Radit mengerutkan kening mendengar gumaman Nirmala, “pacar yang mana?” tanyanya bingung.
“Pura-pura lagi ya pacar-pacar kamu yang berderet itu.”Radit tersenyum kecil, merangkul bahu Nirmala dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu.”Aku nggak pernah ajak wanita selain mama dan saudara-saudaraku kemari,” katanya dengan mamandang langsung Nirmala tepat di kedua bola matanya seolah mentang wanita itu untuk membuktikan kebenaran ucapannya lewat pancaran bola matanya.“Seperti yang aku bilang tadi, kamu bisa bertanya langsung padaku atau siapapun yang kamu anggap bisa dipercaya, dulu memang hidupku dikelilingi banyak wanita tapi demi tuhan aku tidak pernah menyentuh wanita lebih dari semestinya.”Nirmala menunduk sedikit merasa bersalah karena menuduh Radit yang tidak-tidak meski tak secara langsung. Kenapa saat berhadapan dengan Radit penyakit lamanya yang suka berprasangka buruk pada orang lain selalu kumat. “MBisma memandang rumah mewah itu dengan perasaan hampa. Rumah yang dulu sangat sering dia kunjungi, tempat berbagi cerita dan keresahannya, karena salah satu penghuninya membuatnya memiliki teman dan sahabat yang selalu dia anggap mengerti dirinya.Tapi entah saat ini anggapan itu masih ada atau sudah hilang bersama semua kepercayaan yang dia miliki.Seorang wanita paruh baya yang dia kenali sebagai assisten rumah tangga di sini menyapanya dan mempersilahkan masuk.Dia langsung menuju taman belakang, tempat yang sering dia kunjungi selama ini."Hai kau datang." seru seorang wanita dengan binar ceria."Ya." Hanya itu jawaban Bisma laki-laki itu lalu melangkah mengambil tempat duduk di seberang sang wanita.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Bisma, dia memandang gadis itu heran lalu matanya tertuju pada gambar-gambar yang berserakan di atas meja, Gambar yang dia kenali sebagai baju pe
Kesibukan Nirmala di toko belum surut juga, setelah menjaga caca tempo hari di rumah sakit sekarang karena kakak sepupunya sudah datang dia sudah tidak diperlukan lagi. Dan mulailah rutinitas pagi yang sudah dia lakukan bertahun-tahun lamanya yaitu membuat kue, karena sampai sekarang Nirmala tak bisa mempercayakan bagian itu pada orang lain, hanya Rina yang dia percaya untuk membantunya, meski hanya melakukan finishing saja.Untuk pengadonan kue dan komposisi apa saja yang diperlukan tetap Nirmalalah yang memegangnya.“Mbak kayaknya sudah waktunya mbak jani cari assisten lagi,” kata Nia pagi itu yang melihat kakaknya sibuk membuat kue, mungkin dulu saat mereka masih berjualan di pasar Nirmala memang sanggup menghandle setiap pesanan yang datang tapi sekarang sejak mereka membuka toko kue banyak pesanan yang masuk dari pelanggan yang rata-rata golongan kelas menengah dan atas dengan pesanan yang tak sedikit.“Mbak juga berpikir begitu, Nin
Tak menunggu lebih lama lagi esok paginya Nirmala segera mewujudkan ide yang diungkapkan Radit kemarin, tentu saja setelah dia menyelesaikan semua pesanan kue. “Mbak, ini kita mau bikin apa dulu?” tanya Rina yang kebingungan karena bosnya itu hanya berdiri terpaku memandang tepung terigu dan kawan-kawannya.“Aku bikin donat dulu, Rin. kamu bikin nagasari saja adonannya kayak biasa, tapi jangan dibungkus dulu ya aku mau buat bentuknya dan isiannya beda.” Sejak semalam Nirmala memang sudah mengembangkan ide yang ada di kepalanya, tapi masih saja dia ragu akankan orang akan menyukai jajanan yang dia buat, karena kalau lidah pembelinya tak biasa dengan bahan yang dia tambahkan jadinya malah aneh.“Mau diisi apa, Mbak?” “Enaknya apa ya, Rin coklat apa keju.”“Dimasukkan dalam adonan kayak pisang gitu, Mbak?”Nirmala berpikir sejenak dia ingin nagasari yang dia buat tetap ada isian pisang di d
Nirmala sedang memarkirkan motornya di halaman toko, dan benar saja firasatnya Mbak Ratna sedang kerepotan sendiri melayani semua pembeli yang antri. Dasar Nia memang anak itu kalau sudah kumat bandelnya, sangat menyebalkan.Cepat-cepat Nirmala masuk ke dalam toko melalui pintu samping, menyapa Mbak Ratna sejenak, lalu dia berlari ke ruang ganti dan mengambil baju seragam yang memang sudah disiapkan untuknya.“Biar aku yang pegang kasir, Mbak.” Nirmala memperhatikan Mbak Ratna yang dengan luwes bisa menghadapi pembeli dengan baik. Bahkan saat pembeli yang sangat cerewet meminta kue ini itu, menanyakan harga dan rasanya tapi kemudian tak jadi membeli Mbak Ratna masih melayani dengan senyum terbaiknya.Kadar keramahan yang melebihi batas memang sangat diperlukan, sebagai pemilik toko jujur saja Nirmala belum bisa seperti itu, kadang dia juga sedikit kesal kalau ada pembeli yang super cerewet tapi ujung-ujungny
Jam sudah menunjukkan delapan malam saat Nirmala menutup tokonya, hari ini kue basah dan berbagai roti habis terjual, hanya menyisakan beberapa kue kering yang harus segera mereka restock kembali. “Mbak Ratna tadi diantar?” Tanya Nirmala yang tidak melihat kendaraan yang dipakai Mbak Ratna terparkir di depan toko. “Iya, Mbak ini mau minta jemput,”“Bareng aku saja, Mbak nggak usah minta jemput kita tetanggaan juga.”“Mbak Mala langsung pulang, apa mau kemana dulu.”“Sebenarnya mau beli baking powder tapi kayaknya sudah tutup tokonya jam segini besok saja.”Mbak Ratna mengangguk lalu naik keboncengan motor Nirmala setelah memasang helm dan memastikan semua barangnya tak ada yang tertinggal.“Bentar, Mbak ada telepon.” Nirmala merogoh saku celana mengambil ponsel yang dari tadi menjerit, rupanya Nia yang menelpon.Sebentar Nirmala berbicara dengan adiknya itu, sedangkan Mbak
Nanti jangan tinggalin aku ya,” pinta Nirmala setelah terdiam beberapa saat.Radit menoleh heran pada Nirmala yang berubah murung, dia meraih tangan Nirmala dan meremasnya lembut. “Memangnya aku mau kemana wong sudah mentok di hati kamu,” katanya dengan wajah serius.“Maksudku jangan tinggalin aku sendiri waktu di rumah orang tuamu, aku nggak tahu bagaimana harus bersikap.”Radit tahu meski Nirmala mengatakan telah mengikhaskan Bisma dan mencoba membuka hati untuknya tapi bayang-bayang saat kebersamaannya dulu dengan Bisma pasti masih ada, luka yang dia tinggalkan untuk Nirmala masih membekas, tak bisa hilang, walau Radit sudah mencoba meyakinkan Nirmala berkali-kali. Terselip rasa marah di hatinya, kenapa Nirmala harus bersama Bisma? Kenapa mereka tidak langsung bertemu saja? Tapi Radit tahu semua itu sudah takdir yang ditentukan Tuhan, dia tak bisa melawan, hanya usaha untuk memperbaikilah yang bisa dia lakukan sekarang.“Nirmala, sayang lihat aku,” kata Radit lembut dia sudah dudu
Alih-alih mengejak Nirmala melewati pintu samping yang memang dibuka lebar untuk para tamu Radit malah memilih pintu depan yang masih tertutup rapat.“Kita lewat pintu depan saja, supaya nggak terlalu ramai.”Nirmala hanya menurut karena jujur saja dia agak segan juga menghadiri pesta para orang kaya seperti ini, sepintas tadi saat Nirmala melihat banyak wanita-wanita cantik dengan gaun indah dan tentu saja mahal yang menuju pintu samping. Nirmala memandang gaun yang dipakainya sekali lagi, kata Nia dan Radit gaun yang dipakainya tampak cantik, meski sederhana setidaknya dia harus berterima kasih pada Gita karena telah memberi kado gaun ini. Saat pintu depan dibuka mereka mendapi seorang wanita cantik yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Wajahnya langsung berubah cerah saat melihat Raditlah yang membuka pintu, tapi senyum itu berubah menjadi keheranan saat melihat siapa yang datang bersama Radit. “Jan
“Bentar, Yang aku ke kamar mandi dulu, atau kamu mau ikut,” pamit Radit pada Nirmala yang sedang duduk dengan para sepupunya.“Aku di sini saja,” bisiknya bukan apa-apa dia memang masih sangat grogi tapi tak mungkin dia terus menempel pada Radit.Radit mengangguk lalu meninggalkan Nirmala bersama para sepupunya. Para sepupu Radit memang tak seramah orang tuanya, pandangan mencemooh ataupun kata-kata cibiran setelah tahu latar belakang Nirmala tak dapat dia hindari jika tadi ada Radit yang membelanya, yang membuat mereka berlaku sopan meski tak suka, tapi saat Radit beranjak pergi mereka mulai menyerang Nirmala dengan kata-kata yang memrahkan telinga.Tapi Nirmala bukan orang lemah yang gampang putus asa, dia tak akan bisa berdiri diatas kakinya sendiri seperti sekarang kalau sudah menyerah hanya dengan pandangan orang. Berusaha untuk tidak ambil pusing dengan kelakuan sepupu Radit, Nirmala berusaha menikmati makanan
“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam
“Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal
Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk
Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak Mala, nggak pulang?” Mbak Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba