Panji— laki-laki yang masih mengenakan jaket kanvas berwarna marun begitu memperhatikan Sepia sejak ia memasuki ruangan acara webinar akan dilangsungkan. Dari kerutan kecil pada keningnya, terlihat jelas Panji sangat terkejut dengan penampilan Sepia yang berubah hampir tiga ratus enam puluh derajat. Apalagi ketika perempuan itu tersenyum ke arahnya dengan ramah, benar-benar berbeda. Padahal ia masih ingat betul, beberapa hari lalu Sepia meminta dirinya untuk menjauh.“Apa kabar, Panji? Sudah siap untuk webinarnya?” tanya Sepia basa-basi. Hal itu dilakukannya agar suasana menjadi lebih cair.Setelah apa yang telah terjadi, Sepia akan berusaha melupakan segalanya dan merubah banyak hal. Entah itu soal masa lalunya dengan Panji atau pun kejadian beberapa hari lalu.“Ba—baik. Aku sudah sangat siap … dan Ibu Sepia? Bagaimana keadaanmu, Bu?” ia menyahut dengan canggung. Panji hanya melihat Sepia sekejap, kemudian memalingkan pandangannya ke tempat lain. Ia masih tidak percaya, dengan sikap
Sepia mengikat rambutnya, lalu berjongkok mengambil kotak berisi foto-foto Shabiru dan memindahkannya ke atas meja. Tinggal di Jakarta bukanlah keputusan yang mudah di ambil. Banyak hal yang telah Sepia pertimbangkan matang-matang dengan waktu yang tidak sebentar. Namun,masalah yang menimpanya membuat Sepia akhirnya nekat dan tergesa mengambil keputusan. Selain ingin memulihkan diri dan menjauh dari masa lalunya,ia memang benar-benar ingin menyendiri.Hari baru dimulai setiap matahari kembali terbit, mengakhiri gulitanya malam yang hanya tersinari redup rembulan atau cahaya-cahaya dari energi buatan. Sepia juga memulai hari barunya di tempat tinggal yang berbeda, ia sudah pindah dari rumah Oma Ina dan menempati rumah baru.Rumah bergaya minimalis modern dua lantai dengan cat putih yang dikombinasikan dengan warna krem memberikan kesan yang tenang dan hangat sekaligus. Rumah itu cukup strategis dengan kebutuhan dan kapasitas budgetnya, semuanya telah ia pertimbangkan matang-matang. Kom
“Nanti aku akan ke rumahmu pokoknya. Tapi kapan, ya? Mana besok aku tetap harus masuk kerja. Padahal jelas-jelas hari minggu itu untuk libur. Rasanya banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu, Pia. Aku sedang sangat kesal dengan atasanku dan banyak sekelumit masalah. Ah, andai kamu jadi membeli rumah yang ada di dekatku, setiap hari kita bisa selalu bertemu dan setiap hari aku bisa curhat.” Alea terdengar menghembuskan napas dari balik telepon. “Sabar, sabar. Minggu depan saja kita bertemu,” kata Sepia. “Eh, aku lupa. Kemungkinan minggu depan aku akan pulang dulu. Shabiru bisa-bisa ngambek, aku sudah tiga minggu belum pulang.”“Nah, kan … Susah banget ketimbang pengin curhat doang,” Alea terdengar mendesah kecewa.Sepia beranjak dari duduknya dan berdiri di depan jendela. “Ya, curhat lewat telepon aja. Toh sama aja. Memangnya soal apa yang bikin kamu gelisah begini?”“Kalau di telepon tuh kayak ada sesuatu yang kurang, Pia. Ah, aku bingung harus mulai jelasinnya dari mana,”“Ya uda
Waktu terasa cepat sekali berlalu. Setelah mengobrol hampir setengah hari dengan Gina, Sepia tertidur lagi selama dua jam. Lalu ketika bangun lagi, langit sudah menguning dan perutnya mulai terasa lapar.Sudah pukul tujuh malam.Pada hati Sepia, tiba-tiba saja ia merasa ragu untuk datang ke acara pernikahan Nawang karena ia tahu akan banyak orang yang tidak asing akan ia jumpai di sana. Perasaan itu mencuat begitu saja, padahal sebelumya ia merasa antusias untuk menghadiri acara itu. Namun, sepertinya sudah terlambat untuk berubah pikiran dan absen dari acara itu. Pertimbangan alasan Nawang adalah atasan sekaligus teman semasa kuliahnya menjadi pemberat untuk mengurungkan niatnya.“Ah, aku ini kenapa? Kenapa bisa segelisah ini?” Sepia menatap pantulan dirinya di cermin.Ia sudah bersiap, riasannya telah selesai. Ia mengambil anting dengan liontin mutiara violet yang senada dengan bajunya lalu memakainya dengan hati-hati. Penampilannya terlihat sempurna, rambutnya disanggul kepang keci
“Sepia …,” panggil Panji sambil berlari kecil menyusul langkah Sepia.Suara musik yang memiliki volume semakin keras membuat Sepia tidak mendengar panggilan laki-laki itu. Sepia bahkan tidak menduga bahwa Panji akan menghentikannya dengan cara menyentuh pergelangan tangannya. Ia kembali membalikan badan sambil terkejut bukan kepalang, ia pikir Yana yang mengganggunya lagi tapi ternyata Panji. Hampir saja Sepia menepis tangan Panji, tapi pandangan mereka yang malah berpapasan dalam beberapa detik membuat waktu yang mereka miliki seolah membeku dan mematung sesaat.“Maafkan aku,” kata Panji sambil melepaskan genggaman tangannya.“A-ada apa lagi?” tanya Sepia. Ia berusaha menghilangkan rasa canggung dan debaran yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.“Antingmu terjatuh,” jelas Panji sambil mengangkat liontin berwarna violet itu.Refleks Sepia langsung meraba telinganya dan benar saja, anting telinga kanan memang tidak ada.“Oh, terima kasih.” Ia mengambil anting itu dari Panji dan langsung
Satu minggu berlalu, kesibukan pekerjaan kembali menyapa seperti-hari sebelumnya. Namun kesibukan Sepia tidak lagi terlalu berarti, selesainya urusan pekerjaan dengan Panji membuat beban pada pundaknya sedikit berkurang. Pertemuan terakhir mereka adalah saat pernikahan Nawang, setelah itu Sepia belum melihat Panji lagi. Laki-laki itu mungkin sedang sibuk dengan berbagai kegiatan promosi dan lain-lainnya.Minggu kali ini adalah waktu untuk Sepia untuk pulang sejenak dan menemui keluarganya di Bandung. Rindu untuk Shabiru sudah benar-benar menggunung. Pagi-pagi sekali Sepia sudah berada di stasiun, mengambil tiket pagi.“Kereta jurusan Bandung akan berangkat sepuluh menit lagi, penumpang diharapkan untuk memasuki peron.”“Shabiru, ibun sedang dalam perjalanan. Ibun akan penuhi janji buat pulang dan ketemu kamu, sayang,” kata Sepia dalam hati.Sepia memindahkan rasel yang ia pakai dari belakang ke depan setelah suara customer service stasiun telah mengumumkan keberangkatan kereta. Ia mel
Ray mengenakan setelan jas berwarna putih. Rambutnya tertata rapi, tetapi wajahnya seperti tengah diliputi kegelisahan besar. Ia duduk termenung di depan jendela besar hotel, menatap pemandangan gedung diluarnya. Menatap langit yang tiba-tiba muram kehilangan cahayanya. Ia tidak tahu apakah pilihannya adalah pilihan yang tepat atau tidak, yang jelas pilihannya ini adalah bentuk pertanggungjawaban dari kesalahan yang pernah ia lakukan.“Ibu kecewa padamu, kenapa tidak mengundang Shabiru dalam acara pernikahanmu ini? Seharusnya kamu memanfaatkan momen ini untuk mengambilnya dari keluarga Sepia,” ibu Ray yang berdiri di sebelahnya telah mengenakan setelan kebaya yang nampak anggun.Ray terdiam. Bahkan sampai kapan pun ibunya terus menyalahkan pilihannya. Pernikahan yang tergesa dan segenap permintaan Arumi yang tidak ada habisnya telah membuat Ray letih. Entah itu fisik maupun batinnya sama-sama tertekan. Ia memang tidak memberitahu Shabiru, ia bahkan sudah hampir satu bulan tidak menghu
“Me-menikah?” Sepia mengulangi pernyataan Afandi.Rasanya Sepia tidak percaya dengan kabar itu. Mana mungkin Ray bisa secepat itu menikah? Bahkan perceraian mereka baru selesai dua minggu lalu. Namun, tidak ada yang tidak mungkin untuk terjadi. Saat masih memiliki seorang istri saja laki-laki itu tega bermain api, apalagi saat ia harus tinggal sendiri dengan status barunya. Jika memang benar bahwa Ray menikah, artinya Ray mungkin bisa mudah sekali melupakan Sepia dalam kehidupannya, begitu kiranya pernyataan yang muncul dalam benak Sepia.Masalahnya hubungan pernikahan sangat jauh berbeda dengan pacaran. Orang pacaran bisa saja mendapatkan pasangan baru meskipun baru satu hari putus dengan pacar lamanya. Namun, pernikahan? Rasanya butuh waktu yang lama untuk dapat pulih, menata diri, dan saling melupakan terlebih dahulu hubungan lama sebelum memulai hubungan baru. Afandi menoleh sebentar, lalu kembali fokus dengan jalanan ramai di depannya. “Aku tahu Kakak akan sedikit terkejut denga