Beberapa hari terakhir, persoalan Putri dan pacarnya Andi, terus saja mengusik Aisyah. Inginnya mengabaikan, tetapi dia masih sangat peduli dengan sahabatnya. Dia tidak tega melihat sahabatnya disakiti terus menerus. Tetapi, entah apa yang bisa dilakukannya. Semakin dia menasihati Putri, semakin buruk hubungan mereka.
Di kampus pagi ini, Aisyah, lagi, menyinggung perihal Andi. “Putri bagaimana kabarmu dengan Andi?”
“Masih baik-baik saja, Syah. Andi barusan dari sini menemuiku.”
Apa yang bisa kukatakan lagi. Bagaimana aku harus menguraikan kata untuk mengingatkanmu lagi sahabatku. Andi itu tidak layak untukmu, secara terang-benderang dia mengkhianatimu seperti ini tetapi kamu masih saja mempertahankannya.
Aisyah hanya bisa membatin. Dia kehilangan kekuatan untuk mengingatkan Putri.
“Syah, aku mau kasih kabar baik,” ucap Putri. “Kabar baik?”
“Tadi, waktu Andi kesini, aku tanya bagaimana kelanjutan hubungan kami. Dia bilang sangat serius. Untuk membuktikannya, dia akan segera datang melamarku,” tutur Putri, dengan wajah yang berseri-seri.
“Melamar? Serius?” Aisyah kaget.
“Iya serius. Kamu saja yang selalu berprasangka buruk pada Andi. Apa yang aku katakan kepada kamu terbukti benar, kan? Aku tak masalah dengan siapa Andi sekarang, apa yang dia lakukan sekarang. Karena aku tahu, dia akhirnya akan bersamaku.”
Putri, Putri, sahabatku. Sedemikian besarkah rasa cintamu kepada Andi, laki-laki seperti itu. Bagaimana dia bisa menjadi penjagamu kelak. Sekarang saja dia tidak pernah memedulikan perasaanmu, sahabatku.
“Terus kuliahmu bagaimana, Put? Apa enggak sebaiknya kamu selesaikan dulu?”
“Kamu bagaimana sih, Syah. Dulu meragukan Andi, sekarang Andi mau serius, kamu malah memintaku mundur!”
“Sayang kan, kuliahmu Put, sudah hampir selesai,” sambung Aisyah.
“Intinya sekarang, aku mau fokus ke hubunganku dengan Andi.”
Aisyah menarik napas panjang.
“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu, Put.”
“Kini semua prasangka baikku terbukti, aku tidak perlu menunggu lama untuk meresmikan hubunganku dengan Andi. Janjiku akan setia padanya tidak sia-sia.”
“Terus bagaimana janji Andi, setia sama kamu?”
“Kesetiaan Andi? Walaupun fisiknya dengan orang lain, asalkan dia tetap bisa menjaga hatinya untukku, ya itu kan sudah setia namanya.”
“Putri, kamu wanita yang baik, cerdas. Aku hanya berharap kamu bisa mendapatkan yang terbaik untuk menemanimu sampai akhir nanti.”
“Kamu tidak usah khawatir Syah, Andi adalah laki-laki terbaik yang tepat untukku. Kamu jangan takut, percaya padaku, Aisyah.”
“Iya Put, semoga dialah yang terbaik.”
Dengan berat hati, Aisyah hanya bisa menguatkan dirinya, mendengar keputusan Putri. Percakapan keduanya, kembali mengakhiri pertemuan di kampus pagi ini. Pertemuan yang selalu sama, dan tidak membawa ketenangan bagi Aisyah.
Setelah menyelesaikan semua urusan di kampus, Aisyah bersegera kembali ke rumah. Percakapan dengan Putri pagi tadi, selalu saja mengganggu kedamaian hatinya. Dia selalu bingung menempatkan dirinya.
Setelah tiba di rumah, persoalan Putri masih saja membayangi setiap langkahnya. Dimana pun dia berada, apa pun yang dia kerjakan. Kekhawatiran terhadap sahabatnya, tidak bisa menjauh.
“Syah.” Suara Rumi, membawa Aisyah, bangun dari lamunan. “Kok kamu murung?” tanya Rumi.
“Aku bingung Kak, sikap Putri.”
“Putri, kenapa lagi?”
“Putri mau menikah.”
“Mau menikah? Bukannya kuliahnya belum selesai?”
“Ya itu, yang aku ingatkan ke dia. Apa tidak bisa, dia selesaikan dulu kuliahnya? Sayang kan, Kak? Banyak orang yang mau kuliah, tetapi enggak mampu. Sedang dia mampu, tetapi menyia-nyiakannya begitu saja.”
“Ya, kalau itu keputusan Putri, kamu enggak bisa juga, mengatur terlalu jauh, Syah.”
“Aku seperti sahabat yang gagal Kak.”
“Intinya, kamu sudah berusaha dan selalu mengingatkan Putri. Pernikahan juga sesuatu yang baik, Dik. Setidaknya Putri tidak berlama-lama dalam hubungan yang salah.”
“Tetapi itu lho Kak, pacarnya itu penipu!”
“Maksudnya?”
“Andi itu suka selingkuh Kak. Dia sudah berulang kali selingkuh, sejak pacaran dengan Putri.”
“Terus kenapa Putri menerima?”
“Ya begitu, Putri seperti sudah kena pelet cintanya Andi. Putri menjadi buta Kak. Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Andi. Kalau aku ingatkan, jawabnya selalu sama. Aku sangat percaya sama Andi. Percaya bagaimana, jelas-jelas dihadapannya Andi selingkuh. Aku enggak mengerti sama sekali Kak!”
“Kamu sudah berusaha, sekarang tugas kamu doakan yang terbaik untuk Putri.”
“Ya memang hanya itu yang tersisa Kak. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.”
“Kamu istirahatlah, besok masih puasa, kan?”
“Iya Kak.”
Percakapan Aisyah dan Rumi berakhir. Persoalan Putri betul-betul sangat mengganggu Aisyah. Dia dianugerahkan keluarga yang sempurna, kaya raya. Namun sayang, dia dengan mudahnya terjerumus dalam cinta yang salah.
***
Satu pekan setelah pembahasan keseriusan Andi, pria itu, benar-benar melamar Putri. Aisyah tak menyangka secepat ini.
Apa yang dipikirkan Putri selama ini, bahwa Andi adalah laki-laki yang mampu menepati janji, ternyata dia buktikan.
“Selamat ya Put sahabatku, akhirnya apa yang kamu impikan sebentar lagi akan kamu dapatkan.”
Aisyah mencoba membuka hati, menerima kenyataan yang terjadi kini di depan matanya.
“Iya terima kasih Syah.”
Aisyah masih saja belum bisa menerima kenyataan ini.
Apa benar sahabatku akan menikah dengan laki-laki seperti Andi? Ya Allah, aku tidak bisa memahami cerita ini, aku sangat menghawatirkan Putri.
Pernikahan Putri pun, direncanakan tidak lama dari acara lamarannya.
“Kok acara pernikahanmu mendadak sekali, Put?” tanya Aisyah, kaget mendengar rencana pelaksanakaan pernikahan yang begitu mendesak.
“Andi inginnya seperti itu Syah. Katanya, dia sudah tidak sabar lagi menikah denganku. Betapa dia sangat mencintaiku, betapa aku sangat beruntung,” jawab Putri, polos.
Putri sahabatku, betapa Andi sangat berhasil membutakan mata hatimu.
Aisyah sudah merasa berada di titik stres paling tinggi. Dia merasa nyaris gila, mendengar semua kalimat-kalimat bodoh Putri.
“Jadi, Andi sudah memutuskan selingkuhannya itu?” sambung Aisyah, memastian. “Iya, katanya sebelum lamaran kami, dia sudah meninggalkan temannya itu.”
“Semoga, ini akhir yang indah untuk hubungan kalian ya, Put?” harap Aisyah.
Aisyah seperti tidak percaya, semudah itu Andi meninggalkan wanita-wanitanya itu.
Justru dia curiga, ada maksud Andi mempercepat pernikahannya dengan Putri.
***
Setelah pertemuan di lamaran itu, Aisyah semakin jarang bertemu dan berkomunikasi dengan Putri. Aisyah sedang fokus menyelesaikan skripsi, yang tinggal satu tahap lagi. Dia harus mengerahkan seluruh semangat dan kemampuannya menjalani ujian sidang. Inilah, salah satu tahapan, untuk bisa memberikan kebanggaan, untuk kakaknya. Rumi yang selama hidupnya, selalu berjuang untuknya, menyekolahkannya sampai ke jenjang ini.
Setelah dari kampus, Aisyah langsung pulang ke rumah. Tanpa sepengetahuannya, ternyata ayah dan ibunya tampak ada di rumah.
“Ayah dan Ibu kapan datang?” tanya Aisyah, terkejut. “Pagi tadi Nak. Tidak lama setelah kamu berangkat ke kampus, kami tiba.”
“Jadi Ayah dan Ibu menunggu di mana? Kunci rumah kan, enggak kami simpan, karena Ayah dan Ibu enggak mengabari sebelumnya?”
“Ayah dan Ibu, beristirahat di rumah Kak Mira, Dik,” sela Mira, yang tiba-tiba muncul dari arah belakang Aisyah.
Mira adalah tetangga mereka. Sosok wanita yang baik hatinya, sudah seperti keluarga bagi Aisyah dan Rumi.
“Terima kasih ya Kak, maaf sudah merepotkan.”
“Ya enggak merepotkan. Kak Mira malah senang kalau ada teman.”
“Kak Mira enggak ke kantor hari ini?”
“Iya Dik, kebetulan Kak Mira lagi cuti. Ada acara keluarga.”
“Oh iya Kak, terima kasih ya.”
“Kok terima kasih lagi? Bawa Ayah dan Ibumu masuk!”
“Baik Kak.”
Aisyah lantas membuka pintu rumah dan mengajak kedua orangnya untuk masuk.
Mira pun, kembali masuk ke dalam rumahnya.
Semoga kebahagiaan selalu bersamamu Kak, ucap Aisyah, membatin.
“Ayah Ibu, kok enggak memberi kabar mau datang?” lanjut Aisyah. “Ayah dan Ibu, cuma rindu dengan Rumi dan Aisyah.”
“Tetapi biasanya, kami dapat kabar dulu,” Aisyah masih terus penasaran. “Ya enggak usah dipersoalkan Nak, yang penting Ayah dan Ibu sudah ada di rumah ini,” jawab Ayah, tegas.
“Iya deh. Ayah Ibu, istirahat di kamar kak Rumi ya. Aisyah mau bersih-bersih dulu.”
“Iya Nak,” jawab ayah Aisyah. Beliau mengajak sang istri menuju kamar Rumi.
Ayah dan ibu Aisyah adalah guru sekolah menengah pertama. Kedisiplinan dan kecerdasan keduanya, jelas menurun pada kedua anaknya. Ketegasan dan kesabaran ayahnya, menurun pada Rumi, sedangkan kemanjaan dan kebaikan hati Aisyah, menurun dari sang ibu.
Beberapa jam kemudian, ibu beserta Aisyah sudah berkumpul kembali di dapur. Seperti biasa, ibunda langsung terjun ke dapur. Hobby-nya memasak, membuat makanan Aisyah dan Rumi sangat terjamin, apabila ibu mereka datang.
“Ibu, kok tumben datang sih?” tanya Aisyah yang masih penasaran. “Jadi, Ibu enggak boleh datang ya?”
“Bukan begitu Bu. Maksudnya, ini bukan waktu liburan. Memang ayah dan ibu enggak ada jadwal mengajar?”
“Ayah dan Ibu sengaja datang, karena ada hal yang perlu kami sampaikan dan mendesak.”
“Apa sih, Bu? Aku jadi penasaran?”
“Nantilah, kalau kak Rumi sudah kembali dari kantor.”
Aisyah manyun. Kecewa mendengar jawaban sang Ibu. Ibundanya pun, kembali fokus, memasak menu kesukaan kedua putrinya.
Setelah semua menu siap, Rumi juga telah tiba di rumah. Dia pun tak kalah terkejutnya, melihat keberadaan kedua orang tuanya. Setelah mengucap salam dan memeluk kedua orang tuanya, Rumi langsung berujar, “Ayah Ibu datangnya jam berapa?”
“Siang tadi, Nak.”
“Jadi, Aisyah sudah masak nih? Banyak banget makanan di atas meja,” goda Rumi, ke adiknya yang pantang berteman dengan kompor dan minyak.
“Apa sih Kak Rumi, mengejek! Sejak kapan aku masak Kak?!” jawab Aisyah dongkol.
“Kirain, kamu sudah belajar, jadi calon ibu rumah tangga.”
“Mengejek, mengejek lagi!”
Aisyah terdengar jengkel dengan kakaknya, yang terus saja menggodanya.
Tak lupa, Aisyah membawa, semangkuk sup hangat untuk Mira. Dia tidak pernah dilupakan oleh Aisyah. Mira sangat baik dan selalu hadir saat Aisyah dan Rumi membutuhkan bantuan.
“Ayah, kok tumben datang, tidak kabari kami?” tanya Rumi. “Ada hal penting, yang kami mau bicarakan dengan Aisyah.”
“Ada yang penting? Rumi jadi penasaran.”
“Kita tunggu adikmu dulu, setelah itu Ayah akan bicara semuanya.”
“Ada apa sih, Yah? Apa yang penting dengan diriku ini?” tutur Aisyah, kembali dari rumah Mira.
“Kamu duduk dulu!”
“Ada apa sih, Yah?” tanya Aisyah, semakin penasaran. “Begini, saudara Ayah, tante Maya, kamu kenal?”Ayah membuka pembicaraan.
“Tante Maya? Aisyah baru dengar. Aisyah enggak kenal!” jawab Aisyah. “Dia memang tinggalnya di Surabaya, jadi kamu dan Rumi belum pernah bertemu.”
“Tunggu dulu, Yah. Bukannya Ayah itu anak tunggal. Kok Ayah bilang saudara Ayah? Memangnya Ayah punya saudara?” lanjut Aisyah.
“Tante Maya itu saudara se-Bapak Ayah. Ayah memang anak tunggal, tetapi Ayah punya dua saudara dari istri pertama kakekmu yang sudah meninggal.”
“Pantas, kami enggak kenal. Memangnya ada apa, Yah? Ada urusan apa dengan Aisyah?” sambung Aisyah, lagi, meminta penjelasan.
“Tante Maya itu punya anak laki-laki, sudah dewasa dan mapan. Tante Maya berniat menjodohkannya dengan Aisyah.”
Hening!
Aisyah dan Rumi saling bertatapan, kaget.
“Tante Maya itu punya anak laki-laki, sudah dewasa dan mapan. Tante Maya berniat menjodohkannya dengan Aisyah.” Hening! Aisyah dan Rumi saling bertatapan, kaget. “Kok aku? Kenapa bukan Kak Rumi? Ayah ini apa enggak salah? Aku belum selesai kuliah, aku yang adik! Kok bukan Kak Rumi saja yang dijodohkan? Kak Rumi kan, juga sudah dewasa sedangkan aku belum!” Aisyah tidak percaya ucapan Ayahnya. Kalimat pembelaannya, tiba-tiba terucap begitu deras. “Tetapi mereka maunya dengan Aisyah,” sambung Ibu, mencoba menjelaskan. “Bagaimana sih, Yah? Kok Ayah enggak bisa memberikan pendapat sedikit? Sampaikan dong ke mereka, Aisyah itu masih kecil. Ayah punya anak tertua, lebih dewasa. Jadi lebih baik Kak Rumi saja!” Aisyah terus mencari alasan, untuk menolak permintaan ayah dan ibunya. Dia merasa tidak masuk akal, terjadi perjodohan seperti ini, sedangkan kuliahnya saja belum selesai, belum kerja, belum ini itu. “Ayah dan Ibu, enggak memaksa kok, Aisyah. Kalau kamu enggak mau ya enggak mas
“Aku senang bisa berbuat lebih untuk kamu, Put. Kita kan sahabat, sudah selayaknya selalu saling mendukung.”Aisyah memberi pelukan penuh kasih sayang. Putri yang selalu dimanja, terbiasa bebas, akhirnya tiba pada masa, di mana kedewasaannya diuji. Setelah beberapa hari di rawat, akhirnya Putri diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dengan sisa kekuatan dan ketegaran, dia mencoba melangkah. Aisyah turut mengantarnya pulang, bersama ayah dan ibunda Putri.Namun, tiba di rumah, sosok yang paling tidak diinginkan Putri, berdiri tepat di depan gerbang rumahnya. Tanpa kata, Putri langsung turun dan menemui Andi.“Putri, kamu hati-hati. Kamu belum sepenuhnya pulih,” ucap Aisyah, sambil memegang tubuh Putri, yang masih lemah.“Untuk apa kamu kesini?!” tanya Putri, sangat emosi.“Aku datang menjengukmu, Sayang. Aku dengar kamu masuk rumah sakit. Terus mengapa kamu membatalkan pernikahan kita? Aku perlu tahu alasannya. Aku sangat mencintaimu.”Wajah Andi yang penuh drama, semakin membuat amarah P
Pertama kalinya, Aisyah masuk di rumah ini. Rumah besar namun terasa sangat sunyi. Setahun bertetangga dengan Mira, Aisyah hanya banyak ngobrol di halaman dan sesekali masak bersama, di rumah mereka.“Kak Mira mau cerita yang sebenarnya, supaya kamu dengan Rumi bisa tahu kehidupan Kakak yang sebenarnya.”“Iya Kak, saya siap menjadi pendengar,” jawab Aisyah, sangat bersemangat. “Kak Mira sudah resmi berpisah empat bulan yang lalu Dik, setelah pisah rumah selama setahun.”“Berpisah? Bukannya Kak Mira dan mas Bambang sudah menikah sepuluh tahun, kenapa bisa sampai pisah Kak?” tanya Aisyah, terkejut.“Ceritanya panjang Dik. Kalau Aisyah mau dengar, Kak Mira akan cerita.”“Iya Kak. Saya bahagia sekali, jika Kak Mira mau berbagi. Pasti jadi pelajaran berharga untukku, Kak.”Mira lantas memulai ceritanya. Persoalan rumah tangganya, campur tangan orang tua suaminya, adalah kenyataan terpahit yang membuat pernikahan mereka berakhir.“Kami menikah hampir sebelas tahun. Selama itu, keluarga kami
Setelah berlalu beberapa menit, Aisyah kembali ke rumah Mira. Dia masih antusias dan penasaran dengan perjalanan hidup Mira. “Aku sudah selesai Kak. Kak Mira boleh lanjut ceritanya.” “Tetapi Aisyah masih ingat kan, tadi ceritanya sampai di mana?” tanya Mira, meyakinkan bahwa Aisyah menyimak . “Hehe, iya dong Kak.” Mira pun melanjutkan ceritanya. Entah bagaimana Aisyah menjabarkan perasaannya, dengan semua apa yang telah diceritakan Mira. Perjalanan yang begitu tragis, kebahagiaan yang selama ini ternyata hanya terlihat dari luar, namun setelah menyelam ke dalam, ternyata ada hati yang hancur. “Tak terasa hampir setahun sudah aku berpisah dengan Mas Bambang. Aku tak pernah lagi mendengar berita tentangnya. Mungkin dia sudah bahagia sekarang, pikirku. Namun aku terkejut, saat melihat seorang pria yang sangat kukenal, berdiri tepat dihadapanku saat aku membuka pintu rumah, beberapa bulan yang lalu.” “Dik Mira, apa kabar?” “Aku baik. Mas Bamb
Beberapa detik tidak fokus, Aisyah akhirnya mengingat bahwa dia membutuhkan kalkulator untuk menyelesaikan tugas dari kampus. Dia pun ke kamar Rumi mengambil kalkulator. Ya Allah, kakakku bahkan tidak sempat lagi merapikan tempat tidurnya. Aisyah lantas merapikan dan membersihkan kamar Rumi. Tampak dokumen masih berserakan di atas meja. Pasti kak Rumi begadang lagi semalam. Pantas hari ini buru-buru banget ke kantor. Aisyah kemudian membersihkan tempat tidur dan tidak sengaja dia menemukan sebuah buku bersampul merah bertulisan ‘Goresanku’. Apakah aku boleh membukanya? Nanti kak Rumi marah? Ah nanti dia enggak bakalan tahu. Aku buka saja. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku tahu tentang kak Rumi. Dia membuka pelahan, halaman demi halaman. Sampai dia tiba pada halaman yang bertanda khusus, Destiny. 11 Januari 2014 Hari itu tak akan pernah kulupakan, hari itu sebenarnya sangat aku tunggu. Seseorang yang sangat aku kagumi, sangat aku impikan, akan berbicara serius tentang hubu
Semoga rasa sakitnya kemarin menjadi pengalaman berharga membuatnya semakin menjadi wanita yang kuat dan lebih berhati-hati, harap Aisyah.Beberapa jam kemudian, akhirnya semua berkas yang Aisyah butuhkan untuk ujian sidang telah lengkap.Sekarang aku fokus ke persiapan fisik dan paling utama mental. Semoga aku bisa memberikan kebanggaan untuk orang tuaku ya Allah dan teruntuk kakakku Rumi. Dia telah melalui berbagai banyak kesulitan hidup demiku ya Allah. Semoga kebahagiaan selalu untuknya.Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, saat Aisyah tiba di rumah. Dia kaget melihat kakaknya sudah ada di rumah. Tidak biasanya dia pulang secepat ini.“Kak Rumi, kok tumben banget pulang jam segini?” tanya Aisyah. “Kak Rumi agak kurang sehat, Syah.”“Kak Rumi sakit apa?” tanya Aisyah, panik. Karena Rumi tidak pernah sakit, fisiknya sangat kuat.“Hanya kelelahan saja
“Selamat Pagi, PT. Sky Building,” jawab seorang wanita di balik telepon. “Selamat Pagi Mbak,” jawab Putri.“Ya Mbak, ada yang bisa kami bantu?”“Mbak mohon informasinya, apa Pak Fikri masih tugas di kantor PT Sky Building?”“Maaf, kalau boleh tahu kami berbicara dengan siapa?”“Oh iya, saya Putri salah satu rekan bisnis Pak Fikri. Saya tertarik bekerja sama dengan beliau kembali, namun kontaknya tidak bisa saya hubungi.”“Baik Mbak Putri. Pak Fikri sekarang sudah di kantor Pusat kami, jadi tidak di kantor ini lagi.”“Apa saya bisa minta kontak beliau?”“Kami hanya bisa memberi kontak perusahaan saja ya Mbak. Karena kami dilarang membagi kontak pribadi staf kami.”“Baik, enggak masalah Mbak. Nomor kontak perusahaan saja.”“Oke Mbak berikut nomor kontaknya 5236985.”&l
Aisyah dan Putri menuju meja makan dan segera menyantap makanan yang telah disediakan Rumi. Mereka berdua memang sangat kelaparan, saking terburu-burunya ke kantor Fikri. Mereka tidak sempat memikirkan untuk makan siang.“Syah, jadwal wisudanya sudah ada belum?”tanya Rumi. “Sudah Kak, insyaaAllah awal bulan depan.”“Iya harus jelas, karena ibu dan ayah perlu datang, kan? Jadi bisa diatur waktunya, sehingga ayah dan ibu bisa hadir.”“Iya Kak, insyaaAllah itu sudah fix jadwalnya.”“Jadi Syah, apa rencanamu setelah ini?” tanya Putri. “Aku magang di tempatnya kak Rumi, sambil menunggu ijazah. Iya kan Kak?”“Iya,” jawab Rumi. “Andai aku juga kelar ya, aku juga bisa kerja di tempatnya Kak Rumi,” sambung Putri.“Ehm, yang ada kalian buat kerjaan Kak
Aisyah terus berjalan sambil menoleh, ke beberapa ruangan yang dilaluinya. Kemudian langkahnya akhirnya terhenti, di depan ruangan yang tertutup.“Kamar Abduh,” ucap Mira ke Putri. “Apa yang mau dia lakukan, Kak?” bisik Putri. Dia merasa khawatir.Mira hanya memberikan isyarat, untuk Putri tetap tenang. Mira yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Aisyah.Kamar Abduh, pikir Aisyah. Kamarnya tidak terkunci. Aku minta maaf ya Abduh, langsung masuk kamar kamu, tanpa permisi.Memasuki kamar Abduh, ada rasa berbeda hadir dalam relung hati Aisyah. Saat dia menoleh ke dinding kamar, air matanya mengalir, melihat foto-fotonya bersama Abduh.Ya Allah, kenapa foto-fotoku ada di kamar ini? Fotoku bersama Abduh, ya Allah, lengkap dengan tanggal diambilnya foto ini. Satu tahun ini, terlalu banyak hal yang kuhabiskan bersamamu, Abduh. Maafkan aku. Aku tidak sadar, akan cinta dan kasih sayangmu.
Vas itu, mendarat mulus mengenai kepala Abduh. “Ada apa ini?” Rumi tiba, bersama Adam. “Kak Rumi, kenapa Abduh jadi kurang ajar seperti ini? Dia masuk ke dalam kamarku, dan memelukku, dalam keadaan hanya memakai handuk. Ya Allah, kenapa kamu jadi murahan seperti ini Abduh?” “Ya Allah, Abduh, kepalamu berdarah. Mas, minta tolong bawa Abduh dulu ya.” Adam langsung membawa Abduh, dengan kepala yang mengeluarkan darah, setelah vas bunga yang dilemparkan Aisyah, mendarat mulus di pelipisnya. Adam lantas memapah Abduh keluar dari kamar Aisyah. “Kak Rumi, kenapa lebih memperhatikan Abduh? Kak Rum, aku adikmu! Dia sudah melecehkanku, Kak! Harga diriku sudah hancur! Kenapa dia seenaknya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarku? Ya Allah semuanya hancur, harga diriku hancur, tidak ada lagi yang tersisa!” “Adikku, ada hal yang perlu kami jelaskan,” jelas Rumi, lembut. “Apa lagi Kak Rumi? Bukannya mengecam Abduh, K
Untuk pertama kalinya, Abduh masuk ke dalam kamar Aisyah. Kamar yang sangat nyaman. Di meja belajar Aisyah, terlihat fotonya bersama Rayhan. Senyuman Aisyah, begitu sempurna di samping mendiang suaminya. Cintanya yang begitu besar, terlihat nyata, melalui pancaran cahaya di mata dan senyumannya. Bagaimana bisa aku bisa menjadi cintanya, Ya Allah. Apakah ini tidak akan semakin menyakitinya? Abduh tidak bisa menahan kesedihannya, air mata itu kembali membasahi pipinya. Dia merasakan duka yang sangat. Dia begitu takut menghadapi kenyataan, jika nanti, Aisyah tahu dan membencinya. Setelah beberapa saat berdiri kaku, memerhatikan foto Aisyah dan Rayhan, Aisyah terbangun dari tidurnya. Aisyah merasakan kehadiran Abduh. “Mas Rayhan, dari mana saja? Aisyah kesepian di kamar sendiri. Kak Rumi juga melarang Aisyah ke mana-mana,” ucap Aisyah, manja. Betapa sakitnya hati ini ya Allah. Istr
Putri dan Mira kembali saling bertatapan. Aisyah menyangka Abduh adalah Rayhan, suaminya. “Mas Raihan kok di situ, sudah enggak sayang lagi, dengan Aisyah?” sambung Aisyah. “Kak, bagaimana?” bisik Abduh ke Mira. “Enggak apa-apa Dik, niatkan hanya untuk memulihkan kondisi Aisyah, kamu mendekat ke sana,” perintah Mira, Abduh mendekat ke Aisyah, walaupun hatinya merasa sangat bersalah. Takut, jika tindakannya, akan semakin membuat Aisyah, terluka. Dalam diam, dia masih menaruh cinta yang besar pada Aisyah, yang semakin hari justru semakin tumbuh. Walaupun begitu, dia juga sangat berduka dengan kematian Rayhan. “Mas, Aisyah kangen banget. Kenapa Mas Rayhan tega meninggalkan Aisyah?” Tiba-tiba, Aisyah memeluk Abduh. “Kak, bagaimana?” Putri ikut panik dengan sikap Aisyah, pada Abduh. “Enggak masalah Put, nantilah kita bicarakan kembali. Setidaknya, kita memberikan sedikit kebahagiaan untuk Aisyah. Agar dia kembali punya harapan,” ucap Mira.
Hari-hari pun, dilalui dengan langkah berat, oleh Aisyah. Dia lupa caranya tertawa. Hanya air matanya, yang kini menjadi saksi, setiap detik yang dia lalui, menyaksikan suaminya, merasakan kesakitan yang sangat. Setiap hari, dia bolak balik ke rumah sakit, untuk menjaga dan mengurus Rayhan. Dia terus berupaya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, kepada seseorang yang selalu menghadirkan tawa untuknya. Rumi, Putri dan Mira, bahkan kehilangan kalimat, untuk terus menguatkan Aisyah. Mereka begitu paham, kondisi hati Aisyah saat ini, mereka tidak banyak bicara. Mereka hanya terus hadir, berharap itu akan menjadi kekuatan untuk Aisyah, terus berjuang demi kesembuhan Rayhan. Namun, dua pekan berlalu, Rayhan belum juga membaik. Belum selesai, beban Putri dengan kondisi Aisyah, sebuah kejutan kembali hadir, menemuinya, siang ini. Dia mendapat pesan, lagi-lagi dari Dinda. Di
Betapa bahagianya hatiku ya Allah. Aku bisa mengantarkan kakakku tersayang ke jenjang pernikahan. Aku tak lagi khawatir, dia sendiri dan kesepian. InsyaaAllah, ini jalan terbaik untuk kami. Amin. “Jadi, Kakak sudah kabari ayah dan ibu?” “Besok, Kakak rencana memberi kabar.” “Aisyah siap, jadi apa pun, di acara pernikahan Kakak nanti.” “Kok jadi apa pun, ya tetap jadi adik Kakak, dong. Cukup mendampingi Kakaknya.” Aisyah kembali memeluk Rumi. Ada bahagia, namun, juga ada sedikit rasa kehilangan. Dia mungkin akan kehilangan kakaknya setelah menikah. Tetapi, dia sadar tak mungkin menjaga egonya, tanpa memikirkan kebahagiaan kakak, yang sangat menyayanginya. “Aisyah sangat bahagia, Kak. Ini impian Aisyah, bisa mendampingi Kak Rumi bertemu dengan seseorang, yang akan menjaga Kak Rumi, selamanya.” “Terima kasih, ya, Adikku.” Beberapa menit berlalu, Aisyah kembali ke kamar. Kekasih hatinya se
Suasana kantor kini sangat berbeda bagi Aisyah, setelah Rayhan kembali bekerja. Dia berada di kantor yang sama dengan kakaknya, pun dengan suaminya. Kadang terdengar suara teman-teman kantornya bercanda, “Ini sudah jadi kantor keluarga kamu, ya, Syah?” Hening. Walaupun hanya candaan, tetapi Aisyah merasa terganggu dengan ucapan-ucapan tersebut. Akhirnya, niatnya yang telah dia pikirkan beberapa hari ini, dia sampaikan ke suaminya. “Mas, bagaimana kalau Aisyah, pindah kerja saja?” “Lho, kok mau pindah kerja?” “Aku enggak nyaman, Mas. Sekantor sama suami sendiri, aku risih jadinya.” “Kok, begitu sih, Sayang? Kan kalau sekantor dengan suami sendiri, kamu bisa melepaskan rindu setiap saat.” “Mas, aku serius! Tolong deh, jangan selalu bercanda.” “Siapa yang bercanda, Sayang. Mas serius. Kenapa kamu risih, apa ada orang yang menyakiti kamu di kantor?”
Kembali ke rumah sakit, Rayhan masih dirawat. Tampak Aisyah, sangat semangat mengurusi kebutuhan suaminya. Terlihat kasih sayang dan ketulusannya, yang begitu besar pada Raihan. Di tengah kesibukannya merapikan pakaian Rayhan, ada panggilan telepon dari kakaknya, Rumi. “Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam, iya Kak?” “Bagaimana kabar Rayhan, Syah?” “Alhamdulillah kata dokter, besok sudah bisa pulang, Kak.” “Alhamdullilah. Kak Rumi sangat bahagia mendengarnya. Jadi kalian pulang ke mana?” “Mas Rayhan setuju, untuk sementara ke rumah Kakak? Boleh kan, Kak?” “Apa enggak masalah, Syah?” “Tidak dong, Kak. Kan, Aisyah sudah berdiskusi dengan Mas Rayhan. Mas Rayhan juga mengerti, Aisyah belum bisa jauh dari Kak Rumi.” “Kalau Kak Rumi sih, enggak masalah.” “Terima kasih, Kak.” “Kok malah terima kasih, Kakak kan, masih Kakak kamu, Syah. Sudah tugas Kakak
Tanpa disadari Aisyah, perasaan yang sama, juga berselimut dalam hati semua orang-orang, yang sangat menyayanginya. Namun, semuanya berusaha, memahami keputusan Aisyah. Semuanya menampakkan kebahagiaan, untuk menguatkan Aisyah. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar perawatan Rayhan. Rayhan masih terbaring sangat lemah. Namun penampillannya sangat istimewa. Dia tampil menggunakan kemeja putih dilengkapi dengan jas hitam. Ketampanannya menyeruak, walaupun wajahnya sangat pucat. Ya Allah, betapa pria ini sangat sempurna, Engkau kirimkan untukku. Ya Allah, semoga ini awal kebahagiaan kami. Aisyah begitu terpana, melihat sosok pria yang dicintainya, terlihat sangat sempurna pagi ini. Semua telah hadir, orang tua Rayhan, seorang pejabat KUA dan saksi dari keluarga Rayhan. “Alhamdulillah semuanya telah berkumpul. Baiklah kita segerakan saja akad nikahnya,” ujar Rumi, memulai.