“Mulai sekarang kita berteman, jadi kalau ada apa-apa kita enggak merasa canggung dan bingung. Entah itu mau meminta bantuan ataupun menerima bantuan, intinya saling membantu. Teman begitu bukan?”Tawaran menjadi teman kedengarannya adalah hal yang baik. Semakin banyak teman, katanya semakin banyak kemudahan. Namun hal itu bisa menjadi beda artinya jika yang mengajak berteman adalah seorang laki-laki. Terlebih lagi-lagi Sepia tetap mengaitkan banyak hal pada statusnya saat ini, seorang orang tua tunggal, seorang perempuan yang pernah gagal dalam rumah tangga. Apakah ada orang yang mau berteman dengan orang sepertinya? Begitu kira-kira kegundahan yang tiba-tiba menyergap hatinya.Sepia masih duduk dibonceng oleh Radit. Laki-laki itu membawa motor cukup santai, bahkan bisa dibilang terlalu santai untuk golongan orang yang sedang terburu-buru seperti Sepia. Selain kelewat santai, laki-laki itu juga terlalu banyak bicara. Padahal Sepia juga tidak mendengar semua perkataannya karena angin
“Tadi itu siapa, Pi?” Panji memulai pembicaraan. Ia dan Sepia duduk bersebelahan. Perginya Alea dan Andre memberi Panji sedikit kesempatan kecil untuk berbicara dengan perempuan itu.Panji bahkan bertanya tanpa menyempatkan untuk melihat Sepia terlebih dahulu. Sepasang matanya sibuk menggulir foto-foto yang pada layar kecil kameranya. Ia penasaran, tetapi ia juga sungkan untuk bertanya. Ia ingin tahu, tetapi ia ragu untuk memulai bicara. Semuanya serba canggung. Seolah-olah ada dinding pembatas yang menjulang begitu tinggi nan kokoh yang menjadi sekat sulitnya membangun keakraban di antara mereka.Mendengar nada suara Panji yang seolah bertanya, tetapi tidak ingin tahu atau sama saja dengan malas mengobrol, tetapi memaksa berbicara. Sepia menghela napas kesal. “Harusnya kalau memang tidak ingin tahu, jangan bertanya,” batinnya.“Bukan siapa-siapa,” sahut Sepia.Dari cara Sepia dan laki-laki tadi berbicara, saling berinteraksi, bahkan sampai saling melempar senyum, bohong jika masih di
Masa lalu hanya sepenggal kisah yang sedang atau telah berusaha dilupakan, yang ketika berusaha diiingat-ingat justru hilang bayangannya, yang ketika berusaha dienyahkan malah menjelma rasa yang nyata. Entah berupa kenangan senang atau sedih, rasanya tetap tidak akan sama seperti yang dahulu terjadi. Dulu yang menyerupa bahagia dan hal-hal yang selalu dirindukan, kini berubah menjadi sesuatu yang sangat ingin dihindari.“Kamu harus hati-hati dengan laki-laki itu, Sepia. Aku rasa dia bukanlah laki-laki yang baik. Aku takut dia punya maksud jahat kepadamu, terlebih dia itu sangat dekat dengan rumahmu. Dia bisa melakukan banyak hal yang tak terduga,” kata Panji.“Aku bisa menjaga diri,” sahut Sepia.“Harus. Selain itu, kamu juga harus menjaga jarak dengannya. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, terlebih kamu juga hanya tinggal sendirian. Itu terlalu beresiko,” lanjut Panji.Mobil kembali melaju pelan, menembus dinginnya udara yang membungkus malam, menyalip keramaian. Sorot kuning,
[Sepia, aku ingin bertemu denganmu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan, kumohon … aku butuh bantuanmu] Panji.Disela obrolan Sepia dengan Livy, Panji tiba-tiba mengiriminya pesan dan mengajak untuk bertemu. Entah kenapa laki-laki itu sepertinya sangat ingin mengusik ketenangan yang sedang Sepia rajut. Sepia awalnya tidak ingin menggubris pesan dari Panji, tetapi laki-laki itu kembali mengiriminya pesan yang sama. Seolah keadaannya benar-benar sedang genting.“Bu, sepertinya aku harus pulang sekarang,” kata Livy sambil melirik jam yang bertengger di pergelangan tangannya.[Oke, boleh] balas Sepia. Ia langsung mendongak ketika Livy berpamitan.“Oke, aku juga mau pulang. Hati-hati di jalan ya,” sahut Sepia.“Iya, Bu. Sampai jumpa lain waktu, aku duluan!”Livy beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Sepia yang masih duduk di dalam kedai. Setelah mendengar kabar yang kurang baik dari mantan karyawan Ray, Sepia masih tidak habis pikir. Antara mustahil, tetapi hal itu sudah terja
Sepia masih duduk di samping Malika yang masih terbaring. Sudah hampir satu jam, tetapi Malika masih terlelap dalam tidur yang entah memiliki mimpi atau tidak. Ada rasa bersalah yang menyeruak dalam diri Sepia perihal sikapnya terhadap Panji yang selama ini selalu cenderung menghindar dan menjauh. Padahal Panji selalu membantunya, tetapi Sepia selalu memberi jarak seolah Panji tetap orang bersalah yang telah membuatnya menjadi sangat sedih.“Aku mau keluar sebentar, ya,” kata Panji sambil beranjak dari duduknya. “Tidak akan lama, kok.”“Iya, tenang saja aku akan menemani Malika, tidak akan kemana-mana,” sahut Sepia.Ruangan kembali hening ketika Panji meninggalkan ruangan itu. Terbayang oleh Sepia bagaimana letihnya Panji membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus adiknya seorang diri. Pantas saja Panji sering terlambat datang ke tempat kerja, ternyata alasannya adalah Malika.Sepia kembali menatap wajah Malika. “Hai, Malika. Kata Kakakmu, kamu sangat ingin bertemu denganku, ya? Seka
Banyak hal terjadi diluar dugaan. Banyak hal terjadi melebihi prasangka. Putaran roda hidup yang terus bergerak membawa manusia pada poros kesedihan yang berbeda-beda. Arah angina yang berubah-ubah juga mengubah banyak rasa da sudut pandang yang kerapkali egois.Sepanjang perjalanan Sepia dan Panji tidak banyak bicara. “Terima kasih banyak karena kamu sudah mau mengunjungi Malika. Maaf, ya aku mengganggu waktu istirahatmu …,” kata Panji. Laki-laki itu membukakan pintu mobilnya di depan rumah Sepia. Ia tersenyum, begitu berterima kasih pada perempuan itu karena telah membantunya. Setelah malam ini, ada banyak hal yang telah dan akan berubah. Kenyataan yang terbuka dan kesedihan yang ada telah merubah sedikit banyak pandangan Sepia pada laki-laki itu. Pun caranya bersikap yang sebelumnya selalu menjaga jarak.“Tidak apa-apa. Aku tidak merasa terganggu kok. Ini keadaan penting, Malika memang sedang memerlukan perhatian lebih dan membutuhkan dukungan dari banyak orang. Jangan biarkan di
[Sepia, Malika sudah dibolehkan untuk pulang] Panji.Sepia tersenyum setelah membaca kabar baik itu. [Syukurlah] balas Sepia.“Tuh, kan. Jadi senyum-senyum sendiri kayak gitu, gimana aku enggak curiga coba,” Ara berdecak kesal.“Apaan sih, Ra. Bukan apa-apa kok, ini Cuma lagi baca pesan yang ngabarin anakku, bukan hal lain seperti yang kamu duga. Kamu aja yang terlalu curigaan jadi orang,” elak Sepia.Sepia berbohong. Ia kembali menatap layar ponselnya, nama kontak Panji sedang mengetikkan pesan lagi. [Tapi, masalah baru muncul, Pi. Malika menagih janjinya, dia terus merengek minta ke rumahmu] Panji.Jemari Sepia kembali bergerak membalas pesan dari Panji. [Bilang pada Malika kalau aku masih bekerja, nanti sore saja ajak dia ke rumahku. Soalnya sekalian aku lagi nungguin Afandi sama Shabiru yang mau ke sini] balasnya.[Serius?] Panji membalas begitu cepat, secepat kilat.[Iya, aku sudah berjanji pada Malika. Aku akan menepatinya] balas lagi Sepia.“Tuh, kan sibuk sendiri sama hape!”
Hal terbaik dalam hidup ini terkadang disadari setelah berlalu lama. Berupa hal-hal sederhana yang terkesan biasa saja, tetapi akhirnya bisa menjadi yang paling dirindukan. Mengobrol bersama, membahas hal-hal yang tidak penting, dan tertawa. Hal itu mungkin menjadi hal umum yang biasa saja, tetapi tidak bisa semua orang dapatkan. Sepia beruntung untuk apa yang telah terjadi hari ini, seolah-olah ia diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan yang semula retak. Perlahan semuanya akan membaik, Sepia percaya itu.Pasta yang dibuat Sepia cukup banyak, ia ingat dengan Gina kemudian membawa sepiring untuk diantarkan ke rumahnya, juga sepiring untuk diberikan pada Radit karena laki-laki itu pernah membantunya.“Hai, Gin. Sedang apa?” tanya Sepia.Gina duduk di kursi depan terasnya sambil memutar musik. “Sedang menuggu suamiku nih, Pi belum pulang. Omong-omong di rumahmu sedang ada acara ya? Sepertinya ramai sekali?”“Enggak ada acara apa-apa, Cuma ada teman sama anakku dari Bandung