“Bentar, Yang aku ke kamar mandi dulu, atau kamu mau ikut,” pamit Radit pada Nirmala yang sedang duduk dengan para sepupunya.
“Aku di sini saja,” bisiknya bukan apa-apa dia memang masih sangat grogi tapi tak mungkin dia terus menempel pada Radit.Radit mengangguk lalu meninggalkan Nirmala bersama para sepupunya.Para sepupu Radit memang tak seramah orang tuanya, pandangan mencemooh ataupun kata-kata cibiran setelah tahu latar belakang Nirmala tak dapat dia hindari jika tadi ada Radit yang membelanya, yang membuat mereka berlaku sopan meski tak suka, tapi saat Radit beranjak pergi mereka mulai menyerang Nirmala dengan kata-kata yang memrahkan telinga.Tapi Nirmala bukan orang lemah yang gampang putus asa, dia tak akan bisa berdiri diatas kakinya sendiri seperti sekarang kalau sudah menyerah hanya dengan pandangan orang.Berusaha untuk tidak ambil pusing dengan kelakuan sepupu Radit, Nirmala berusaha menikmati makananRadit memandang langit-langit kamarnya dengan muram, baru saja dia mengantar Nirmala pulang ke rumahnya, pacarnya itu tak dapat meninggalkan rumah terlalu lama karena harus membuat kue kering yang hampir habis di tokonya. Tapi bukan itu yang membuat Radit resah, tapi kejadian tadi sore saat pesta berlangsunglah yang membuat matanya tetap nyalang meski kantuk sudah menggelayuti mata. Namanya Sazi, sepupu Radit dari pihak ibu. Dulu mereka sering bermain bersama, Sazi dan Rara adiknya selalu mengekori kemanapun dia pergi, bahkan saat mereka sudah beranjak remaja Radit yang selalu mengantar jemput mereka ke sekolah. Lalu mereka akan berkeliling mall untuk berburu barang yang mereka inginkan.Mungkin dari kedekatan itu tumbuh perasaan lain di hati Sazi, pada akhir Masa putih abu-abunya Sazi menyatakan cinta pada Radit yang saat itu sudah menyelesaikan kuliah kedokterannya, tentu saja Radit menolak karena sudah menganggap Sazi sama dengan Rara.
Nirmala berlari sepanjang koridor rumah sakit, nafasnya memburu air mata sudah menganak sungai di pipinya, Rina juga ikut berlari menemaninya. Meski Nirmala berkeras ingin berangkat sendiri tapi melihat Nirmala yang sudah menangis dan tangannya gemetar dia langsung saja mengambil kunci motor Nirmala dan memintanya membonceng di belakang. Dia baru saja akan berangkat ke toko setelah menyelesaikan pembuatan bolu kukus pesanan tetangganya, saat ponselnya menjerit. Agak ragu sesaat karena yang menelponnya adalah nomer Bisma, tapi meski Nirmala mengabaikannya telepon itu terus berdering jadi mau tak mau dia mengangkatnya. Dengan ragu Nirmala mengangkatnya, mendengarkan sejenak Bisma yang bicara di seberang sana, tapi belum selesai omongan Bisma dia sudah menangis, kakinya seolah tak kuat menahan beban tubuhnya, sungguh ini adalah hal yang paling ditakutkan oleh Nirmala. Nia kecelakaan. Hanya itu sebaris kata yang ada dalam pikiran N
Radit meninggalkan rumah sakit setelah memastikan Nia mendapat kamar perawatan. Dia harus segera menemui Agha dan memastikan siapa yang telah mengancam Nirmala. Radit sangat berharap koneksi Agha yang luas dapat membantunya menyelesaikan persoalan ini, bagaimanapun masalah ini akan sangat berhubungan erat dengan masa depannya, Nirmala pasti tak akan segan-segan mengakhiri hubungan mereka kalau ternyata orang yang mengancam ada hubungannya dengan Radit. Radit melajukan mobilnya dengan kencang jalanan yang tampak lengang di siang hari memudahnya. Tujuannya pasti kantor Agha, sepupunya itu pasti ada di sana jam segini. Setengah jam kemudian Radit sudah memasuki pelataran kantor Agha, sebuah agen pengiriman barang yang berada di jalanan Abdul Radit Saleh itu tampak megah dan kokoh, banyak mobil box keluar masuk membawa berbagai barang yang akan mereka kirimkan pada pembeli, maklum saja belanja online sedang booming akhir-akhir ini orang akan lebih suka rebahan
Bisma menghentikan mobilnya tepat di depan rumah orang tua Nessa, wanita itu mengirimkan pesan meminta Bisma datang. “Nessanya ada di rumah, Pak?” tanya Bisma pada satpam yang berjaga di depan.“Oh, Mas Bisma. ada, Mas silahkan masuk.” Bisma segera melajukan mobilnya memasuki pelataran rumah mewah itu, sebenarnya dia sudah sangat malas datang ke sini, tapi dia harus menyelesaikan semuanya.Nessa menyambut Bisma di depan pintu. “Ada apa?” tanya Bisma langsung.“Masuk dulu, kita bicara santai di dalam dulu, kayak nagih hutang saja ngomong di luar,” canda Nessa tapi Bisma sama sekali tak menunjukkan reaksi apa-apa wajahnya tetap datar.Di ruang tamu rumah ini sudah duduk papa dan mama Nessa, Bisma makin mengernyit heran saat menyadari ketegangan yang ada di wajah mereka, sebuah pertanyaan muncul dibenaknya apakah mamanya sudah mengutarakan keinginannya untuk membatalkan pertunangan mereka.“Selamat si
Radit menghadang mobil Bisma yang melaju dengan kencang syukurlah tidak ada kendaraan di sekitar mereka.Tanpa bisa dicegah oleh Agha, Radit turun dari mobil di saat yang sama Bisma juga keluar dari mobil.Dua laki-laki dengan bara kemarahan di dalam dadanya saling menatap dengan tajam."Tidak tahu diri!" umpat Radit yang tanpa mampu menahan diri langsung menyarangkan tinjunya ke muka Bisma dan menyebabkan laki-laki itu tersungkur membentur aspal yang keras.Agha yang sedari tadi berdiri di belakang Radit langsung menarik sepupunya itu menjauh, bukan hal mudah menarik laki-laki berbadan sama besar dengan dirinya apalagi dalam keadaan marah."Tenang, Dit kita bisa bicarakan baik-baik jangan terpancing emosi!" Agha memegangi Radit yang masih terus memberontak."Apa-apaan kamu, Dit!" Bisma yang sudah bangkit berdiri melotot marah pada Radit yang masih terus memberontak."Jangan berlagak bo
Apa! Kamu menghamili Nessa dan memutuskan pertunanganmu dengannya,” kata sang Ibu dengan amarah yang tak disembunyikan, bahkan dia sudah memukuli bahu Bisma yang masih duduk di sofa membuat laki-laki itu terkejut.“Arlin! Diam! Jika kamu tidak bisa berpikir bijak keluar dari sini,” sergah sang Ayah dingin.“Bagaimana kamu bisa setenang itu, Pa anak kamu menghamili anak gadis orang dan tak mau bertanggung jawab,” katanya dengan marah.“Bukan aku yang menghamili Nessa,” Bisma berkata dengan datar. “Jadi tidak ada yang perlu aku pertanggung jawabkan.”“Tapi bagaimana mungkin Nessa gadis yang baik–““Baik menurut Mama belum tentu baik untukku, buktinya dia sekarang hamil dan ingin melimpahkan tanggung jawab padaku.”“Bisakan kamu yang melakukannya tapi tak mau mengaku, Nessa sangat cantik dan kalian sering terlihat bersama,” kata Mama Bisma tak mau menyerah. Bisma sampai heran sebegitunya Ibunya membela
Nirmala baru saja membenarkan selimut yang digunakan Nia, sudah dua hari ini Adiknya itu harus menginap di rumah sakit dan dua hari ini pula Nirmala harus rela tidur di sofa yang ada di ruang rawat Nia. Bahkan bisa dibilang Nirmala selalu berada di sini, dia tak tega meninggalkan sang Adik lama-lama meski ada Budhenya atau Gita yang menawarkan diri menggantikan Nirmala di sini. Persoalan toko dan membuat kue dia serahkan sepenuhnya pada Mbak Ratna dan Rina. Meski kadang-kadang jika ada hal yang mendesak atau Rina tak bisa membuat suatu kue, Nirmala harus rela pulang sebentar dan menitipkan Nia pada perawat yang berjaga.Kadang Radit juga menemaninya di sini kalau dia sedang libur kerja. “Assalamualaikum, Sayang.”Nirmala terlonjak saat mendapati wajah tampan Radit berada di sisi wajahnya, dia harus mengerjap beberapa kali memastikan apakah dia benar Radit atau penunggu kamar ini yang menyerupai Radit. Dipandangnya sosok itu dari atas ke bawah k
“Menurut, kalian bagaimana?” malam hari Nirmala sudah muncul lagi di ruang rawat Nia, di sana sudah ada Budhe dan Mbak Gita juga yang tadi menjaga Nia, sebenarnya Gita tidak keberatan kalau harus menjaga Nia malam ini kebetulan caca dan suaminya sedang berkunjung ke rumah mertunya, dan Gita memutuskan tidak ikut dan akan membantu Nirmala menjaga Nia. Tapi dasar Nirmala yang memang keras kepala, dia malah muncul lagi di sini.Dan sekarang mereka sedang membicarakan perihal lamaran Radit kemarin yang nggak ada romantis-romantisnya.“Sebenarnya hatimu sendiri bagaimana, Nduk kamu sudah menerima Radit sepenuhnya atau belum?” tanya Budhe.“Menikah itu bukan untuk sehari dua hari tapi untuk selamanya sampai ajal menjemput, jadi kamu harus tanyakan dulu ke hatimu sendiri, sudah mantap apa belum jangan lupa kamu juga harus tanya pada Gusti Allah, lewat sholat istikharah.” Budhe mamandang Nirmala dengan sayang.“Kalau Budhe se
“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam
“Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal
Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk
Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak Mala, nggak pulang?” Mbak Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba