Masa lalu hanya sepenggal kisah yang sedang atau telah berusaha dilupakan, yang ketika berusaha diiingat-ingat justru hilang bayangannya, yang ketika berusaha dienyahkan malah menjelma rasa yang nyata. Entah berupa kenangan senang atau sedih, rasanya tetap tidak akan sama seperti yang dahulu terjadi. Dulu yang menyerupa bahagia dan hal-hal yang selalu dirindukan, kini berubah menjadi sesuatu yang sangat ingin dihindari.“Kamu harus hati-hati dengan laki-laki itu, Sepia. Aku rasa dia bukanlah laki-laki yang baik. Aku takut dia punya maksud jahat kepadamu, terlebih dia itu sangat dekat dengan rumahmu. Dia bisa melakukan banyak hal yang tak terduga,” kata Panji.“Aku bisa menjaga diri,” sahut Sepia.“Harus. Selain itu, kamu juga harus menjaga jarak dengannya. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, terlebih kamu juga hanya tinggal sendirian. Itu terlalu beresiko,” lanjut Panji.Mobil kembali melaju pelan, menembus dinginnya udara yang membungkus malam, menyalip keramaian. Sorot kuning,
[Sepia, aku ingin bertemu denganmu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan, kumohon … aku butuh bantuanmu] Panji.Disela obrolan Sepia dengan Livy, Panji tiba-tiba mengiriminya pesan dan mengajak untuk bertemu. Entah kenapa laki-laki itu sepertinya sangat ingin mengusik ketenangan yang sedang Sepia rajut. Sepia awalnya tidak ingin menggubris pesan dari Panji, tetapi laki-laki itu kembali mengiriminya pesan yang sama. Seolah keadaannya benar-benar sedang genting.“Bu, sepertinya aku harus pulang sekarang,” kata Livy sambil melirik jam yang bertengger di pergelangan tangannya.[Oke, boleh] balas Sepia. Ia langsung mendongak ketika Livy berpamitan.“Oke, aku juga mau pulang. Hati-hati di jalan ya,” sahut Sepia.“Iya, Bu. Sampai jumpa lain waktu, aku duluan!”Livy beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Sepia yang masih duduk di dalam kedai. Setelah mendengar kabar yang kurang baik dari mantan karyawan Ray, Sepia masih tidak habis pikir. Antara mustahil, tetapi hal itu sudah terja
Sepia masih duduk di samping Malika yang masih terbaring. Sudah hampir satu jam, tetapi Malika masih terlelap dalam tidur yang entah memiliki mimpi atau tidak. Ada rasa bersalah yang menyeruak dalam diri Sepia perihal sikapnya terhadap Panji yang selama ini selalu cenderung menghindar dan menjauh. Padahal Panji selalu membantunya, tetapi Sepia selalu memberi jarak seolah Panji tetap orang bersalah yang telah membuatnya menjadi sangat sedih.“Aku mau keluar sebentar, ya,” kata Panji sambil beranjak dari duduknya. “Tidak akan lama, kok.”“Iya, tenang saja aku akan menemani Malika, tidak akan kemana-mana,” sahut Sepia.Ruangan kembali hening ketika Panji meninggalkan ruangan itu. Terbayang oleh Sepia bagaimana letihnya Panji membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus adiknya seorang diri. Pantas saja Panji sering terlambat datang ke tempat kerja, ternyata alasannya adalah Malika.Sepia kembali menatap wajah Malika. “Hai, Malika. Kata Kakakmu, kamu sangat ingin bertemu denganku, ya? Seka
Banyak hal terjadi diluar dugaan. Banyak hal terjadi melebihi prasangka. Putaran roda hidup yang terus bergerak membawa manusia pada poros kesedihan yang berbeda-beda. Arah angina yang berubah-ubah juga mengubah banyak rasa da sudut pandang yang kerapkali egois.Sepanjang perjalanan Sepia dan Panji tidak banyak bicara. “Terima kasih banyak karena kamu sudah mau mengunjungi Malika. Maaf, ya aku mengganggu waktu istirahatmu …,” kata Panji. Laki-laki itu membukakan pintu mobilnya di depan rumah Sepia. Ia tersenyum, begitu berterima kasih pada perempuan itu karena telah membantunya. Setelah malam ini, ada banyak hal yang telah dan akan berubah. Kenyataan yang terbuka dan kesedihan yang ada telah merubah sedikit banyak pandangan Sepia pada laki-laki itu. Pun caranya bersikap yang sebelumnya selalu menjaga jarak.“Tidak apa-apa. Aku tidak merasa terganggu kok. Ini keadaan penting, Malika memang sedang memerlukan perhatian lebih dan membutuhkan dukungan dari banyak orang. Jangan biarkan di
[Sepia, Malika sudah dibolehkan untuk pulang] Panji.Sepia tersenyum setelah membaca kabar baik itu. [Syukurlah] balas Sepia.“Tuh, kan. Jadi senyum-senyum sendiri kayak gitu, gimana aku enggak curiga coba,” Ara berdecak kesal.“Apaan sih, Ra. Bukan apa-apa kok, ini Cuma lagi baca pesan yang ngabarin anakku, bukan hal lain seperti yang kamu duga. Kamu aja yang terlalu curigaan jadi orang,” elak Sepia.Sepia berbohong. Ia kembali menatap layar ponselnya, nama kontak Panji sedang mengetikkan pesan lagi. [Tapi, masalah baru muncul, Pi. Malika menagih janjinya, dia terus merengek minta ke rumahmu] Panji.Jemari Sepia kembali bergerak membalas pesan dari Panji. [Bilang pada Malika kalau aku masih bekerja, nanti sore saja ajak dia ke rumahku. Soalnya sekalian aku lagi nungguin Afandi sama Shabiru yang mau ke sini] balasnya.[Serius?] Panji membalas begitu cepat, secepat kilat.[Iya, aku sudah berjanji pada Malika. Aku akan menepatinya] balas lagi Sepia.“Tuh, kan sibuk sendiri sama hape!”
Hal terbaik dalam hidup ini terkadang disadari setelah berlalu lama. Berupa hal-hal sederhana yang terkesan biasa saja, tetapi akhirnya bisa menjadi yang paling dirindukan. Mengobrol bersama, membahas hal-hal yang tidak penting, dan tertawa. Hal itu mungkin menjadi hal umum yang biasa saja, tetapi tidak bisa semua orang dapatkan. Sepia beruntung untuk apa yang telah terjadi hari ini, seolah-olah ia diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan yang semula retak. Perlahan semuanya akan membaik, Sepia percaya itu.Pasta yang dibuat Sepia cukup banyak, ia ingat dengan Gina kemudian membawa sepiring untuk diantarkan ke rumahnya, juga sepiring untuk diberikan pada Radit karena laki-laki itu pernah membantunya.“Hai, Gin. Sedang apa?” tanya Sepia.Gina duduk di kursi depan terasnya sambil memutar musik. “Sedang menuggu suamiku nih, Pi belum pulang. Omong-omong di rumahmu sedang ada acara ya? Sepertinya ramai sekali?”“Enggak ada acara apa-apa, Cuma ada teman sama anakku dari Bandung
“Ibun akan bekerja?” tanya Shabiru.Sepia sedang sibuk membuat nasi goreng, lalu tangannya dengan lihai menyalakan kompor untuk membuat telur mata sapi. Keduanya ia kerjakan bersamaan. “Iya, sayang.”“Nanti baju ibun bau minyak kalau begitu. Aku, kan belum lapar. Masih bisa makan nanti saja sama Kak Afandi,” ujar Shabiru yang duduk mengayunkan kaki kursi meja makan.“Sarapan itu penting sayang.”Sepia tidak peduli dengan pakaiannya yang telah rapi. Tidak masalah saat ia harus memasak terlebih dahulu sebelum berangkat. Lagipula hal seperti itu tidak ia lakukan setiap hari.“Memangnya ibun tidak akan telat?” tanya lagi Shabiru.“Tidak kok, ini masih sangat pagi. Kantor juga dekat.” Sepia meletakkan nasi goreng telur mata sapi ke atas piring lalu memberikannya pada Shabiru. “Makan dulu, ya.”Shabiru mengangguk dan mulai meraih makanan itu. Sementara Sepia beralih mencuci peralatan masak dan tangannya. Menjadi ibu sekaligus wanita karir bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan pula hal yang
Masa lalu dan sesuatu yang telah berlalu mungkin memang tidak pernah bisa terulang lagi, tetapi kisahnya melekat, ingatannya tetap tersimpan, kenangannnya tetap ada seberapa keras pun bayangan itu berusaha disingkirkan. Namun, kadangkala selalu ada saja yang serba salah, selalu ada yang diungkit, selalu ada saja sesuatu yang terjadi dua kali dalam hidup. Entah itu kesempatan atau terulangnya lagi sesuatu yang telah berlalu. Entah sedang memikirkan apa, Sepia tiba-tiba membuka kembali media sosialnya yang lama yang tidak pernah ia buka beberapa tahun ini. Ternyata semuanya masih tersimpan rapi, meski setiap postingan sudah ia privasi, tetapi banyak hal masih ada dalam tempatnya membangkitkan kenangan yang sama.“Itu siapa?” tanya Ara. “Kamu sama siapa? Aku kayak kenal, deh?” sebuah kerutan kecil kembali muncul di kening Ara.Refleks Sepia langsung mematikan ponselnya. Ia tidak tahu sejak kapan Ara ada di belakangnya dan mungkin telah melihat beberapa foto yang Sepia gulir. “Ngagetin aj
Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan
“Lihatlah, Ray. Dia begitu berharap kamu akan datang dan mengajaknya berkunjung. Bahkan dia menganggap bahwa rumah yang dulu adalah miliknya, sekarang dia merasa tidak berhak lagi. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan rumahnya, Ray. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan ayahnya, hanya karena ayahnya telah memiliki keluarga baru. Apa pun yang telah terjadi dalam hidup kita, itu tidak akan pernah bisa merubah kenyataan bahwa Shabiru adalah anakmu. Anak yang berharap bisa disayangi dengan tulus, hanya sesederhana itu permintaannya ….” Sayangnya Sepia hanya mengatakan kata-kata itu dalam hatinya.Ray masih terdiam, ia sepertinya sangat terkejut dengan permintaan kecil anaknya untuk sekadar mengunjungi rumah lamanya. Ray sebenarnya ingin memberitahu bahwa rumahnya saat ini bukanlah rumah yang sama seperti dulu. Tidak ada lagi mobil memenuhi garasi, hanya tinggal dua mobil yang tersisa. Semuanya habis karena kerugian restoran yang ia alami. Ia ingin menceritakan segalanya pada Sh
Rumah sakit, Bandung.Jam menunjukan sekitar pukul delapan malam. Sekarang ayah dan ibu Sepia juga telah datang sejak sore hari. Keadaan Shabiru masih sama saja belum ada perubahan yang berarti, ia harus lebih banyak tidur untuk meredam rasa sakit yang mendera tubuh kecilnya.“Ayahnya sudah diberitahu, Pi?” tanya ibunya Sepia.Sepia mengangguk. Sebenarnya dalam situasi seperti ini ia tidak ingin melibatkan ayah dan ibunya, ia tidak ingin membuat mereka cemas, tetapi tidak mungkin juga untuk menyembunyikan hal ini. Pikiran Sepia benar-benar kalut, tidak benar juga jika ibunya terus mempertanyakan kehadiran Ray.“Lalu bagaimana? Akan ke sini?” cecar ibunya.“Aku tidak tahu, Bu. Tadi yang mengangkat telepon adalah istrinya,” jelas Sepia.“Kalau begitu telepon lagi dan minta dia untuk datang,” perintah ibunya Sepia.Sepia menghela napas. Tidak, ia tidak akan bisa menelepon Ray. Suara Arumi yang ia dengar telah membangkitkan banyak luka yang tadinya sudah lenyap tertimbun kesibukkan. “Suda
“Mau makan dulu, Kak? Pasti dari pagi Kak Pia belum makan,” Afandi membawakan makan siang.Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang namanya lapar atau haus yang ada hanyalah perasaan cemas yang semakin lama semakin menggunung tinggi. “Aku belum lapar, kamu makan saja duluan.”“Baiklah, Kak kalau begitu. Aku keluar sebentar, ya.” Afandi keluar.Hanya menyisakan Sepia dan Shabiru dalam ruangan itu. Sepia memperhatikan cairan infus yang terus menetes dan merasakan betapa heningnya ruangan itu. Ia beranjak mendekati jendela.Firasat yang kuat telah terhubung antara ibu dan anak. Perasaan Sepia yang mendadak tidak enak ternyata terbukti, tetapi ia tidak perah menduga bahwa hal seperti itu bisa terjadi. Sepia berdiri mematung di depan jendela ruangan perawatan. Ia berandai-andai seandainya ia bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pergi kemana-mana dan ia juga tidak akan membiarkan Shabiru pergi kemana-mana. Pikirannya kembali sibuk berdebat sekaligus mengumpulkan keyakinan tentang memberit