Sepia keluar dari rumahnya membawa dua buah paperbag. Satu papaerbag berisi bolu susu lembang, satu lagi berisi peuyeum. Ia menutup pagarnya perlahan, lalu berjalan ke seberang rumahnya. Ia akan mengunjungi rumah Gina, kemarin Gina bilang minta dibelikan dua jenis makanan itu sebagai oleh-oleh. Sepia berdiri di depan pintu, mengetuk pintu beberapa kali dan menunggunya terbuka.Tak berselang lama akhirnya Gina membukakan pintu rumahnya. Perutnya yang sudah semakin membesar membuat Gina tidak bisa kemana-mana, termasuk mengunjungi rumahSepia yang hanya memiliki jarak tak seberapa dengan rumahnya. “Eh, kirain belum pulang. Ayo masuk,” ajak Gina sambil tersenyum dan mempersilahkannya masuk.“Aku baru sampai barusan, masih belum lama,” jelas Sepia.Ini kali pertama Sepia berkunjung ke rumah tetangganya. Sepia melebarkan pandangannya dengan terkesima, dari depan saja rumah Gina memang sudah terlihat begitu rapi dan tertata, begitu juga di dalamnya. Dinding berwarna emas memeberi kesan mega
“Ada orang yang memang sengaja mempermainkanku selama ini, tapi aku tidak pernah menyadarinya. Yang jelas tindakannya seperti ingin membuatku selalu dalam masalah, ingin membuatku merasa sedih, dan tidak ingin aku bahagia. Aku tidak tahu siapa orang itu apalagi tujuannya. Apa sebenarnya keuntungan yang dia dapatkan dengan membuatku begini? Apakah mungkin orang itu sedang balas dendam? Ta-tapi siapa yang pernah aku lukai?” Sepia menghela napas pelan.Ia memutar knop pintu lalu menguncinya dari luar. Tidak benar jika ada yang ingin balas dendam padanya, tapi apa lagi motif selain itu? Pikiran Sepia kembali mendadak sibuk, teraduk dan rumit. Duduk diam di rumah semakin membuat ia serba kepikiran dan menebak-nebak sendiri siapa sebenarnya dalang di balik nomor tidak dikenal itu. Sepia sudah berusaha mengecek nomor itu pada aplikasi yang akan memberikan informasi tentang nomor, tetapi ia tidak mendapatkan informasi apa-apa. Mungkin memang benar, nomor itu hanya digunakan untuk menghubungi
“Apa salahnya jika aku menjadi orang tua tunggal untuk anakku, Bu? Aku bisa bekerja sendiri, bisa mencukupi semua kebutuhan kami, aku juga telah mempersiapkan banyak hal untuk pendidikan Shabiru kedepannya. Aku bisa mengurus semua itu sendirian. Lagipula, aku memang tidak siap membangun hubungan baru dengan orang asing. Kalau mungkin orang asing itu bisa menerima dan mencintaiku, belum tentu dia bisa menerima Shabiru. Belum tentu dia bisamenyayanginya seperti anaknya sendiri. Lalu apa gunanya hubungan itu?” Sepia akhirnya jadi mendebat ibunya.“Iya, ibu tahu kamu bisa melakukan semua itu sendirian, tapi kamu ini perempuan. Perempuan perlu pelindung dan status yang baik, itu untuk menjaga nama baikmu sendiri, Nak. Kamu juga tahu bagaimana masyarakat kita kerap memandang buruk perempuan yang tak bersuami, ibu hanya tidak ingin hal seperti itu terjadi padamu. Lagipula sampai kapan kamu akan menanggung semua beban itu sendirian?”“Mau benar atau salah, masyarakat kita memang punya kbiasaa
Sepia menutup laptopnya dengan tergesa. Akhir-akhir ini, kesibukannya semakin bertambah seiring semakin dekatnya waktu pernikahan Alea. Hanya tinggal beberapa hari lagi, lalu temannya itu akan resmi dipersunting oleh laki-laki yang sangat mencintainya. Ia harus ikut dengan Alea ke manapun teman perempuannya itu pergi. Meskipun pernikahan itu adalah pernikahan kedua dan akan dilakukan dengan hanya mengundang orang-orang dekat saja, tetapi ternyata pernikahan tetap diusung dengan cukup mewah dan serba lengkap. Ia seharusnya bisa pulang lebih awal dari kantor menuju rumahnya.“Kak Sepia, apakah benar tidak bisa menggantikan pemateri webinar hari ini?” tanya Karin menghadang langkah Sepia yang hendak meninggalkan ruangan.“Aduh, maaf sekali ya, tapi aku juga sedang benar-benar ada urusan keluarga yang penting. Lagipula ini dadakan sekali, tolong kedepannya selalu konfirmasi lebih awal kalau ada kepentingan seperti ini. Sekali lagi aku minta maaf,” Sepia menelungkupkan tangannya, simbol se
“Mulai sekarang kita berteman, jadi kalau ada apa-apa kita enggak merasa canggung dan bingung. Entah itu mau meminta bantuan ataupun menerima bantuan, intinya saling membantu. Teman begitu bukan?”Tawaran menjadi teman kedengarannya adalah hal yang baik. Semakin banyak teman, katanya semakin banyak kemudahan. Namun hal itu bisa menjadi beda artinya jika yang mengajak berteman adalah seorang laki-laki. Terlebih lagi-lagi Sepia tetap mengaitkan banyak hal pada statusnya saat ini, seorang orang tua tunggal, seorang perempuan yang pernah gagal dalam rumah tangga. Apakah ada orang yang mau berteman dengan orang sepertinya? Begitu kira-kira kegundahan yang tiba-tiba menyergap hatinya.Sepia masih duduk dibonceng oleh Radit. Laki-laki itu membawa motor cukup santai, bahkan bisa dibilang terlalu santai untuk golongan orang yang sedang terburu-buru seperti Sepia. Selain kelewat santai, laki-laki itu juga terlalu banyak bicara. Padahal Sepia juga tidak mendengar semua perkataannya karena angin
“Tadi itu siapa, Pi?” Panji memulai pembicaraan. Ia dan Sepia duduk bersebelahan. Perginya Alea dan Andre memberi Panji sedikit kesempatan kecil untuk berbicara dengan perempuan itu.Panji bahkan bertanya tanpa menyempatkan untuk melihat Sepia terlebih dahulu. Sepasang matanya sibuk menggulir foto-foto yang pada layar kecil kameranya. Ia penasaran, tetapi ia juga sungkan untuk bertanya. Ia ingin tahu, tetapi ia ragu untuk memulai bicara. Semuanya serba canggung. Seolah-olah ada dinding pembatas yang menjulang begitu tinggi nan kokoh yang menjadi sekat sulitnya membangun keakraban di antara mereka.Mendengar nada suara Panji yang seolah bertanya, tetapi tidak ingin tahu atau sama saja dengan malas mengobrol, tetapi memaksa berbicara. Sepia menghela napas kesal. “Harusnya kalau memang tidak ingin tahu, jangan bertanya,” batinnya.“Bukan siapa-siapa,” sahut Sepia.Dari cara Sepia dan laki-laki tadi berbicara, saling berinteraksi, bahkan sampai saling melempar senyum, bohong jika masih di
Masa lalu hanya sepenggal kisah yang sedang atau telah berusaha dilupakan, yang ketika berusaha diiingat-ingat justru hilang bayangannya, yang ketika berusaha dienyahkan malah menjelma rasa yang nyata. Entah berupa kenangan senang atau sedih, rasanya tetap tidak akan sama seperti yang dahulu terjadi. Dulu yang menyerupa bahagia dan hal-hal yang selalu dirindukan, kini berubah menjadi sesuatu yang sangat ingin dihindari.“Kamu harus hati-hati dengan laki-laki itu, Sepia. Aku rasa dia bukanlah laki-laki yang baik. Aku takut dia punya maksud jahat kepadamu, terlebih dia itu sangat dekat dengan rumahmu. Dia bisa melakukan banyak hal yang tak terduga,” kata Panji.“Aku bisa menjaga diri,” sahut Sepia.“Harus. Selain itu, kamu juga harus menjaga jarak dengannya. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, terlebih kamu juga hanya tinggal sendirian. Itu terlalu beresiko,” lanjut Panji.Mobil kembali melaju pelan, menembus dinginnya udara yang membungkus malam, menyalip keramaian. Sorot kuning,
[Sepia, aku ingin bertemu denganmu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan, kumohon … aku butuh bantuanmu] Panji.Disela obrolan Sepia dengan Livy, Panji tiba-tiba mengiriminya pesan dan mengajak untuk bertemu. Entah kenapa laki-laki itu sepertinya sangat ingin mengusik ketenangan yang sedang Sepia rajut. Sepia awalnya tidak ingin menggubris pesan dari Panji, tetapi laki-laki itu kembali mengiriminya pesan yang sama. Seolah keadaannya benar-benar sedang genting.“Bu, sepertinya aku harus pulang sekarang,” kata Livy sambil melirik jam yang bertengger di pergelangan tangannya.[Oke, boleh] balas Sepia. Ia langsung mendongak ketika Livy berpamitan.“Oke, aku juga mau pulang. Hati-hati di jalan ya,” sahut Sepia.“Iya, Bu. Sampai jumpa lain waktu, aku duluan!”Livy beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Sepia yang masih duduk di dalam kedai. Setelah mendengar kabar yang kurang baik dari mantan karyawan Ray, Sepia masih tidak habis pikir. Antara mustahil, tetapi hal itu sudah terja
Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan
“Lihatlah, Ray. Dia begitu berharap kamu akan datang dan mengajaknya berkunjung. Bahkan dia menganggap bahwa rumah yang dulu adalah miliknya, sekarang dia merasa tidak berhak lagi. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan rumahnya, Ray. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan ayahnya, hanya karena ayahnya telah memiliki keluarga baru. Apa pun yang telah terjadi dalam hidup kita, itu tidak akan pernah bisa merubah kenyataan bahwa Shabiru adalah anakmu. Anak yang berharap bisa disayangi dengan tulus, hanya sesederhana itu permintaannya ….” Sayangnya Sepia hanya mengatakan kata-kata itu dalam hatinya.Ray masih terdiam, ia sepertinya sangat terkejut dengan permintaan kecil anaknya untuk sekadar mengunjungi rumah lamanya. Ray sebenarnya ingin memberitahu bahwa rumahnya saat ini bukanlah rumah yang sama seperti dulu. Tidak ada lagi mobil memenuhi garasi, hanya tinggal dua mobil yang tersisa. Semuanya habis karena kerugian restoran yang ia alami. Ia ingin menceritakan segalanya pada Sh
Rumah sakit, Bandung.Jam menunjukan sekitar pukul delapan malam. Sekarang ayah dan ibu Sepia juga telah datang sejak sore hari. Keadaan Shabiru masih sama saja belum ada perubahan yang berarti, ia harus lebih banyak tidur untuk meredam rasa sakit yang mendera tubuh kecilnya.“Ayahnya sudah diberitahu, Pi?” tanya ibunya Sepia.Sepia mengangguk. Sebenarnya dalam situasi seperti ini ia tidak ingin melibatkan ayah dan ibunya, ia tidak ingin membuat mereka cemas, tetapi tidak mungkin juga untuk menyembunyikan hal ini. Pikiran Sepia benar-benar kalut, tidak benar juga jika ibunya terus mempertanyakan kehadiran Ray.“Lalu bagaimana? Akan ke sini?” cecar ibunya.“Aku tidak tahu, Bu. Tadi yang mengangkat telepon adalah istrinya,” jelas Sepia.“Kalau begitu telepon lagi dan minta dia untuk datang,” perintah ibunya Sepia.Sepia menghela napas. Tidak, ia tidak akan bisa menelepon Ray. Suara Arumi yang ia dengar telah membangkitkan banyak luka yang tadinya sudah lenyap tertimbun kesibukkan. “Suda
“Mau makan dulu, Kak? Pasti dari pagi Kak Pia belum makan,” Afandi membawakan makan siang.Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang namanya lapar atau haus yang ada hanyalah perasaan cemas yang semakin lama semakin menggunung tinggi. “Aku belum lapar, kamu makan saja duluan.”“Baiklah, Kak kalau begitu. Aku keluar sebentar, ya.” Afandi keluar.Hanya menyisakan Sepia dan Shabiru dalam ruangan itu. Sepia memperhatikan cairan infus yang terus menetes dan merasakan betapa heningnya ruangan itu. Ia beranjak mendekati jendela.Firasat yang kuat telah terhubung antara ibu dan anak. Perasaan Sepia yang mendadak tidak enak ternyata terbukti, tetapi ia tidak perah menduga bahwa hal seperti itu bisa terjadi. Sepia berdiri mematung di depan jendela ruangan perawatan. Ia berandai-andai seandainya ia bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pergi kemana-mana dan ia juga tidak akan membiarkan Shabiru pergi kemana-mana. Pikirannya kembali sibuk berdebat sekaligus mengumpulkan keyakinan tentang memberit