“Nanti aku akan ke rumahmu pokoknya. Tapi kapan, ya? Mana besok aku tetap harus masuk kerja. Padahal jelas-jelas hari minggu itu untuk libur. Rasanya banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu, Pia. Aku sedang sangat kesal dengan atasanku dan banyak sekelumit masalah. Ah, andai kamu jadi membeli rumah yang ada di dekatku, setiap hari kita bisa selalu bertemu dan setiap hari aku bisa curhat.” Alea terdengar menghembuskan napas dari balik telepon. “Sabar, sabar. Minggu depan saja kita bertemu,” kata Sepia. “Eh, aku lupa. Kemungkinan minggu depan aku akan pulang dulu. Shabiru bisa-bisa ngambek, aku sudah tiga minggu belum pulang.”“Nah, kan … Susah banget ketimbang pengin curhat doang,” Alea terdengar mendesah kecewa.Sepia beranjak dari duduknya dan berdiri di depan jendela. “Ya, curhat lewat telepon aja. Toh sama aja. Memangnya soal apa yang bikin kamu gelisah begini?”“Kalau di telepon tuh kayak ada sesuatu yang kurang, Pia. Ah, aku bingung harus mulai jelasinnya dari mana,”“Ya uda
Waktu terasa cepat sekali berlalu. Setelah mengobrol hampir setengah hari dengan Gina, Sepia tertidur lagi selama dua jam. Lalu ketika bangun lagi, langit sudah menguning dan perutnya mulai terasa lapar.Sudah pukul tujuh malam.Pada hati Sepia, tiba-tiba saja ia merasa ragu untuk datang ke acara pernikahan Nawang karena ia tahu akan banyak orang yang tidak asing akan ia jumpai di sana. Perasaan itu mencuat begitu saja, padahal sebelumya ia merasa antusias untuk menghadiri acara itu. Namun, sepertinya sudah terlambat untuk berubah pikiran dan absen dari acara itu. Pertimbangan alasan Nawang adalah atasan sekaligus teman semasa kuliahnya menjadi pemberat untuk mengurungkan niatnya.“Ah, aku ini kenapa? Kenapa bisa segelisah ini?” Sepia menatap pantulan dirinya di cermin.Ia sudah bersiap, riasannya telah selesai. Ia mengambil anting dengan liontin mutiara violet yang senada dengan bajunya lalu memakainya dengan hati-hati. Penampilannya terlihat sempurna, rambutnya disanggul kepang keci
“Sepia …,” panggil Panji sambil berlari kecil menyusul langkah Sepia.Suara musik yang memiliki volume semakin keras membuat Sepia tidak mendengar panggilan laki-laki itu. Sepia bahkan tidak menduga bahwa Panji akan menghentikannya dengan cara menyentuh pergelangan tangannya. Ia kembali membalikan badan sambil terkejut bukan kepalang, ia pikir Yana yang mengganggunya lagi tapi ternyata Panji. Hampir saja Sepia menepis tangan Panji, tapi pandangan mereka yang malah berpapasan dalam beberapa detik membuat waktu yang mereka miliki seolah membeku dan mematung sesaat.“Maafkan aku,” kata Panji sambil melepaskan genggaman tangannya.“A-ada apa lagi?” tanya Sepia. Ia berusaha menghilangkan rasa canggung dan debaran yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.“Antingmu terjatuh,” jelas Panji sambil mengangkat liontin berwarna violet itu.Refleks Sepia langsung meraba telinganya dan benar saja, anting telinga kanan memang tidak ada.“Oh, terima kasih.” Ia mengambil anting itu dari Panji dan langsung
Satu minggu berlalu, kesibukan pekerjaan kembali menyapa seperti-hari sebelumnya. Namun kesibukan Sepia tidak lagi terlalu berarti, selesainya urusan pekerjaan dengan Panji membuat beban pada pundaknya sedikit berkurang. Pertemuan terakhir mereka adalah saat pernikahan Nawang, setelah itu Sepia belum melihat Panji lagi. Laki-laki itu mungkin sedang sibuk dengan berbagai kegiatan promosi dan lain-lainnya.Minggu kali ini adalah waktu untuk Sepia untuk pulang sejenak dan menemui keluarganya di Bandung. Rindu untuk Shabiru sudah benar-benar menggunung. Pagi-pagi sekali Sepia sudah berada di stasiun, mengambil tiket pagi.“Kereta jurusan Bandung akan berangkat sepuluh menit lagi, penumpang diharapkan untuk memasuki peron.”“Shabiru, ibun sedang dalam perjalanan. Ibun akan penuhi janji buat pulang dan ketemu kamu, sayang,” kata Sepia dalam hati.Sepia memindahkan rasel yang ia pakai dari belakang ke depan setelah suara customer service stasiun telah mengumumkan keberangkatan kereta. Ia mel
Ray mengenakan setelan jas berwarna putih. Rambutnya tertata rapi, tetapi wajahnya seperti tengah diliputi kegelisahan besar. Ia duduk termenung di depan jendela besar hotel, menatap pemandangan gedung diluarnya. Menatap langit yang tiba-tiba muram kehilangan cahayanya. Ia tidak tahu apakah pilihannya adalah pilihan yang tepat atau tidak, yang jelas pilihannya ini adalah bentuk pertanggungjawaban dari kesalahan yang pernah ia lakukan.“Ibu kecewa padamu, kenapa tidak mengundang Shabiru dalam acara pernikahanmu ini? Seharusnya kamu memanfaatkan momen ini untuk mengambilnya dari keluarga Sepia,” ibu Ray yang berdiri di sebelahnya telah mengenakan setelan kebaya yang nampak anggun.Ray terdiam. Bahkan sampai kapan pun ibunya terus menyalahkan pilihannya. Pernikahan yang tergesa dan segenap permintaan Arumi yang tidak ada habisnya telah membuat Ray letih. Entah itu fisik maupun batinnya sama-sama tertekan. Ia memang tidak memberitahu Shabiru, ia bahkan sudah hampir satu bulan tidak menghu
“Me-menikah?” Sepia mengulangi pernyataan Afandi.Rasanya Sepia tidak percaya dengan kabar itu. Mana mungkin Ray bisa secepat itu menikah? Bahkan perceraian mereka baru selesai dua minggu lalu. Namun, tidak ada yang tidak mungkin untuk terjadi. Saat masih memiliki seorang istri saja laki-laki itu tega bermain api, apalagi saat ia harus tinggal sendiri dengan status barunya. Jika memang benar bahwa Ray menikah, artinya Ray mungkin bisa mudah sekali melupakan Sepia dalam kehidupannya, begitu kiranya pernyataan yang muncul dalam benak Sepia.Masalahnya hubungan pernikahan sangat jauh berbeda dengan pacaran. Orang pacaran bisa saja mendapatkan pasangan baru meskipun baru satu hari putus dengan pacar lamanya. Namun, pernikahan? Rasanya butuh waktu yang lama untuk dapat pulih, menata diri, dan saling melupakan terlebih dahulu hubungan lama sebelum memulai hubungan baru. Afandi menoleh sebentar, lalu kembali fokus dengan jalanan ramai di depannya. “Aku tahu Kakak akan sedikit terkejut denga
Setengah hari sampai sore Sepia menghabiskan waktunya bersama Shabiru untuk sekadar jalan-jalan naik motor berdua. Sungguh menyenangkan menikmati udara yang berembus, merasakan hangatnya matahari sore sambil bercerita dengan anak kesayangannya.“Bun, meskipun Ibun jauh, aku tidak pernah kesepian. Saat ibun enggak pulang, Kak Afandi selalu pulang dan mengajakku jalan-jalan loh, Bun,” ujar Shabiru yang duduk di jok depan.“Oh, ya? Jalan-jalan kemana saja kalian ini?” tanya Sepia.Motornya melaju dengan pelan keluar dari jalan raya, berbelok menuju jalan perumahan komplek. “Banyak Bun, kadang ke toko buku, ke kedai es krim, ke kebun binatang juga pernah. Sangat menyenangkan loh, Bun,” sahut Shabiru dengan riangnya.“Ibun juga ingin kamu selalu senang dan memiliki teman-teman yang baik. Nanti kalau memang Shabiru sedang libur, ibun akan ajak ke Jakarta. Ibun kan sekarang tinggal sendirian.”“Semoga liburnya cepat datang, nanti aku akan bilang ke ibu guru agar mempercepat waktu liburnya,
Malam sudah berlalu begitu singkat dan pagi datang begitu terburu-buru.Sebenarnya Sepia tidak tidur dengan baik malam tadi. Apa yang dibicarakan ibunya benar-benar mengusik malamnya yang tenang. Ia gelisah sepanjang malam dan hanya berganti-ganti posisi tidur, berharap kantuk segera datang, tetapi nyatanya semakin malam matanya semakin segar. Sepia sudah bersiap, mengemas beberapa barangnya pada ransel kecil yang akan ia bawa.“Ibun, sungguh akan berangkat sepagi ini?”Sepasang mata Shabiru yang jernih seperti embun yang masih menempel di dedaunan membuat hati Sepia memberat untuk meninggalkan rumahnya dan pergi lagi ke Jakarta. Tatapan mata yang rindu akan kasih sayang, yang harus selalu Sepia tinggalkan untuk pekerjaan dan realitas hidup yang menuntutnya. Rasanya Sepia tidak ingin kembali, tetapi apa yang ia lakukan tak lain dan tak bukan untuk Shabiru juga.Sepia mengangguk pelan, sebuah anggukan yang membuat Shabiru mendesah kecewa dengan jawaban ibunya. Satu hari satu malam ada
Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan
“Lihatlah, Ray. Dia begitu berharap kamu akan datang dan mengajaknya berkunjung. Bahkan dia menganggap bahwa rumah yang dulu adalah miliknya, sekarang dia merasa tidak berhak lagi. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan rumahnya, Ray. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan ayahnya, hanya karena ayahnya telah memiliki keluarga baru. Apa pun yang telah terjadi dalam hidup kita, itu tidak akan pernah bisa merubah kenyataan bahwa Shabiru adalah anakmu. Anak yang berharap bisa disayangi dengan tulus, hanya sesederhana itu permintaannya ….” Sayangnya Sepia hanya mengatakan kata-kata itu dalam hatinya.Ray masih terdiam, ia sepertinya sangat terkejut dengan permintaan kecil anaknya untuk sekadar mengunjungi rumah lamanya. Ray sebenarnya ingin memberitahu bahwa rumahnya saat ini bukanlah rumah yang sama seperti dulu. Tidak ada lagi mobil memenuhi garasi, hanya tinggal dua mobil yang tersisa. Semuanya habis karena kerugian restoran yang ia alami. Ia ingin menceritakan segalanya pada Sh
Rumah sakit, Bandung.Jam menunjukan sekitar pukul delapan malam. Sekarang ayah dan ibu Sepia juga telah datang sejak sore hari. Keadaan Shabiru masih sama saja belum ada perubahan yang berarti, ia harus lebih banyak tidur untuk meredam rasa sakit yang mendera tubuh kecilnya.“Ayahnya sudah diberitahu, Pi?” tanya ibunya Sepia.Sepia mengangguk. Sebenarnya dalam situasi seperti ini ia tidak ingin melibatkan ayah dan ibunya, ia tidak ingin membuat mereka cemas, tetapi tidak mungkin juga untuk menyembunyikan hal ini. Pikiran Sepia benar-benar kalut, tidak benar juga jika ibunya terus mempertanyakan kehadiran Ray.“Lalu bagaimana? Akan ke sini?” cecar ibunya.“Aku tidak tahu, Bu. Tadi yang mengangkat telepon adalah istrinya,” jelas Sepia.“Kalau begitu telepon lagi dan minta dia untuk datang,” perintah ibunya Sepia.Sepia menghela napas. Tidak, ia tidak akan bisa menelepon Ray. Suara Arumi yang ia dengar telah membangkitkan banyak luka yang tadinya sudah lenyap tertimbun kesibukkan. “Suda
“Mau makan dulu, Kak? Pasti dari pagi Kak Pia belum makan,” Afandi membawakan makan siang.Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang namanya lapar atau haus yang ada hanyalah perasaan cemas yang semakin lama semakin menggunung tinggi. “Aku belum lapar, kamu makan saja duluan.”“Baiklah, Kak kalau begitu. Aku keluar sebentar, ya.” Afandi keluar.Hanya menyisakan Sepia dan Shabiru dalam ruangan itu. Sepia memperhatikan cairan infus yang terus menetes dan merasakan betapa heningnya ruangan itu. Ia beranjak mendekati jendela.Firasat yang kuat telah terhubung antara ibu dan anak. Perasaan Sepia yang mendadak tidak enak ternyata terbukti, tetapi ia tidak perah menduga bahwa hal seperti itu bisa terjadi. Sepia berdiri mematung di depan jendela ruangan perawatan. Ia berandai-andai seandainya ia bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pergi kemana-mana dan ia juga tidak akan membiarkan Shabiru pergi kemana-mana. Pikirannya kembali sibuk berdebat sekaligus mengumpulkan keyakinan tentang memberit