh,” ucap Mira ke Putri. “Apa yang mau dia lakukan, Kak?” bisik Putri. Dia merasa khawatir.Mira hanya memberikan isyarat, untuk Putri tetap tenang. Mira yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Aisyah.Kamar Abduh, pikir Aisyah. Kamarnya tidak terkunci. Aku minta maaf ya Abduh, langsung masuk kamar kamu, tanpa permisi.Memasuki kamar Abduh, ada rasa berbeda hadir dalam relung hati Aisyah. Saat dia menoleh ke dinding kamar, air matanya mengalir, melihat foto-fotonya bersama Abduh.Ya Allah, kenapa foto-fotoku ada di kamar ini? Fotoku bersama Abduh, ya Allah, lengkap dengan tanggal diambilnya foto ini. Satu tahun ini, terlalu banyak hal yang kuhabiskan bersamamu, Abduh. Maafkan aku. Aku tidak sadar, akan cinta dan kasih sayangmu.

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 29

    Vas itu, mendarat mulus mengenai kepala Abduh. “Ada apa ini?” Rumi tiba, bersama Adam. “Kak Rumi, kenapa Abduh jadi kurang ajar seperti ini? Dia masuk ke dalam kamarku, dan memelukku, dalam keadaan hanya memakai handuk. Ya Allah, kenapa kamu jadi murahan seperti ini Abduh?” “Ya Allah, Abduh, kepalamu berdarah. Mas, minta tolong bawa Abduh dulu ya.” Adam langsung membawa Abduh, dengan kepala yang mengeluarkan darah, setelah vas bunga yang dilemparkan Aisyah, mendarat mulus di pelipisnya. Adam lantas memapah Abduh keluar dari kamar Aisyah. “Kak Rumi, kenapa lebih memperhatikan Abduh? Kak Rum, aku adikmu! Dia sudah melecehkanku, Kak! Harga diriku sudah hancur! Kenapa dia seenaknya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarku? Ya Allah semuanya hancur, harga diriku hancur, tidak ada lagi yang tersisa!” “Adikku, ada hal yang perlu kami jelaskan,” jelas Rumi, lembut. “Apa lagi Kak Rumi? Bukannya mengecam Abduh, K

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 28

    Untuk pertama kalinya, Abduh masuk ke dalam kamar Aisyah. Kamar yang sangat nyaman. Di meja belajar Aisyah, terlihat fotonya bersama Rayhan. Senyuman Aisyah, begitu sempurna di samping mendiang suaminya. Cintanya yang begitu besar, terlihat nyata, melalui pancaran cahaya di mata dan senyumannya. Bagaimana bisa aku bisa menjadi cintanya, Ya Allah. Apakah ini tidak akan semakin menyakitinya? Abduh tidak bisa menahan kesedihannya, air mata itu kembali membasahi pipinya. Dia merasakan duka yang sangat. Dia begitu takut menghadapi kenyataan, jika nanti, Aisyah tahu dan membencinya. Setelah beberapa saat berdiri kaku, memerhatikan foto Aisyah dan Rayhan, Aisyah terbangun dari tidurnya. Aisyah merasakan kehadiran Abduh. “Mas Rayhan, dari mana saja? Aisyah kesepian di kamar sendiri. Kak Rumi juga melarang Aisyah ke mana-mana,” ucap Aisyah, manja. Betapa sakitnya hati ini ya Allah. Istr

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 27

    Putri dan Mira kembali saling bertatapan. Aisyah menyangka Abduh adalah Rayhan, suaminya. “Mas Raihan kok di situ, sudah enggak sayang lagi, dengan Aisyah?” sambung Aisyah. “Kak, bagaimana?” bisik Abduh ke Mira. “Enggak apa-apa Dik, niatkan hanya untuk memulihkan kondisi Aisyah, kamu mendekat ke sana,” perintah Mira, Abduh mendekat ke Aisyah, walaupun hatinya merasa sangat bersalah. Takut, jika tindakannya, akan semakin membuat Aisyah, terluka. Dalam diam, dia masih menaruh cinta yang besar pada Aisyah, yang semakin hari justru semakin tumbuh. Walaupun begitu, dia juga sangat berduka dengan kematian Rayhan. “Mas, Aisyah kangen banget. Kenapa Mas Rayhan tega meninggalkan Aisyah?” Tiba-tiba, Aisyah memeluk Abduh. “Kak, bagaimana?” Putri ikut panik dengan sikap Aisyah, pada Abduh. “Enggak masalah Put, nantilah kita bicarakan kembali. Setidaknya, kita memberikan sedikit kebahagiaan untuk Aisyah. Agar dia kembali punya harapan,” ucap Mira.

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 26

    Hari-hari pun, dilalui dengan langkah berat, oleh Aisyah. Dia lupa caranya tertawa. Hanya air matanya, yang kini menjadi saksi, setiap detik yang dia lalui, menyaksikan suaminya, merasakan kesakitan yang sangat. Setiap hari, dia bolak balik ke rumah sakit, untuk menjaga dan mengurus Rayhan. Dia terus berupaya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, kepada seseorang yang selalu menghadirkan tawa untuknya. Rumi, Putri dan Mira, bahkan kehilangan kalimat, untuk terus menguatkan Aisyah. Mereka begitu paham, kondisi hati Aisyah saat ini, mereka tidak banyak bicara. Mereka hanya terus hadir, berharap itu akan menjadi kekuatan untuk Aisyah, terus berjuang demi kesembuhan Rayhan. Namun, dua pekan berlalu, Rayhan belum juga membaik. Belum selesai, beban Putri dengan kondisi Aisyah, sebuah kejutan kembali hadir, menemuinya, siang ini. Dia mendapat pesan, lagi-lagi dari Dinda. Di

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 25

    Betapa bahagianya hatiku ya Allah. Aku bisa mengantarkan kakakku tersayang ke jenjang pernikahan. Aku tak lagi khawatir, dia sendiri dan kesepian. InsyaaAllah, ini jalan terbaik untuk kami. Amin. “Jadi, Kakak sudah kabari ayah dan ibu?” “Besok, Kakak rencana memberi kabar.” “Aisyah siap, jadi apa pun, di acara pernikahan Kakak nanti.” “Kok jadi apa pun, ya tetap jadi adik Kakak, dong. Cukup mendampingi Kakaknya.” Aisyah kembali memeluk Rumi. Ada bahagia, namun, juga ada sedikit rasa kehilangan. Dia mungkin akan kehilangan kakaknya setelah menikah. Tetapi, dia sadar tak mungkin menjaga egonya, tanpa memikirkan kebahagiaan kakak, yang sangat menyayanginya. “Aisyah sangat bahagia, Kak. Ini impian Aisyah, bisa mendampingi Kak Rumi bertemu dengan seseorang, yang akan menjaga Kak Rumi, selamanya.” “Terima kasih, ya, Adikku.” Beberapa menit berlalu, Aisyah kembali ke kamar. Kekasih hatinya se

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 24

    Suasana kantor kini sangat berbeda bagi Aisyah, setelah Rayhan kembali bekerja. Dia berada di kantor yang sama dengan kakaknya, pun dengan suaminya. Kadang terdengar suara teman-teman kantornya bercanda, “Ini sudah jadi kantor keluarga kamu, ya, Syah?” Hening. Walaupun hanya candaan, tetapi Aisyah merasa terganggu dengan ucapan-ucapan tersebut. Akhirnya, niatnya yang telah dia pikirkan beberapa hari ini, dia sampaikan ke suaminya. “Mas, bagaimana kalau Aisyah, pindah kerja saja?” “Lho, kok mau pindah kerja?” “Aku enggak nyaman, Mas. Sekantor sama suami sendiri, aku risih jadinya.” “Kok, begitu sih, Sayang? Kan kalau sekantor dengan suami sendiri, kamu bisa melepaskan rindu setiap saat.” “Mas, aku serius! Tolong deh, jangan selalu bercanda.” “Siapa yang bercanda, Sayang. Mas serius. Kenapa kamu risih, apa ada orang yang menyakiti kamu di kantor?”

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 23

    Kembali ke rumah sakit, Rayhan masih dirawat. Tampak Aisyah, sangat semangat mengurusi kebutuhan suaminya. Terlihat kasih sayang dan ketulusannya, yang begitu besar pada Raihan. Di tengah kesibukannya merapikan pakaian Rayhan, ada panggilan telepon dari kakaknya, Rumi. “Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam, iya Kak?” “Bagaimana kabar Rayhan, Syah?” “Alhamdulillah kata dokter, besok sudah bisa pulang, Kak.” “Alhamdullilah. Kak Rumi sangat bahagia mendengarnya. Jadi kalian pulang ke mana?” “Mas Rayhan setuju, untuk sementara ke rumah Kakak? Boleh kan, Kak?” “Apa enggak masalah, Syah?” “Tidak dong, Kak. Kan, Aisyah sudah berdiskusi dengan Mas Rayhan. Mas Rayhan juga mengerti, Aisyah belum bisa jauh dari Kak Rumi.” “Kalau Kak Rumi sih, enggak masalah.” “Terima kasih, Kak.” “Kok malah terima kasih, Kakak kan, masih Kakak kamu, Syah. Sudah tugas Kakak

  • Kesempatan Kedua untuk Saling Menemukan   Bab 22

    Tanpa disadari Aisyah, perasaan yang sama, juga berselimut dalam hati semua orang-orang, yang sangat menyayanginya. Namun, semuanya berusaha, memahami keputusan Aisyah. Semuanya menampakkan kebahagiaan, untuk menguatkan Aisyah. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar perawatan Rayhan. Rayhan masih terbaring sangat lemah. Namun penampillannya sangat istimewa. Dia tampil menggunakan kemeja putih dilengkapi dengan jas hitam. Ketampanannya menyeruak, walaupun wajahnya sangat pucat. Ya Allah, betapa pria ini sangat sempurna, Engkau kirimkan untukku. Ya Allah, semoga ini awal kebahagiaan kami. Aisyah begitu terpana, melihat sosok pria yang dicintainya, terlihat sangat sempurna pagi ini. Semua telah hadir, orang tua Rayhan, seorang pejabat KUA dan saksi dari keluarga Rayhan. “Alhamdulillah semuanya telah berkumpul. Baiklah kita segerakan saja akad nikahnya,” ujar Rumi, memulai.

DMCA.com Protection Status