"Kak, nanti aku tidak akan mampir, ya," kata Afandi tiba-tiba saat mobil yang dikendarainya berbelok memasuki perumahan."Yang benar saja? Kenapa memangnya? Kamu pasti capek. Mampir sebentar saja, nanti makan dulu. Istirahat sebentar, jangan sampai ngantuk di jalan nanti malah kecelakaan gimana coba?" tanya Sepia."Kak Pia ini sebenarnya sedang memberitahu aku untuk hati-hati atau apa?" Afandi menaikan sebelah alisnya. "Aku nanti akan istirahat kok, nanti di apartemen gebetanku," katanya dengan enteng."Dari tadi bilang gebetan-gebetan, kayak iya punya aja," Sepia mendengus sebal tidak percaya begitu saja dengan alasan Afandi.Afandi menghela napas kesal. "Kak Pia selalu tidak percaya padaku kalau soal perempuan.""Aku hanya tidak mau kamu mengambil resiko dengan terus melanjutkan perjalanan. Kamu ini manusia biasa, bukan robot, Fan. Kamu harus istirahat.""Aku janji akan istirahat kok, nanti aku kabarin kalau sudah sampai apartemen gebetanku," kata Afandi lagi dengan percaya dirinya.
Sepia keluar dari rumahnya membawa dua buah paperbag. Satu papaerbag berisi bolu susu lembang, satu lagi berisi peuyeum. Ia menutup pagarnya perlahan, lalu berjalan ke seberang rumahnya. Ia akan mengunjungi rumah Gina, kemarin Gina bilang minta dibelikan dua jenis makanan itu sebagai oleh-oleh. Sepia berdiri di depan pintu, mengetuk pintu beberapa kali dan menunggunya terbuka.Tak berselang lama akhirnya Gina membukakan pintu rumahnya. Perutnya yang sudah semakin membesar membuat Gina tidak bisa kemana-mana, termasuk mengunjungi rumahSepia yang hanya memiliki jarak tak seberapa dengan rumahnya. “Eh, kirain belum pulang. Ayo masuk,” ajak Gina sambil tersenyum dan mempersilahkannya masuk.“Aku baru sampai barusan, masih belum lama,” jelas Sepia.Ini kali pertama Sepia berkunjung ke rumah tetangganya. Sepia melebarkan pandangannya dengan terkesima, dari depan saja rumah Gina memang sudah terlihat begitu rapi dan tertata, begitu juga di dalamnya. Dinding berwarna emas memeberi kesan mega
“Ada orang yang memang sengaja mempermainkanku selama ini, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Yang jelas tindakannya seperti ingin membuatku selalu dalam masalah, ingin membuatku merasa sedih, dan tidak ingin aku bahagia. Aku tidak tahu siapa orang itu apalagi tujuannya. Apa sebenarnya keuntungan yang dia dapatkan dengan membuatku begini? Apakah mungkin orang itu sedang balas dendam? Ta-tapi siapa yang pernah aku lukai?” Sepia menghela napas pelan.Ia memutar knop pintu lalu menguncinya dari luar. Tidak benar jika ada yang ingin balas dendam padanya, tapi apa lagi motif selain itu? Pikiran Sepia kembali mendadak sibuk, teraduk dan rumit. Duduk diam di rumah semakin membuat ia serba kepikiran dan menebak-nebak sendiri siapa sebenarnya dalang di balik nomor tidak dikenal itu. Sepia sudah berusaha mengecek nomor itu pada aplikasi yang akan memberikan informasi tentang nomor, tetapi ia tidak mendapatkan informasi apa-apa. Mungkin memang benar, nomor itu hanya digunakan untuk menghubungi
“Apa salahnya jika aku menjadi orang tua tunggal untuk anakku, Bu? Aku bisa bekerja sendiri, bisa mencukupi semua kebutuhan kami, aku juga telah mempersiapkan banyak hal untuk pendidikan Shabiru kedepannya. Aku bisa mengurus semua itu sendirian. Lagipula, aku memang tidak siap membangun hubungan baru dengan orang asing. Kalau mungkin orang asing itu bisa menerima dan mencintaiku, belum tentu dia bisa menerima Shabiru. Belum tentu dia bisamenyayanginya seperti anaknya sendiri. Lalu apa gunanya hubungan itu?” Sepia akhirnya jadi mendebat ibunya.“Iya, ibu tahu kamu bisa melakukan semua itu sendirian, tapi kamu ini perempuan. Perempuan perlu pelindung dan status yang baik, itu untuk menjaga nama baikmu sendiri, Nak. Kamu juga tahu bagaimana masyarakat kita kerap memandang buruk perempuan yang tak bersuami, ibu hanya tidak ingin hal seperti itu terjadi padamu. Lagipula sampai kapan kamu akan menanggung semua beban itu sendirian?”“Mau benar atau salah, masyarakat kita memang punya kbiasaa
Sepia menutup laptopnya dengan tergesa. Akhir-akhir ini, kesibukannya semakin bertambah seiring semakin dekatnya waktu pernikahan Alea. Hanya tinggal beberapa hari lagi, lalu temannya itu akan resmi dipersunting oleh laki-laki yang sangat mencintainya. Ia harus ikut dengan Alea ke manapun teman perempuannya itu pergi. Meskipun pernikahan itu adalah pernikahan kedua dan akan dilakukan dengan hanya mengundang orang-orang dekat saja, tetapi ternyata pernikahan tetap diusung dengan cukup mewah dan serba lengkap. Ia seharusnya bisa pulang lebih awal dari kantor menuju rumahnya.“Kak Sepia, apakah benar tidak bisa menggantikan pemateri webinar hari ini?” tanya Karin menghadang langkah Sepia yang hendak meninggalkan ruangan.“Aduh, maaf sekali ya, tapi aku juga sedang benar-benar ada urusan keluarga yang penting. Lagipula ini dadakan sekali, tolong kedepannya selalu konfirmasi lebih awal kalau ada kepentingan seperti ini. Sekali lagi aku minta maaf,” Sepia menelungkupkan tangannya, simbol se
“Mulai sekarang kita berteman, jadi kalau ada apa-apa kita enggak merasa canggung dan bingung. Entah itu mau meminta bantuan ataupun menerima bantuan, intinya saling membantu. Teman begitu bukan?”Tawaran menjadi teman kedengarannya adalah hal yang baik. Semakin banyak teman, katanya semakin banyak kemudahan. Namun hal itu bisa menjadi beda artinya jika yang mengajak berteman adalah seorang laki-laki. Terlebih lagi-lagi Sepia tetap mengaitkan banyak hal pada statusnya saat ini, seorang orang tua tunggal, seorang perempuan yang pernah gagal dalam rumah tangga. Apakah ada orang yang mau berteman dengan orang sepertinya? Begitu kira-kira kegundahan yang tiba-tiba menyergap hatinya.Sepia masih duduk dibonceng oleh Radit. Laki-laki itu membawa motor cukup santai, bahkan bisa dibilang terlalu santai untuk golongan orang yang sedang terburu-buru seperti Sepia. Selain kelewat santai, laki-laki itu juga terlalu banyak bicara. Padahal Sepia juga tidak mendengar semua perkataannya karena angin
“Tadi itu siapa, Pi?” Panji memulai pembicaraan. Ia dan Sepia duduk bersebelahan. Perginya Alea dan Andre memberi Panji sedikit kesempatan kecil untuk berbicara dengan perempuan itu.Panji bahkan bertanya tanpa menyempatkan untuk melihat Sepia terlebih dahulu. Sepasang matanya sibuk menggulir foto-foto yang pada layar kecil kameranya. Ia penasaran, tetapi ia juga sungkan untuk bertanya. Ia ingin tahu, tetapi ia ragu untuk memulai bicara. Semuanya serba canggung. Seolah-olah ada dinding pembatas yang menjulang begitu tinggi nan kokoh yang menjadi sekat sulitnya membangun keakraban di antara mereka.Mendengar nada suara Panji yang seolah bertanya, tetapi tidak ingin tahu atau sama saja dengan malas mengobrol, tetapi memaksa berbicara. Sepia menghela napas kesal. “Harusnya kalau memang tidak ingin tahu, jangan bertanya,” batinnya.“Bukan siapa-siapa,” sahut Sepia.Dari cara Sepia dan laki-laki tadi berbicara, saling berinteraksi, bahkan sampai saling melempar senyum, bohong jika masih di
Masa lalu hanya sepenggal kisah yang sedang atau telah berusaha dilupakan, yang ketika berusaha diiingat-ingat justru hilang bayangannya, yang ketika berusaha dienyahkan malah menjelma rasa yang nyata. Entah berupa kenangan senang atau sedih, rasanya tetap tidak akan sama seperti yang dahulu terjadi. Dulu yang menyerupa bahagia dan hal-hal yang selalu dirindukan, kini berubah menjadi sesuatu yang sangat ingin dihindari.“Kamu harus hati-hati dengan laki-laki itu, Sepia. Aku rasa dia bukanlah laki-laki yang baik. Aku takut dia punya maksud jahat kepadamu, terlebih dia itu sangat dekat dengan rumahmu. Dia bisa melakukan banyak hal yang tak terduga,” kata Panji.“Aku bisa menjaga diri,” sahut Sepia.“Harus. Selain itu, kamu juga harus menjaga jarak dengannya. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, terlebih kamu juga hanya tinggal sendirian. Itu terlalu beresiko,” lanjut Panji.Mobil kembali melaju pelan, menembus dinginnya udara yang membungkus malam, menyalip keramaian. Sorot kuning,