Hening!
Aisyah dan Rumi saling bertatapan, kaget.
“Kok aku? Kenapa bukan Kak Rumi? Ayah ini apa enggak salah? Aku belum selesai kuliah, aku yang adik! Kok bukan Kak Rumi saja yang dijodohkan? Kak Rumi kan, juga sudah dewasa sedangkan aku belum!”
Aisyah tidak percaya ucapan Ayahnya. Kalimat pembelaannya, tiba-tiba terucap begitu deras.
“Tetapi mereka maunya dengan Aisyah,” sambung Ibu, mencoba menjelaskan.
“Bagaimana sih, Yah? Kok Ayah enggak bisa memberikan pendapat sedikit? Sampaikan dong ke mereka, Aisyah itu masih kecil. Ayah punya anak tertua, lebih dewasa. Jadi lebih baik Kak Rumi saja!”
Aisyah terus mencari alasan, untuk menolak permintaan ayah dan ibunya. Dia merasa tidak masuk akal, terjadi perjodohan seperti ini, sedangkan kuliahnya saja belum selesai, belum kerja, belum ini itu.
“Ayah dan Ibu, enggak memaksa kok, Aisyah. Kalau kamu enggak mau ya enggak masalah. Mereka juga baru mengajukan keinginannya. Kamu punya hak menerima ataupun menolak. Ayah dan Ibu enggak akan memaksa kamu,” jawab Ayah Aisyah, bijak.
“Aku heran, sebenarnya kenapa mereka enggak melamar Kak Rumi saja, kenapa harus Aisyah?!” sambung Aisyah.
“Mereka bilang, Kak Rumi-mu terlalu dewasa,” jelas Ibu.
Aisyah mengangkat alis. Terkejut dengan jawaban Ibunya. “Lho, kok terlalu dewasa? Bukannya, anak tante Maya juga sudah dewasa? Atau mungkin mereka takut, kalau dengan kak Rumi yang sudah dewasa, makanya mencari seperti aku yang belum punya apa-apa. Sehingga bisa seenaknya diperlakukan, diatur. Begitukah, Yah?!”
“Kamu tidak usah berpikir sejauh itu. Kalau kamu memang enggak mau ya enggak usah. Tetapi sebenarnya Ayah dan Ibu, juga, sudah berharap ada di antara kamu dan kakakmu yang menikah. Ayah dan Ibu sudah tua, ingin juga gendong cucu,” sahut ayah.
“Kok aku sih yang Ayah desak. Kenapa enggak bicara dengan kak Rumi? Kak Rumi itu lebih pantas dan lebih siap untuk menikah, Yah. Aku tidak akan menikah sebelum mapan dan sebelum kak Rumi menikah!”
Aisyah terus membela dirinya, sedangkan Rumi hanya diam, menyimak apa yang dibicarakan kedua orang tuanya. Dia hanya sesekali tersenyum setiap mendengar jawaban adiknya.
“Ayah hanya berharap, kamu atau kakakmu segera menikah. Itu saja!” ujar ayah, masih dengan harapannya.
“Ayah itu beraninya sama Aisyah, kenapa enggak berani sama Kak Rumi? Kalau begini, aku akan seperti kak Rumi, bisa merancang masa depannya sendiri!” Suasana hati Aisyah semakin buruk, dengan pembahasan perjodohan ini.
“Yah,” sela Rumi. “Kalau menurut Rumi, ada baiknya Aisyah menyelesaikan dulu kuliahnya. Sedikit lagi, dia akan selesai kok, Yah. Kasihan, kalau dia harus mengubur impiannya. Apa pun yang Aisyah dan Rumi lakukan, tiada lain dan tiada bukan hanya untuk ayah dan ibu,” tutur Rumi, sangat lembut.
“Yah, Aisyah juga mau bilang, menikah itu bukan satu-satunya cara membuat ayah dan ibu bangga. Okelah kalau Aisyah dan kak Rumi menikah dan bertemu dengan pria yang baik dan bertanggung jawab.
“Tetapi tiba-tiba takdir berubah arah, ayah dan ibu juga yang akan terseret dalam kesedihan. Izinkan Aisyah dan kak Rumi menata masa depan kami sebaik mungkin, Yah. Ayah kan sangat paham tentang jodoh. Biarkan dia datang sesuatu waktunya, biarkan dia datang sendiri,” ungkap Aisyah, jelas.
“Ya, jika sudah memang seperti itu keputusan kalian berdua, Ibu dan Ayah mau bagaimana? Intinya, doa Ayah dan Ibu akan selalu menyertai Aisyah dan Rumi.” Ayah tampak menyerah setelah mendengar penjelasan kedua putrinya.
“Lakukan yang terbaik untuk kehidupan kalian, Nak. Ibu dan Ayah hanya ingin kalian sukses dan bahagia.” Ibu menambahkan.
Aisyah lega, akhirnya bisa mengatakan tidak. Dan ayah ibunya bisa menerima alasannya. Aisyah bersyukur memiliki kedua orang tua yang sangat memahami anak-anaknya. Mereka begitu paham dan mengerti, orientasi kehidupan kedua anaknya.
Malam yang berat akhirnya terlewati.
Perjalanan hidup selalu saja tidak bisa ditebak. Aisyah yang baru mempersiapkan diri, menyambut garis akhir perkuliahannya, tiba-tiba dihadang oleh kata pernikahan. Itulah kenyataan hidup, yang multak akan hadir di waktu tidak terduga.
***
Setelah beberapa pekan, tak bertemu dengan Aisyah, Putri mendatangi kediaman sahabatnya itu.
Ya seperti biasa, dia akan mencari Aisyah, saat dia punya masalah dan butuh pendengar. Karena pendengar sejatinya itu adalah Aisyah. Walaupun kadang tak sejalan, Putri selalu merasa nyaman bersama Aisyah.
“Syah, ada seorang wanita mengajakku bertemu di taman sore ini,” ucap Putri. “Wanita? Siapa?”
“Aku juga enggak tahu, katanya dia ingin menyelamatkan masa depanku.”
Aku yakin ini tentang Andi, batin Aisyah.
“Iya kamu ke sana saja Put, siapa tahu dia punya informasi penting.”
“Tetapi kamu ikut ya? Aku takut sendiri.”
“Pasti! Aku akan menemanimu.”
Putri tampak tidak seperti biasa, dia terlihat banyak beban.
“Put, kamu enggak apa-apa?” tanya Aisyah, memastikan keadaan Putri. “Iya, aku baik,” jawabnya lemah. Dia kelihatan sedang memikirkan hal berat, dia sangat tidak bersemangat.
“Syah, kenapa ya, justru menjelang pernikahanku, perasaanku malah galau begini. Aku menjadi ragu akan langkahku ini. Akhir-akhir ini, komunikasiku dengan Andi justru tidak sebaik sebelum lamaran kemarin. Andi jauh lebih cuek dan kami semakin jarang berkomunikasi,” sambung Putri.
“Ehm. Saat ini, kamu memang harus berpikir panjang, Put. Karena menikah, bukan hanya persoalan kebersamaan sepekan, sebulan, setahun. Tetapi pernikahan, kita harapkan menjadi kebersamaan selamanya. Kalau aku, gunakan waktu ini untuk mempertimbangkan kembali segalanya,” ujar Aisyah.
“Iya Syah. Aku takut. Aku justru jadi kepikiran keadaanku nanti setelah menikah. Aku takut membayangkan, semua akan berubah. Aku tak mampu lagi bebas, aku terikat.”
“Itulah pernikahan Put, semua pasti akan berubah.”
“Semoga aku bisa mencari keyakinan itu lagi, Syah. Aku tidak tahu mau cerita ke siapa, aku hanya punya kamu.”
Aisyah bersyukur, atas perubahan cara berpikir sahabatnya itu. Aisyah berharap, inilah cara Allah menunjukkan jalan terbaik untuk sahabatnya.
“InsyaaAllah, aku akan selalu di sampingmu, Put.”
“Terima kasih ya.”
Putri kembali diam. Pernikahan yang tak lama lagi, justru membuatnya berubah. Tidak semangat lagi, seperti cintanya yang begitu besar ke Andi.
Sore tiba.
Putri dan Aisyah menuju taman. Tampak wanita muda, cantik, rok sebatas lutut, dengan kemeja ketat.
“Kenalkan, saya Rosa,” ungkap wanita itu. Tak lama setelah Putri dan Aisyah, menyapanya.
“Saya, Putri, dan sahabat saya Aisyah. Enggak apa-apa kan saya datang berdua?”
“Iya, tidak apa-apa. Jadi kita langsung saja, ada yang ingin saya sampaikan sama kamu.”
“Apa itu? Masalah apa? Mengapa Mbak mengatakan, ini tentang masa depan saya?” tanya Putri.
“Saya Rosa, pacar Andi! Kami sudah pacaran sebelum kamu bertemu dengan dia.”
Tersentak!
Raut wajah Putri, seketika menjadi tegang, sangat tertekan.
“Saya mengajak kamu bertemu di sini, karena saya keberatan Andi menikah dengan kamu, bukan dengan saya. Saya sudah menyerahkan seluruh hidup saya, bahkan kehormatan saya untuk dia.
“Tetapi akhirnya dia meninggalkan saya. Saya sudah hamil dua bulan. Kamu juga harus tahu, Andi mau menikah dengan kamu, karena harta, bukan karena cinta. Dia tidak pernah mencintai kamu, tidak pernah!”
Putri terkulai, jatuh ke tanah.
“Putri, Putri!!!!” teriak Aisyah, panik. Dia lantas memapah Putri, bersama Rosa, menuju mobil, dan membawanya ke rumah sakit.
Ya, Allah apa lagi yang terjadi pada sahabatku ini?
Aisyah diliputi rasa khawatir. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia menghubungi Rumi.
“Assalamu’alaykum Kak.”
“Wa’alaykumussalam, Dik. Ada apa?”
“Kak, aku lagi di perjalanan ke rumah sakit.”
“Rumah sakit, kamu sakit apa?”
“Bukan aku Kak, Putri.”
“Putri kenapa?”
“Putri pingsan.”
“Nanti kabari Kakak jika sudah tiba di rumah sakit.”
“Baik Kak.”
Setelah Aisyah menutup telepon, tak lama, mereka tiba di rumah sakit. Putri langsung diangkat ke atas brankar.
Aisyah gelisah. Rasa takut, khawatir dan syok atas keadaan sahabatnya. Azan magrib berkumandang, dia langsung menuju musala. Dia berusaha mencari ketenangan. Dia harus kuat untuk sahabatnya, yang tengah tak berdaya.
Setelah melaksanakan salat magrib, Aisyah menghubungi Rumi untuk memberi kabar tentang kondisi Putri.
“Kak, ini Aisyah.”
“Bagaimana keadaan Putri?”
“Ini sudah dua jam, dia belum sadar Kak.”
“Jadi kamu bagaimana?”
“Kak, malam ini aku di rumah sakit dulu menemani Putri, ya.”
“Iya Dik. Nanti kalau sempat, Kakak singgah jenguk Putri.”
“Iya Kak.”
Setelah percakapan dengan kakaknya, Aisyah menghubungi orang tua Putri, namun tidak juga bisa tersambung.
Ya, orang sibuk. Beginilah kalau orang tua hanya fokus mengurusi karier. Tidak ada lagi waktu untuk memberikan perhatian kepada anak gadisnya.
Saat kembali ke kamar, Aisyah kembali tersentak, tak ada Putri di tempat tidurnya. “Putri kamu ke mana, kamu jangan melakukan hal bodoh sahabatku!” teriak Aisyah, mencari keberadaan Putri.
Beberapa detik termangu, Aisyah menatap pintu kamar mandi.
Terbuka?
Pelahan dia melangkah dengan perasaan takut. Dia terus dibayangi kondisi terburuk.
“Putri, Putri! Aku mohon jangan lakukan itu. Ingat orang tuamu, ingat impianmu Put. Jangan lakukan hal bodoh!” teriak Aisyah mendapati Putri, sedang bermain dengan benda tajam nan membahayakan, di tangannya.
“Aku sudah tidak punya harapan lagi, Syah! Aku sudah mempermalukan orang tuaku, aku malu!”
Aisyah berjalan lambat, mendekati Putri. Tapi belum sempat…
“Putri!!!” Suara Aisyah melengking keras, menyaksikan Putri melukai dirinya sendiri. Darah bercucuran dari tangannya. Benda tajam itu mendarat mulus, menyayat.
Aisyah menangis. Syok. Suaranya semakin keras, meminta pertolongan.
“Putri kamu harus kuat sahabatku! Ya Allah, ampuni kami!”
Aisyah terus berteriak.
Beberapa saat kemudian, beberapa perawat sudah berlarian masuk ke kamar Putri.
Putri dikembalikan ke tempat tidur. Perawat dengan cepat menangani luka Putri. Tak henti, Aisyah terus berzikir. Memohon pertolongan pada Sang Penguasa Hidup. Air matanya terus mengalir. Ketakutan terus menghantuinya.
Sekitar dua puluh menit, perawat baru meninggalkan kamar Putri. Aisyah sudah diizinkan untuk masuk kembali. Dengan air mata yang terus mengalir, Putri menguatkan diri untuk berbicara dengan Aisyah.
“Aisyah, aku minta maaf, aku menyesal, aku bodoh! Aku tidak pernah mau mendengarkan nasihatmu, aku menyesal, maafkan aku!” tutur Putri, sangat sedih.
Aisyah tidak mampu menahan tangis melihat keadaana sahabatnya. Dia merangkul Putri, dan terus memberikan kekuatan. Kenyataan yang begitu pahit, semoga bisa menjadi pelajaran berharga buat Putri.
Manusia dianugerahkan mata untuk melihat dengan jelas, dan telinga untuk mendengar kebenaran. Jika manusia masih saja melawan apa yang terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga, apa bedanya manusia dengan ciptaan Tuhan yang tidak diberi akal?
Kita tidak pernah tahu, cara Allah menyampaikan takdirnya. Ada kalanya kita telah yakin dengan apa yang tampak jelas di depan mata, namun di lain waktu yang tampak jelas, justru membuat kita semakin ragu. Memaknai setiap keyakinan dan keraguan hanya bisa diperoleh, apabila kepasrahan itu sepenuhnya dihadirkan di dalam jiwa.
Setelah pertemuan di taman, kondisi Putri yang memburuk membuatnya harus di rawat sepekan di rumah sakit. Rencana awal yang telah dipersiapkan dengan sempurna, akhirnya berakhir lebih awal. Impian Putri, pun, seketika sirna.
Pernikahannya dengan Andi dibatalkan. Undangan yang telah tercetak, kini menjadi kenangan. Gaun pengantin yang telah dijahit, kini hanya menjadi bukti, sakit hati Putri yang sangat dalam.
“Syah, aku semakin tidak percaya dengan laki-laki. Ayahku, sejak kecil sulit aku percaya. Apa yang diucapkannya padaku, dia selalu ingkari. Pun, sekarang, laki-laki yang aku cintai, yang aku impikan menjadi pasangan hidupku selamanya, ternyata hanya sebuah bayangan gelap yang membawa kesakitan yang sangat, dalam hidupku. Aku tak menyangka, dia setega itu padaku!”
“Seperti itulah kenyataannya, Put. InsyaaAllah ini cara Allah menunjukkan siapa Andi sebenarnya.”
“Aku sangat bersyukur, aku belum menikah dengannya dan mendengar kenyataan ini. Karena jika itu terjadi, mungkin aku sudah meninggalkan dunia ini, karena aku tak bisa membayangkan hancurnya diriku.”
“Alhamdulillah, semoga Allah senantiasa melindungimu. Semoga ini menjadi awal kehidupanmu yang baru ya, Put.”
“Terima kasih Syah, sudah selalu ada di sampingku. Entah apa yang terjadi denganku jika tidak ada kamu.”
Air mata Putri kembali mengalir.
Betapa rasa syukur itu hadir, dia memiliki seorang sahabat, yang selalu ada untuknya. Sahabat yang selalu dia lawan, sahabat yang selalu dia abaikan nasihatnya, dia sangat menyesal. Dia banyak menghabiskan waktu yang sia-sia dan sering menyakiti hati Aisyah.
“Aku senang bisa berbuat lebih untuk kamu, Put. Kita kan sahabat, sudah selayaknya selalu saling mendukung.”Aisyah memberi pelukan penuh kasih sayang. Putri yang selalu dimanja, terbiasa bebas, akhirnya tiba pada masa, di mana kedewasaannya diuji. Setelah beberapa hari di rawat, akhirnya Putri diizinkan meninggalkan rumah sakit. Dengan sisa kekuatan dan ketegaran, dia mencoba melangkah. Aisyah turut mengantarnya pulang, bersama ayah dan ibunda Putri.Namun, tiba di rumah, sosok yang paling tidak diinginkan Putri, berdiri tepat di depan gerbang rumahnya. Tanpa kata, Putri langsung turun dan menemui Andi.“Putri, kamu hati-hati. Kamu belum sepenuhnya pulih,” ucap Aisyah, sambil memegang tubuh Putri, yang masih lemah.“Untuk apa kamu kesini?!” tanya Putri, sangat emosi.“Aku datang menjengukmu, Sayang. Aku dengar kamu masuk rumah sakit. Terus mengapa kamu membatalkan pernikahan kita? Aku perlu tahu alasannya. Aku sangat mencintaimu.”Wajah Andi yang penuh drama, semakin membuat amarah P
Pertama kalinya, Aisyah masuk di rumah ini. Rumah besar namun terasa sangat sunyi. Setahun bertetangga dengan Mira, Aisyah hanya banyak ngobrol di halaman dan sesekali masak bersama, di rumah mereka.“Kak Mira mau cerita yang sebenarnya, supaya kamu dengan Rumi bisa tahu kehidupan Kakak yang sebenarnya.”“Iya Kak, saya siap menjadi pendengar,” jawab Aisyah, sangat bersemangat. “Kak Mira sudah resmi berpisah empat bulan yang lalu Dik, setelah pisah rumah selama setahun.”“Berpisah? Bukannya Kak Mira dan mas Bambang sudah menikah sepuluh tahun, kenapa bisa sampai pisah Kak?” tanya Aisyah, terkejut.“Ceritanya panjang Dik. Kalau Aisyah mau dengar, Kak Mira akan cerita.”“Iya Kak. Saya bahagia sekali, jika Kak Mira mau berbagi. Pasti jadi pelajaran berharga untukku, Kak.”Mira lantas memulai ceritanya. Persoalan rumah tangganya, campur tangan orang tua suaminya, adalah kenyataan terpahit yang membuat pernikahan mereka berakhir.“Kami menikah hampir sebelas tahun. Selama itu, keluarga kami
Setelah berlalu beberapa menit, Aisyah kembali ke rumah Mira. Dia masih antusias dan penasaran dengan perjalanan hidup Mira. “Aku sudah selesai Kak. Kak Mira boleh lanjut ceritanya.” “Tetapi Aisyah masih ingat kan, tadi ceritanya sampai di mana?” tanya Mira, meyakinkan bahwa Aisyah menyimak . “Hehe, iya dong Kak.” Mira pun melanjutkan ceritanya. Entah bagaimana Aisyah menjabarkan perasaannya, dengan semua apa yang telah diceritakan Mira. Perjalanan yang begitu tragis, kebahagiaan yang selama ini ternyata hanya terlihat dari luar, namun setelah menyelam ke dalam, ternyata ada hati yang hancur. “Tak terasa hampir setahun sudah aku berpisah dengan Mas Bambang. Aku tak pernah lagi mendengar berita tentangnya. Mungkin dia sudah bahagia sekarang, pikirku. Namun aku terkejut, saat melihat seorang pria yang sangat kukenal, berdiri tepat dihadapanku saat aku membuka pintu rumah, beberapa bulan yang lalu.” “Dik Mira, apa kabar?” “Aku baik. Mas Bamb
Beberapa detik tidak fokus, Aisyah akhirnya mengingat bahwa dia membutuhkan kalkulator untuk menyelesaikan tugas dari kampus. Dia pun ke kamar Rumi mengambil kalkulator. Ya Allah, kakakku bahkan tidak sempat lagi merapikan tempat tidurnya. Aisyah lantas merapikan dan membersihkan kamar Rumi. Tampak dokumen masih berserakan di atas meja. Pasti kak Rumi begadang lagi semalam. Pantas hari ini buru-buru banget ke kantor. Aisyah kemudian membersihkan tempat tidur dan tidak sengaja dia menemukan sebuah buku bersampul merah bertulisan ‘Goresanku’. Apakah aku boleh membukanya? Nanti kak Rumi marah? Ah nanti dia enggak bakalan tahu. Aku buka saja. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku tahu tentang kak Rumi. Dia membuka pelahan, halaman demi halaman. Sampai dia tiba pada halaman yang bertanda khusus, Destiny. 11 Januari 2014 Hari itu tak akan pernah kulupakan, hari itu sebenarnya sangat aku tunggu. Seseorang yang sangat aku kagumi, sangat aku impikan, akan berbicara serius tentang hubu
Semoga rasa sakitnya kemarin menjadi pengalaman berharga membuatnya semakin menjadi wanita yang kuat dan lebih berhati-hati, harap Aisyah.Beberapa jam kemudian, akhirnya semua berkas yang Aisyah butuhkan untuk ujian sidang telah lengkap.Sekarang aku fokus ke persiapan fisik dan paling utama mental. Semoga aku bisa memberikan kebanggaan untuk orang tuaku ya Allah dan teruntuk kakakku Rumi. Dia telah melalui berbagai banyak kesulitan hidup demiku ya Allah. Semoga kebahagiaan selalu untuknya.Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, saat Aisyah tiba di rumah. Dia kaget melihat kakaknya sudah ada di rumah. Tidak biasanya dia pulang secepat ini.“Kak Rumi, kok tumben banget pulang jam segini?” tanya Aisyah. “Kak Rumi agak kurang sehat, Syah.”“Kak Rumi sakit apa?” tanya Aisyah, panik. Karena Rumi tidak pernah sakit, fisiknya sangat kuat.“Hanya kelelahan saja
“Selamat Pagi, PT. Sky Building,” jawab seorang wanita di balik telepon. “Selamat Pagi Mbak,” jawab Putri.“Ya Mbak, ada yang bisa kami bantu?”“Mbak mohon informasinya, apa Pak Fikri masih tugas di kantor PT Sky Building?”“Maaf, kalau boleh tahu kami berbicara dengan siapa?”“Oh iya, saya Putri salah satu rekan bisnis Pak Fikri. Saya tertarik bekerja sama dengan beliau kembali, namun kontaknya tidak bisa saya hubungi.”“Baik Mbak Putri. Pak Fikri sekarang sudah di kantor Pusat kami, jadi tidak di kantor ini lagi.”“Apa saya bisa minta kontak beliau?”“Kami hanya bisa memberi kontak perusahaan saja ya Mbak. Karena kami dilarang membagi kontak pribadi staf kami.”“Baik, enggak masalah Mbak. Nomor kontak perusahaan saja.”“Oke Mbak berikut nomor kontaknya 5236985.”&l
Aisyah dan Putri menuju meja makan dan segera menyantap makanan yang telah disediakan Rumi. Mereka berdua memang sangat kelaparan, saking terburu-burunya ke kantor Fikri. Mereka tidak sempat memikirkan untuk makan siang.“Syah, jadwal wisudanya sudah ada belum?”tanya Rumi. “Sudah Kak, insyaaAllah awal bulan depan.”“Iya harus jelas, karena ibu dan ayah perlu datang, kan? Jadi bisa diatur waktunya, sehingga ayah dan ibu bisa hadir.”“Iya Kak, insyaaAllah itu sudah fix jadwalnya.”“Jadi Syah, apa rencanamu setelah ini?” tanya Putri. “Aku magang di tempatnya kak Rumi, sambil menunggu ijazah. Iya kan Kak?”“Iya,” jawab Rumi. “Andai aku juga kelar ya, aku juga bisa kerja di tempatnya Kak Rumi,” sambung Putri.“Ehm, yang ada kalian buat kerjaan Kak
Ternyata sekian tahun, Kak Mira hidup sendiri, betapa sunyinya rumah ini, gumam Abduh setibanya di kamar. Dia lantas meletakkan barang-barangnya di kamar, yang akan menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Setelah melaksanakan salat, dia menuju meja makan. Mira telah menunggunya “Abe?” panggil Mira, saat Abduh telah duduk di meja makan, tepat di depannya. “Iya Kak. Kak Mira masih ingat saja panggilan kecilku,” jawab Abduh dengan senyuman manis, ditambah lesung pipinya yang menawan. “Iya dong. Mulai hari ini, Kak Mira panggil kamu Abe ya?” “Siap, Kak.” “Ayo kita makan dulu, kamu pasti lapar.” “Iya Kak. Apalagi masakan Kak Mira sangat enak, persis masakan ibu.” “Iya dong, anak ibu.” “Iya, deh.” Abe tersenyum lebar menanggapi ucapan Mira. Dia pun menyantap makan siang yang telah tersedia di depannya. “Dik, kamu besok sudah ada jadwal ke kampus kan?” “Iya Kak
Aisyah terus berjalan sambil menoleh, ke beberapa ruangan yang dilaluinya. Kemudian langkahnya akhirnya terhenti, di depan ruangan yang tertutup.“Kamar Abduh,” ucap Mira ke Putri. “Apa yang mau dia lakukan, Kak?” bisik Putri. Dia merasa khawatir.Mira hanya memberikan isyarat, untuk Putri tetap tenang. Mira yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Aisyah.Kamar Abduh, pikir Aisyah. Kamarnya tidak terkunci. Aku minta maaf ya Abduh, langsung masuk kamar kamu, tanpa permisi.Memasuki kamar Abduh, ada rasa berbeda hadir dalam relung hati Aisyah. Saat dia menoleh ke dinding kamar, air matanya mengalir, melihat foto-fotonya bersama Abduh.Ya Allah, kenapa foto-fotoku ada di kamar ini? Fotoku bersama Abduh, ya Allah, lengkap dengan tanggal diambilnya foto ini. Satu tahun ini, terlalu banyak hal yang kuhabiskan bersamamu, Abduh. Maafkan aku. Aku tidak sadar, akan cinta dan kasih sayangmu.
Vas itu, mendarat mulus mengenai kepala Abduh. “Ada apa ini?” Rumi tiba, bersama Adam. “Kak Rumi, kenapa Abduh jadi kurang ajar seperti ini? Dia masuk ke dalam kamarku, dan memelukku, dalam keadaan hanya memakai handuk. Ya Allah, kenapa kamu jadi murahan seperti ini Abduh?” “Ya Allah, Abduh, kepalamu berdarah. Mas, minta tolong bawa Abduh dulu ya.” Adam langsung membawa Abduh, dengan kepala yang mengeluarkan darah, setelah vas bunga yang dilemparkan Aisyah, mendarat mulus di pelipisnya. Adam lantas memapah Abduh keluar dari kamar Aisyah. “Kak Rumi, kenapa lebih memperhatikan Abduh? Kak Rum, aku adikmu! Dia sudah melecehkanku, Kak! Harga diriku sudah hancur! Kenapa dia seenaknya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamarku? Ya Allah semuanya hancur, harga diriku hancur, tidak ada lagi yang tersisa!” “Adikku, ada hal yang perlu kami jelaskan,” jelas Rumi, lembut. “Apa lagi Kak Rumi? Bukannya mengecam Abduh, K
Untuk pertama kalinya, Abduh masuk ke dalam kamar Aisyah. Kamar yang sangat nyaman. Di meja belajar Aisyah, terlihat fotonya bersama Rayhan. Senyuman Aisyah, begitu sempurna di samping mendiang suaminya. Cintanya yang begitu besar, terlihat nyata, melalui pancaran cahaya di mata dan senyumannya. Bagaimana bisa aku bisa menjadi cintanya, Ya Allah. Apakah ini tidak akan semakin menyakitinya? Abduh tidak bisa menahan kesedihannya, air mata itu kembali membasahi pipinya. Dia merasakan duka yang sangat. Dia begitu takut menghadapi kenyataan, jika nanti, Aisyah tahu dan membencinya. Setelah beberapa saat berdiri kaku, memerhatikan foto Aisyah dan Rayhan, Aisyah terbangun dari tidurnya. Aisyah merasakan kehadiran Abduh. “Mas Rayhan, dari mana saja? Aisyah kesepian di kamar sendiri. Kak Rumi juga melarang Aisyah ke mana-mana,” ucap Aisyah, manja. Betapa sakitnya hati ini ya Allah. Istr
Putri dan Mira kembali saling bertatapan. Aisyah menyangka Abduh adalah Rayhan, suaminya. “Mas Raihan kok di situ, sudah enggak sayang lagi, dengan Aisyah?” sambung Aisyah. “Kak, bagaimana?” bisik Abduh ke Mira. “Enggak apa-apa Dik, niatkan hanya untuk memulihkan kondisi Aisyah, kamu mendekat ke sana,” perintah Mira, Abduh mendekat ke Aisyah, walaupun hatinya merasa sangat bersalah. Takut, jika tindakannya, akan semakin membuat Aisyah, terluka. Dalam diam, dia masih menaruh cinta yang besar pada Aisyah, yang semakin hari justru semakin tumbuh. Walaupun begitu, dia juga sangat berduka dengan kematian Rayhan. “Mas, Aisyah kangen banget. Kenapa Mas Rayhan tega meninggalkan Aisyah?” Tiba-tiba, Aisyah memeluk Abduh. “Kak, bagaimana?” Putri ikut panik dengan sikap Aisyah, pada Abduh. “Enggak masalah Put, nantilah kita bicarakan kembali. Setidaknya, kita memberikan sedikit kebahagiaan untuk Aisyah. Agar dia kembali punya harapan,” ucap Mira.
Hari-hari pun, dilalui dengan langkah berat, oleh Aisyah. Dia lupa caranya tertawa. Hanya air matanya, yang kini menjadi saksi, setiap detik yang dia lalui, menyaksikan suaminya, merasakan kesakitan yang sangat. Setiap hari, dia bolak balik ke rumah sakit, untuk menjaga dan mengurus Rayhan. Dia terus berupaya, memberikan perhatian dan kasih sayangnya, kepada seseorang yang selalu menghadirkan tawa untuknya. Rumi, Putri dan Mira, bahkan kehilangan kalimat, untuk terus menguatkan Aisyah. Mereka begitu paham, kondisi hati Aisyah saat ini, mereka tidak banyak bicara. Mereka hanya terus hadir, berharap itu akan menjadi kekuatan untuk Aisyah, terus berjuang demi kesembuhan Rayhan. Namun, dua pekan berlalu, Rayhan belum juga membaik. Belum selesai, beban Putri dengan kondisi Aisyah, sebuah kejutan kembali hadir, menemuinya, siang ini. Dia mendapat pesan, lagi-lagi dari Dinda. Di
Betapa bahagianya hatiku ya Allah. Aku bisa mengantarkan kakakku tersayang ke jenjang pernikahan. Aku tak lagi khawatir, dia sendiri dan kesepian. InsyaaAllah, ini jalan terbaik untuk kami. Amin. “Jadi, Kakak sudah kabari ayah dan ibu?” “Besok, Kakak rencana memberi kabar.” “Aisyah siap, jadi apa pun, di acara pernikahan Kakak nanti.” “Kok jadi apa pun, ya tetap jadi adik Kakak, dong. Cukup mendampingi Kakaknya.” Aisyah kembali memeluk Rumi. Ada bahagia, namun, juga ada sedikit rasa kehilangan. Dia mungkin akan kehilangan kakaknya setelah menikah. Tetapi, dia sadar tak mungkin menjaga egonya, tanpa memikirkan kebahagiaan kakak, yang sangat menyayanginya. “Aisyah sangat bahagia, Kak. Ini impian Aisyah, bisa mendampingi Kak Rumi bertemu dengan seseorang, yang akan menjaga Kak Rumi, selamanya.” “Terima kasih, ya, Adikku.” Beberapa menit berlalu, Aisyah kembali ke kamar. Kekasih hatinya se
Suasana kantor kini sangat berbeda bagi Aisyah, setelah Rayhan kembali bekerja. Dia berada di kantor yang sama dengan kakaknya, pun dengan suaminya. Kadang terdengar suara teman-teman kantornya bercanda, “Ini sudah jadi kantor keluarga kamu, ya, Syah?” Hening. Walaupun hanya candaan, tetapi Aisyah merasa terganggu dengan ucapan-ucapan tersebut. Akhirnya, niatnya yang telah dia pikirkan beberapa hari ini, dia sampaikan ke suaminya. “Mas, bagaimana kalau Aisyah, pindah kerja saja?” “Lho, kok mau pindah kerja?” “Aku enggak nyaman, Mas. Sekantor sama suami sendiri, aku risih jadinya.” “Kok, begitu sih, Sayang? Kan kalau sekantor dengan suami sendiri, kamu bisa melepaskan rindu setiap saat.” “Mas, aku serius! Tolong deh, jangan selalu bercanda.” “Siapa yang bercanda, Sayang. Mas serius. Kenapa kamu risih, apa ada orang yang menyakiti kamu di kantor?”
Kembali ke rumah sakit, Rayhan masih dirawat. Tampak Aisyah, sangat semangat mengurusi kebutuhan suaminya. Terlihat kasih sayang dan ketulusannya, yang begitu besar pada Raihan. Di tengah kesibukannya merapikan pakaian Rayhan, ada panggilan telepon dari kakaknya, Rumi. “Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam, iya Kak?” “Bagaimana kabar Rayhan, Syah?” “Alhamdulillah kata dokter, besok sudah bisa pulang, Kak.” “Alhamdullilah. Kak Rumi sangat bahagia mendengarnya. Jadi kalian pulang ke mana?” “Mas Rayhan setuju, untuk sementara ke rumah Kakak? Boleh kan, Kak?” “Apa enggak masalah, Syah?” “Tidak dong, Kak. Kan, Aisyah sudah berdiskusi dengan Mas Rayhan. Mas Rayhan juga mengerti, Aisyah belum bisa jauh dari Kak Rumi.” “Kalau Kak Rumi sih, enggak masalah.” “Terima kasih, Kak.” “Kok malah terima kasih, Kakak kan, masih Kakak kamu, Syah. Sudah tugas Kakak
Tanpa disadari Aisyah, perasaan yang sama, juga berselimut dalam hati semua orang-orang, yang sangat menyayanginya. Namun, semuanya berusaha, memahami keputusan Aisyah. Semuanya menampakkan kebahagiaan, untuk menguatkan Aisyah. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar perawatan Rayhan. Rayhan masih terbaring sangat lemah. Namun penampillannya sangat istimewa. Dia tampil menggunakan kemeja putih dilengkapi dengan jas hitam. Ketampanannya menyeruak, walaupun wajahnya sangat pucat. Ya Allah, betapa pria ini sangat sempurna, Engkau kirimkan untukku. Ya Allah, semoga ini awal kebahagiaan kami. Aisyah begitu terpana, melihat sosok pria yang dicintainya, terlihat sangat sempurna pagi ini. Semua telah hadir, orang tua Rayhan, seorang pejabat KUA dan saksi dari keluarga Rayhan. “Alhamdulillah semuanya telah berkumpul. Baiklah kita segerakan saja akad nikahnya,” ujar Rumi, memulai.