Hari-hari pun, dilalui dengan langkah berat, oleh Aisyah. Dia lupa caranya tertawa. Hanya air matanya, yang kini menjadi saksi, setiap detik yang dia lalui, menyaksikan suaminya, merasakan kesakitan yang sangat.
Setiap hari, dia bolak balik ke rumah sakit, untuk menjaga dan mengurus Rayhan. Dia terus berupaya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, kepada seseorang yang selalu menghadirkan tawa untuknya.
Rumi, Putri dan Mira, bahkan kehilangan kalimat, untuk terus menguatkan Aisyah. Mereka begitu paham, kondisi hati Aisyah saat ini, mereka tidak banyak bicara. Mereka hanya terus hadir, berharap itu akan menjadi kekuatan untuk Aisyah, terus berjuang demi kesembuhan Rayhan.
Namun, dua pekan berlalu, Rayhan belum juga membaik.
Belum selesai, beban Putri dengan kondisi Aisyah, sebuah kejutan kembali hadir, menemuinya, siang ini. Dia mendapat pesan, lagi-lagi dari Dinda.
Di
Putri dan Mira kembali saling bertatapan. Aisyah menyangka Abduh adalah Rayhan, suaminya. “Mas Raihan kok di situ, sudah enggak sayang lagi, dengan Aisyah?” sambung Aisyah. “Kak, bagaimana?” bisik Abduh ke Mira. “Enggak apa-apa Dik, niatkan hanya untuk memulihkan kondisi Aisyah, kamu mendekat ke sana,” perintah Mira, Abduh mendekat ke Aisyah, walaupun hatinya merasa sangat bersalah. Takut, jika tindakannya, akan semakin membuat Aisyah, terluka. Dalam diam, dia masih menaruh cinta yang besar pada Aisyah, yang semakin hari justru semakin tumbuh. Walaupun begitu, dia juga sangat berduka dengan kematian Rayhan. “Mas, Aisyah kangen banget. Kenapa Mas Rayhan tega meninggalkan Aisyah?” Tiba-tiba, Aisyah memeluk Abduh. “Kak, bagaimana?” Putri ikut panik dengan sikap Aisyah, pada Abduh. “Enggak masalah Put, nantilah kita bicarakan kembali. Setidaknya, kita memberikan sedikit kebahagiaan untuk Aisyah. Agar dia kembali punya harapan,” ucap Mira.
Untuk pertama kalinya, Abduh masuk ke dalam kamar Aisyah. Kamar yang sangat nyaman. Di meja belajar Aisyah, terlihat fotonya bersama Rayhan. Senyuman Aisyah, begitu sempurna di samping mendiang suaminya. Cintanya yang begitu besar, terlihat nyata, melalui pancaran cahaya di mata dan senyumannya. Bagaimana bisa aku bisa menjadi cintanya, Ya Allah. Apakah ini tidak akan semakin menyakitinya? Abduh tidak bisa menahan kesedihannya, air mata itu kembali membasahi pipinya. Dia merasakan duka yang sangat. Dia begitu takut menghadapi kenyataan, jika nanti, Aisyah tahu dan membencinya. Setelah beberapa saat berdiri kaku, memerhatikan foto Aisyah dan Rayhan, Aisyah terbangun dari tidurnya. Aisyah merasakan kehadiran Abduh. “Mas Rayhan, dari mana saja? Aisyah kesepian di kamar sendiri. Kak Rumi juga melarang Aisyah ke mana-mana,” ucap Aisyah, manja. Betapa sakitnya hati ini ya Allah. Istr
Vas itu, mendarat mulus mengenai kepala Abduh. “Ada apa ini?” Rumi tiba, bersama Adam. “Kak Rumi, kenapa Abduh jadi kurang ajar seperti ini? Dia masuk ke dalam kamarku, dan memelukku, dalam keadaan hanya memakai handuk. Ya Allah, kenapa kamu jadi murahan seperti ini Abduh?” “Ya Allah, Abduh, kepalamu berdarah. Mas, minta tolong bawa Abduh dulu ya.” Adam langsung membawa Abduh, dengan kepala yang mengeluarkan darah, setelah vas bunga yang dilemparkan Aisyah, mendarat mulus di pelipisnya. Adam lantas memapah Abduh keluar dari kamar Aisyah. “Kak Rumi, kenapa lebih memperhatikan Abduh? Kak Rum, aku adikmu! Dia sudah melecehkanku, Kak! Harga diriku sudah hancur! Kenapa dia seenaknya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarku? Ya Allah semuanya hancur, harga diriku hancur, tidak ada lagi yang tersisa!” “Adikku, ada hal yang perlu kami jelaskan,” jelas Rumi, lembut. “Apa lagi Kak Rumi? Bukannya mengecam Abduh, K
Aisyah terus berjalan sambil menoleh, ke beberapa ruangan yang dilaluinya. Kemudian langkahnya akhirnya terhenti, di depan ruangan yang tertutup.“Kamar Abduh,” ucap Mira ke Putri. “Apa yang mau dia lakukan, Kak?” bisik Putri. Dia merasa khawatir.Mira hanya memberikan isyarat, untuk Putri tetap tenang. Mira yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Aisyah.Kamar Abduh, pikir Aisyah. Kamarnya tidak terkunci. Aku minta maaf ya Abduh, langsung masuk kamar kamu, tanpa permisi.Memasuki kamar Abduh, ada rasa berbeda hadir dalam relung hati Aisyah. Saat dia menoleh ke dinding kamar, air matanya mengalir, melihat foto-fotonya bersama Abduh.Ya Allah, kenapa foto-fotoku ada di kamar ini? Fotoku bersama Abduh, ya Allah, lengkap dengan tanggal diambilnya foto ini. Satu tahun ini, terlalu banyak hal yang kuhabiskan bersamamu, Abduh. Maafkan aku. Aku tidak sadar, akan cinta dan kasih sayangmu.
Topik yang sama tidak pernah jeda, menguras energi ke dua sahabat itu. “Putri, kenapa sih kamu masih bertahan dengan Andi?”Mendengar pertanyaan Aisyah, seperti biasa Putri hanya diam.“Aku bilang begini, karena aku sayang sama kamu Put, aku tidak mungkin melihat sahabatku diperlakukan seperti ini,” lanjut Aisyah.“Jawabanku selalu masih sama Aisyah, tidak pernah berubah. Aku masih sangat menyayangi Andi, meninggalkan dia saat ini, adalah hal yang tidak mungkin.”“Apa kamu tidak bisa berpikir realistis, Andi sudah mengkhianati kamu dua kali. Pertama dia selingkuh dengan teman SMA-nya, kedua dengan teman kantornya. Aku tidak tahu, mengapa kamu tidak bisa melihat kenyataan itu?”“Aku yakin Andi masih sangat mencintaiku, Syah. Bukankah terkadang sesuatu tidak bisa dilihat dengan mata, namun dengan hati?”“Aku sangat peduli padamu, aku tidak ingin melihatmu diperlakukan seperti itu, lagi dan lagi!”“Kamu tidak usah terlalu khawatir. Aku yakin, walaupun Andi bersikap seperti itu, tetapi ha
Beberapa hari terakhir, persoalan Putri dan pacarnya Andi, terus saja mengusik Aisyah. Inginnya mengabaikan, tetapi dia masih sangat peduli dengan sahabatnya. Dia tidak tega melihat sahabatnya disakiti terus menerus. Tetapi, entah apa yang bisa dilakukannya. Semakin dia menasihati Putri, semakin buruk hubungan mereka.Di kampus pagi ini, Aisyah, lagi, menyinggung perihal Andi. “Putri bagaimana kabarmu dengan Andi?”“Masih baik-baik saja, Syah. Andi barusan dari sini menemuiku.”Apa yang bisa kukatakan lagi. Bagaimana aku harus menguraikan kata untuk mengingatkanmu lagi sahabatku. Andi itu tidak layak untukmu, secara terang-benderang dia mengkhianatimu seperti ini tetapi kamu masih saja mempertahankannya.Aisyah hanya bisa membatin. Dia kehilangan kekuatan untuk mengingatkan Putri.“Syah, aku mau kasih kabar baik,” ucap Putri. “Kabar baik?”“Tadi, waktu Andi kesini, aku tanya bagaimana kelanjutan hubungan kami. Dia bilang sangat serius. Untuk membuktikannya, dia akan segera datang mela
“Tante Maya itu punya anak laki-laki, sudah dewasa dan mapan. Tante Maya berniat menjodohkannya dengan Aisyah.” Hening! Aisyah dan Rumi saling bertatapan, kaget. “Kok aku? Kenapa bukan Kak Rumi? Ayah ini apa enggak salah? Aku belum selesai kuliah, aku yang adik! Kok bukan Kak Rumi saja yang dijodohkan? Kak Rumi kan, juga sudah dewasa sedangkan aku belum!” Aisyah tidak percaya ucapan Ayahnya. Kalimat pembelaannya, tiba-tiba terucap begitu deras. “Tetapi mereka maunya dengan Aisyah,” sambung Ibu, mencoba menjelaskan. “Bagaimana sih, Yah? Kok Ayah enggak bisa memberikan pendapat sedikit? Sampaikan dong ke mereka, Aisyah itu masih kecil. Ayah punya anak tertua, lebih dewasa. Jadi lebih baik Kak Rumi saja!” Aisyah terus mencari alasan, untuk menolak permintaan ayah dan ibunya. Dia merasa tidak masuk akal, terjadi perjodohan seperti ini, sedangkan kuliahnya saja belum selesai, belum kerja, belum ini itu. “Ayah dan Ibu, enggak memaksa kok, Aisyah. Kalau kamu enggak mau ya enggak mas
“Aku senang bisa berbuat lebih untuk kamu, Put. Kita kan sahabat, sudah selayaknya selalu saling mendukung.”Aisyah memberi pelukan penuh kasih sayang. Putri yang selalu dimanja, terbiasa bebas, akhirnya tiba pada masa, di mana kedewasaannya diuji. Setelah beberapa hari di rawat, akhirnya Putri diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dengan sisa kekuatan dan ketegaran, dia mencoba melangkah. Aisyah turut mengantarnya pulang, bersama ayah dan ibunda Putri.Namun, tiba di rumah, sosok yang paling tidak diinginkan Putri, berdiri tepat di depan gerbang rumahnya. Tanpa kata, Putri langsung turun dan menemui Andi.“Putri, kamu hati-hati. Kamu belum sepenuhnya pulih,” ucap Aisyah, sambil memegang tubuh Putri, yang masih lemah.“Untuk apa kamu kesini?!” tanya Putri, sangat emosi.“Aku datang menjengukmu, Sayang. Aku dengar kamu masuk rumah sakit. Terus mengapa kamu membatalkan pernikahan kita? Aku perlu tahu alasannya. Aku sangat mencintaimu.”Wajah Andi yang penuh drama, semakin membuat amarah P
Aisyah terus berjalan sambil menoleh, ke beberapa ruangan yang dilaluinya. Kemudian langkahnya akhirnya terhenti, di depan ruangan yang tertutup.“Kamar Abduh,” ucap Mira ke Putri. “Apa yang mau dia lakukan, Kak?” bisik Putri. Dia merasa khawatir.Mira hanya memberikan isyarat, untuk Putri tetap tenang. Mira yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Aisyah.Kamar Abduh, pikir Aisyah. Kamarnya tidak terkunci. Aku minta maaf ya Abduh, langsung masuk kamar kamu, tanpa permisi.Memasuki kamar Abduh, ada rasa berbeda hadir dalam relung hati Aisyah. Saat dia menoleh ke dinding kamar, air matanya mengalir, melihat foto-fotonya bersama Abduh.Ya Allah, kenapa foto-fotoku ada di kamar ini? Fotoku bersama Abduh, ya Allah, lengkap dengan tanggal diambilnya foto ini. Satu tahun ini, terlalu banyak hal yang kuhabiskan bersamamu, Abduh. Maafkan aku. Aku tidak sadar, akan cinta dan kasih sayangmu.
Vas itu, mendarat mulus mengenai kepala Abduh. “Ada apa ini?” Rumi tiba, bersama Adam. “Kak Rumi, kenapa Abduh jadi kurang ajar seperti ini? Dia masuk ke dalam kamarku, dan memelukku, dalam keadaan hanya memakai handuk. Ya Allah, kenapa kamu jadi murahan seperti ini Abduh?” “Ya Allah, Abduh, kepalamu berdarah. Mas, minta tolong bawa Abduh dulu ya.” Adam langsung membawa Abduh, dengan kepala yang mengeluarkan darah, setelah vas bunga yang dilemparkan Aisyah, mendarat mulus di pelipisnya. Adam lantas memapah Abduh keluar dari kamar Aisyah. “Kak Rumi, kenapa lebih memperhatikan Abduh? Kak Rum, aku adikmu! Dia sudah melecehkanku, Kak! Harga diriku sudah hancur! Kenapa dia seenaknya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarku? Ya Allah semuanya hancur, harga diriku hancur, tidak ada lagi yang tersisa!” “Adikku, ada hal yang perlu kami jelaskan,” jelas Rumi, lembut. “Apa lagi Kak Rumi? Bukannya mengecam Abduh, K
Untuk pertama kalinya, Abduh masuk ke dalam kamar Aisyah. Kamar yang sangat nyaman. Di meja belajar Aisyah, terlihat fotonya bersama Rayhan. Senyuman Aisyah, begitu sempurna di samping mendiang suaminya. Cintanya yang begitu besar, terlihat nyata, melalui pancaran cahaya di mata dan senyumannya. Bagaimana bisa aku bisa menjadi cintanya, Ya Allah. Apakah ini tidak akan semakin menyakitinya? Abduh tidak bisa menahan kesedihannya, air mata itu kembali membasahi pipinya. Dia merasakan duka yang sangat. Dia begitu takut menghadapi kenyataan, jika nanti, Aisyah tahu dan membencinya. Setelah beberapa saat berdiri kaku, memerhatikan foto Aisyah dan Rayhan, Aisyah terbangun dari tidurnya. Aisyah merasakan kehadiran Abduh. “Mas Rayhan, dari mana saja? Aisyah kesepian di kamar sendiri. Kak Rumi juga melarang Aisyah ke mana-mana,” ucap Aisyah, manja. Betapa sakitnya hati ini ya Allah. Istr
Putri dan Mira kembali saling bertatapan. Aisyah menyangka Abduh adalah Rayhan, suaminya. “Mas Raihan kok di situ, sudah enggak sayang lagi, dengan Aisyah?” sambung Aisyah. “Kak, bagaimana?” bisik Abduh ke Mira. “Enggak apa-apa Dik, niatkan hanya untuk memulihkan kondisi Aisyah, kamu mendekat ke sana,” perintah Mira, Abduh mendekat ke Aisyah, walaupun hatinya merasa sangat bersalah. Takut, jika tindakannya, akan semakin membuat Aisyah, terluka. Dalam diam, dia masih menaruh cinta yang besar pada Aisyah, yang semakin hari justru semakin tumbuh. Walaupun begitu, dia juga sangat berduka dengan kematian Rayhan. “Mas, Aisyah kangen banget. Kenapa Mas Rayhan tega meninggalkan Aisyah?” Tiba-tiba, Aisyah memeluk Abduh. “Kak, bagaimana?” Putri ikut panik dengan sikap Aisyah, pada Abduh. “Enggak masalah Put, nantilah kita bicarakan kembali. Setidaknya, kita memberikan sedikit kebahagiaan untuk Aisyah. Agar dia kembali punya harapan,” ucap Mira.
Hari-hari pun, dilalui dengan langkah berat, oleh Aisyah. Dia lupa caranya tertawa. Hanya air matanya, yang kini menjadi saksi, setiap detik yang dia lalui, menyaksikan suaminya, merasakan kesakitan yang sangat. Setiap hari, dia bolak balik ke rumah sakit, untuk menjaga dan mengurus Rayhan. Dia terus berupaya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, kepada seseorang yang selalu menghadirkan tawa untuknya. Rumi, Putri dan Mira, bahkan kehilangan kalimat, untuk terus menguatkan Aisyah. Mereka begitu paham, kondisi hati Aisyah saat ini, mereka tidak banyak bicara. Mereka hanya terus hadir, berharap itu akan menjadi kekuatan untuk Aisyah, terus berjuang demi kesembuhan Rayhan. Namun, dua pekan berlalu, Rayhan belum juga membaik. Belum selesai, beban Putri dengan kondisi Aisyah, sebuah kejutan kembali hadir, menemuinya, siang ini. Dia mendapat pesan, lagi-lagi dari Dinda. Di
Betapa bahagianya hatiku ya Allah. Aku bisa mengantarkan kakakku tersayang ke jenjang pernikahan. Aku tak lagi khawatir, dia sendiri dan kesepian. InsyaaAllah, ini jalan terbaik untuk kami. Amin. “Jadi, Kakak sudah kabari ayah dan ibu?” “Besok, Kakak rencana memberi kabar.” “Aisyah siap, jadi apa pun, di acara pernikahan Kakak nanti.” “Kok jadi apa pun, ya tetap jadi adik Kakak, dong. Cukup mendampingi Kakaknya.” Aisyah kembali memeluk Rumi. Ada bahagia, namun, juga ada sedikit rasa kehilangan. Dia mungkin akan kehilangan kakaknya setelah menikah. Tetapi, dia sadar tak mungkin menjaga egonya, tanpa memikirkan kebahagiaan kakak, yang sangat menyayanginya. “Aisyah sangat bahagia, Kak. Ini impian Aisyah, bisa mendampingi Kak Rumi bertemu dengan seseorang, yang akan menjaga Kak Rumi, selamanya.” “Terima kasih, ya, Adikku.” Beberapa menit berlalu, Aisyah kembali ke kamar. Kekasih hatinya se
Suasana kantor kini sangat berbeda bagi Aisyah, setelah Rayhan kembali bekerja. Dia berada di kantor yang sama dengan kakaknya, pun dengan suaminya. Kadang terdengar suara teman-teman kantornya bercanda, “Ini sudah jadi kantor keluarga kamu, ya, Syah?” Hening. Walaupun hanya candaan, tetapi Aisyah merasa terganggu dengan ucapan-ucapan tersebut. Akhirnya, niatnya yang telah dia pikirkan beberapa hari ini, dia sampaikan ke suaminya. “Mas, bagaimana kalau Aisyah, pindah kerja saja?” “Lho, kok mau pindah kerja?” “Aku enggak nyaman, Mas. Sekantor sama suami sendiri, aku risih jadinya.” “Kok, begitu sih, Sayang? Kan kalau sekantor dengan suami sendiri, kamu bisa melepaskan rindu setiap saat.” “Mas, aku serius! Tolong deh, jangan selalu bercanda.” “Siapa yang bercanda, Sayang. Mas serius. Kenapa kamu risih, apa ada orang yang menyakiti kamu di kantor?”
Kembali ke rumah sakit, Rayhan masih dirawat. Tampak Aisyah, sangat semangat mengurusi kebutuhan suaminya. Terlihat kasih sayang dan ketulusannya, yang begitu besar pada Raihan. Di tengah kesibukannya merapikan pakaian Rayhan, ada panggilan telepon dari kakaknya, Rumi. “Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam, iya Kak?” “Bagaimana kabar Rayhan, Syah?” “Alhamdulillah kata dokter, besok sudah bisa pulang, Kak.” “Alhamdullilah. Kak Rumi sangat bahagia mendengarnya. Jadi kalian pulang ke mana?” “Mas Rayhan setuju, untuk sementara ke rumah Kakak? Boleh kan, Kak?” “Apa enggak masalah, Syah?” “Tidak dong, Kak. Kan, Aisyah sudah berdiskusi dengan Mas Rayhan. Mas Rayhan juga mengerti, Aisyah belum bisa jauh dari Kak Rumi.” “Kalau Kak Rumi sih, enggak masalah.” “Terima kasih, Kak.” “Kok malah terima kasih, Kakak kan, masih Kakak kamu, Syah. Sudah tugas Kakak
Tanpa disadari Aisyah, perasaan yang sama, juga berselimut dalam hati semua orang-orang, yang sangat menyayanginya. Namun, semuanya berusaha, memahami keputusan Aisyah. Semuanya menampakkan kebahagiaan, untuk menguatkan Aisyah. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar perawatan Rayhan. Rayhan masih terbaring sangat lemah. Namun penampillannya sangat istimewa. Dia tampil menggunakan kemeja putih dilengkapi dengan jas hitam. Ketampanannya menyeruak, walaupun wajahnya sangat pucat. Ya Allah, betapa pria ini sangat sempurna, Engkau kirimkan untukku. Ya Allah, semoga ini awal kebahagiaan kami. Aisyah begitu terpana, melihat sosok pria yang dicintainya, terlihat sangat sempurna pagi ini. Semua telah hadir, orang tua Rayhan, seorang pejabat KUA dan saksi dari keluarga Rayhan. “Alhamdulillah semuanya telah berkumpul. Baiklah kita segerakan saja akad nikahnya,” ujar Rumi, memulai.